My wife is a boy

Cari kerja



Cari kerja

0Hari ini terasa begitu menjemukan untuk Bastian. Pemuda itu sama sekali tidak dapat fokus dengan materi kuliah yang baru saja diberikan oleh dosen, beruntung kelas segera berakhir. Bastian masih memikirkan kejadian kemarin di toilet. Saat ia mengatakan dengan penuh percaya diri bahwa dia akan mencari pekerjaan part time untuk membayar tagihan listrik dan air apartemen Radit sesuai omongannya. Sekarang yang jadi masalahnya harus mencari kerja part time dimana dan kerja jadi apa. Ia sama sekali tidak mengerti apapun selain melukis. Mau jual lukisan?, sejauh ini hasil lukisannya masih sampai ditahap belajar. Ia belum pernah menjual lukisannya.Hanya beberapa kali mencoba ikut pameran,  itu pun belum ada pengunjung yang melirik hasil karyanya. Intinya lukisannya belum bisa menghasilkan uang.     
0

Bastian membuang nafasnya gusar, ia sedikit menyesali kenapa harus mengatakan dengan penuh percaya diri kepada Radit bahwa dia akan bekerja part time untuk membayar tagihan listrik dan airnya. Dia tidak mungkin menarik ucapannya lagi. Bagi Bastian pantang untuk lelaki sejati menjilat ludahnya sendiri. Jadi apapun yang terjadi dia harus bisa mendapatkan pekerjaan paruh waktu itu.     

"Ra..." panggil Bastian      

Maura yang sedang sibuk mengemasi buku materi kuliahnya menoleh ke arah Bastian.     

"Bisa bantu gue gak??"     

"Bantu apaan?? Uang bulanan Lo habis sebelum waktunya??"     

"Bukan..."     

"Trus apaan??"     

"Bantu gue cari kerjaan part time dong!"     

"Hah?! kerja??? Lo mau kerja paruh waktu??? Ahahahahhahaha.... Emangnya Lo bisa apa?!"     

Bastian mendengus kesal.     

"Gue minta Lo buat bantu gue, bukan buat ngehina gue. Sialann!!!"     

Maura masih tertawa terpingkal-pingkal.     

"Apa yang gue bilang kan bener. Lo mau kerja part time. Nah kan gue tanya Lo bisa apa emang??. Lagian ada angin apaan sampe-sampe Elo mau cari kerjaan part time hah??"     

Bastian tak langsung menjawab.     

"Kenapa?! Lo ada masalah? Kalah judi Lo hah?!"     

"Gak lah!! Amit-amit.."     

"Trus ngapain Elo nyari kerjaan?!"desak Maura     

"Gue sekarang tinggal bareng Radit."     

"HAAHH??!!!" Maura berteriak kaget.     

Sebagain mahasiswa yang masih ada di dalam kelas menoleh ke arah Maura.     

"Bisa gak sih Lo gak usah teriak!! Bikin malu aja."     

"Elo serius tinggal bareng sama Mas Radit?? di apartementnya?? Kalian udah jadian??"     

"Jadian apa maksud Lo"     

"Trus ngapain Lo tinggal bareng dia??" tanya Maura menyelidik.     

Bastian terdiam. Tidak mungkin kan ia mengatakan pada Maura bahwa ia tinggal di apartemen Radit karena ingin melindungi pria itu dari rencana buruk Vanya. Gadis itu pasti akan banyak bertanya ini dan itu. Dan saat ini dia malas untuk menjelaskannya.     

"Kok malah bengong. Gue tanya sama Elo ngapain tinggal bareng sama Mas Radit. Lo sama Algis sama ya. Seneng banget kalo disuruh kumpul kebo"     

"Kumpul kebo apaan maksud lo Ra??!!" sengit Bastian tak terima.     

Maura nyengir, memamerkan deretan giginya yang putih.     

"Heehehe.... Kan kalo cowok sama cowok tinggal bareng pasti satu kamar. terus kalo satu kamar pasti.... itu kaaan....."     

"Lo itu cewek. Kenapa otak Elo ngeres banget ya Ra!"     

"Mesti berapa kali gue harus bilang. Gue bukan gay. Gue masih nafsu sama cewek paham gak Lo"     

Maura memutar bola mata malas.     

"Serah Lo deh. Trus sekarang kasih tau gue, kenapa Lo mesti kerja part time. Gue yakin banget Mas Radit gak minta Lo buat bayar uang sewa apartemen, kan Elo bininya" kata Maura sambil tergelak.     

"Dia gak minta. Gue aja yang tau diri. Gak mungkin juga gue enak-enak tinggal disana sedangkan dia kerja keras buat menuhi kebutuhan sehari-hari" jelas Bastian.     

