My wife is a boy

Jujur pada bapak ibu



Jujur pada bapak ibu

0Panji menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidurnya. Satu tangan kokohnya memeluk tubuh ramping Algis yang terlelap tidur di dalam pelukannya. Sedangkan tangannya yang lain membelai surai hitam Algis dengan lembut. Panji memandangi wajah tenang Algis lekat-lekat, setelah kejadian hari ini rasa sayangnya terhadap pemuda manis itu bertambah berkali-kali lipat.     
0

Panji mampu mendaki gunung Everest jika itu syarat untuk membuktikan rasa sayangnya terhadap Algis. Tapi Panji yakin Algis tidak akan meminta syarat seperti itu. Dia tau Algis juga sama, sangat menyayangi dirinya. Jangankan ditinggal untuk mendaki gunung Everest, terlambat pulang kerja saja Algis tidak akan berhenti mengiriminya pesan. "Mas...kok belum pulang" "Mas...lagi di mana?" "Mas... hati-hati di jalan" dan masih banyak Mas.... lainnya.     

Panji tersenyum geli jika mengingat sisi lain kekasihnya itu. Semakin hari semakin menggemaskan. Panji mengecup kening Algis sebelum pria itu turun dari atas tempat tidur. lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh Algis hingga batas dadanya. Ia lalu mengambil tempat air minum berbahan gelas diatas nakas meja dekat tempat tidur.     

Perlahan Panji keluar dari kamar dan menutup pintu sepelan mungkin agar tidak menggangu tidur Algis. Panji turun ke lantai bawah, berjalan ke arah dapur untuk mengambil air minum. Sudah menjadi kebiasaan Panji sejak Algis tidur bersamanya untuk menyiapkan air minum di kamar. Si manis itu sering terbangun tengah malam untuk minum.     

Sebelum Panji Sampai di dapur, langkahnya terhenti saat ia mendengar suara Pak Suryadi memanggil nya.     

"Ji...."     

Panji menoleh ke arah pria paruh baya yang sedang duduk menyilangkan kakinya di ruang tengah.     

"Bisa kita bicara sebentar" tanya Pak Suryadi.     

Panji membatalkan niatnya untuk ke dapur. Ia berjalan menghampiri pak Suryadi lalu duduk berhadapan dengan Papanya itu. Sesaat suasana menjadi hening. Panji menunggu apa yang ingin disampaikan oleh Papanya yang tak kunjung bicara. Pria itu justru menyibukkan diri dengan mengganti-ganti channel tv.     

Merasa tak ada acara tv yang menarik, Pak Suryadi menekan tombol volume pada remote control untuk mengecilkan suara tv.     

"Bagaimana, apa Algis masih shock"     

Akhirnya Pak Suryadi bersuara.     

"Dia lebih tenang sekarang Pa" jawab Panji tenang.     

Panji itu tipikal pria tenang, tidak banyak bicara jika tidak penting, cenderung bersikap dingin datar tanpa ekspresi pada orang sekitarnya sekalipun didepan kedua orangtuanya. Karna sifatnya itulah Panji kerap dianggap pria angkuh. Tetapi semua itu tidak berlaku jika ia berada di dekat Algis. Jika bersama Algis Panji berubah menjadi pria yang dewasa yang hangat,dan melindungi. Bahkan Panji bisa tersenyum dan tertawa lepas. Semua sisi lain Panji itu hanya ia tunjukan pada Algis seorang.     

"Apa yang akan kamu lakukan setelah ini Ji?" tanya Pak Suryadi.     

"Hubungan kalian sudah sejauh ini, sudah waktunya kamu menemui orang tua Algis dan mengatakan tentang hubungan kalian berdua"     

"Panji akan cari waktu yang tepat untuk menemui mereka"     

"Bagaimana kamu akan menjelaskan pada mereka??apa kamu akan mengatakan kamu meniduri anak laki-laki mereka dan menghamilinya??"     

"Lalu apa lagi? Memang harus bicara seperti itu kan Pa"     

Pak Suryadi mendesah berat.     

"Ji...Papa Mama bisa mengerti pilihanmu, bisa mengerti tentang hubungan kalian berdua sekalipun kamu tidak pernah mengatakannya secara langsung. Tapi belum tentu orang tua Algis bisa menerima semua ini" jelas Pak Suryadi.     

