My wife is a boy

Ingin makan soto



Ingin makan soto

0Sebuah mobil sedan warna hitam berhenti tepat di halaman kampus, di dalamnya terdapat Panji yang sedang menunggu Algis keluar dari kelasnya. Pria itu gelisah semenjak berada di kantor, ia sengaja secepat kilat menyelesaikan semua pekerjaannya hari ini agar dapat pulang lebih awal. Ia kepikiran keadaan Algis sejak pagi, sekalipun Algis sudah membalas pesannya dan mengatakan ia baik-baik saja. Panji tetap saja khawatir ia sangat takut kalo Algis sakit.     
0

Panji melepaskan sabuk pengamannya dan langsung membuka pintu mobilnya ketika melihat sosok Algis berjalan bertiga di apit oleh kedua sahabatnya. Mereka terlihat bersendau gurau, tertawa senang entah apa yang mereka tertawakan. Pantas saja jika Algis merengek setiap hari ingin kembali kuliah. Saat kuliah kekasihnya itu bisa bertemu dengan kedua sahabatnya dan juga melanjutkan pendidikannya. Maafkan Panji jika ia sempat egois dengan melarang si manis keluar dari rumah.     

Algis tersenyum senang ketika melihat Panji yang sudah menunggunya. Kaki jenjangnya berlari kecil menghampiri pria kesayangannya itu.     

"Udah dari tadi Mas?" tanya si manis saat ia sudah berdiri tepat dihadapan Panji.     

Tanpa memperdulikan sekitar Panji meraih pinggang Algis dan memeluk tubuh ramping itu.     

"Aku khawatir banget, kamu gak apa-apa kan. Apa masih gak enak badan" Panji balik bertanya.     

"Mas ihh...lepasin, ini di depan kampus banyak yang liat"     

Panji melepas pelukannya saat menyadari banyak pasang mata yang melihat ke arah mereka berdua.     

"Tapi kamu gak apa-apa kan"     

"Algis baik-baik aja Mas.."     

"Kita mampir ke dokter dulu ya, kamu harus periksa. Aku gak mau kamu sakit Gis"     

"Enggak usah Mas, Algis udah baikan kok"     

Panji membuka pintu mobilnya, meminta Algis untuk segera masuk kedalam mobil. Sebelum masuk mobil Algis menoleh ke arah dua sahabatnya yang ada di belakangnya.     

"Bas, Ra....Algis duluan ya"     

"Oke..." Jawab Maura.     

Tak lama setelah itu mobil Panji perlahan berjalan meninggalkan halaman kampus. Tinggalah Maura dan Bastian.     

"Noh....tuh, Laki Lo juga udah jemput"     

Kata Maura sambil menunjuk sebuah mobil merah yang baru saja datang mendekat ke arah mereka berdua.     

"Tin tin...."     

"Lo beneran gak mau pulang bareng gue nih" tanya Bastian pada Maura. Gadis rambut sebahu itu menggeleng.     

"Gue naik ojek aja, dari pada gue jadi obat nyamuk Lo"     

"Serius Gue Ra.."     

"Iya Gak apa-apa kok, lagian gue juga mau ke toko cari kanvas"     

"Ya udah kalo gitu....Gue duluan ya" Bastian melambaikan tangan. Maura membalas lambaian tangan sahabatnya dan melangkah pergi. Bastian membuka pintu mobil depan lalu masuk ke dalam mobil. Tak lama mobil mulai melaju.     

"Mau pulang kemana yank.." tanya Radit tanpa menoleh ke arah pemuda di sampingnya.     

"Pulang ke rumah gue lah"     

"Nginep di apartement aja ya"     

"Ogah.."     

"Weekendnya masih lama lho yank..." bujuk Radit.     

"Sepi kalo gak ada Lo" lanjut Radit.     

Bastian terdiam. Dia terngiang kata-kata Vanya. Bisa saja kan Vanya datang ke apartemennya Radit ketika dia tidak ada. Dan melancarkan rencana kejinya itu. Bastian jadi membayangkan Radit dan Vanya berakhir di tempat tidur, lalu mereka....dan Vanya akan hamil, mereka menikah. Dan dipastikan Radit akan meninggalkannya.     

"Gak boleh!!!!" Teriak Bastian tiba-tiba.     

Radit terkejut, ia sempat menginjak rem tak sengaja karna terkejut.     

"Iya baby.....gak maksa kok, tapi jangan teriak-teriak gitu. Kaget yangg..."     

"Gue pulang ke apartement Lo, nginep! Gak..gak..bukan nginep. Gue pindah tinggal di apartement Lo mulai hari ini" kata Bastain lancar yakin mantap.     

"Ciiitttttttt " suara decitan ban mobil dengan aspal jalan.     

Radit ngerem mendadak lagi karna terlalu terkejut dengan ucapan pemuda berkulit putih di sampingnya.     

