My wife is a boy

Boleh pulang



Boleh pulang

0Hari ini Algis sudah di ijinkan pulang oleh dokter. Keadaan Algis sudah jauh lebih baik, menurut dokter Algis sudah bisa dirawat jalan. Semua keluarga menjadi sangat senang, apalagi Panji dia orang yang paling bersemangat ketika mendengar Algis diperbolehkan pulang.     
0

Dengan segala cara dan segala alasan Panji meminta ijin kepada orang tua Algis, bahwa Algis tidak pulang ke rumah orang tuanya melainkan pulang ke rumah keluarga Panji.     

Awalnya Pak Prayitno tidak setuju, pria itu menolak. Bagaimana mungkin putranya yang sakit justru dirawat oleh orang lain, ya meskipun keluarga Panji bukanlah orang lain. Mereka besannya. Tapi tidak enak rasanya jika harus merepotkan mereka lagi. Algis adalah tanggung jawabnya sebagai orang tua.     

Namun Panji punya seribu alasan untuk memberi pengertian pada Pak Prayitno, yang berujung dengan anggukan setuju dari pria paruh baya itu. Kembali lagi dia dan istrinya akan merasa sepi karna kedua anaknya tak lagi di rumah. Keduanya akan tinggal di rumah atasannya sekaligus besannya.     

"Mas...kok Bapak dan Ibu gak ikut jemput" tanya Algis.     

Pemuda manis itu baru saja keluar dari dalam kamar mandi, untuk berganti pakaian.     

"Mereka sibuk ada kepentingan. Mama Papa, juga Ajeng mereka  sibuk" Jawab Panji sembari mengemasi barang-barang Algis.     

"Kok bisa semua sibuk sih..Algis kan mau pulang"     

"Kan..ada aku" sahut Panji tanpa menoleh.     

"Tapi kan..."     

"Sudah gak usah dipikirin, mulai sekarang yang penting ada aku udah cukup"     

Algis tidak tau semua orang menjadi sibuk karna Panji yang membuat mereka tidak bisa datang untuk menjemput Algis pulang.     

"Ayoo..kita pulang ke rumah, Nio udah nunggu di depan rumah sakit"     

Panji meraih pergelangan tangan Algis, bermaksud menggandeng si manis namun Algis menolak. Ia memilih berjalan mendahului Panji. Karna Algis masih kesal.     

Di depan pintu rumah sakit Nio sudah menunggu mereka sejak beberapa belas menit yang lalu. Pemuda itu hari ini diminta Panji untuk jadi sopir mereka.     

Panji membukakan pintu belakang mobil, lalu ia berjalan ke arah bagasi mobil, meletakkan barang-barang Algis di sana. Setelah menutup kembali bagasi mobil, Panji berjalan ke arah sisi mobil lalu masuk dan duduk tepat disamping Algis. Tak lama kemudian Nio mulai menghidupkan mesin mobil dan perlahan sedan hitam milik Panji bergerak meninggalkan halaman rumah sakit.     

"Algis..kamu tidur di kamar aku ya..."     

Kata Nio sambil fokus menatap ke arah jalan.     

"Gak usah ngaco" sahut panji datar.     

"Kenapa, kan kasihan kalo dia tidur sendiri di kamar bawah"     

"Siapa bilang Dia akan tidur sendiri, dia gak akan tidur sendiri. Tapi yang pasti gak sama Elo"     

"Huffff...dah lah aku gak ada harapan" gumam Nio hampir tak terdengar.     

"Algis yang tentuin sendiri mau tidur di kamar mana Mas.." kata Algis sambil melihat ke arah Panji.     

"Enggak.! Kamu harus tidur di kamar aku"     

"Nanti Algis ganggu Mas Panji..."     

"Kamu gak ganggu, kamu gak bisa tidur sendiri Gis..kalo kamu butuh apa-apa tengah malam gimana?? aku sudah bicarakan ini sama Mama Papa dan mereka setuju, jadi kamu gak ada alasan buat nolak"     

Algis mendesah pasrah, percuma menolak. Segala sesuatu jika sudah diputuskan oleh Panji jarang bisa ditolak. Sekalipun itu orangtuanya sendiri. Banyak alasan yang bisa dibuat Panji untuk membuat semuanya menjadi mungkin.     

Mau tidak mau Algis harus kembali ke rumah besar Panji dan harus kembali satu kamar dengan pria itu. Senang kah Algis dengan hal itu?Algis hanyalah manusia biasa, bohong jika dia berkata tidak senang. Bisa berdekatan dengan orang yang membuat jantungnya berdegub kencang tentu saja senang.     

