My wife is a boy

Tidak enak badan



Tidak enak badan

0Dering suara alarm dari ponsel membuat Bastian menggeliatkan badan, pemuda berambut sedikit panjang itu mengucek matanya. Perlahan ia membuka kedua matanya melihat ke arah jendela kaca yang memantulkan cahaya sinar matahari. Menandakan bahwa hari telah pagi.     
0

Bastian beringsut turun dari tempat tidur, saat kedua kakinya menginjak lantai kamar pemuda itu teringat sesuatu.     

"Ohhhh shitttt"     

Bastian reflek segera bangkit berdiri dengan terburu-buru, secepat kilat ia meraih kenop pintu kamar lalu berlari ke arah ruang tamu. Mencari seseorang yang ia telantarkan semalam.     

Di ruang tamu, Radit tidur meringkuk kedinginan di sofa tanpa bantal tanpa selimut dengan suhu ruangan yang sangat dingin.Tubuhnya menggigil kedinginan. Bastian mendekati Radit memeriksa apakah yang ia takutkan akan terjadi. Dan ya...saat menyentuh kulit Radit Bastian terkejut Radit menggigil kedinginan dan tubuhnya panas serta berkeringat, ia demam.     

"Dit...sorry.." ucap Bastian penuh nada penyesalan.     

Pemuda itu merasa bersalah, ia memaki dirinya sendiri dalam hati. Apa yang sudah ia lakukan?bagaimana dia bisa ketiduran hingga pagi. Semalam Bastian hanya ingin membalas Radit sebentar, membiarkan Radit tidur di luar beberapa jam saja. Tapi dia justru ketiduran hingga pagi.     

"Radit..ayo bangun pindah ke kamar" kata Bastian sambil menggoyangkan tubuh Radit.     

"Engghhh..."     

Radit hanya menggerakkan tubuhnya untuk semakin menekuk kan kaki panjangnya, berusaha membuat tubuhnya terasa hangat.     

"Dit..ayo pindah ke kamar" ulang Bastian.     

Sayup-sayup Radit membuka matanya.     

"Baby....dingin banget"     

"Makanya ayo pindah ke kamar, Lo sakit ini"     

"Udah pagi ya. Ahhh Gue harus kerja, Lo harus kuliah juga kan"     

Radit berusaha bangun dari sofa, tapi saat ia mencoba berdiri dan maju selangkah tubuhnya terhuyung, Bastian dengan sigap meraih tubuh Radit hingga tubuh Radit tidak terjatuh ke lantai.     

"Gak usah kerja Lo demam, Gue juga gak kuliah" kata Bastian sambil membawa Radit ke kamar.     

Sampai di kamar Bastian membaringkan Radit ke tempat tidur. Lalu menyelimuti Radit hingga batas dadanya.     

"Baby... dingin" kata Radit dengan mata terpejam.     

"Sorry...Lo pasti kedinginan semaleman"     

Bastian meraih tas ranselnya yang ia letakkan di atas nakas meja kamar. Pemuda itu membuka tasnya lalu mengeluarkan remote AC ruang tamu yang sengaja ia masukan ke dalam tas. Semalam saat Radit mengantar Vanya pulang, Bastian dengan sengaja mengatur suhu AC ruang tamu menjadi paling rendah. Ia kemudian menyembunyikan remote AC ke dalam tasnya lalu membawa tas itu ke kamar hingga pagi hari.     

Bastain mendesah, hal konyol apa yang sudah ia lakukan. Niatnya hanya ingin mengerjai Radit sedikit tapi justru membuat pria itu jadi sakit. Sekarang Bastian jadi merasa sangat bersalah dan dia harus bertanggung jawab. Dia harus menjaga Radit hingga pria itu sehat kembali.     

Radit meraih ponselnya, lalu melakukan panggilan telpon.     

"Hallo..Ra, cara ngerawat orang sakit gimana?"     

"Siapa yang sakit, eh Lo di mana? Gak masuk kuliah Lo"      

"Gue hari ini gak masuk, sekarang kasih tau gimana cara rawat orang sakit demam?"     

"Siapa yang sakit?"     

"Radit" jawab Bastian pelan     

"Wahhh...Lo apain dia kok bisa sampek sakit sih??"     

"Gak usah banyak tanya deh..buruan kasih tau Gue"     

"Dia deman kan, Lo buka bajunya terus Lo seka badannya pakek air hangat, gantiin bajunya dia sama baju bersih dan ga terlalu tebel. Habis itu Lo bikinin dia bubur pastiin perut dia keisi, terus kasih dia minum obat penurun panas....."     

