My wife is a boy

Saling mencintai



Saling mencintai

0Malam ini Algis berencana akan berbicara pada Panji meminta ijin pada pria itu untuk esok diijinkan kembali berkuliah. Dia sudah cukup lama tidak masuk kuliah, bahkan keluar rumah pun jarang karna jika tidak ada yang menemaninya keluar dari rumah Panji tidak akan mengijinkannya. Itupun orang yang Panji percaya dan emang bener-bener Panji yang minta.     
0

Sejauh ini kegiatan Algis hanya diseputar rumah besar Panji. Untuk mengurangi rasa bosan Panji menyiapkan satu ruangan khusus untuk melukis. Jika tidak sedang melukis biasanya Algis meminta Nio untuk menemaninya jalan-jalan. Karna hanya Nio lah di rumah Panji yang tidak sibuk dan harus seijin Panji..huffft. Tapi sekarang Nio sudah kembali ke Melbourne, masa cuti kuliahnya sudah selesai dan dia harus kembali melanjutkan kuliahnya.     

Algis kesepian sekali. Selain para pelayan, tidak ada yang bisa Algis ajak bicara di waktu siang hari. Panji sibuk bekerja dan hanya ketika akhir pekan saja mereka bisa menghabiskan waktu berdua. Mama dan Papa Panji sedang ada di Tokyo untuk urusan bisnis sekalian berlibur.     

Sudah hampir tiga puluh menit Algis menunggu Panji di kamar, tapi pria itu belum juga masuk kamar untuk istirahat. Hanya saat menjelang tidur beginilah Algis dapat berbicara dengan leluasa, karna jika siang hari tidak ada waktu luang Panji menghabiskan waktunya sibuk di kantor.     

"Mana sih..Mas Panji" Algis gelisah, dia menunggu cukup lama.     

Algis beringsut turun dari tempat tidur lalu berjalan keluar kamar menuju ke arah ruang kerja Panji. Tanpa mengetuk pintu dulu Algis langsung membuka pintu masuk ke ruang kerja Panji. Panji tampak terlalu fokus pada layar komputer di depannya dan tidak menyadari kalo Algis sudah ada dibelakangnya.     

"Mas...."     

Mendengar Panggilan itu Panji menoleh ke belakang.     

"Kok belum tidur?" tanya Panji sambil melepas kacamata yang ia kenakan.     

"Nunggu Mas Panji.." jawab Algis dengan wajah lesu.     

Panji tersenyum, lalu menarik tubuh Algis untuk duduk diatas pangkuannya.     

"Gak bisa tidur kalo gak dikelonin ya"     

Goda Panji. Pria itu menenggelamkan kepalanya diantara perpotongan leher Algis, mengendus aroma tubuh Algis yang selalu membuatnya ingin memakan Algis tapi harus ia tahan.     

"Gak..gitu Mas..." elak Algis.     

"Terus...."     

"Boleh gak, besok atau lusa Algis masuk kuliah?"     

"Enggak boleh..." jawab Panji santai.     

"Tapi kenapa sih Mas, Algis udah sehat kok. Algis kan pengen kuliah lagi Mas, pengen ketemu Maura sama Bastian juga.     

"Nah itu...." kata Panji cepat.     

"Aku gak suka kamu ketemu Bastian.."     

"Mas Panji masih berpikir Bastian suka Algis"     

Panji menganggukkan kepala.     

"Bastian hanya teman Algis Mas. Kalo pun iya Bastian suka Algis kan gak apa-apa Mas, yang penting kan Algis..."     

Algis tidak melanjutkan kalimatnya.     

"Kamu kenapa???" tanya Panji     

Algis menggeleng.     

"Yang penting kamu kenapa? kok gak dilanjutin Gis"     

Algis tetap mengggeleng tidak mau menjawab pertanyaan Panji.     

"Jawab gak..."     

Panji mulai menggelitik pinggang ramping Algis.     

"Geli Mas..." Algis berusaha melepaskan diri, tapi tubuh rampingnya tak cukup kuat untuk lolos dari dekapan Panji. Algis tertawa menahan geli sambil masih tetap berusaha melepaskan diri. Tapi Panji justru menggendong tubuh Algis dan membawanya ke kamar.     

"Udah malam kamu harus tidur, obatnya sudah diminum kan"     

"Gak mau...bosen Mas"     

Algis melingkarkan kedua lengannya dileher Panji, untuk menahan dirinya agar tidak terjatuh     

"Harus di minum rutin Algis, biar kamu cepat sehat"     

"Algis udah sehat." jawab Algis sambil cemberut. Dia sudah bosan minum obat terus.     