Namun tetap saja semua menjadi beban perasaannya, apalagi mengingat kakaknya yang juga tinggal di rumah yang sama. Bagaimana dia harus bersikap didepan kakaknya? apa yang akan dipikirkan kakaknya jika dia satu kamar dengan Panji. Bukankah seharusnya kakaknya yang sekamar dengan pria itu. Ahh....dada Algis berdenyut sakit saat dia memikirkan itu.     

"Ada apa?" tanya Panji khawatir, melihat Algis meringis sembari memegangi dadanya.     

Panji menggeser duduknya lebih merapatkan diri ke tubuh Algis.     

"Apa yang sakit Gis? coba sini aku lihat"     

Perlahan Panji membuka kancing kemeja Algis.     

"Jangan..Mas.." Algis menghentikan pergerakan tangan Panji.     

"Aku hanya mau lihat apa lukanya benar-benar sudah kering. Kenapa dokter sudah membuka perbannya"     

"Iyaa..tapi...." ragu Algis     

Panji tak peduli.     

Ia menyingkirkan tangan Algis yang menghalanginya. Satu persatu Panji membuka kancing kemeja Algis.     

"Apa Lo liat- liat Nio, fokus ke jalan sana" kata Panji seraya melirik pada spion atas. Mata tajamnya bertemu dengan Nio yang curi-curi pandang ke arah belakang.     

"Lakukan itu di rumah kenapa dalam mobil, masih ada aku di sini" ucap Nio, untuk menutupi rasa gugupnya. Wajah Nio seperti orang ketahuan mencuri saat ini.      

Panji tak menghiraukan Nio lagi. Dia memperhatikan luka bekas operasi di dada Algis.     

"Sampai rumah panggil dokter keluarga kita aja, buat diperiksa ulang lagi" Kata Panji sambil kembali mengancingkan kemeja Algis.     

Pemuda manis itu kembali duduk menjauh dari Panji, ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak beradu pandang dengan pria di sampingnya. Jantung Algis berdetak tidak karuan, tidak aman. Ia takut Panji mendengar degup jantungnya.     

Nio membelokkan mobil ketika mereka sudah sampai di depan pintu gerbang rumah mewah keluarga Panji. Pemuda berkulit tan itu lalu memberhentikan mobil persis di depan pintu masuk rumah.     

Seperti biasa ketika melihat mobil majikannya datang Pak Tori bergegas menghampiri lalu mengambil alih mobil untuk di parkirkan di garasi mobil.     

"Algis ketiduran?" kata Nio saat ia melihat Panji tidak segera turun dari mobil.     

"Lo suruh pelayan ambil barang Algis di bagasi mobil"     

Nio menganggukkan kepala.     

Panji perlahan menggeser kepala Algis yang bersandar di bahunya. Ia lalu keluar dan berjalan memutar ke arah pintu mobil sisi kiri. Algis tidur dengan lelap membuat Panji tidak tega membangunkannya.Panji membuka pintu mobil lalu merundukkan badannya. Perlahan Panji mengangkat tubuh Algis ala bridal style keluar dari dalam mobil.     

Membawa tubuh ramping itu masuk ke dalam rumah. Bi Inah dan satu pelayan lainnya yang kebetulan di sekitar ruang tamu, terkejut sekaligus senang saat melihat tuan mudanya pulang membawa sosok manis yang mereka rindukan.     

"Bi Inah, itu kan Den Algis.." bisik wanita muda yang di panggil Nur pada Bi inah, ketika Panji melewati mereka berdua.     

"Ya..ampun kok manis gitu yaa.." Nur jadi gemas melihat Algis tertidur dalam gedongan tuan mudanya.     

"Kamu udah ketularan Nyonya" ketus Bi Inah sambil menggeloyor pergi.     

Wanita muda yang bernama Nur itu cekikikan dan bergegas mengikuti Bi Inah, kembali menjalankan tugas mereka berdua.     

Dengan lembut dan hati-hati,Panji membaringkan tubuh ramping Algis diatas tempat tidurnya. Ia lalu menyelimuti Algis, memastikan pemuda manis itu tidur dengan nyaman.     

Sebelum pergi Panji membelai sayang kepala Algis. Lalu mendaratkan sebuah kecupan ringan di kening pemuda bersurai hitam itu.     

Panji keluar kamar. Ia berjalan menuruni tangga. Lalu berjalan ke arah pintu keluar. Di depan pintu masuk Panji berpapasan dengan kedua orangtuanya.     