Dari seberang telepon Maura, memberi arahan pada Bastian. Setelah itu Bastian melakukan satu persatu apa yang Maura katakan tadi. Bastian menyiapkan baskom dan waslap, lalu mulai membuka pakaian Radit. Dengan telaten pemuda itu menyeka tubuh Radit dengan Air hangat, lalu mengganti bajunya dengan baju bersih dan nyaman yang ia cari dari lemari Radit.     

Dan dengan panduan dari YouTube, pemuda bertubuh tinggi dan kulit putih itu sibuk di dapur. Membuat bubur. Setelah di cicipi dan rasanya lumayan enak, Bastian menuangkan bubur itu ke dalam mangkuk lalu pergi ke kamar. Meninggalkan dapur dalam keadan berantakan seperti kapal pecah.     

"Dit...bangun dulu, ayo makan buburnya"     

Radit membuka matanya, kepalanya terasa pusing. Ia lalu berusaha duduk dan menyadarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur.     

"Lo beli apa masak sendiri yank.." tanya Radit, dengan suara lemah.     

"Masak sendiri lah, mau beli keluar entar Lo gak ada yang jagain"     

Radit rasanya ingin jungkir balik salto sangking bahagianya mendengar kalimat itu meluncur dari bibir tipis dan lembab didepannya. Sayang tubuhnya terasa sakit dan lemah jadi Radit cukup mengulum senyum sambil bergembira ria di dalam hati.     

"Dah..nih makan buburnya"     

Bastian menyodorkan mangkuk bubur ke arah dada Radit.     

"Suapin yank...."     

"Gah....makan sendiri, Lo demam bukan patah tangan"     

"Gue kan pengen di suapin..." cicit Radit, sembari mengambil alih mangkuk dari tangan Bastain.     

Radit memegang mangkuk bubur dengan tangan sedikit gemetar. Melihat itu Bastian memutar bola mata malas.     

"Sini Gue suapin. Manja banget sih jadi cowok"     

Bastian mengambil mangkuk bubur dari tangan Radit, kemudian mulai menyuapi Radit.     

Radit kembali menahan senyum, hatinya bersuka cita.Cukup sedikit akting memasang wajah lemah dan tangan gemetaran bisa membuat Bastian menuruti apa yang dia mau. Jika dengan sakit demam Bastian berada disisinya dan merawatnya maka Radit rela deman terus.     

"Baby... Makasih ya Lo dah rawat Gue" kata Radit.     

Bastian membereskan mangkuk bubur dan gelas air minum untuk dibawa ke dapur.     

"Gak usah GR, Gue gini karna Lo sakit gara-gara Gue. Jangan Lo kira besok-besok Gue bakal rawat Lo kayak gini. Males amat"     

"Tetap aja yank..Gue seneng, biasanya kalo Gue sakit gak ada yang rawat"     

Bastian terdiam. Jika di ingat-ingat, selama Bastian keluar masuk apartemen Radit ia memang tidak pernah sekalipun melihat ada keluarga yang mengunjungi pria didepannya itu.     

"Dah deh istirahat Lo nya, biar obatnya cepat bereaksi. Gue mau mandi dulu gerah"     

"Kalo gak ada baju ganti pakek baju Gue yank, pakaian dalam ada di laci paling bawah. Ukuran pakaian dalam kita sama kan"     

Seketika semburat merah menghiasi pipi Bastian yang putih.     

"Mana Gue tau, dah ahh tidur Lo"     

Bastian mendorong tubuh Radit agar berbaring. Lalu ia segera bangkit dari sisi ranjang, membawa nampan berisi mangkuk dan gelas keluar dari kamar.     

Radit tersenyum melihat tingkah Bastian .     

"Imut banget sih kalo lagi gugup gitu"     

Gumam Radit. Ia lalu mencari posisi nyaman dan memejamkan mata, rasa kantuk membawanya ke alam mimpi. Mimpi indah bersama Bastian tentunya.     

Di ruang tengah yang luas, Algis sedang duduk di lantai yang di lapisi karpet berbahan bludru lembut. Ia meluruskan kedua kakinya, punggungnya bersandar pada sofa di belakang tubuhnya. Satu tangannya membelai rambut Panji yang sedang membaringkan kepalanya diatas pangkuan Algis. Kedua tangan pria itu menyanggah sebuah Album photo berukuran agak besar, ia membuka satu demi satu lemabran album photo itu.     

"Ehhh liat deh Mas, si Nio lucu banget ini" Algis menunjuk sebuah foto yang menunjukkan foto Nio memejamkan mata, kemungkinan Nio sedang tidak siap ketika kamera sedang mengarah padanya.     

"Nio manis ya Mas.." puji Algis saat melihat-lihat foto Nio di resepsi pernikahannya beberapa waktu yang lalu.     