"Pertama kamu membawa Algis ke rumah ini. Lalu kamu membatalkan pernikahanmu dengan Ajeng. Lalu karena kecerobohan mu Algis mengalami kecelakaan dan sekarang dia hamil. Jika Papa ini orang tua Algis, kamu Pasti berakhir dijalanan" lanjut Pak Suryadi.     

Pria Paruh baya itu memberi pengertian anak semata wayangnya untuk memikirkan hal yang terburuk jika ia jujur pada kedua orang tua Algis.     

"Apa yang bisa mereka lakukan kalo anaknya sudah terlanjur hamil" sahut Panji dengan ekpresi santai.     

Pak Suryadi memijit pangkal hidungnya, kepalanya mulai pusing jika beradu argumen dengan Panji.     

"Tentukan waktu dan harinya segera. Kita harus datang ke rumah orang tua Algis untuk memberitahu keadaan Algis yang sekarang ini" kata Pak Suryadi bernada memerintah.     

"Panji harus bicara pada Algis dulu Pa. Selama ini Panji diam bukan karna Panji takut untuk memberitahu. Tapi karena Algis yang merasa belum siap untuk itu"     

"Kalo sudah begini siap gak siap kalian berdua harus siap. Perut Algis makin lama makin membesar. Lagian Papa ini masih gak habis pikir apa yang kamu lakukan sampai Algis hamil. Sedangakan para gadis di luar sana tak satu pun datang kemari minta pertanggung jawaban kamu"     

"Tentu saja adegan dewasa 21++" jawab Panji enteng sebelum ia bangkit dari duduknya untuk mengakhiri pembicaraan dengan Pak Suryadi.     

Panji lalu berjalan ke arah dapur melanjutkan rencana awalnya tadi untuk mengambil air minum. Entah pertanyaan Pak Suryadi yang salah atau jawaban Panji yang terlalu vulgar. Yang jelas Pak Suryadi hanya bisa mengelus dada menanggapi jawaban anak satu-satunya itu.     

Selang beberapa hari kemudian. Panji dan Algis memutuskan untuk datang ke rumah orang tua Algis. Apa yang dikatakan Papa Panji ada benarnya juga cepat atau lambat orang tua Algis harus mengetahui keadaan dirinya saat ini. Ya, sekalipun di dalam hati Algis belum benar-benar yakin untuk jujur pada Bapak dan Ibunya. Masih ada rasa ragu dan takut. Ia takut jika kedua orangtuanya akan kecewa dan sedih mendengar kabar hubungannya dengan Panji dan juga kondisinya saat ini yang sedang hamil.     

"Mas...apa harus hari ini" tanya Algis dengan wajah gelisah.     

Pemuda manis itu duduk di tepi tempat tidur. Mata bulatnya mengikuti arah gerak tubuh Panji yang sedang mengenakan kemeja.     

"Mau hari ini atau besok sama saja Gis"     

"Tapi Algis takut Mas.. Kalo Bapak Ibu kecewa sama Algis gimana?"     

Panji selesai mengenakan kemejanya. Pria itu lalu mendekati Algis dan duduk di sisinya. Tangan besar Panji meraih tangan si manis lalu menggegamnya erat.     

"Jangan takut, kita hadapi berdua. Kecewa pasti iya. Tapi aku yakin Bapak dan Ibu bisa menerima hubungan kita berdua"     

Panji menyisir poni rambut Algis dengan jemarinya.     

"Kamu bisa tumbuh jadi orang yang sangat baik seperti ini pasti karna Bapak dan Ibu. Jadi aku yakin Bapak dan Ibu pasti punya hati sebaik kamu Gis"     

"Mereka akan menerima hubungan kita berdua, apalagi sudah ada calon si kecil disini" Panji meraba perut Algis lembut.     

Mendengar kata-kata itu ada rasa bahagia di hati Algis namun ada juga rasa geli menggelitik. Kalimat seperti itu harusnya antara seorang pria dengan istrinya yang sedang mengandung. Bukan antara dua pria dewasa dengan gender yang sama. Namun mau bagaimana lagi, Algis harus bisa menerima keadaanya. Bukankah bagus jika ada benih orang yang kita cintai tumbuh di dalam tubuh kita. Si manis memandang ke arah mata Panji, tak nampak ada keraguan di sana. Meskipun takut, jika ada Panji di sisinya Algis akan merasa tenang dan baik-baik saja.     

"Kamu udah siap kan, Papa dan Mama pasti udah nungguin kita di bawah"     

Algis menganggukkan kepala.     