Sejak pulang dari rumah sakit Algis bertekad tidak akan memaafkan Panji dengan mudah, dia tidak mau dekat-dekat dengan Panji takut ia sakit hati dan kecewa lagi.     

Tapi nyatanya Algis kembali luluh. Apalagi semenjak dia tidak ada hubungan apapun antara Panji dan kakaknya, Algis semakin terperosok dalam perasaan cintanya pada Panji.     

Perlakuan manis semanis madu yang diberikan Panji padanya, membuat kebahagian Algis membuncah meski ia akui ada rasa takut dihatinya. Mencintai Panji adalah hal paling menakutkan yang pernah dilakukan oleh Algis. Ia takut Panji bosan, takut Panji kecewa dan pergi meninggalkanya. Bagaimana jika semua ini hanyalah kesemun belaka.     

Perlahan Panji membaringkan tubuh kecil Algis di atas tempat tidur yang kini sudah menjadi tempat tidur mereka berdua. Lalu ia menyiapkan beberapa obat yang harus di minum Algis sebelum tidur.     

"Minum dulu" Panji memberikan tiga butir obat dan air minum dalam gelas.     

"Gak mau..gak suka..Algis bosan Mas... Algis udah sehat nihhh"     

"Ini yang terakhir, udah habis kok obatnya"     

Si manis akhirnya menurut.     

Algis bergeser memberi tempat untuk Panji menyusul berbaring di tempat tidur. Tangan Algis meraih guling dan meletakkan guling besar itu di tengah, diantara mereka berdua sebagai pembatas.     

Melihat itu Panji tersenyum geli dan menggelengkan kepala. Menurut Algis itu adalah cara untuk menghindari hal yang tidak-tidak.     

"Buat apa sih gulingnya? gak guna juga" kata Panji sambil menarik selimut menutup tubuhnya hingga batas pinggang.     

"Biar Mas panji gak nakal, kata Kak Ajeng harus gini"     

"Tapi tiap pagi gulingnya entah kemana, trus siapa ya yang suka tidur diatas dadaku ya"goda Panji     

"Algis enggak" sahut Algis cepat.     

"Kalo gitu berarti Bi Inah"     

"Kok Bi Inah...gak boleh Mas..."     

Algis merajuk dengan suara manja. Ia memukul Panji dengan guling meminta pria itu menarik kata-katanya. Panji tertawa lepas, tawa yang hanya ia tunjukan Pada Algis, yang hanya bisa dinikmati oleh Algis. Karna selama ini Panji tidak pernah tertawa bahagia seperti itu di depan orang lain, termasuk orangtuanya.     

"Kenapa jadi Bi Inah sih Mas.." Algis masih memukuli Panji dengan guling.     

"Makanya ngaku...duh..sakit Gis.kdrt nih.." Panji berusaha menghindar dari pukulan Algis. Dengan cepat lengan kekar Panji meraih pinggang ramping Algis dan menarik tubuh kecil itu ke atas tubuhnya. Seketika Algis diam tidak bergerak diatas tubuh Panji.     

Dengan lembut Panji menyibak rambut poni Algis yang hampir menutupi mata bulatnya. Dipandangi wajah manis itu lekat-lekat penuh damba.     

"Aku sayang kamu Algis..." kata Panji dengan suara yang lembut.     

"Jangan pernah tinggalin aku"     

"Harusnya Algis yang ngomomg gitu Mas"     

"Kamu gak tau gimana takutnya aku, waktu kamu gak buka mata dua hari Gis..rasanya dunia ini jadi gelap. Maafin aku, kamu harus melewati rasa sakit itu untuk menyadarkan betapa pentingnya kamu buat hidup aku"     

Panji menangkup pipi Algis dengan kedua tangannya, lalu Panji mengecup lembut bibir merah alami milik Algis.     

"Apa Mas Panji gak bakal nyesel.."     

"Menyesal untuk apa??"     

"Setelah ini Mas Panji akan banyak dihina orang, karna Mas Panji sayang sama Algis"     

"Aku udah gak peduli apa kata orang, yang penting aku bahagia, kamu juga bahagia"     

"Tapi Algis laki-laki Mas"     

"Aku sayang kamu, aku tulus cinta sama kamu Gis..gak peduli kamu laki-laki atau prempuan, asalkan itu kamu Gis"     

Panji tidak sedang menggombal tidak sedang berdusta. Ia sangat bersungguh-sungguh. Dulu banyak sekali wanita disekitarnya, berganti teman kencan layaknya berganti pakaian. Tapi itu dulu saat Panji belum bertemu Algis, saat hatinya belum memilih pemuda manis yang sekarang ada dalam rengkuhan pelukannya.     

