My wife is a boy

Di jemput Mas Panji



Di jemput Mas Panji

0Ada waktu untuk berharap     
0

Dan ada waktu untuk berhenti     

Ada masa untuk memperjuangkan     

Namun ada juga untuk mengiklaskan     

Ajeng duduk seorang diri di halte bus yang tidak jauh dari lokasi kampusnya.Ia meluruskan kedua kakinya lalu menyandarkan punggungnya pada tiang halte. Gadis bersurai panjang itu mengeluarkan ponsel dari dalam tas.     

Jarinya menekan tombol power dan seketika layar ponsel menyala menampilkan foto dua orang yang sangat mirip meski tidak kembar.Ajeng tersenyum tipis menatap kerah layar ponsel miliknya.     

"Maafin kakak"gumamnya.     

Jari lentik Ajeng beralih membuka menu kontak lalu mencari nama orang yang bisa ia hubungi untuk menjemputnya.     

Jari Ajeng berhenti menggulir layar ponsel saat ia membaca nama Panji. Membaca nama itu ia jadi teringat kejadian siang tadi di kampus saat Panji mengantarnya. Tanpa di sangka di saat yang sama ia bertemu dengan Algis dan teman-temannya.     

Saat itu Ajeng bisa menangkap rasa canggung dan sedih dari tatapan mata adiknya.     

"Hehh..."Ajeng menghela nafas panjang.     

Mau tak mau Ajeng harus melakukan semua ini walau mempertaruhkan kehidupan pribadinya atau mungkin mempertaruhkan kebahagian adiknya.     

Menggapai mimpi tanpa dukungan orang tua itu sungguh melelahkan rasanya seperti berjalan seorang diri. Tidak ada kata-kata semangat yang bisa ia dengar dari orang-orang terkasih.     

Jadi jika memang menikah dengan Panji anak orang kaya itu bisa mendongkrak karirnya di dunia model, Ajeng tak apa.     

Toh sejauh ini Ajeng tidak melihat ketertarikan Panji pada dirinya, apalagi dengan bukti kejadian tadi siang ketika dengan sengaja ia menempelkan bibirnya pada pipi pria itu.     

Harusnya Panji tersipu malu atau minimal tersenyum lembut ke arahnya biar bagaimanapun juga dia calon istrinya, lagipula dirinya juga adalah gadis yang sangat cantik. Normalnya seorang pria tidak akan menolak mendapatkan kecupan darinya.     

Namun apa yang terjadi tadi siang, pria itu justru mengeraskan rahangnya. Matanya tak berkedip memandang ke arah orang lain bukan pada dirinya.     

Kesimpulannya, tak apa jika saat ini dia menjadi calon istri atau jadi istri Panji. Nanti jika dia sudah menggapai cita-citanya, mereka bisa berpisah dengan alasan klise yang biasa diucapkan oleh para selebritis tanah air.     

"Kami sudah tidak ada kecocokan"     

Beres kan.     

Jemari Ajeng kembali menggulir deretan nama pada kontak ponselnya.     

"Hallo....Pak Tori..jemput saya sekarang ya pak, di halte dekat kampus"     

Setelah mengatakan itu Ajeng memutus sambungan telpon lalu menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas.     

Ia urungkan niatnya untuk menelpon Panji untuk menjemputnya.     

Radit berdiri di depan meja makan, pria itu sibuk menata hidangan makan malam untuk dirinya dan untuk seseorang yang sekarang ini sedang membaringkan kan tubuh besarnya pada sofa di ruang tamu.     

Sahabatnya si Panji, malam ini berkunjung ke apartement miliknya.     

"Ji... makan dulu sini" teriak Radit.     

"Masak apaan Lo...bentuknya gak meyakinkan gini"Kata Panji sambil menarik kursi dan mendaratkan bokongnya.     

Ia duduk lesu tidak bersemangat. Pikirannya terus melayang pada satu orang.     

"Coba dulu di makan, jangan liat sesuatu dari tampilannya"     

Panji mengedikkan bahu cuek.     

"Makan yang banyak Ji..biar kuat"     

"Gue udah kuat" sahut Panji     

"Ahhh...masa?? Gue sanksi deh Ji..pusaka Lo kan dah lama gak di pakek"     

"Sok tau!"     