Dan benar saja, ketika Panji dan Algis keluar kamar dan turun ke lantai bawah tepatnya di ruang tamu. Pak Suryadi dan Bu Rina sudah menunggu mereka berdua cukup lama.     

Bu Rina bergegas berdiri ketika wanita yang masih terlihat cantik itu melihat Algis berjalan di belakang Panji.     

"Sayang...kok lama banget, kenapa??kamu mual mual lagi ya" khawatir Bu Rina.     

"Gak Ma...Pagi ini gak mual kok"     

"Calon cucu Eyang Putri emang pinter, tau kalo mau di ajak ke rumah Kakek dan Neneknya..." kata Bu Rina dengan wajah berseri sambil mengusap-usap perut Algis.     

Algis harus mulai terbiasa dengan kalimat-kalimat seperti ini. Lupakan jika ia seorang laki-laki. Faktanya dia sedang mengandung anak Panji sang pewaris tunggal salah satu jaringan hotel dan resort terbesar di negara ini.     

"Gis, nanti setelah dari rumah orang tua kamu kita belanja ya. Mama mau belanja semua kebutuhan si kecil.. trus kamar didepan kalian itu mau Mama renovasi jadi kamar si kecil, Mama juga udah liat-liat katalog desain kamar bayinya kamu pasti suka Gis" kata Bu Rina bersemangat     

"Ma.... Usia kandungan Algis kan masih satu bulan. Apa gak terlalu berlebihan"     

"Enggak sayang... pokoknya Mama mau yang terbaik buat cucu Mama. Oh ya...kita juga harus adain syukuran kalo usia kandungan kamu udah tiga bulan. Mama mau semua moment kehamilan mu harus diabadikan harus di foto sama fotografer itu...siapa ya..."     

Bu Rina tampak berusaha mengingat.     

"Siapa sih Pa, yang foto resepsi pernikahan Panji Algis waktu itu"     

"Salah satu fotografer freelance agency model kenalan Papa" jawab Pak Suryadi yang juga tak bisa mengingat nama si fotografer.     

"Iyaaa...itu. Pokoknya Papa harus hubungi orang itu lagi"     

"Iya Ma iya. Tapi sekarang kita jangan bahas itu dulu, sudah siang kita harus berangkat ke rumah Algis"     

"Syukurannya undang orang-orang terdekat kita aja ya Pa.."     

"Iya Ma.."     

"Keluarga dari Melbourne juga harus datang Pa"     

"Iya Mama..... Aaaaaa cukup! ayo berangkat sekarang"     

Sangat bersemangat antusias dan lebih bahagia dari kedua orang tua calon si bayi. Itulah gambaran yang tepat untuk Bu Rina saat ini. Dan sang suami Pak Suryadi bisa mengerti, mungkin istrinya sedang menebus masa-masa ia hamil Panji dahulu ketika mereka harus berjuang keras menata hidup dan berkarir untuk menjadi seperti sekarang ini.     

Jauh dari keluarga, membuat Bu Rina tidak bisa merasakan kasih sayang orang tua. Tidak tau bagaimana rasanya diperhatikan oleh kedua orang tua ketika sedang mengandung untuk  pertama kalinya. Semua ia lewati hanya berdua dengan suaminya yang saat itu juga menghabiskan waktunya lebih banyak untuk bekerja.     

Oleh karena itu ketika mendengar kabar Algis hamil Bu Rina sangat bahagia luar biasa. Awalnya dia mengubur impiannya untuk menimang cucu dari Panji anak satu-satunya saat menyadari kedekatan Panji dan Algis. Akan tetapi sekarang Tuhan memberinya kesempatan untuk mencurahkan kasih sayangnya pada Algis dan calon cucunya. Wanita itu akan memberikan yang terbaik buat Algis dan calon cucunya. Sekeluarga itu akhirnya meninggalkan rumah besar bak istana milik Pak Suryadi. Panji mengendarai mobilnya sendiri dengan Algis. Sedangkan Pak Suryadi dan Bu Rina menggunakan mobil lainya yang dikendarai oleh Pak Tori supir mereka. Kedua mobil itu melaju beriringan menuju rumah keluarga Algis.     