"Apa yank?? ulangi lagi yank....tadi kurang jelas" kata Radit gugup bercampur rasa senang.     

"Gue tinggal sama Lo mulai hari ini, beban gak" ulang Bastian pelan dan sedikit ragu.     

Seketika Radit melepas sabuk pengamannya lalu berhambur memeluk tubuh yang sama besarnya dengan dirinya.     

"Tinggal seumur hidup pun Lo gak akan pernah jadi beban Gue yangggggg...."     

"Ihhhhh!!!...Lepasin jangan peluk-peluk gue" ronta Bastian.     

"Kalo peluk gak boleh berarti cium boleh dong yangg..."     

Radit mencium singkat bibir tipis Bastian.     

"HEEHH!.... kenapa Lo selalu nyuri cium-cium bibir Gue"     

Bastian memukuli punggung Radit.     

"Aduhhh sakit....iya.. iya....ampun yaangg"     

Tak mengapa Radit dipukuli dan diumpati setiap hari yang penting Bastian bisa hidup bersamanya sampai batas waktu yang entah Radit tak tau. Yang pasti selagi raganya masih bernafas dia akan memastikan Bastian selalu tetap berada di sisinya.     

Panji melajukan mobilnya membelah jalan raya. Hari mulai sore, jalan mulai dipadati kendaraan bermotor. Panji berusaha mendahuli setiap mobil yang ada di depannya berharap bisa sampai rumah dengan segera. Supaya Algis bisa cepat istirahat. Tapi sepertinya keinginannya tidak akan terwujud karna di depan sana mobil berhenti berderet, jalanan macet total.     

"Ada apa sih kok macet" keluh Panji.     

matanya menatap lurus ke depan. Mencari tau ada hal apa di depan sana hingga membuat lalu lintas macet. Panji mengikuti arahan polisi lalu lintas yang mengarahkan sebagian mobil ke jalan alternatif untuk mengurangi kemacetan.     

Untuk menghindari kemacetan terpaksa Panji memutar arah, memilih jalur yang tidak biasa ia lewati daripada terjebak macet berjam-jam lebih baik melewati jalan lainnya. Meskipun menjadi lebih jauh untuk menuju ke arah rumahnya.     

Panji mengurangi kecepatan mobilnya saat melintasi jalan yang banyak dilalui pejalan kaki dan kendaraan motor. Berderet-deret tenda biru penjaja makanan kuliner yang mulai buka di sore hari hingga malam tiba. Kecepatan mobil Panji semakin berkurang bahkan berhenti sesaat saat semakin banyak pejalan kaki dan kendaran motor melintasi area itu. Mobil sedan Panji berhenti tepat di depan sebuah tenda biru dengan spanduk SOTO LAMONGAN.     

Mata Bulat Algis melihat ke arah tenda biru itu, ia cepat menurunkan kaca mobil. Matanya tak berkedip melihat kedua orang di dalam tenda biru itu yang sedang menyantap soto di mangkuk dengan uap panas masih mengepul dari kuah soto. Tiba-tiba saja Algis ingin sekali makan soto, membayangkan kuah kental dengan rasa gurih pedas kuah soto membuat Algis semakin ingin turun dan memesan satu mangkok.     

"Mas...Algis mau turun ya"     

"Mau ngapain?"     

"Algis mau beli soto itu Mas" tunjuk Algis ke arah tenda biru.     

"Gak usah Gis, kok beli makanan di pinggir jalan. Nanti saja Bi Inah suruh bikin"     

"Tapi Algis mau itu dan Algis maunya sekarang Mas"     

"Gis...kamu lagi gak enak badan kan, jangan makan sembarangan. Bisa aja itu yang jual gak bersih"     

"Mas....gak apa-apa. Algis udah biasa jajan di pinggir jalan sama Bastian dan Maura"     

"Gak bisa" Final Panji.     

Pria itu mulai melajukan mobilnya, meninggalkan tenda penjual soto yang di inginkan Algis.     

"Mas..pleassssseeee...Algis mau soto" rengek si manis.     

"Iyaa nanti di rumah aja Gis, Bi Inah yang bikin nanti"     

"Gak mau!!..Algis mau yang di tempat itu" Algis masih menoleh ke belakang memandangi tenda biru yang semakin terlihat jauh.     

"Mas Panji pelitttttttttt" kesal Algis.     

Untuk pertama kalinya Algis merasa kesal. Sangat kesal terhadap sikap Panji yang melarangnya. Biasanya ia tak masalah dilarang ini dan itu oleh Panji, Algis tau semua Panji lakukan karna pria itu ingin menjaganya dan terlalu menyayanginya. Algis memaklumi memahami itu. Tapi tidak untuk saat ini, Algis merasa sangat kesal karena Panji melarangnya makan semangkok soto di tenda biru itu. Algis sebal...sebal...sebal.     

