My wife is a boy

Cemburu



Cemburu

0Panji melepas jas kerja serta dasinya lalu melemparkan begitu saja ke sofa ruang tamu. Setelah itu ia bergegas berjalan ke arah mobil sedan hitam miliknya yang terparkir di depan halaman rumah. Panji masuk ke dalam mobil sambil menghubungi seseorang. Terpaksa Panji meminta bantuan Radit untuk menemaninya mencari Algis.     
0

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, Panji ditemani sahabatnya Radit mendatangi toko yang dikunjungi Algis siang tadi. Tapi tentu saja sudah tidak ada sosok Algis di tempat itu. Panji menyusuri setiap toko di sekitar tempat itu berharap bisa menemukan Algis. Tapi tidak juga membuahkan hasil.     

"Coba Lu telpon temen dia Dit..Lo ada kan nomer telponnya" kata Panji sambil fokus ke jalan.     

"Gue gak punya nomer temen kakak ipar yang cewek itu Ji.."     

"Lo punya nomer bocah menyebalkan itu kan" Dengus Panji. Yang di maksud Panji jelaslah Bastian.     

Radit tersenyum nyengir, lalu mencoba menghubungi nomer Bastian. Sambungan telpon terhubung namun tidak juga diangkat.     

"Kok tumben ya...Gue telpon gak diangkat" heran Radit. Ia kembali mencoba menghubungi lagi namun masih saja tidak diangkat oleh Bastian.     

"Ya udah..ini, Lo coba hubungi Ajeng..Lo tanyain nomer telpon Maura" kata Panji sambil memberikan ponselnya ke Radit.     

Radit meraih ponsel yang diulurkan Panji ke arahnya, kemudian melakukan apa yang diminta sahabatnya.     

Setelah mendapatkan info dimana Algis berada Panji menambah kecepatan mobilnya. Sedan hitam itu melesat cepat menembus gelap malam di jalan raya. Wajah Panji berubah tegang, matanya merah, rahangnya mengeras, tangannya memegang erat setir mobil, hingga terlihat otot-otot pada lengan kokohnya.     

Bibir Radit komat kamit membaca doa, berharap malam ini dia bisa kembali ke apartementnya dengan selamat. Panji semakin menambah kecepatan mobilnya matanya nyalang memandang lurus ke depan. Seperti seorang pembalap mobil Panji mendahului kendaraan apa saja yang menghalangi dirinya.     

Sesampainya di tempat yang dituju Panji memarkirkan mobilnya sembarangan, dan dia tidak peduli jika nanti ia dimaki oleh petugas parkir. Panji keluar dari dalam mobil.     

"Brakkkkk"     

dengan kasar Panji menutup pintu mobil. Dan dengan langkah panjangnya Panji berjalan keliling. Matanya yang tajam mulai mengedarkan pandanganya mencari sosok ramping yang membuatnya menggeram menahan amarah.     

Menurut keterangan Maura, setelah makan siang dia bersama Algis dan Bastian pergi ke suatu tempat yang ingin di kunjungi oleh Algis. Sebuah tempat wisata yang sangat indah jika dikunjungi pada sore hingga malam hari. Namun Maura harus pulang lebih dulu karna mendapat telpon dari ibunya dan mengharuskan gadis itu menemani ibunya ke rumah sakit untuk chek up.     

"Ji..tunggu.. duhh Lo jalan cepat banget sih"     

Panji tidak menghiraukan teriakan Radit. Ia menajamkan pandangannya menyisir semua sudut tempat wisata itu. Tempat itu memang indah jika dikunjungi malam hari, gemerlap lampu menghiasi sepanjang jalan. Deretan penjual kulinier berjejer siap menawarkan olahan terbaik mereka pada pengunjung. Ditambah pertunjukan live musik, membuat tempat itu semakin nyaman untuk nongkrong anak muda.     