"Lho...udah di rumah Ji, Algis mana?"     

tanya Bu Rina.     

"Ada di kamar, lagi tidur" jawab Panji cepat.     

"Kamu mau kemana?" tanya Bu Rina lagi.     

"Keluar bentar penting. Titip Algis Ma.." Panji bergegas pergi meninggalkan Bu Rina dan Pak Suryadi.     

"Pa...maksud Panji titip Algis tuh apa ya..." tanya Bu Rina pada suaminya dengan wajah bingung.     

"Mama di suruh jagain Algis mungkin" jawab Pak suryadi sembari melangkah masuk ke dalam rumah.     

Sore itu Panji sudah membuat janji dengan seseorang. Untuk pertama kalinya Panji dan Ajeng duduk satu meja dan saling berhadapan. Ya...sore ini Panji sengaja menjemput Ajeng dari kampus, kebetulan Ajeng hanya ada satu mata kuliah. Jadi gadis itu bisa keluar kelas lebih awal dari biasanya.     

Mereka berdua memutuskan untuk mampir ke salah satu caffe dekat kampus. Panji memutuskan untuk berbicara serius dengan Ajeng. Dia sudah tidak bisa mengulur waktu lagi. Benar apa yang dikatakan Bastian bocah menyebalkan itu. Bahwa dia harus punya sikap yang tegas untuk memutuskan pilihannya. Agar semua jadi jelas tidak samar dan tidak ada pihak yang tersakiti.     

"Jadi gimana?" tanya Ajeng santai,sambil menyuapkan satu sendok cake ke dalam mulutnya.     

"Kita akhiri saja" jawab Panji tak kalah santai.     

"Apa karna Algis???" todong Ajeng tanpa basa basi.     

"hmmm.."     

"Apa kamu yakin dengan perasaanmu? Dia laki-laki sama sepertimu, bukan seorang gadis"     

"Aku bahkan hampir ikut mati saat melihatnya tergeletak tidak berdaya"     

Mendengar jawaban itu Ajeng tak perlu penjelasan lebih lagi. Dia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana pria gagah dihadapannya ini menangis tersedu disisi tubuh adiknya yang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit.     

"Aku harap kamu bisa membahagiakannya"      

"Aku tidak akan berjanji, tapi aku akan buktikan" jawab Panji dengan penuh keyakinan.     

Ajeng tersenyum tipis lalu menarik nafas panjang.     

"Aku bahkan kalah bersaing dengan adikku"     

"Kamu gadis yang cantik dan cerdas, Pria yang memilihmu itu pasti sangat beruntung, jika bisa mendapatkan mu"     

"Gak usah menghiburku, nyatanya kamu tidak tertarik padaku"     

"Tanpa permisi hatiku terpaut pada adikmu"     

Ajeng tertawa kecil dan menggelengkan kepala mendengar gombalan pria tampan didepannya ini. Pria yang jarang berbicara padanya, jarang berekspresi kini bisa bicara hal puitis jika menyangkut tentang adiknya.     

"Ajeng...." panggil Panji dengan nada rendah.     

Ajeng menatap ke arah Panji, menunggu pria itu bicara lagi.     

"Maafkan aku, maaf jika semua ini menyakitimu"     

Ajeng tersenyum.     

"Lupakan...toh pada dasarnya aku juga tidak menginginkan pernikahan ini. Tolong jaga Algis jangan sakiti Dia jangan pernah tinggalkan Dia"     

Panji menganggukkan kepala.     

Hati Panji terasa lega, satu masalah yang mengganjal dihatinya selama ini menghilang seketika. Ia merasa bebas sekarang. Ia tidak gamang lagi kini hati dan pikirannya penuh oleh satu nama Algis seorang.     

Tubuh ramping tertutup selimut itu menggeliat, perlahan mata bulatnya terbuka. Pandangannya masih sayu, mengedar mengamati sekelilingnya. Aroma maskulin menyapa indra penciumannya, si ramping mulai menyadari ada dimana dirinya sekarang. Mata Algis sudah terbuka sempurna, ia sudah mendapatkan kesadarannya. Namun tubuh kecil itu enggan untuk beranjak dari tempat tidur.     

Algis memeluk guling erat, menenggelamkan wajahnya diantara bantal dan guling, ia mencoba menghirup lebih dalam dan lama aroma tubuh Panji yang tertinggal di tempat tidur.     

"Krukk...Krukkk..."     