Maura mengulum senyum.     

"Jadi ini ceritanya si istri yang lagi cari jalan keluar buat bantu-bantu penghasilan suami... Awwww so sweettttttt!!"     

Maura mengerlingkan mata menggoda Bastian.     

Bastian membuang muka. Malas menanggapi tingkah Maura yang menyebalkan.     

"Mending sekarang Lo pikirin cari lowongan kerja part time buat gue. Tolong tanyain sama temen-temen Lo kali aja ada lowongan buat gue gak"     

"Oke deh kalo ada entar gue kabarin Elo. Kerjaan apa aja Lo mau kan"     

"Asal jadwalnya bisa diatur sama jam kuliah gue Ra"     

"Oke dehhh sipppp!!"     

Maura mengacungkan jari jempolnya. Tanda oke.     

xxxx     

Tepat pukul sembilan malam Panji baru keluar dari kantornya. Hari ini pekerjaannya padat dan sangat menyita waktunya. Begitu banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan hari ini, jika saja kondisi tubuhnya fit seperti biasanya mungkin tidak akan begitu melelahkan seperti hari ini.     

Karena semalam ia kurang tidur, akibatnya stamina tubuhnya menurun ketika bangun pagi harinya. Semua ini karena Algis. Panji benar-benar tidak bisa jauh dari pemuda manis itu. Karena itu malam ini Panji akan menjemput kekasih hatinya, tak sanggup rasanya jika harus menunggu semalam lagi. Dia akan mencoba berbicara pada Pak Prayitno, bahkan dia rela memohon jika diperlukan. Panji melajukan mobilnya cukup kencang ke arah jalan menuju rumah orang tua Algis tak sabar untuk bertemu sang kekasih hati.     

Sesampainya di pelataran rumah orang tua Algis. Panji memarkirkan mobilnya di halaman depan yang tidak terlalu luas namun cukup untuk memarkirkan dua mobil.     

Panji turun dari mobil sedannya lalu berjalan ke arah pintu rumah sambil membawa sekotak kue yang dia beli di tengah perjalanan tadi.     

"ting tong..."     

Panji menekan bel pintu.     

Tak berapa lama pintu terbuka, keluar Bu Ambar dari balik pintu.     

"Lho.. Nak Panji!" seru wanita paruh baya itu yang terkejut dengan kedatangan Panji yang tiba-tiba malam ini.      

Panji tersenyum canggung.     

"Masuk... Masuk Nak Panji.. Kok gak bilang-bilang kalo mau kesini. Nak Panji sudah makan malam belum, ibu siapkan makan malam ya.."     

"Gak usah Bu. Terima kasih,saya sudah makan tadi. Oh ya, ini saya belikan kue di jalan tadi buat Ibu"     

Panji mengulurkan sekotak kue ke arah Bu Ambar.     

"Waduh repot-repot dibelikan kue. Terima kasih lho Nak Panji" ucap Bu Ambar dengan senyum ramah.     

"Silahkan duduk sini. Algis mungkin lagi dibelakang sama Bapaknya, Barusan selesai makan malam"     

"Iya Bu..."     

Panji duduk di sofa ruang tamu. Bu Ambar berjalan ke arah meja makan untuk meletakkan kue yang dibawakan Panji, lalu berjalan ke arah teras belakang memanggil Algis. Di teras belakang ada Pak Prayitno Algis dan Ajeng yang sedang berbincang ringan.     

"Dahulu kala ada sebuah hutan yang dikutuk oleh penyihir jahat, siapa saja yang melintasi hutan itu dan menginjak kodok dia akan mendapatkan jodoh yang buruk rupa" Pak Prayitno mulai bercerita tentang hutan kutukan.     

"Suatu hari ada tiga mahasiswa yang melintasi hutan itu. Namanya Algis, Ajeng, dan satu lagi anggap saja Joni"     

"Kok yang dua pake nama kita berdua sih Pak" protes Ajeng.     

"Biar seru..." Jawab Pak Prayitno santai.     

"Terus Pak..." Algis penasaran.     

"Saat melintasi hutan,dua mahasiswa tidak hati-hati melangkah. Mereka berdua menginjak kodok"     

"Siapa saja yang injak kodok Pak" tanya Ajeng penasaran.     

"Ajeng dan Joni" jawab Pak Prayitno     

Ajeng seketika cemberut. Peran yang memakai namanya menginjak kodok, artinya  Ajeng dalam cerita itu akan mendapat jodoh yang buruk rupa. Lain halnya dengan Algis pemuda manis itu tersenyum senang ketika namanya dalam cerita tidak menginjak kodok.     

"Terus....terus Pak...." Algis makin penasaran.     

Pak Prayitno terseyum tipis.     

