Ingin Kukatakan Sesuatu

Memukul Sean!



Memukul Sean!

0Air mata indah Chintia jatuh di tas Chanel yang diberikan Sean padanya.     
0

Pria di sebelah Chintia mengeluarkan tisu, menyerahkannya pada Chintia, dan bertanya, "Apa kamu menyukainya?"     

Chintia menerima tisu itu dan menyeka air matanya sambil berkata, "Aku sudah melakukan kesalahan padanya. Tapi, dia tidak hanya tidak menyalahkanku, tetapi juga memaafkanku dan membiarkanku tetap menjadi wapresdirnya. Dia sangat baik padaku. Bahkan di saat-saat terakhir pengunduran dirinya sebagai presdir, dia menunjukku untuk mengisi posisi presdir."     

"Saat terakhir kali dia dikepung keluarga Wangsa, aku tidak bisa membantunya. Kali ini dia ditindas keluarga Liono dan keluarga Pangestu, tapi lagi-lagi aku tidak bisa berbuat apa-apa," lanjut Chintia, "Jika bukan karena kemurahan hatinya, sejak awal aku, Chintia Yandra, tidak akan bisa menjabat sebagai presdir. Dia yang sudah memberikan semua yang aku miliki sekarang. Tidak. Aku harus membantunya!"     

Semakin Chintia berbicara, emosinya semakin meluap. Dia merasa bahwa Sean adalah pria terbaik yang pernah ditemuinya.     

Sebelumnya, keluarga Wangsa mengundang para tamu untuk memasukkan Sean ke dalam daftar hitam. Kuncoro, Cahyadi, William, dan semua orang yang ikut kemudian bangkrut. Hanya Chintia yang aman dan tentram, bahkan dipromosikan menjadi presiden direktur.     

Chintia menyukai Sean dan Sean tidak mungkin tidak mengetahuinya. Bahkan jika Sean tidak ingin menjalin hubungan dengannya, dia juga bisa menidurinya seperti kebanyakan pria lainnya. Namun, Sean tidak melakukannya.     

Sean selalu sangat menghormati Chintia dan tidak memanfaatkannya dengan menggunakan haknya sebagai atasannya. Menurut Chintia, orang seperti Sean benar-benar sangat langka karena dia sudah bertemu dengan terlalu banyak pria menjijikkan yang ingin menidurinya.     

Tangan ramping Chintia hendak menghentikan lift, tetapi pria di sampingnya meraih pergelangan tangannya dan menghentikannya.     

"Chintia, jangan gegabah! Tidak mudah bagimu untuk sampai di posisi ini. Ingatlah betapa banyak penderitaan yang pernah kamu alami. Jangan sampai kamu mengorbankan segalanya hanya demi seorang laki-laki!"     

Pria itu berhasil menghentikan Chintia, tetapi membuat Chintia merasa lebih bersalah.     

———     

"Apa latar belakang laki-laki yang baru datang ini? Satu kalimat darinya saja bisa membuat presdir cantik itu pergi begitu saja!"     

"Dia bisa tiba-tiba muncul dan melakukan serangan begitu saja. Sepertinya dia seorang konglomerat generasi kedua!"     

"Pantas saja! Rupanya konglomerat generasi kedua! Jika tidak, mana mungkin dia bisa berbicara dengan begitu arogan seperti itu? Aku rasa aset yang dimilikinya setidaknya 200 miliar!"     

"Terlalu sedikit! Aku rasa mungkin satu triliun!"     

"Satu triliun?! Sinting! Bukankah butuh seumur hidup untuk menghabiskan uang sebanyak itu?"     

Di Restoran Blossom Valley, para pelanggan lain sedang memperbincangkan Yoga. Kebanyakan dari mereka adalah orang biasa dengan gaji bulanan delapan atau sepuluh juta. Mereka hanya memiliki pengetahuan yang sangat sedikit mengenai para orang kaya.     

Di mata mereka, 200 miliar sudah berada di luar jangkauan mereka, apa lagi ratusan triliun. Mereka tidak berani untuk membayangkannya dan merasa uang sebanyak itu benar-benar berada jauh dari kenyataan.     

Hanya saja, uang sebanyak ratusan triliun adalah angka yang sangat realistis bagi keluarga kaya seperti Sean dan Yoga.     

Setelah Chintia pergi, Yoga berjalan mendekati Sean dengan angkuh dan berkata, "Sean, apa kamu tahu siapa aku?"     

Tentu saja Sean tahu siapa binatang ini. Dia adalah bajingan yang sudah melecehkan istrinya.     

Sean teringat foto yang ditunjukan Yuana padanya waktu itu. Di foto itu, Yoga memeluk Giana dengan sangat mesra. Karena waktu itu Giana mengenakan rok pendek, bisa dibilang tangan Yoga sudah mengambil kesempatan dengan memegang paha Giana.     

Saat ini Sean sangat ingin menghancurkan tangan kanan Yoga. Namun, dia tahu dia tidak bisa melakukannya. Tindakan gegabah hanya akan merugikannya. Masuk penjara hanya karena emosi sesaat bukanlah pilihan yang tepat.     

Sebelum Sean mengatakan apapun, Cahyadi menghampirinya dengan arogan.     

