My wife is a boy

Makan soto pinggir jalan



Makan soto pinggir jalan

0Mobil sedan warna hitam milik Panji melaju dengan kecepatan sedang membelah jalan raya. Pemandangan kota saat malam hari sangatlah indah meskipun langit malam tampak gelap tidak ada bintang dan bulan yang menghiasi. Tapi gemerlap sinar lampu dari gedung-gedung pencakar langit ditambah lampu-lampu kendaraan bermotor yang lalu-lalang di jalan raya membuat pemandangan kota di malam hari begitu menakjubkan.     
0

Udara dingin dari hembusan angin tidak Algis hiraukan. Pemuda manis bertubuh ramping itu teramat sangat senang bisa menikmati indahnya pemandangan kota malam ini, mengingat hal seperti ini tidak sering ia lakukan. Apalagi sejak tinggal di rumah Panji semua kegiatannya selalu dibatasi oleh Panji, apakah menjalani hari seperti itu begitu membosankan?? Ahhh tentu tidak. Walaupun menjalani hari yang diatur seperti itu Algis tidak akan pernah merasa bosan asalkan Panji selalu berada di sisinya hidupnya sudah cukup berwarna.     

Algis masih membuka kaca mobil, ia melongokkan sedikit kepalanya keluar untuk menikmati angin malam dan melihat indahnya kota di malam hari. Sesekali Panji menolehkan kepalanya sebentar ke arah Algis kekasihnya, ia tersenyum kecil melihat tingkah polos pemuda yang sangat ia cintai itu. Dalam hati ia menyesali kenapa dia tidak lebih sering meluangkan waktunya untuk sekedar mengajak pergi Algis jalan-jalan.     

Waktunya tersita habis untuk mengurusi pekerjaannya yang seakan tidak ada habisnya, bahkan Panji belum pernah mengajak pergi berdua untuk menonton di bioskop, berbelanja atau makan malam romantis selama mereka hidup bersama. Meskipun Algis tidak pernah meminta seharusnya Panji lebih mengerti, memahami dan meluangkan waktu untuknya. Tapi selama ini kebersamaan mereka hanya seputar di rumah saja. Dari pagi hingga sore bahkan terkadang hingga larut malam Panji akan sibuk di kantor, sedangkan Algis sudah mulai disibukan dengan jadwal kuliahnya yang padat serta tugas kuliah yang menumpuk.     

Ketika akhir pekan tiba mereka lebih senang menghabiskan waktu bersama di rumah.Terkadang banyaknya pekerjaan yang Panji lakukan juga dapat menyita hari liburnya. Mereka berdua bisa benar-benar merasakan menikmati kebersamaan berdua tanpa gangguan hanyalah ketika malam hari di atas tempat tidur.     

Memikirkan tempat tidur, Panji jadi teringat janji Algis yang akan menuruti apa yang ia minta setelah menemani Algis menyantap makan malam yang sedari tadi sore ia inginkan. Panji senyum-senyum sendiri ketika membayangkan wajah merona Algis setiap kali pria itu menggodanya. Panji selalu gemas, mereka sudah berkali-kali bercinta di atas ranjang tetapi selalu saja Algis akan tersipu malu menggemaskan jika Panji menggodanya.     

"Tutup pintu kacanya Gis...Dingin. Nanti kamu sakit sayang.." kata Panji mengingatkan.     

Algis tidak hanya melongok kan kepalanya keluar tapi ia kini mengeluarkan satu tangannya keluar dari jendela mobil, merasakan dinginnya udara malam melalui jari-jemari tangannya. Tentu saja semua ia lakukan saat jalan tidak ramai kendaraan.     

"Kalo sotonya udah habis gimana Gis?" tanya Panji, mengingat sekarang sudah menunjukkan lebih dari pukul sepuluh malam.     

"Kalo gitu Mas Panji gak akan dapat apa-apa malam ini"     

"Kok gitu Gis....."     

"Iya...kan semua salah Mas Panji kenapa kita gak beli dari tadi sore."     

Panji hanya bisa mendesah pasrah. Sejak kapan si manis ini menjadi tega pada dirinya.     