Algis mampu masuk dan memenuhi hatinya tanpa permisi, mematahkan prinsip hidupnya yang memuja logika. Dimata Panji Algis itu punya hati yang lembut, polos dan sangat menggemaskan apalagi jika sedang gugup atau tersipu malu rasanya Panji ingin memakannya bulat-bulat.     

"Algis juga sayang sama Mas Panji"     

Bisik Algis ditelinga Panji. Hembusan nafas hangat Algis menerpa kulit leher Panji. Membuat darah Panji berdesir. Ia semakin merapatkan pelukannya lalu mengubah posisi, membawa punggung Algis bertemu dengan kasur memposisikan dirinya yang kini berada diatas tubuh ramping itu. Tidak menindih, Panji hanya menopangkan berat badannya dengan satu siku lengan kekarnya.     

Kedua mata mereka bertemu saling beradu, menyelami isi hati masing-masing .Panji membawa jari telunjuknya ke wajah Algis, menyentuh kening itu. Perlahan Panji menarik pelan jari telunjuknya turun ke bawah melewati pucuk hidung bangir Algis. Terus turun menelusuri setiap inci bagian wajah Algis yang ia puja. Si manis memejamkan matanya meresapi sentuhan jemari pria kesayangannya. Jantungnya berdegup hebat mungkin saja Panji bisa mendengar degup jantungnya. Algis tak peduli lagi jika memang Panji mendengar debaran jantungnya.     

Jari Panji berhenti tepat di bibir mungil Algis dan mengusapnya lembut. Matanya memandang penuh puja pada pemuda dibawahnya. Ahh...betapa menawannya si manis ini, selalu membuatnya merindu. Rindu untuk menyentuh dan melepaskan dahaga kelakiannya.     

Panji menundukkan wajahnya mendekatkan bibirnya pada bibir mungil Algis, mengecup lembut. Lalu memanggut mesra bibir ranum itu. Jantung Algis berdebar semakin kencang timbul rasa aneh yang menghinggapinya, rasa yang membuatnya bergetar dan ingin terus merasakan bibir hangat Panji. Tanpa sadar Algis sedikit membuka bibirnya, kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh Panji. Ia semakin dalam mencium, menyecap bibir lembut Algis dan memsukkan lidahnya menelusuri rongga mulut Algis. Algis tidak pandai berciuman, dia pasif dia pasrah tidak membalas hanya menikmati. Namun tak mengapa, serahkan semua pada sang ahli. Tanpa membalas pun, bibir Algis yang terasa manis itu sudah sangat memabukkan Panji.     

"ughhh...." sebuah erangan rendah lolos dari bibir mungil Algis, membuat bagian bawah Panji semakin mengeras.     

Gairah mulai mengusai Panji semakin lama ciumannya semakin dalam. Ia tak henti memanggut, rasanya Panji bisa gila mabuk kepayang karna rasa manis yang ia rasakan. Belum pernah Panji merasakan bibir semanis dan selembut milik Algis rasanya beda tak sama dengan wanita-wanita yang pernah bersamanya dulu. Apakah karna ia melakukannya dengan cinta??entahlah.     

"Mas....." Algis terenggah ketika Panji melepas ciumannya memberinya jeda untuk mengambil nafas.     

"Aku sayang kamu Gis...." ucap Panji dengan suara rendah setengah berbisik dan mencuri sebuah kecupan lagi di bibir Algis.     

Algis tersenyum bahagia, tatapan matanya sayu wajahnya merona merah, nafasnya memburu. Hal itu justru semakin membuat Panji tak tahan, ia ingin melakukan lebih dari sekedar berciuman.     

Panji kembali memajukan wajahnya, mendaratkan bibirnya pada leher Algis. Dengan bibirnya Panji menelusuri kulit halus leher Algis. Menggigit mesra meninggalkan jejak merah pada kulit putih itu sebagai tanda kepemilikannya. Algis kembali mengerang, ia mendongakkan wajahnya menahan rasa nikmat yang membuatnya pusing bagaikan melayang ke awang-awang.     

Tangan kekar Panji tak lagi diam, jemarinya mulai masuk menelusup ke balik piyama. Mengelus lembut pinggang Algis yang ramping.     

"Ahh.." Desah Algis ketika jemari Panji menyentuh dadanya, menyentuh salah satu bagian sensitifnya.     

"Gis..." Panggil Panji dengan suara berat.     

"Boleh ya..."     

Kedua mata mereka beradu saling pandang. Terlukis kebingungan pada tatapan Algis.     

"Boleh apa Mas??"     

"Sentuh kamu.."     

Algis mengerutkan kening. Kenapa baru bertanya, bukankah dari tadi Panji sudah menyentuhnya.     

"Sentuh semuanya.." seakan Panji tau kebingungan Algis.     

"Kita nyatu...boleh kan??"     