"Lalu... Dua tahun kemudian tiga mahasiswa itu berkumpul lagi di suatu pesta, sekalian reuni. Mereka bertiga membawa pasangannya masing-masing. Dan benar saja, jodoh Ajeng dan Joni buruk rupa."     

      

"Wahhhhh... Bapak gak adil..." protes Ajeng lagi tak terima.     

"Terus Pak... Jodoh Algis gimana??" Algis semakin tambah penasaran.     

"Jodoh Algis rupawan donk.. Beda dengan jodoh Ajeng dan Joni karena mereka nginjak kodok jodohnya buruk rupanya"     

Algis senyum senyum senang. Dia jadi membayangkan wajah Panji yang tampan rupawan.     

"Saat mereka berkumpul dengan pasangan masing-masing, si Joni berkata pada Algis" lanjut Pak Prayitno.     

"Ngomong apa si Joni Pak" Ajeng ingin tahu.     

"Joni bilang.. Enak ya kamu Algis, dulu kamu gak nginjak kodok jadi gak kena kutukan. Jodoh kamu cakep. Tapi si Algis diam aja yang jawab justru pasangannya"     

"Pasangannya jawab apa Pak?" tanya Algis sambil senyum-senyum. Masih membayangkan wajah Panji yang menawan.     

"Pasangan Algis bilang.. Algis emang gak nginjak kodok. Yang nginjak kodok itu saya"     

Hening....     

Lima detik kemudian..     

"Bhahuauauua.. hhaaaaa.. hahaaaa "     

Ajeng tertawa terbahak-bahak hingga membungkuk dan memegangi perutnya.     

"Berarti Algis buruk rupa donk... Hahhahaha"     

Ajeng semakin tertawa terpingkal-pingkal. Sedangkan Algis yang baru saja menyadari akan hal itu dia jadi cemberut.     

"Bapak kok gitu.... Bilang Algis buruk rupa"     

"Kan ini Algis dalam cerita bukan Algis Yang ini " Pak Prayitno mengusap rambut hitam Algis.     

"Kalo Algis anak Bapak tentu aja cakep"     

Algis masih cemberut. Tentu saja tidak benar-benar marah.     

"Algis....." Suara Bu Ambar terdengar dari ambang pintu belakang.     

Ketiganya serentak menoleh ke arah Bu Ambar.     

"Ada Nak Panji di depan" kata Bu Ambar memberi tahu.     

Algis menoleh ke arah Pak Prayitno.     

"Pergilah.. Temui Nak Panji. Nanti Bapak nyusul ke depan"     

Algis mengulas senyumnya lalu bangkit berdiri dan berjalan ke arah ruang tamu untuk menemui Panji.     

"Mas...."     

Begitu melihat Algis berdiri didepannya Panji langsung bangkit berdiri dan berhambur memeluk tubuh ramping yang rasanya sudah lama tak pernah ia peluk.     

"Aku kangen.." Bisik Panji.     

Panji semakin erat memeluk tubuh ramping itu.     

"Algis kan hanya disini buat beberapa hari Mas..."     

"Gak bisa. Aku gak bisa.. Kita pulang ya..." pinta Panji.     

Algis merenggangkan pelukan Panji. Pemuda manis itu menatap wajah Panji yang terlihat kusut. Ada lingkaran hitam pada kedua mata pria kesayangannya itu.     

"Mas gak tidur ya..."     

"Aku gak bisa tidur kalo gak ada kamu Gis.."     

Algis mendesah pelan. Sebenarnya dirinya pun tak jauh berbeda dengan Panji. Dia juga sangat merindukan Panji, dia juga susah tidur semalam.     

"Ehem..ehem.."     

Suara deheman Pak Prayitno mengejutkan Panji dan Algis. Mereka berdua langsung duduk bersebelahan di sofa.     

"Maaf Pak malam-malam saya kemari"     

"Iya...tidak apa-apa Nak Panji" jawab Pak Prayitno tenang.     

"Malam ini saya ingin jemput Algis Pak, saya ingin membawa Algis pulang ke rumah orang tua saya"     

Pak Prayitno tidak segera menjawab. Pria paruh baya itu tetap tenang.     

"Nak Panji...." Pak Prayitno mulai bersuara.     

"Dulu... Saya menyetujui perjodohan Nak Panji dengan putri saya, tapi ternyata kalian berdua benar-benar tidak bisa bersama. Dan sekarang Nak Panji justru memlilih Algis anak laki-laki saya"     

"Sebagai orang tua saya hanya bisa mengingatkan. Jalan yang kalian berdua pilih tidak akan mudah, akan banyak halangan dan rintangan yang tidak perlu saya jelaskan. Saya yakin Nak Panji pasti tau konsekuensi yang harus kalian tanggung setelah ini. Saya hanya berharap Nak Panji bisa melindungi Algis. Jangan sampai Nak Panji membuat Algis menyesali akan pilihannya"      

Panji menggegam tangan Algis erat.     