"Tau lah...muka lo kusut gitu kelihatan banyak muatan hehhe"     

"Gue telponin si Sandra ya...Tu cewek masih pengen ketemu Lo. Saban hari kirim pesan ke gue nanyain Lo, Keji banget sih Lo...habis manis sepah dibuang"     

"Kayak yang ngomong gak" jawab panji datar, sambil menyuapkan makanan ke mulutnya.     

"Serius Ji... Gue kabarin tuh cewek ya kalo Lo di sini"     

"Ogah mau buat apaan"     

"Buat puasin pusaka lo"     

"Malesssss" tolak Panji cepat.     

"Ya udah...Gue telpon kakak ipar ya Ji..."     

"Uhukkkk...."     

Panji terbatuk-batuk karena tersedak makanan yang baru saja akan ia telan. Radit segera menyodorkan segelas air putih ke arah sahabatnya.     

"Reaksi Lu gitu ya kalo ada yang nyebut bini Lu"     

Panji menghentikan makannya, ia kembali meneguk air putih untuk menghilangkan rasa panas dan sakit di tenggorokannya.     

"Dia udah gak tinggal di rumah gue lagi"     

"Ehhh seriusss!..sejak kapan.. Kok Lo baru cerita!?"     

"Udah semingguan ini, kakaknya udah balik. Sekarang gantian kakaknya yang tinggal di rumah gue"     

"Jadi istri Lo udah pulang??" Tanya Radit dengan mimik wajah terkejut.     

"Dia bukan istri gue"     

"Bukan istri Lo gimana ceritanya. Secara hukum dia istri sah Lo Ji, Nama kalian udah ada di catatan sipil. Lo juga ada buku nikahnya kan"     

"Tapi yang duduk di samping gue pas nikah bukan Dia. Yang tanda tangan di buku nikah juga bukan Dia"     

"Wahhhhh.....trus Lo maunya siapa istri sah Lo..."     

Panji terdiam.     

"Gila aja Lo mau semuanya. Gak kakak gak adek mau Lo miliki semua"     

"Gak gitu juga bangsat!!!" umpat Panji.     

Radit terkekeh geli.     

"Ji... menikah itu gak sesederhana yang Lo bayangin, Menikah itu sebuah komitmen untuk hidup bersama hanya pada satu orang dan satu hati"     

"Terus...." Panji masih dengan ekpresi datar.     

"Ya lo gak boleh egois dong Ji..Lu mengikat anak orang dalam pernikahan tapi Lo gak jalanin kewajiban Lo, kan kasian anak orang"     

Panji kembali terdiam, apa yang di katakan sahabatnya itu adalah benar. Panji mengerti tak perlu ia jauh berpikir.Cukup ia melihat pada hubungan kedua orangtuanya. Papa Mamanya mengarungi biduk rumah tangga berlandaskan cinta yang kuat.     

Menurut cerita Tante Mela, Papanya dulu berasal dari keluarga sederhana tapi nekad meminang Mamanya yang jelas anak dari orang berada. Klise... hubungan mereka pun tak direstui orang tua. Tapi karna cinta, Mamanya lebih memilih lari dengan orang yang dicintai, meninggalkan segala kemewahannya.     

Papa Mamanya memulai hidup mereka dari bawah merangkak dari nol hingga sekarang. Meskipun Papa sekarang sukses tapi tidak pernah Panji mendengar Papanya bermain api dengan wanita-wanita di luar. Bahkan Papa tetap setia pada Mama meski wanita yang telah melahirkanya itu tidak bisa lagi memberi keturunan selain dirinya, anak satu-satunya.     

Panji kembali melihat dirinya sendiri, Mampukah dia seperti papanya. Bisakah dia menerima Ajeng sebagai istrinya dengan sepenuh hati. Tertarik kah dia pada gadis itu?? jawabannya TIDAK!!!! otak Panji cepat menjawab seperti itu.     

Lalu bagaimana dengan pemuda manis yang belakangan ini bayangannya memenuhi isi kepalanya. Tertarik kah???? "Iyaaa".. apa yang membuat tertarik?? "menggemaskan". lalu cinta kah???" "loading" begitu pertanyaan itu berputar di kepalanya, otak Panji loading lama. Mirip smartphone yang susah sinyal.Berputar saja.     

"Arrgghhh..."     

Panji mengacak-acak rambutnya sendiri, frustasi.     

Radit sang sahabat yang sedang mencuci piring bekas makan malam mereka menggelengkan kepala melihat polah sahabatnya.     