"Yang penting gak lebih ganteng dari aku Gis"     

"Oh ya....masa sih"     

"Kalo gak ganteng kamu gak bakal mau sama aku"     

"Mas Panji percaya diri banget.."     

"Faktanya gitu kan"     

Algis terkekeh geli.     

"Mas.."     

"Hmmmm.."     

"Sebelum ke Tokyo, Mama sering duduk di sini sambil pegangin album foto ini. Mama lagi liatin foto-foto ini ya Mas"     

Sesaat Panji terdiam.     

"Kalo ini sungguhan foto resepsi pernikahan Mas Panji, dengan seorang gadis Mama pasti seneng ya Mas"     

Panji menutup album foto itu lalu meletakkan di sisi tubuhnya. Ia meraih pergelangan tangan Algis lalu menggegam dan membawa tangan itu ke dadanya. Panji mendongak ke atas menatap lembut wajah Algis.     

"Kamu ngomong apa sih...jangan berpikir macam-macam kayak gitu Gis, kalo Mama mengingkan itu dia pasti sudah ngusir aku sejak aku membatalkan pernikahanku sama Ajeng"     

"Tapi Algis gak enak hati sama Mama Papa Mas, kalo mereka tau tentang kita gimana?"     

"Kamu jangan pikirin itu, biar aku yang mikirin. Kamu hanya perlu selalu di sisi aku Gis, jangan pernah Ragu. Aku udah janji bakal bahagiain kamu"     

"Bukan janji aja Gis, tapi akan aku buktiin ke kamu dan keluargamu"     

Algis tersenyum bahagia mendengar kata-kata Panji. Kedua matanya berkaca-kaca sangking bahagianya.     

"Kalo album foto pernikahan ini palsu, kita buang aja lalu kita buat foto pernikahan sungguhan"     

"Maksud nya???"     

Panji bangun dari pangkuan Algis, ia duduk menghadap ke arah Algis.     

"Kita nikah Gis" ucap Panji tanpa ragu.     

Algis terdiam, kedua matanya mengercap.     

"Nikah???" Ulang Algis pelan.     

Panji mengangguk mantap.     

"Mas..., jangan bercanda" Algis bingung.     

"Aku serius Gis, mau kan nikah sama aku?hidup selamanya dengan aku"     

"Mas lamar Algis???"     

"Iyaaaa...bisa di bilang begitu"     

Algis tak segera menyahut.     

"Algis gak bisa Mas.."     

Panji tertegun.     

"Kenapa Gis. Apa masalahnya??"     

"Maksudnya.....Algis gak bisa nolak Mas.." jawab Algis diiringi senyuman merekah di bibirnya.     

"Kamu bikin kaget aku aja Gis, kirain beneran nolak"     

"Kalaupun nolak percuma juga, Mas pasti maksa"     

"Mau nikah di negara mana?? Sekalian bulan madu ya..ya..ya.."     

Mendengar kata bulan madu, bulu kuduk Algis langsung merinding. Bisa dia bayangkan apa yang akan terjadi. Di rumah yang banyak pelayan mondar-mandir saja Panji bisa berbuat sesuka hatinya memeluk bahkan menciumnya tanpa peduli itu didepan pelayan, apalagi jika berbulan madu jelas saja waktu dan tempat ekslusif hanya untuk mereka berdua. Panji pasti tidak akan membiarkannya berpakaian dengan benar.     

"Gak ahhh  gak mau bulan madu"     

"Harus mau" paksa Panji     

"Gak mau Mas"     

"Harus!!!"     

"Gak mau.."     

"Harus mau, harus..harus...harus..."     

Panji meraih tubuh ramping Algis lalu menindihnya. Di bawah kungkungan Panji, Algis meronta dan berusaha melepaskan diri dari lengan kekar Panji.     

"Mas lepasin.."     

"Jawab mau dulu"     

Algis semakin meronta dan tertawa geli saat Panji mulai menggelitik pinggang rampingnya.     

"Mas Panji..geliiiii. Lepasin"     

"Makanya bilang iya...mau dulu"     

"Enggak mau..."     

"Kalo gitu aku gelitikin terus"     

Panji tidak berhenti, meski Algis terus meronta. Semakin Algis meronta Panji semakin merengkuhnya.     

"Bi..Inah tolong ambil barang-barang di luar"     

Suara teriakan Bu Rina tiba-tiba terdengar di ruang tengah. Panji dan Algis terkejut. Seketika mereka berdua melepaskan diri masing-masing, lalu berdiri tegap menghadap ke Bu Rina dan Pak Suryadi yang sudah berdiri di hadapan mereka berdua.     