"Saya akan buktikan Pak, jika saya bisa membahagiakan Algis. Saya akan selalu melindungi dia" kata Panji tegas tak ada keraguan dalam nada bicaranya.     

Pak Prayitno menarik nafas panjang. Sang kepala rumah tangga itu berharap Panji benar-benar akan membuktikan kata-katanya. Karena jika sampai Algis tidak bahagia maka dia sendirilah yang akan menyesal telah membiarkan Algis memilih Panji sebagai pasangannya.     

"Tapi saya tidak mau jika anak saya diboyong ke rumah Nak Panji tanpa ada ikatan yang jelas"     

Panji tertegun. Mencerna kalimat Pak Prayitno.     

"Bapak ingin saya menikahi Algis??" Tanya Panji dengan wajah penasaran.     

"Setidaknya anak dan calon cucu saya punya status yang jelas secara hukum"     

Hampir saja Panji melompat girang saat mendengar apa yang dikatakan Pak Prayitno. Panji memeluk Algis bahagia.     

Pak Prayitno terseyum melihat rona bahagia pada wajah Panji dan putra kesayangannya. Semoga saja keputusan untuk merestui Panji dan Algis adalah keputusan yang tepat untuk Algis dan untuk keluarganya. Seperti yang dikatakan oleh istrinya, ini semua demi untuk kebahagian Algis. Jika kelak orang lain menghina dan merendahkan Algis, ada mereka sebagai orang tua yang akan selalu melindungi, mendukung dan menguatkan anaknya. Pak Prayitno tidak membenarkan pilihan Algis dia hanya tidak meninggalkan Algis karena pilihan hidupnya.     

"Ada 23 negara yang bisa melegalkan kalian berdua. Aku sarankan Australia saja. Bawa kami semua pergi ke sana sekalian liburan gratis..ya kan Pak..." kata Ajeng ikut menimpali pembicaraan mereka.     

Gadis itu berjalan dari arah belakang, diikuti Bu Ambar yang berjalan dibelakangnya.     

"Ajeng. Gak boleh ngatur-ngatur gitu, gak sopan." ucap Pak Prayitno mengingatkan     

"Ini bukan ngatur Pak..ini usul kok.."     

Panji menatap kesal ke arah Ajeng. Gadis ini selalu saja menyela pembicaraannya dengan Pak Prayitno. Untung saja dia tidak pernah tertarik pada gadis ini meskipun wajahnya sama persis dengan Algis. Tapi punya kepribadian yang sangat menyebalkan.     

Ajeng menyusul duduk disamping Pak Prayitno, begitu juga dengan Bu Ambar. Wanita itu juga ikut duduk bergabung dengan yang lainnya setelah menyajikan potongan kue di atas meja.     

"Ibu bikin kue? Kapan?" tanya Algis saat melihat potongan kue di atas piring.      

"Gak bikin. Ini tadi Nak Panji yang bawakan" jawba Bu Ambar menjelaskan.     

Algis yang belakangan ini nafsu makannya meningkat, matanya berbinar senang menatap potongan kue yang terlihat menggiurkan dan enak. Algis mengambil satu potongan kue itu lalu memakan kue itu dengan lahapnya. Tak cukup satu, Algis mengambil satu lagi dan memakannya. Mulutnya yang mungil penuh dengan kue yang ia lahap.     

"Algis... Pelan-pelan makannya, nanti keselek loh" kata Bu Ambar mengingatkan.     

Semua orang yang ada di ruang tamu melihat heran ke arah Algis yang melahap kue seperti orang yang kelaparan.     

"Mas beli dimana kuenya? Nanti belikan lagi ya.."     

"Iya.. Nanti kita pulang, mampir beli lagi"     

Panji mengusap sisa kue di sudut bibir Algis.     

"Yang rasa keju kayak gini ya Mas..."     

"Iya..."     

"Kalo tokonya udah tutup gimana Mas, kan udah malam."     

"Aku akan suruh pemiliknya buat bukain lagi"     

"Mas kenal sama pemiliknya??"     

"Enggak..."     

"Kalo Mas Panji gak kenal, gimana mau suruh dia bukain tokonya Mas..."     

"Asal itu mau kamu aku bisa lakuin apapun Gis."     

"Gombal..." Algis memukul pelan lengan Panji.     

Mereka berdua seperti tidak menyadari ada tiga orang menyaksikan interaksi antara mereka berdua.      

Bersambung.....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.