Tak lama kemudian mobil Panji sudah sampai ke tempat yang mereka tuju. Panji melihat sekitar area tempat itu untuk memarkirkan mobilnya.     

Melihat tenda penjual soto Lamongan sudah ada di depan mata, Algis buru-buru melepas sabuk pengamannya lalu segera membuka pintu mobil. Ia bahkan sudah tak cukup sabar menunggu Panji membukaan pintu untuknya.     

"Tunggu Gis..." Seru Panji saat matanya memergoki Algis yang sudah mengambil langkah untuk menyebrang ke sisi jalan.     

Panji berjalan mendekati Algis lalu menggandeng kekasihnya, ia tak mau mengambil resiko karena banyak kendaraan lalu lalang dengan cukup laju. Panji masih trauma jika melihat si manis menyebrang jalan. Lebih baik ia menggandeng tangan Algis untuk memastikan kekasihnya aman walaupun mungkin kedengarannya sangat berlebihan mengingat Algis bukanlah anak-anak lagi. Tapi Panji tak peduli karna Algis itu begitu berharga untuknya.     

Algis sudah sangat tidak sabar, pemuda manis itu menarik lengan pria kesayangannya untuk segera masuk ke warung tenda biru pinggir jalan itu. Panji yang seumur hidup hanya makan makanan restoran mewah ia merasa tidak nyaman dan sangat kaku saat memasuki warung yang beratapkan tenda biru dan sekelilingnya hanya ditutupi kain dengan tulisan soto Lamongan Joss gandos.     

Kedatangan Panji dan Algis menarik perhatian beberapa orang yang lebih dulu duduk dan menyantap soto di warung tenda biru itu. Penampilan mereka berdua berbeda seperti tidak biasa mengunjungi warung sederhana di pinggir jalan. Sekalipun Panji tidak sedang berpakaian formal, ia hanya mengenakan celana pendek kargo berwarna krem dan kaos panjang yang lengannya ia tarik hingga batas siku. Meskipun berpenpilan kasual seperti itu tidak mengurangi kadar ketampanan Panji.     

Panji tetap terlihat gagah. Tubuhnya tegap tinggi juga atletis.Wajahnya menawan dengan garis rahang tegas. Hidung mancung serta beralis tebal tetapi rapi.Panji persis seorang model iklan di TV atau selebritis. Ketampanannya sebelas dua belas jika disandingkan dengan aktor tanah air yang terkenal Nicholas Saputra.     

"Duduk sini Mas..."Algis menarik tangan Panji untuk duduk di sampingnya.     

Meski masih diliputi ragu, Panji menuruti apa kata Algis.     

"Ya ampun.. ngimpi apa saya semalam. Warung saya di datangi dua orang yang kayak artis gini" gurau si pemilik warung.     

"Kami bukan artis kok Bu" sahut Algis sambil terseyum ramah.     

"Pesen sotonya dua mangkuk ya Bu, Mas Panji mau kan.." Algis menoleh ke arah Panji untuk memastikan.     

"Enggak...aku kenyang" jawab Panji cepat     

"Kalo gitu satu Bu"     

"Baik.. tunggu ya Dek. Duhhh ganteng banget Masnya ini, adeknya juga imut sekali" si pemilik warung tak bosan-bosan melihat Panji dan Algis bergantian.     

Tak hanya pemilik warung, beberapa orang yang juga sedang memesan soto di warung tenda itu tak berkedip melihat Algis. Mereka saling berkasak-kusuk, berbisik-bisik bertanya satu sama lain menebak-nebak si imut di depan mereka itu laki-laki atau perempuan. Kulitnya sangat putih bersih wajahnya manis dan imut, semakin terlihat imut dengan hoodie kebesaran yang ia kenakan.     

"Bungkus aja,makannya di rumah ya.." tawar Panji     

Algis menggelengkan kepala menolak.     

"Algis mau makan di sini. Pleaseee..." Algis memohon dengan puppy eyes andalannya.     