Bunyi perut keroncongan membuat Algis tak nyaman lagi berbaring. Dia lapar, jam berapa ini kenapa perutnya lapar minta diisi. Algis menoleh ke arah jam dinding. Rupanya Algis tidur terlalu lama, sekarang sudah jam tujuh malam waktunya makan malam. Pantas saja perut Algis keroncongan.     

Algis beringsut turun dari ranjang. Kaki jenjangnya menginjak lantai. Ia berjalan keluar dari kamar, sepi. Tidak ada siapa pun di ruang tengah ataupun di meja makan. Makan malam sudah tersaji rapi di meja makan namun belum seorang pun duduk di sana.     

Saat sedang menolehkan kepala ke kanan dan kiri pandangan mata Algis tertuju pada satu kamar yang tak jauh dari ruang tengah. Pintunya sedikit terbuka, menarik perhatian Algis untuk mendekat.     

Perlahan Algis mendorong pintu kamar itu. Di dalam kamar nampak kakak perempuannya sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Merasa ada seseorang yang datang Ajeng menoleh ke arah pintu yang terbuka separuh.     

"Algis...." kata Ajeng pelan.     

Algis diam terpaku, dia ingin masuk tapi ragu. Algis tidak nyaman dengan tatapan dingin mata Ajeng belakangan ini.     

"Masuklah" perintah Ajeng dengan nada lembut.     

Algis berjalan masuk dan duduk di pinggir tempat tidur.     

"Bagaimana keadaanmu, maaf aku gak bisa tungguin kamu di rumah sakit"     

Algis masih terdiam, ia bingung. Kakaknya kembali seperti dahulu, tatapan matanya tidak dingin lagi seperti sebelumnya. Gadis itu kembali seperti dulu, sebelum ada Panji di antara mereka.     

"Gis..." Panggil Ajeng.     

"Um....iyaa"     

"Kamu kenapa?"     

"Gak apa-apa Kak" jawab Algis dengan senyum kaku.     

Ajeng duduk di sisi Algis. Gadis itu meraih tangan adiknya lalu menggegamnya erat.     

"Gis...."      

"Aku minta maaf..." ucap Ajeng.     

"Maaf buat apa kak?"     

"Maaf karna sempat mengabaikan mu, maaf sudah buat kamu berada di posisi yang sulit"     

"Kak Ajeng gak perlu minta maaf, Kak Ajeng udah kembali dan ada disini aja, Algis udah senang"     

"Tapi bukan disini tempatku Gis.."     

"Maksud kak Ajeng???"     

Ajeng tersenyum tipis sebelum ia menjawab kebingungan adiknya.     

"Aku gak pernah menginkan pernikahan ini Gis, sejak dulu kamu tau apa yang aku inginkan kan.."     

Algis mengangguk, ia mengerti dari dulu kakaknya ingin mengejar mimpinya menjadi model. Tapi Bapak tidak pernah menyukai mimpi kakaknya, dan justru menikahkan kakaknya dengan Panji hingga terjadi kerumitan ini.     

Lalu apa yang diinginkan kakaknya sekarang, apa kakaknya akan membatalkan lagi pernikahannya. Bicara tentang pernikahan, kakaknya tak benar-benar sah menjadi istri Panji. Tapi ketika Algis membayangkan suatu hari mereka berdua benar-benar sah menjadi suami istri, hati Algis mendadak merasa sakit dan tak rela.     

"Kak...."     

"hmmm..."     

Ajeng menunggu apa yang akan di katakan adiknya. Tapi Algis tak juga bicara. Pemuda itu hanya merundukkan kepalanya dan menautkan jemarinya.     

"Ada apa Gis?" tanya Ajeng penasaran.     

"Ehmmm.. gak apa-apa" Algis berusaha tersenyum kearah Ajeng.     

"Kalo ingin mengatakan sesuatu katakan aja Gis, jangan selalu berdiam diri dan memikirkan orang lain"     

Ajeng membelai rambut hitam adiknya.     

"Jangan selalu hidup untuk orang lain Gis, jangan selalu berusaha membahagiakan orang lain kalo kamu sendiri gak bahagia. Ada kalanya kamu harus memperjuangkan apa yang kamu mau" tutur Ajeng dengan lembut.     

Ajeng tau sebenarnya Algis ingin bicara apa. Adiknya hanya tidak mampu mengatakannya. Dari kecil Algis itu penurut, mengikuti semua apa yang dikatakan kedua orangtuanya. Algis juga selalu hidup dengan terus menjaga perasaan orang lain hingga dia lupa bagaimana cara menjaga perasaannya sendiri.     