Tempat ini adalah tempat wisata yang pernah Panji kunjungi bersama Algis beberapa waktu yang lalu. Jika memang Algis ingin mengunjungi tempat ini mengapa dia tidak mengatakan padanya, alih-alih dia pergi bersama orang lain. Bukankah ia sudah mewanti-wanti si manis untuk tidak keluar rumah tanpa pengawasan, apalagi pergi tanpa ijinnya. Panji masih trauma dia sangat takut kehilangan Algis, cukup sekali ia melihat Algis terluka karena dirinya. Lalu salahkah jika ia terlalu menjaganya.     

Mata hitam Panji memicing tajam ketika menangkap dua sosok pemuda berdiri saling berhadapan, tubuh mereka dekat hampir bersentuhan. Pemuda bertubuh ramping mendongakkan kepalanya, yang lebih tinggi terlihat menunduk dan memiringkan kepala, kedua tangannya terangkat ke atas mendarat pada wajah si ramping, jari jemarinya menyentuh wajah itu.     

Rasanya dada Panji terasa terbakar panas, nafasnya memburu seperti singa yang siap menerkam mangsanya, Panji mengepalkan kedua tangannya, ia berjalan cepat menghampiri dua orang yang sangat dikenalinya itu. Tanpa kata, Panji menarik tubuh ramping itu menjauh, memisahkan si ramping dari pria yang lebih tinggi.     

"Buggghh"     

Panji melayangkan kepalan tangannya pada pemuda yang lebih tinggi. Yang tak lain adalah Bastian. Pukulan yang tiba-tiba itu membuat tubuh Bastian terjengkang kebelakang dan sikunya menghantam batu di belakangnya. Sikunya berdarah, Bastian meringis menahan sakit. Panji belum puas, ia mengangkangi Bastian kembali memukulnya, melampiaskan amarahnya yang meluap.     

"Mas Panji...jangan...!!"     

Algis berusaha menghentikan, tapi apa yang bisa ia lakukan dengan tubuh kecilnya. Radit yang baru saja menemukan Panji ia tercengang melihat apa yang terjadi di depan matanya.     

"Ji..Lo gila ya!!!! Lo mau jadi tontonan orang di sini hah..??!!!" teriak Radit.     

Radit menarik Panji dan mendorong tubuh besar itu menjauh dari Bastian. Dengan tubuh tegapnya Radit berusaha melindungi Bastian dibalik punggungnya.     

"Kasih tau bocah Lo, jangan sekali-kali berani menyentuh milik Gue." kata Panji penuh ancaman.     

Panji meraih pergelangan tangan Algis, membawa si manis pergi dari tempat itu. Meninggalkan Radit dan Bastian.     

Setelah Panji dan Algis pergi menjauh Radit berbalik, melihat keadan Bastian. Ia berjongkok di depan Bastian dan berusaha membantu Bastian untuk berdiri.     

"Lepasin! jangan sentuh Gue. Pergi sana!!" Bastian menepis kasar tangan Radit yang hendak membantunya.     

"Kenapa sih..Lo, masih aja galak sama Gue di saat kayak gini?. Gue mau bantuin Lo, bukan mau gagahin Lo. Kalo Lo gak mau Gue bantu ya udah Gue tinggal Lo di sini."     

Radit bangkit berdiri lalu berjalan menjauh dari Bastian. Biarlah bocah galak itu terkapar di tempat umum sendirian, pikir Radit. Namun baru beberapa langkah berjalan, Radit menghentikan langkahnya. Ia menoleh kebelakang. Dan setelah berpikir sejenak ia memutar tubuhnya kembali menghampiri Bastian. Radit tidak tega.     

"Bawa Gue ke apartemen Lo, gak mungkin Gue pulang dalam keadaan kayak gini." pinta Bastian, saat Radit memapahnya berjalan mencari taxi.     

Ruang kamar Panji terasa sunyi, Algis baru saja selesai mandi. Dinginya suhu kamar membuat kulit halusnya meremang, Algis kedinginan. Ia berjalan mendekati tempat tidur lalu mematikan lampu. Menyalakan lampu meja yang temaram sebagai gantinya.     