Di ruang tengah kediaman Pak Suryadi, Bu Rina sedang berdiskusi penting dengan rekan bisnisnya sekaligus sahabatnya Si desainer kondang Ivan Banawan. Mereka berdua duduk berdampingan menghadap ke sebuah laptop di atas meja.     

"Jeng....nonton ini saja lah, ini bagus lho. Aku udah nonton berkali-kali" ujar pria sedikit melambai itu sambil menunjuk sebuah film berjudul Rainbow Without Colour     

"Gak mau. Itu sad ending. Saya mau cari hiburan bukan cari susah. Bikin film kok sad ending" tolak Bu Rina     

"Nonton ini aja deh" Bu Rina menekan klik pada judul Where Your Eyes Linger.     

"Apaan itu iihh, filmnya ringan banget. Masa kiss-nya cuma nempel doank jeng"     

"Sok tau aah..nonton aja belum"     

"Temanku bilang gitu Jeng"     

"Nonton yang dari Thailand aja deh Jeng" Lanjut pria bertubuh besar yang kerap di panggil Ses Ivan oleh Bu Rina.     

"Kemarin kan udah dari thailand, sekarang yang dari Korea ya"     

"Ya udah deh ikut"     

Baru saja dua orang itu menekan tombol play, mereka dikejutkan kedatangan Panji dan Algis tiba-tiba. Dengan cepat Bu Rina menekan off pada laptop miliknya.     

Melihat ada Bu Rina dan temannya, Algis dan Panji menghentikan langkah mereka untuk menyapa.     

"Mama..." sapa Algis dengan wajah masih kesal.     

"Sayang udah pulang...Loh kenapa kok mukanya ditekuk gitu sayang"     

Algis melirikkan matanya ke arah Panji.     

"Gak apa-apa Ma, Algis pamit ke kamar ya Ma"     

Algis melangkah menapaki anak tangga menuju kamar Panji di lantai dua.     

"Algis kenapa sih Ji...kalian bertengkar?"     

"Mama tolong suruh Bi Inah bikin soto buat Algis ya Ma"     

Panji langsung berjalan cepat menyusul Algis. Tanpa peduli saat Mamanya ingin bicara lagi.     

Rasa kesal Algis belum juga hilang, walau sudah berjam-jam berlalu Algis masih saja cemberut. Ia bahkan tidak mau bicara pada Panji. Si manis masih kepikiran soto tadi, masih membayangkan betapa sedapnya kuah soto di tenda biru tadi. Karna memikirkan itu Algis jadi tidak bisa tidur. melihat itu Panji jadi merasa bersalah. Ia juga tidak tahan jika Algis terus mendiamkannya. Panji heran ada apa dengan kekasihnya ini, tidak biasanya Algis marah lalu mendiamkannya.     

"Gis....liat sini dong" Panji meraih bahu si manis.     

Namun Algis tak bergeming, Ia tetap memiringkan tubuhnya membelakangi Panji.     

"Masih marah ya..."     

Algis masih tetap diam.     

"Mau Algis apa coba...." tanya Panji dengan lembut.     

"Mau soto..." jawab Algis akhirnya.     

"Kan di meja makan tadi udah ada soto Gis, Bi Inah yang bikin"     

"Gak mau! Algis mau yang di tenda tadi"     

Panji mendesah, ia tidak habis pikir kenapa Algis sebegitu inginnya makan soto di tenda biru itu.     

"Ya udah aku belikan"     

Mendengar itu Algis langsung memutar tubuhnya menghadap ke arah Panji. Sekarang mereka sama-sama tidur miring dan saling berhadapan.     

"Beneran...Algis ikut ya Mas"     

"Gak usah di rumah aja, aku yang belikan"     

"Tapi Algis pengen ikut Mas, pengen makan di sana"     

"Ya udah...tapi ganti baju dulu. Pakek baju yang hangat diluar dingin udah malam"     

Algis mengangguk semangat. Mata bulatnya berbinar bahagia.     

"Udah gak marah lagi kan?"     

"Enggak Mas. Kan Mas Panji nurutin mau Algis yang tadi"     

"Pulang dari makan soto gantian, kamu yang nurutin mau aku" kata Panji dengan senyuman menggoda.     

"Kan kemarin malam udah Mas.." kata Algis pelan, sambil menyembunyikan wajah malu-malunya di dada bidang Panji.     

"Mau soto gak??"     

"Ya mau Mas....."     

"Kalo gitu harus mau itu juga"     

"Iya deh.." jawab Algis dengan rona merah di pipinya.     

Panji tersenyum puas, merasa menang.     

Kemudian mereka berdua berganti pakaian lalu pergi keluar untuk mencari soto yang diinginkan Algis semenjak sore tadi.     

Bersambung...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.