"Sean, buka matamu dan lihat dengan jelas! Dia adik sepupuku, konglomerat generasi ketiga, keluarga Liono dari Banten. Kamu sendiri pernah menjadi presdir sebentar, jadi seharusnya kamu seberapa hebatnya keluarga kami, kan?" kata Cahyadi.     

Yoga menyahut, "Sean, awalnya aku tidak mengenalmu sama sekali dan tidak perlu menindasmu, apalagi membuatmu bangkrut. Tapi, kamu berani-beraninya berkata bahwa kamu suka mempermainkan wanita keluarga Liono. Bukankah menurutmu seharusnya aku menghajarmu karena perkataanmu ini? Hah?!"     

Sean melirik Cahyadi, lalu menjawab, "Aku tidak pernah mengatakan itu."     

Untuk membalaskan dendamnya pada Sean, tampaknya Cahyadi sudah mengatakan banyak hal buruk tentang Sean selama di Banten. Dia sengaja membuat keluarga Liono marah agar keluarga Liono maju melawan Sean.     

Cahyadi merasa gelisah dan segera menunjuk Sean sambil berkata, "Jelas-jelas kamu pernah mengatakannya! Aku mendengarnya dengan telingaku sendiri! Dasar pengecut! Berani berkata, tapi tidak berani mengaku!"     

"Haha! Kamu takut mengakuinya karena sekarang kamu bukan presdir lagi?" tuduh Cahyadi, "Kamu bahkan sudah diusir dari keluarga besarmu! Karena kamu tahu kamu yang sekarang sudah bukan lagi tandingan adik sepupuku, kamu tidak berani menantang keluarga Liono? Kamu ini lelaki atau bukan?!"     

Sean menatap Cahyadi dengan tatapan yang membunuh, "Tidak peduli sebagai seorang gelandangan miskin atau seorang presdir, aku, Sean Yuwono, tidak pernah menyangkal apa yang pernah aku katakan!"     

Yoga jelas tidak bodoh. Dia tahu bahwa ada kemungkinan bahwa perkataan ini memang merupakan karangan Cahyadi belaka. Namun, sekarang Cahyadi berada pihak yang sama dengannya sehingga dia tidak mungkin menyalahkan Cahyadi.     

"Oke. Meski kamu tidak mengatakan itu, bukankah bibiku Lusy Liono sudah menghabiskan satu malam di rumahmu dan menemanimu tidur?!" sahut Yoga, "Beraninya bocah busuk yang belum berusia tiga puluh tahun sepertimu tidak menghormati tetuaku! Apa menurutmu kamu tidak pantas mati, hah?!"     

Sean menjawab dengan dingin, "Bibimu memang bersamaku semalaman, tapi aku tidak tidur dengannya. Aku juga tidak menyuruhnya, tapi dia yang memohon padaku untuk bisa tetap tinggal. Dia sendiri yang menawarkan diri untuk tinggal bersamaku semalaman."     

Cahyadi merasa sangat malu ketika melihat semua orang yang ada di sekitarnya mendengarkan perkataan Sean.     

"Kamu…! Omong kosong! Kamu sudah meniduri ibuku, tapi kamu masih bilang ibuku sendiri yang menawarkan diri?! Aku akan membunuhmu!"     

Cahyadi yang emosi pun menghampiri Sean dengan tinjunya. Namun, bagaimana mungkin tinju orang biasa bisa mengenai Sean?     

Sean dengan mudah mengelak ke samping dan menghindari serangan Cahyadi. Cahyadi tidak puas dan terus memukuli Sean dengan tinjunya. Namun, setelah sepuluh pukulan berturut-turut, tidak ada satu pukulan pun yang bisa mengenai Sean.     

"Ibu, apa yang Paman ini pukul di udara? Nyamuk?"     

"Hahaha…"     

Celetukan seorang gadis berusia empat atau lima tahun itu membuat banyak orang di restoran menertawakan Cahyadi.     

Cahyadi merasa sangat malu dan berhenti meninju. Dia mengambil kursi restoran dan melemparkannya ke arah Sean. Kursi-kursi yang ada di restoran ini merupakan kursi kayu yang memiliki sandaran. Semuanya sangat besar dan berat.     

Sean bisa saja dengan mudah menghindar. Namun, saat ini ada begitu banyak orang dan anak kecil yang makan di restoran ini. Di belakang Sean, ada sekeluarga yang terdiri orang tua dan seorang gadis kecil berusia sekitar lima tahun.     

Jika Sean menghindar, kursi itu akan mengenai gadis kecil itu. Dengan besar dan berat kursi, ditambah dengan kekuatan lemparan Cahyadi, kursi itu pasti akan membentur anak itu dengan keras. Karena itu, Sean tidak menghindar dan menggunakan lengannya untuk menahan kursi itu.     

Brak!     

Kursi itu mengenai tubuh Sean.     

"Ahh!"     

Baru pada saat inilah kerumunan pelanggan yang sedari tadi menonton pertunjukan seru mulai bangkit dari tempat duduk mereka dan berlari keluar dari restoran.     

Brak!     

Dalam kekacauan ini, Cahyadi kembali mengambil kursi kedua dan melemparkannya pada Sean. Namun, Sean terus menahan dengan tubuhnya.     

"Haha! Bajingan ini tidak berani melawan!"     

Yoga tersenyum, mengambil garpu dari meja makan, dan menyembunyikan garpu itu di tangannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.