Sesampainya di rumah orang tua Algis, mereka berempat disambut ramah oleh Bu Ambar dan Pak Prayitno. Ibu Ambar bahkan menyibukkan diri di dapur untuk menyiapkan beberapa hidangan makan siang di meja makan dan juga kue yang sudah di sajikan rapi di atas meja ruang tamu sebelum Panji dan keluarganya datang. Untung saja Algis memberi kabar ibunya, bahwa weekend ini Panji dan kedua orangtuanya akan datang berkunjung ke rumah. Jadi Bu Ambar punya waktu untuk mempersiapkan segalanya.     

Dan sebenarnya Pak Prayitno bertanya-tanya dalam hati. Ada hal apa yang terjadi sampai-sampai membuat atasannya itu berkunjung langsung ke rumahnya bersama anak dan istrinya. Tapi apapun alasannya buat Pak Prayitno ini adalah satu kehormatan, seorang bos besar mau berkunjung ke rumah karyawannya.     

"Silahkan Pak.. Mari silahkan kita makan siang dulu. Ini sudah waktunya makan siang"     

"Mari..Bu Rina, Nak Panji silahkan nikmati hidangan makan siang sederhana buatan Istri saya"     

Pak Prayitno mengarahkan Pak Suryadi dan yang lain ke arah meja makan. Dengan sangat sopan dan ramah.     

"Kok jadi merpotkan gini ya Pak, harusnya tidak perlu repot-repot seperti ini" kata Pak Suryadi mulai tidak enak hati dengan semua sikap baik Pak Prayitno.     

"Gak repotin kok Pak, dibandingkan Bapak dan Ibu serta Nak Panji yang sudah merawat Algis selama ini. Ini tidaklah seberapa"     

Seketika Pak Suryadi dan Bu Rina saling pandang. Wajah kedua orang itu mulai menunjukan rasa bersalah.     

"Algis gak ngerepotin kan Nak Panji?" kali ini Bu Ambar yang bicara.     

"Ehmmm..tidak Bu.." jawab Panji dengan wajah tenang.     

Bu Ambar tersenyum seraya memandang ke arah Panji dan Algis secara bergantian.     

"Ada apa ini Gis... Apa orang tua Panji akan melamar mu" bisik Ajeng di telinga Algis.     

Gadis cantik bersurai panjang itu sengaja membatalkan jadwal pemotretannya hari ini untuk ikut berkumpul dengan kedua keluarga.     

Algis menolehkan kepalanya ke arah sisi kiri. Ke arah dimana kakaknya berdiri.     

"Gak gitu kak"     

"Lalu??"     

Algis tak menjawab. Dipandanginya wajah kakaknya itu. Wajah yang sangat mirip dengannya. Kakaknya terlihat makin bersinar, wajahnya makin cantik, karirnya sebagai model makin cemerlang dan juga pendidikan akademinya tetap berjalan dengan baik dan bagus.     

Algis kemudian memandang dirinya sendiri. Lihatlah dirinya, sering cuti kuliah, ketinggalan banyak materi dan tugas kuliah. Apalagi sekarang dia sedang hamil seperti seorang perempuan. Apa yang akan ia lakukan setelah ini, menjalani hari-hari dengan perut yang semakin membesar. Jika orang lain tau ia pasti akan jadi buruan empuk awak media dan ia akan dianggap manusia aneh.     

Tapi bukankah di satu sisi dia juga beruntung. Dia bisa hidup bersama dengan orang yang sangat ia cintai, Dia di sayangi oleh kedua orang tua Panji, bahkan semua pelayan pun juga menyayangi dirinya. Ditambah juga dia dikaruniai kemampuan yang special karena mampu mengandung, ia bisa memberi keturunan untuk Panji bukankah itu sebuah anugerah. Ia tak perlu cemas dan merasa bersalah karena membuat Panji tidak memiliki anak jika memilih hidup dengannya. Bukankah dia juga bahagia dengan jalannya. Tanpa sadar Algis mengusap perut datarnya, ia jadi merasa bersalah pada calon bayi dalam perutnya.     

kedua keluarga duduk di kursi masing-masing. Mereka menikmati makan siang itu dengan kidmat. Bu Ambar sangat pandai memasak meskipun hanyalah sebuah masakan sederhana, tapi Pak Suryadi beserta istrinya tampak menikmatinya dan makan dengan lahap.     

"Gis.. Ini Ibu masakin buat kamu. Kok gak di makan" Bu Ambar mendorong piring berisi toge dan tahu putih yang ditumis pedas ke arah Algis.     