Demi Tuhan....Panji tidak pernah ijin pada siapapun sebelumnya. Ia tidak pernah meminta, semua yang pernah bercinta dengannya datang dan dengan sukarela menyerahkan dirinya, dengan sukarela pula membuka kaki untuknya. Tapi kali ini berbeda, Panji menginginkan Algis menjadi miliknya seutuhnya, namun dia tidak mau menjadi pria buruk dan bejat di mata Algis. Dia ingin memberikan pengalaman pertama Algis menjadi sesuatu yang indah bukan sesuatu yang hanya sekedar pemuas gairah nafsu sementara. Untuk itu Panji meminta ijin. Meminta kerelaan Algis untuk membiarkan raga mereka menyatu dalam pergulatan panas nantinya.     

"Tapi Algis enggak tau caranya" kata Algis dengan polosnya.     

Panji terkekeh geli. Ia mencubit pelan hidung si manis. Sudah abad milenial begini ternyata masih ada orang sepolos Algis.     

"Kamu nurut aja, biar aku yang gerak" Bisik Panji.     

Mata bulat Algis berkedip-kedip imut. Membuat Panji gemas dan semakin tak tahan. Ia kembali meraup bibir Algis dan membawanya ke dalam ciuman panas yang lebih dalam dan menuntut. Jemarinya kembali mengelus dan meraba tubuh Algis di balik piyama yang ia kenakan. Si manis menegang, rasanya sudah tak seindah yang tadi, masih nikmat tapi muncul rasa takut menghinggapi hatinya. Apa yang akan terjadi setelah ini? bagaimana melakukanya, Panji laki-laki dia juga Laki-laki bagaimana cara menyatunya. Dia harus bagaimana?. Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benak si manis di sela-sela hujan kecupan yang Panji berikan.     

"Mas...jangan"     

Algis menghentikan pergerakan tangan Panji yang hendak menarik turun celananya.     

"Jangan Mas..Algis takut" mohon Algis.     

Panji terpaku diam, hasrat yang sudah di ubun-ubun harus ia tahan. Ia agak menjauhkan tubuhnya dari Algis.     

"Jangan sekarang..Algis gak siap, Algis takut Mas.."     

Panji akhirnya merebahkan tubuhnya disamping Algis. Ia mengatur deru nafasnya dan Ia memiringakan tubuhnya lalu meraih pinggang Algis untuk menghadap ke arahnya.     

"Maafin Algis Mas..."sesal Algis, ia jadi merasa bersalah.     

Panji tersenyum tidak ada gurat kecewa di wajahnya.     

"Gak apa-apa, kita bisa lakukan kalo kamu udah siap"     

Panji membelai sayang surai hitam Algis.     

"Mas gak marah kan.."     

"Enggak..kenapa harus marah. Aku gak akan maksa kamu Algis..aku sayang kamu gak ingin nyakitin kamu"     

Panji menarik tubuh ramping Algis merapat ke dalam pelukanya. Ia mencium lembut kening Algis memberi rasa nyaman, mencoba meyakinkan Algis bahwa dia tidak marah.     

Panji memang tidak marah, jika malam ini Algis menolak ia bisa mengerti. Dia tidak akan memaksa, rasa sayangnya pada Algis sudah luar biasa dia tidak ingin menyakiti pujaan hatinya. Ia akan sabar menunggu sampai Algis siap menerima dirinya seutuhnya.     

"Tidur lah...gak usah dipikirin, hmmm.." ucap panji lembut lalu mengecup ringan bibir mungil Algis.     

Panji memeluk Algis dalam dekapannya, menepuk-nepuk pelan punggung Algis supaya Algis nyaman dan cepat tidur. Harusnya Panji tidak gegabah, Algis itu sangat polos walau usianya bukan anak remaja belasan tahun lagi. Bahkan Panji tidak yakin kalo Algis pernah melihat video porno sebelumnya. Apalagi hubungan mereka juga tidak seperti pada umumnya. Wajar saja jika Algis ada rasa ragu dan takut.     

"hheeehhh" Panji mendesah Panjang.     

Ia melirik ke arah wajah si manis. Mata bulat dengan bulu mata tebal dan panjang itu sudah menutup rapat lelap dalam tidur. Panji memandangi wajah itu sebentar lalu mengecup kedua kelopak mata yg terkatup rapat.     

Pelan-pelan Panji melepaskan pelukannya. Mengganti tubuhnya dengan guling kesayangan Algis. Panji meraih selimut tebal disisinya lalu menyelimuti Algis hingga batas dada. Perlahan Panji pun turun dari tempat tidur lalu berjalan menuju kamar mandi. Ia harus menyelesaikan misi yang tertunda.     

Bersambung...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.