Algis menyusul Panji yang lebih dulu membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Pria itu sudah mandi, ia memakai setelan piyama berbahan satin. Pergerakan pada tempat tidur menandakan Algis telah naik ke atas tempat tidur, harum aroma sabun dan shampo dari tubuh Algis menguar memenuhi ruang kamar. Panji tak bergeming, ia memejamkan mata dan tidur membelakangi Algis. Posisi tidur yang tak pernah Panji lakukan selama ia satu kamar dengan Algis.     

Perlahan Algis membaringkan tubuh rampingnya miring menghadap punggung kokoh pria kesayangannya. Ia tau Panji sabgat marah, meski tidak dilampiaskan padanya. Walaupun Panji tidak meneriakinya dan juga tidak kasar padanya. Tapi Algis tau malam ini Panji sedang merajuk, marah, dan butuh penjelasan.     

"Mas...udah tidur?" Tanya Algis dengan lembut, tidak ada sahutan dari Panji.     

"Algis minta maaf Mas....Algis lupa gak kasih tau Mas Panji kalo Algis pergi sama Maura dan Bastian. Algis gak sengaja ketemu dengan mereka di toko" kata Algis berusaha menjelaskan.     

"Mas...liat sini Mas. Liat Algis.." Algis membelai lengan kekar Panji dengan tangannya yang halus.     

"Mas Panji gak mau ngomong sama Algis ya..."     

"Udah malam, tidur lah.." kali ini Panji menyahut.     

"Algis gak bisa tidur kalo Mas gini"     

Algis tidak berdusta, dia sudah terbiasa tidur dalam pelukan Panji. Rasanya aneh jika ia tidur berjauhan dengan pria yang membuat jantungnya berdegub. Panji berbalik, tubuhnya kini menghadap ke arah Algis. Di tatapnya wajah manis di depannya itu, walau kesal Panji sama sekali tidak bisa mengacuhkan si manis lama-lama. Walau marah Panji tidak tega untuk berkata nada tinggi padanya.     

"Lain kali jangan begitu lagi Algis, jangan menghilang tanpa memberitahu aku. Aku hampir gila mencarimu"     

Algis meraih wajah Panji, membelai lembut.     

"Maaf..Algis lupa. Sungguh. Ponsel Algis juga ternyata lowbatt. Algis janji ini yang pertama dan yang terakhir kalinya"     

"Apa kamu begitu senang hingga lupa gak hubungi aku??"     

"Algis lama gak ketemu Maura dan Bastian.Algis gak sengaja Mas, sungguh"     

"Tentu saja, kamu asik berduaan dengan bocah itu" Panji mendengus kesal teringat dengan apa yang dilihatnya tadi. Rasanya Panji ingin mencabik-cabik pemuda itu menjadi beberapa kepingan.     

"Mas Panji salah sangka, apa yang terjadi gak seperti yang Mas Panji lihat."     

"Makssudmu???" Panji mengernyit kan dahi.     

Flash back.     

Ketika Maura berpamitan pulang tinggalah Algis dan Bastian, mereka berdua berdiri di bawah lampu yang terang. Algis gelisah dia baru ingat kalo dia lupa tidak menghubungi  Panji. Ia buru-buru merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya. Tapi ternyata poselnya mati.     

"Apa dia bakal marah banget klo Lo gak bilang dia Gis"     

"Mas Panji bakal khawatir banget Bas, Algis gak mau bikin dia khawatir"     

Bastaian mengangguk, dia mengerti Algis adalah tipe orang yang tidak mau membuat orang lain khawatir.     

"Gue antar Lo pulang sekarang, nanti bisa jelasin waktu udah nyampe rumah dan ketemu dia. Dia gak akan marah kalo dia sayang Lo"     

"Mas Panji gak akan marah sama Algis, tapi dia pasti akan pecat pak Tori kan kasihan kalo ada pelayan yang dipecat lagi"     

Bastian memutar bola matanya malas.     