Panji terpaksa menuruti, meski ia sangat tidak nyaman dengan pandangan beberapa orang yang tertuju ke arah Algis. Jika yang dipandangi adalah dirinya tak masalah. Tapi mata mereka lebih tertarik memandangi Algis. Tentu saja Panji tidak suka ada orang yang memperhatikan Algis terus-menerus.     

Selang beberapa menit satu mangkok soto yang dinantikan Algis tersaji di depannya. Aroma khas kuah soto yang menyeruak di Indra pemciumannya membuat Algis semakin semangat untuk makan. Tanpa menunggu lama Algis langsung menyantap semangkok soto itu dengan lahapnya, meminum kuahnya dengan rakus tanpa sisa. Melihat Algis makan dengan lahap Panji hanya bisa tersenyum gemas.     

Padahal di rumah Bi Inah sudah membuatkan makanan yang sama, yang tentu lebih terjamin kebersihannya.Lebih sehat dan juga mungkin lebih enak karena Bi Inah juga jago memasak. Tapi Algis tidak mau sama sekali. Ia tetap mau makan soto di tempat sederhana ini.     

"Pelan..pelan makannya Algis..." Panji mengusap sisa kuah soto di sudut bibir si manis dengan ibu jarinya.     

"Hmm... Mas Panji,Gak mau nyobain dikiitt aja.."     

"Enggak..udah kamu aja yang makan. Habis ini kita langsung pulang ya udah malam."     

Panji merapikan helaian rambut Algis yang sebagian jatuh ke depan yang hampir menutupi matanya. Panji sama sekali tidak peduli dengan tatapan heran beberapa orang di sekitarnya. Masa bodo!     

Setelah Algis selesai makan Panji segera bangkit berdiri dan mengeluarkan uang pecahan seratus ribuan dari dalam dompetnya.     

"Ini Bu.." Panji menyodorkan uang seratus ribuan itu pada penjual soto.     

"Kembaliannya ambil saja" lanjut Panji.     

Si penjual soto terbelalak kaget.     

"Mas kebanyakan ini uangnya. sotonya cuma sepuluh ribu aja Mas"     

"Gak apa-apa, ambil saja" kata Panji sembari memasukan kembali dompetnya pada saku celananya.     

Ibu penjual soto tersenyum bahagia mendapat bonus sembilan puluh ribu.     

"Trima kasih ya Mas...ya Allah udah ganteng baik lagi"     

Panji hanya tersenyum tipis menanggapi pujian di penjual soto. Lalu ia menggandeng tangan Algis untuk berjalan kembali ke parkiran mobilnya meninggalkan warung soto itu.     

"Wah..dapat rejeki ya Bu.." celetuk salah satu pelanggan yang masih duduk di tempat yang sama masih menikmati sotonya.     

"Hooh! Coba tiap hari ada orang yang ganteng baik hati kaya tadi mampir terus ya hehhe"     

"Eh..yang imut-imut tadi itu adeknya atau siapanya ya" sahut pelanggan yang masih muda     

"Bukanlah kalo adeknya. Masa sama adeknya cara liatnya kaya gitu" jawab si pria dewasa.     

"Lha..kalo bukan adeknya apanya donk Bang, Masa iya pacarnya"     

"Ya bisa jadi"     

"Ihh..si Abang! Homo dong. Apa enaknya coba"     

"Ya enaklah coba aja" kata pria lebih dewasa sambil tertawa.     

"Gak mau Ah Bang!" sungut si anak muda.     

Si pria dewasa dan ibu penjual soto terkekeh geli melihat ekspresi anak muda itu.     

Malam semakin larut. Setelah menemani Algis makan soto di pinggir jalan tadi, Panji mengajak Algis untuk langsung pulang. Pemuda manis itu menurutinya, kebetulan setelah kenyang makan soto Algis merasa mengantuk. Selama perjalananan pulang beberapa kali Algis menguap     

"Kalo ngantuk tidur dulu aja Gis.." Panji menoleh sekilas ke arah Algis, lalu menggegam tangan Algis dengan satu tangannya yang bebas.     

"Ehmm..kalo udah sampek rumah, bangunin ya Mas.."     

"Iya.."jawab Panji di iringi senyuman di bibirnya.     