"Kalian lagi ngapain??"tanya Bu Rina     

Wanita paruh baya itu melihat ke arah Panji dan Algis bergantian.     

Sedangkan Pak Suryadi tertegun saat melihat pakaian Algis. Pemuda manis itu mengenakan kaos model besar ala hip-hop dipadukan dengan celana sangat pendek berbahan jeans. Memamerkan pahanya yang putih dan mulus. Merasa diperhatikan, Algis meraih bawah kaosnya dan menariknya ke bawah berharap bisa menutupi sebagian pahanya yang terlihat.     

"Mama kok pulang??" Tanya Panji, menampilkan wajah datarnya.     

"Ini rumah Mama. Suka-suka Mama donk" jawab Bu Rina merasa tidak terima dengan pertanyaan Panji yang seakan tidak suka dia pulang ke rumah.     

"Algis..sayang kamu baik-baik aja kan. Oh ya...Mama bawa oleh-oleh banyak buat kamu"     

Begitu melihat ke arah Algis wajah Bu Rina kembali berseri.     

"Ehmmm Algis sehat Ma.."     

Algis merapatkan kedua kakinya menarik lebih kuat ujung kaosnya.     

"Papa..." Bu Rina mencubit perut suaminya. Barulah Pak Suryadi mengedipkan mata, kesadarannya kembali ke bumi.     

"Kita pulang di waktu yang gak tepat Ma" gumam Pak Suryadi sambil berlalu pergi menuju kamarnya.     

Bu Rina tidak peduli, wanita itu menarik Algis duduk ke sofa dan mulai mengeluarkan apa yang akan ia berikan pada Algis dari kopernya.     

"Ma..nanti aja lah....Mama gak capek apa" kata Panji mencoba mencegah Mamanya, membongkar semua bawaannya.     

"Diem ahh"     

"Algis lelah Ma dia juga mau istirahat"     

"Panji...Algis lelah ngapain. Kan dia kamu larang kuliah kamu larang keluar. Lagian kamu juga hari ini harusnya kan kerja ngapain di rumah. kamu itu yang bikin Algis lelah"     

Panji memutar bola mata malas, ia memilih pergi meninggalkan Bu Rina dan Algis. Ia menyesal kenapa Mama dan Papanya tidak lebih lama lagi di Tokyo. Panji akan mencari cara lagi, agar kedua orangtuanya kembali liburan entah ke negara mana saja,asal bisa membuat mereka bisa lebih lama di luar negri.Dan dia bisa nikmati liburan di rumah bareng Algis lebih lama lagi.     

××××××     

"Gis...udah siap belum" teriak Panji sambil memasang dasi di depan cermin.     

Algis keluar dari kamar mandi sembari memegangi perutnya, ia merasa tidak enak badan seperti sakit, tapi dia tidak tau bagian mana yang sakit rasanya badannya gak nyaman.     

"Kamu kenapa?"     

"Badan Algis kok gak enak ya Mas rasanya..."     

"Gak enak gimana? Kamu sakit? Apa nya yang sakit?"     

Panji cemas. Pria itu langsung memeriksa tubuh Algis dengan seksama, mungkin saja Algis demam.     

"Gak tau mana nya yang sakit. Tapi...gak enak rasanya"     

"Kita ke dokter ya..Aku gak usah kerja"     

"Jangan Mas, gak apa-apa...mungkin aja masuk angin"     

"Kalo gitu gak usah kuliah"     

"Mas..pleassseee. Algis baru rasain dua hari masuk kuliah masa libur lagi"     

Ya...Algis akhirnya mendapatkan ijin dari Panji untuk bisa masuk kuliah lagi. Itupun karna desakan Mama Papa yang meyakinkan Panji. Tentu saja Panji memutar otak mencari akal untuk memberi alasan yang tepat pada kedua orangtua Algis supaya Algis masih bisa tinggal bersamanya.     

"Ya udah..kalo ada apa-apa nanti telpon ya"     

Algis tidak sengaja mengendus tubuh Panji. Pemuda manis itu menutupi hidungnya dengan telapak tangannya.     

"Mas..kok bau banget sih, pakek parfum apa"     

Panji terheran ia mencium tubuhnya sendiri.     

"Parfum biasanya Gis.."     

"Bau banget Mas. Gak enak bikin mual"     

"Ganti Mas, Algis gak suka"     

Algis buru-buru menjauh, ia menyambar tasnya lalu segera keluar dari kamar dengan tetap menutup hidungnya rapat.     

"Tiap hari kan pakek parfum yang ini. Bukanya dia yang pilihin"     

Heran Panji. Dengan terpaksa Panji melepaskan pakaiannya dan menggantinya dengan baju yang lain dan pakai parfum yang lain juga.     

Bersambung.....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.