"Kok Lo bisa sih jatuh cinta sama orang kayak gitu"     

"Bas....." Algis memberi tatapan tidak terima.     

"Oke..oke....dia yang terbaik. Ya udah ayok Gue anter Lo pulang sekarang"     

Mereka berdua baru saja mau melangkah tapi tiba-tiba Algis mengaduh sambil mengucak matanya.     

"Kenapa Gis...."     

"Gak tau kayak ada yang masuk ke mata Algis Bas"     

"Sini, Gue lihat"     

Bastian menarik tubuh Algis mendekat ke arahnya. Lalu memeriksa apakah ada sesuatu yang masuk ke mata Algis.     

Flash back berahir.     

"Jadi begitu.." kata Panji setelah mendengar penjelasan Algis.     

"Hmm..."     

"Tapi dari jauh kalian seperti sedang berciuman"     

"Mana mungkin Mas, Algis gak mungkin lakuin itu sama orang lain"     

Panji mengusap sayang mata kiri Algis yang terlihat merah.     

"Apa masih pedih..udah di obatin belum?"     

"Sudah gak pedih lagi kok, Mas jangan marah lagi ya..jangan pukulin Bastian lagi. Kasihan dia pasti kesakitan. Jangan pecat Pak Tori juga, kasihan Mas" pinta Algis dengan tatapan puppy eyes andalannya.     

Panji merengkuh tubuh ramping itu kedalam pelukannya. Kalo sudah meminta seperti itu Panji tidak bisa tidak berkata iya.     

"Sayang banget sama kamu Gis.."     

Bisik Panji, Algis merapatkan tubuhnya kedalam pelukan pria kesayanganya. Menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Panji seraya menghirup dan menikmati aroma maskulin yang mampu membuainya. Tempat teraman dan ternyaman untuknya saat ini.     

Di tempat yang berbeda..     

"Auuuuu....sakit pelan-pelan " rintih Bastian.     

"Ya ini Gue juga udah pelan-pelan, Lo diam aja nurut. Jangan banyak gerak"     

"Ya Lo juga jangan kasar"     

"Makanya punya bibir jangan main sosor milik orang lain"     

Perlahan Radit mengobati luka di sudut bibir Bastian.     

"Siapa yang nyosor"     

"Kalo Lo gak nyosor gak mungkin Panji mukulin Lo"     

"Temen Lo aja yang brengsek, datang-datang kayak banteng kesurupan. Buat apa juga Gue cium Algis"     

"Jadi Lo gak cium kakak ipar"     

"Lo kira Gue gila. Sinting?! Di tempat umum Gue cium Algis. Lagian Gue udah anggap Algis kayak adek Gue yang perlu Gue lindungin dari orang-orang kaya Lo dan temen Lo itu."     

Radit menatap ke dalam mata Bastian, menelisik mencari-cari jejak kebohongan di dalam mata itu. Tapi tak ia temukan kebohongan di sana.     

"Gue emang sayang Algis tapi bukan sayang dalam artian Gue pengen miliki Algis. Gue hanya ingin lindungi Algis kayak kakak lindungin adek kecilnya"     

"Mulai hari ini Lo gak usah khawatirin itu, udah ada orang yang akan lindungi dia."     

Radit meraih leher Bastian, menarik kepala Bastian untuk mendekat ke arahnya. Sekilas hanya sekilas Radit mencium bibir Bastian dan melumatnya beberapa detik.     

"Yaaa...brengsek!!! Kenapa Lo cium Gue" umpat Bastian tidak terima.     

"Sssttttt....." Radit meletakkan telunjuknya  Pada bibir tipis Bastian.     

"Biar cepat sembuh, biar gak sakit lagi" kata Radit dengan suara pelan di telinga Bastian, hembusan nafas Radit terasa menggelitik di sekujur tubuh Bastian. Membuatnya memalingkan wajah menyembunyikan rasa gugup dan semburat rona merah di kedua pipi sampai telinganya.     

Bersambung.....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.