Lalu Algis mengatur posisi tempat duduknya agar ia nyaman beristirahat sejenak selama mereka masih dalam perjalanan pulang ke rumah.     

Dalam hitungan beberapa menit Algis nampak tertidur pulas. Panji mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang berusaha tidak mengganggu tidurnya. Sesekali ia menolehkan kepalanya ke arah Algis, Panji tersenyum bahagia saat melihat wajah damai kekasihnya terlelap tidur. Sepertinya malam ini ia harus menahan keinginannya, tidak mungkin juga ia akan mengganggu si manis yang terlihat lelah dan mengantuk.     

Sesampainya di pelataran rumah Panji tidak membangunkan Algis, pria itu langsung turun dari mobil dan menggendong tubuh ramping kekasihnya masuk kedalam rumah. Saat melewati ruang tengah Panji bertemu dengan kedua orangtuanya yang belum juga beristirahat dan sedang duduk santai sambil berbincang.     

"Eh.. Algis kenapa? " Tegur Bu Rina saat Panji akan melangkahkan kaki ke anak tangga.     

"Tidur" Jawab Panji pelan     

"Lho emang kalian dari mana malam-malam gini? "     

"Algis minta makan soto Ma.. "     

"Lho kok. Kan tadi udah dibikinkan Bi Inah"     

"Gak mau, maunya makan soto yang di pinggir jalan "     

"Hah! Kok gitu sih Ji, gak biasanya, Algis begitu"     

"Gak tau Ma. Belakangan suka aneh-aneh mintanya"     

"Dulu Mamamu suka minta yang aneh-aneh Ji waktu hamil kamu" Sahut Pak Suryadi tiba-tiba.     

Panji tak menyahut, pria itu langsung melangkah menapaki anak tangga menuju kamarnya. Kesal?? Ya sedikit. Kenapa Algis disamakan dengan Mamanya yang dulu sedang hamil. Algis itu laki-laki. Mau berjuta kali mereka bercinta Algis tidak akan mungkin hamil.     

Tidak mungkin juga Papanya tidak merasakan adanya perubahan hubungannya dengan Algis yang menjadi lebih intim. Meskipun Panji tidak memberitahukannya secara langsung, tapi Panji yakin kedua orangtuanya tau jika ada hubungan yang lebih antara dirinya dan Algis. Tidak ada yang bisa disembunyikan jika mereka saja tinggal satu atap. Terlebih Panji tidak bisa pura-pura atau menahan diri di depan orangtuanya atau para pelayan. Hanya karena Algis merasa belum siap, Panji menunda berbicara langsung dengan kedua orangtuanya maupun dengan orangtua Algis.     

Ketika Panji sudah menuju kamarnya, Bu Rina mencubit pelan perut suaminya.     

"Papa ini kok ngomong gitu sih"     

"Ngomong apa Ma" Pak Suryadi mengusap perutnya yang baru saja dicubit oleh Bu Rina.     

"Ya itu. Tadi ngomong Mama juga minta aneh-aneh waktu lagi hamil Panji. Papa lagi samain Algis sama Mama? Kalo Panji tersinggung gimana Pa. Algis kan Laki-laki mana mungkin hamil"     

"Papa bercanda tadi Ma.. "     

"Gak lucu Pa.. Sejak kapan Panji bisa bercanda" Cibir Bu Rina.     

"Ngomongin tentang Panji Ma, sepertinya Panji dan Algis semakin dekat. Seperti yang Mama bilang barusan kan Algis laki-laki, sampai sini Mama harus ikhlas jika Panji tidak bisa memberikan cucu ke kita nantinya." tiba-tiba saja kata-kata Pak Suryadi berubah menjadi serius.     