Sifat seperti itulah yang terkadang membuat Ajeng jengah. Membuat gadis itu geram. Bagaimana mungkin seseorang bisa memiliki karakter seperti itu. Cintai diri sendiri, perjuangkan apa yang kita mau. Walau kadang kala menjadi egois sekalipun. Bukankah manusia harus seperti itu, jika tidak ingin ditindas manusia lainnya. Itulah prinsip hidup Ajeng.     

"Krukkkkk...."     

Suara bunyi perut keroncongan terdengar kembali dari perut Algis.     

"Kamu lapar??"     

"Ehhh..iya Kak, Algis ketiduran dari siang sampai jam segini" kata Algis sambil tersenyum nyengir memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi.     

"Kamu harus makan yang banyak, sebelum Panji memakan mu" kata Ajeng sambil tersenyum menggoda.     

Algis terkesiap, seketika semburat merah jambu menghiasi pipinya. Melihat itu Ajeng semakin ingin menggoda adiknya.     

"Aku gak nyangka, ternyata kamu punya selera yang unik"      

"Kak Ajeng ngomong apa sih"     

Wajah Algis sudah semerah tomat. Pemuda manis itu jadi salah tingkah, kenapa juga kakaknya tiba-tiba menyebut nama Panji. Dan apa itu tadi? apa maksud dari kalimat kakaknya itu. Apakah kakaknya juga tau tetang perasaannya pada Panji. Kenapa semua orang mudah melihat perasaannya kepada pria itu, apakah sangat terlihat jelas. Jangan-jangan Mas Panji juga tahu perasaanku, kata Algis dalam hati. Ahh..jika orang lain saja bisa tau apalagi dengan orang yang bersangkutan. Baiklah, sekarang ini rasanya Algis ingin menutup wajahnya dengan apa saja untuk mengurangi rasa malu.     

Dua hari setelah itu Panji dan Ajeng benar-benar mengahiri segala sesuatu di antara mereka. Lewat pengacara keluarga, Panji melakukan permohonan pembatalan nikah. Dengan begitu dirinya dan Ajeng dianggap tak pernah terjadi pernikahan diantara mereka berdua.     

Hal itu sempat membuat Pak Prayitno terkejut dan kecewa pada putrinya ditambah rasa tak enak kepada keluarga Panji. Namun Bu Ambar berhasil meyakinkan suaminya jika pernikahan tidak bisa dipaksakan. Jika mereka berdua tidak ingin melanjutkan pernikahan itu lalu bisa apa, sebagai orangtua tidak bisa memaksa. Karna bahagia atau tidak merekalah yang menjalani.     

Ajeng kembali ke rumah orangtuanya, dia kembali menjalani rutinitasnya seperti biasa, kuliah dan juga merangkap menjadi model di salah satu agency besar. Pak Prayitno sudah menyerah kalah, kepala keluarga itu akhirnya memutuskan membiarkan putri kesayangannya untuk mengejar mimpinya.     

Lalu bagaimana dengan si manis??? Dia masih terjebak di rumah Panji, sebenarnya Algis sudah sembuh total dan bisa memulai kegiatannya kembali tapi Panji tidak pernah mengijinkan Algis untuk pulang ke rumah orangtuanya maupun berkuliah.     

Pada kedua orangtua Algis, Panji beralasan Algis masih harus dalam pengawasan dokter pribadi keluarganya. Pak Prayitno seperti biasa kembali mengangguk setuju. Mungkin sifat inilah yang menurun pada Algis. tidak dapat menolak permintaan orang lain.     

"Mas...kalo lepas baju langsung masukin keranjang kotor" kata Algis sambil memunguti pakaian Panji yang berserakan di lantai kamar.     

"Biarin aja, entar ada Bi Inah yang beresin" teriak Panji dari dalam kamar mandi. Suara gemericik air shower menandakan Pria itu sedang mandi.     

"Gak boleh gitu dong Mas..." kesal Algis.     

Benar Algis kesal, karna kebiasaan buruk Panji ini susah hilang. Entah kenapa, jika mandi pria itu terbiasa melepas pakaiannya sebelum masuk kamar mandi dan membuang pakaiannya kemana saja. Pernah Algis dibuat berteriak kaget dan bingung harus mengalihkan pandangannya kemana, saat Panji pulang kerja dan tanpa dosa pria itu melucuti pakaiannya tanpa memperdulikan jika di kamarnya saat itu sedang ada orang lain.Tidak hanya itu, kebiasaan buruk lain adalah Panji susah dibangunkan di pagi hari. Dan itu sekarang menjadi tugas Algis setiap pagi.     

Bersambung.....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.