Melihat toge. Algis mendadak begidik tak suka.     

"Gak mau Bu.." kata Algis sambil menggeleng tak suka.     

Bu Ambar mengerutkan kening heran. Begitupun dengan Pak Prayitno dan Ajeng. Mereka sangat tau itu merupakan sayur kesukaan Algis. Sejak kapan Algis tidak suka??.     

"Lho kok tumben, sejak kapan Kamu gak suka tumis pedas toge dan tahu Gis" heran Bu Ambar.     

"Mungkin karena Algis sudah terbiasa masakan di rumah Bu. Algis lama gak makan tumis toge, mungkin itu yang bikin dia jadi gak suka" kata Panji memberi alasan.     

Sebenarnya dia juga heran sejak kapan Algis gak suka tumis toge. Bukanya Bi Inah sebelumnya kerap memasak itu untuknya. Bukankah dirinyalah yang tidak suka toge.     

"Mas..Algis mau itu" suara Algis terdengar merengek dan manja.     

Jari lentiknya menunjuk ke arah ayam goreng diatas piring bulat. Warnanya yang kuning keemasan membuat Algis tergiur untuk menggigit ayam goreng itu.     

Kali ini Pak Prayitno yang tertgun heran.     

"Gis....bisa minta tolong sama ibu" kata Pak Prayitno.     

Menurut laki-laki itu, tidak sopan jika Algis merengek seperti itu pada Panji. Jika hal itu Algis lakukan pada ibu atau kakaknya itu hal yang wajar.Tapi tidak pada Panji.Terdengar aneh dan tidak sopan untuknya.     

"Belakangan ini Algis memang jadi pemilih makanan dan juga manja, itu karena dia sedang....."     

"Ma....." Eram Pak Suryadi memberi kode Bu Rina untuk tidak melanjutkan kata-katanya.     

"Ehhhh...hehehe. Saya juga mau ayam gorengnya sepertinya enak...hehe..."     

Bu Rina jadi salah tingkah dan tersenyum canggung.     

Walau suasana makan siang sempat canggung tapi kedua keluarga akhirnya bisa makan siang bersama dengan damai. Susana kekeluargaan yang begitu hangat terasa begitu kental.     

Selesai menikmati makan siang keluarga, mereka berkumpul di ruang tamu. Mereka berbincang ringan sambil menikmati cookies buatan Bu Ambar.     

Meskipun terlihat tenang tapi di dalam hati Panji merasakan gugup. Pikirannya sedang sibuk mencari kata yang tepat untuk membuka pembicaraan tentang hubungannya dengan Algis.     

"Huehmm...." Panji berdehem.     

Mencoba mengalihkan perhatian semua orang kepadanya. Menghadapi pesaing bisnis saja Panji tidak pernah takut atau gugup sedikitpun. Tapi sekarang Panji Merasakan gugup luar biasa.     

"Pak...ada yang ingin saya bicarakan dengan Bapak dan Ibu"     

Pak Prayitno memandang ke arah Panji.     

Begitupun dengan yang lainnya. Mereka melihat ke arah Panji dan menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya. Kecuali Algis. Pemuda manis itu duduk di samping Panji dengan wajah tertunduk.     

"Ada apa Nak Panji kok sepertinya serius sekali" tanya Pak Prayitno     

Panji terdiam ia mengatur posisi duduknya untuk lebih nyaman.     

"Begini Pak..sebenarnya saya...." Panji Ragu.     

Pria itu tidak menyangka jika berbicara jujur dengan Pak Prayitno tidak semudah seperti yang ia bayangkan. Rasanya lebih baik menghadapi para pesaing bisnisnya dari pada menghadapi calon mertuanya.     

"Nak Panji ada apa?"     

"Pak...Saya..,saya dan Algis..."     

"Sebenernya Saya..."     

Tak jauh dari Panji, Pak Suryadi dan Bu Rina gemas melihat Panji mendadak seperti kehilangan semua kecerdasan dan rasa percaya dirinya.     

"Mas..." Lirih Algis sambil menggegam tangan Panji.     

Mereka berdua saling pandang sejenak. Algis menatap ke arah Panji, sorot matanya seakan mengumpulkan keberanian Panji yang entah hilang kemana.     

"PAK SEBENARNYA ALGIS SEDANG HAMIL" Kata Panji dengan satu tarikan nafas.     

"....."     

Sunyi...     

Bersambung....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.