"Mama tau Pa. Tentu saja Mama ingin seperti ibu lainnya. Melihat anaknya yang dewasa menikah dan berumah tangga seperti pada umumnya. Punya anak-anak yang lucu-lucu. Tapi kalo Panji pilih Algis Mama dukung aja, karena Mama tau rasanya ditentang orangtua itu tidak enak"     

Bu Rina membayangkan masa-masa sulitnya dulu ketika meninggalkan segala kehidupannya yang mewah dan bergelimang harta untuk memilih hidup bersama Pak Suryadi. Karena pernah mengalaminya, wanita itu tidak ingin Panji merasakan apa yang dulu pernah ia rasakan.Diasingkan dan dibuang oleh keluarga besarnya. Lagipula wanita paruh baya itu juga sangat menyayangi Algis seperti anaknya sendiri. Panji dan Algis sendiri sudah dewasa, mereka pasti sudah memikirkan konsekuensinya,sudah memikirkan bagaimana kehidupan mereka kedepannya nanti akan seperti apa. Sebagai seorang ibu, Bu Rina akan tetap berada di sisi putranya untuk mendukung dan mendampingi putra satu-satunya. Dan tentang salah dan benar yang Maha Esa lah yang menentukan.     

×××××     

Algis berdiri menyandarkan tubuhnya pada dinding kamar mandi. Sudah beberapa hari ini tiap kali ia buang air kecil ia merasakan sakit di bagian paling bawah perutnya. Awalnya Algis mengira jika ia hanya kekurangan cairan, tetapi setelah Algis minum air lebih banyak dari biasanya rasa sakit setelah buang air kecil masih saja terasa. Ia ingin memberitahukannya ke Panji tapi selalu ia urungkan. Jika masih bisa ditahan olehnya lebih baik ia diam saja. Belajar dari pengalamannya, pernah suatu kali Algis tidak sengaja melukai jarinya saat sedang memotong buah apel, hanya sebuah luka kecil tapi Panji langsung memanggil dokter pribadinya ke rumah. Takut infeksi katanya. Belum lagi hanya karena luka yang tak seberapa itu Panji langsung memilih tidak masuk kerja. Seharian menghabikan waktu di rumah hanya untuk menemani Algis. Berlebihan memang tapi mau bagaimana lagi seperti itulah sikap Panji yang overprotektif.     

Selesai mandi dan berpakaian rapi, Algis keluar dari kamar menyusul Panji yang sudah lebih dulu ada di meja makan bersama kedua orangtuanya. Algis menyapa kedua orangtua Panji lalu duduk di sebelah Panji seperti biasanya. Dihadapan Algis telah tertata rapi menu sarapan pagi ini. Dua waffel dengan topping telor rebus lengkap dengan irisan alpukat diatasnya serta segelas jus jeruk dan juga segelas susu putih.     

"Algis...kok gak dimakan makanannya sayang" tegur Bu Rina saat mendapati Algis hanya memandangi piring didepannya.     

"Gis..." Panji mengegam tangan Algis lembut.     

Algis menoleh ke arah Panji.     

"Mau makan apa?" tanya Panji dengan lembut.     

Kali ini Panji sudah mulai mengerti jika Algis bersikap aneh tandanya dia sedang menginginkan sesuatu. Balada Soto Lamongan sudah cukup jadi pelajaran.     

"Algis pengen makan nasi goreng Mas..." jawab si manis pelan.     

Sebenarnya pemuda manis itu tidak enak hati mengatakan ia ingin sarapan nasi goreng sedangkan di meja makan sudah ada menu sehat yang di siapkan Bi Inah. Tapi tiba-tiba saja dia ingin makan nasi goreng. Algis membayangkan nasi goreng yang hangat ditambahkan udang dan juga telor diatasnya, rasanya pasti enak sekali.     

"Bi Inah..buatkan nasi goreng. Satu porsi aja buat Algis" kata Panji pada Bu Inah yang kebetulan masih berada di sekitar dapur     

"Iya Den.."     

Bi Inah mulai menyiapkan bahan yang dibutuhkan. Setiap pagi Bi Inah akan selalu memasak nasi putih meskipun keluarga majikannya itu jarang sekali sarapan dengan nasi putih. Hanya untuk berjaga-jaga seperti hari ini, ketika Algis tiba-tiba ingin nasi goreng.     

"Sayang kamu gak lagi sakit kan?" Tanya Bu Rina pada Algis.     

Wanita itu merasa heran, tidak biasanya Algis pilih-pilih makanan. Pemuda manis itu tidak pernah merepotkan soal makanan. Ia selalu makan apa yang sudah dihidangkan. kalo ada yang memilih-milih makanan tentu saja itu adalah Panji.     

"Algis baik-baik aja kok Ma.." jawab Algis sambil mengulas senyum.     

"Mama itu berlebihan kayak Panji. Algis sehat-sehat aja kok. Wajar dia mau nasi goreng, kan lama juga kita gak sarapan itu."     

"Mama takut Algis sakit Pa. Beberapa hari ini Mama liat Algis kayak lemes gitu"     

"Perasaan Mama aja" kata Pak Suryadi sambil menyuapkan waffel ke mulutnya.     

Saat kedua orangtua itu sedang membahas dirinya, Algis merasakan perutnya mual ketika ia mencium aroma bumbu masakan dari dapur. Algis reflek menutup hidungnya menahan rasa mual saat aroma bumbu bawang yang di goreng semakin tajam tercium.     

"Ada apa Gis..." Panji mulai panik     

Algis tak menyahut, ia semakin menutup hidung dengan telapak tangannya. Rasa mualnya makin menjadi. Perutnya seperti diaduk-aduk, Algis bangkit berdiri ia buru-buru berlari ke arah kamar mandi terdekat. Di dalam kamar mandi Algis langsung muntah-muntah, namun tidak ada makanan yang ia muntahkan selain air dari dalam perutnya.     

"Hoekkkk....hoeekk...hoeekkk" Algis terus saja muntah. Perutnya seakan tidak bisa berhenti memuntahkan isi didalamnya.     

"Gis,kamu kenapa!!!" Panji makin panik. Ia hanya mengusap-usapkan telapak tangannya ke punggung Algis. Pria itu juga tidak tau harus berbuat apa saat melihat Algis yang tidak berhenti muntah.     

"Mas.. suruh Bi Inah matikan kompornya. Berhenti masak Mas... Bau bawang bikin perut Algis mual"     

ucap Algis sambil terengah-engah. Pemuda manis itu berusaha mengatur nafasnya sebelum ia kembali mual dan muntah lagi.     

"Bi Inah..matikan kompornya. Buang bumbu itu cepet!" teriak Panji dari pintu kamar mandi yang tak jauh dari dapur.     

"I-iya Den.." jawab Bi Inah gugup dan ikut Panik.     

Bu Rina dan Pak Suryadi bergegas mendekati Panji dan Algis. Mereka berdua pun tak kalah panik.     

"Kamu kenapa Gis..."     

"Gak apa-apa Mas mual aja" jawab Algis, masih dengan nafas terengah.     

Tubuhnya lemas, tenggorokannya terasa pahit. Entah apa yang ia muntahkan tadi kenapa tenggorokanya jadi terasa pahit. Namun justru ketika rasa pahit itu keluar, rasa mual di perutnya pun ikut mereda.     

"Kita ke dokter Gis.."     

"Gak usah Mas.."     

"Jangan nolak Algis, Aku tidak bisa kerja dengan tenang kalo begini"     

Panji melonggarkan dasinya lalu menggulung lengan kemejanya hingga batas siku.     

"Mas Panji jadi gak kerja gara-gara Algis"     

"Algis. Aku gak akan jatuh miskin dengan gak masuk kerja sehari" tandas Panji.     

"Ayo..kita ke dokter sekarang"     

Panji membantu Algis berdiri, lalu menuntun si manis keluar dari kamar mandi.     

"Algis sayang...kenapa ada apa??"     

Bu Rina tampak sangat khawatir. Wanita itu mendekati Algis dan membelai kepala si manis.     

"Panji mau antar Algis ke dokter"     

"Iya, bawa ke dokter aja. Mama jadi khawatir"     

Panji bergegas membawa Algis pergi ke rumah sakit terdekat. Sebenarnya keluarga Panji memiliki dokter kepercayaan keluarga yang bisa dipanggil untuk datang ke rumah kapan saja. Tapi Panji tak mau membuang waktunya untuk menunggu datangnya dokter keluarga, jika ada hal-hal mendesak bisa langsung ditangani jika mereka langsung menuju rumah sakit.     

Bersambung.....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.