"Untuk urusan cinta kita gak bisa Ji menentukannya pakek logika, untuk yang satu itu harus pakek hati"Ucap Radit.     

Selesai mencuci piring Radit lalu mengeringkan tangannya dengan lap kering. Pria itu kembali duduk dihadapan Panji.     

"Kalo Lo masih pakek logika gak akan pernah ketemu jawabannya. Akan selalu salah..yang gak cocok lah...yang gak masuk akal lah..dan masih banyak alasan lainnya"     

"Coba Lo pakek ini" Lanjut Radit sambil menunjuk dadanya sendiri.     

"Apa gue harus percaya sama nasehat orang yang gak lebih baik dari gue"     

"Setidaknya Gue gak denial kayak Elo ndoro..." kesal Radit.     

"Dah lah..males Gue ngomong sama Lo..mending Gue telpon my baby bala bala"     

Radit bangkit berdiri lalu berjalan ke arah balkon. Setelah menemukan tempat yang nyaman, Radit mengeluarkan ponselnya lalu menekan nomer bernama BASTIAN.     

"Hallo..beibeh..."     

sapa Radit saat mendengar sambungan telpon di angkat oleh seseorang dari seberang telpon.     

"Lo...napa sih..dari tadi brisik telponin gue terus!!!"     

Suara Bastian menggelegar ditelinga Radit hingga membuat ia menjauhkan telpon dari telinganya.     

"Ya..ampun sayang galak banget sihh, tapi gak apa kok gue demen sama yang galak"     

"Jijik gue kamprett" Teriak Bastian.     

"Gak boleh ngomong gitu Baby sama suami heheheee"     

"Dasar gila!!!"     

"Gila karna mu beibieh.."     

"Hentikan sialan gue mau muntahh"     

tut...tut....tut...     

Sambungan telpon terputus, Radit tersenyum geli ia kembali menekan nomer telpon Bastian.Tak lama ada suara teriakan dan umpatan lagi terus seperti itu.     

Itu adalah hiburan tersendiri bagi Radit, menggoda Bastain adalah hal yang menyenangkan. Pemuda itu tak henti meneriakinya, mengumpatnya namun tiap kali Radit menghubunginya, Bastian akan selalu menjawab telpon darinya. Aneh bukan????.     

Lama- lama Radit terbiasa dengan kata-kata kasar Bastian. Baginya umpatan Bastian seperti bisikan mesra yang membuatnya merasa senang.     

Panji duduk di kursi kebesarannya, tangannya sibuk membuka dokumen dan berkas-berkas yang harus ia periksa dan harus ia tanda tangani.     

Harusnya sebagian ia kerjakan kemarin, tapi karna kemarin Panji pulang cepat alhasil perkejaan nya hari ini menumpuk.     

"Tok...tok...tok" Suara ketukan dari luar pintu mengejutkan Panji.     

"Masuk" teriak Panji dari dalam ruang kerjanya, ia masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya.     

Pintu ruangan Panji terbuka. Seorang gadis bertubuh tinggi langsing dengan rambut sebahu berjalan masuk ruangan dengan membawa sebuah tablet di tangannya.     

"Ada apa Cin.." Tanya Panji,sejenak ia menghentikan gerakan tangannya memeriksa dokumen.     

"Selamat siang Pak...saya hanya mau mengingatkan malam ini Bapak ada pertemuan dengan Mr.Kurosawa untuk makan malam dan sekaligus membicarakan kerjasama dengan Mr.Kurosawa di restoran xxx"     

jelas Cindy sekertaris Panji sembari membaca catatan pada tablet yang ia pegang.     

"Ehmm...." Panji mengangguk kan kepala.     

"Kamu sudah cari tau apa yang orang itu suka??"     

"Menurut informasi..Mr.kurosawa sangat menyayangi anaknya dan malam ini beliau membawa anak dan istrinya untuk bertemu Bapak"     

Cindy kembali membaca catatan di dalam tabletnya.     

"Ohhh...kalo begitu kamu cari tau apa yang di sukai anak-anak jepang"     

Perintah Panji.     

Mr.Kurosawa adalah seorang pengusaha dari Jepang. Panji harus bisa mengambil hati orang itu untuk memuluskan keinginan Panji untuk memperluas jaringan hotelnya. Rencananya adalah untuk membangun sebuah hotel mewah di Jepang. Akan sulit terwujud jika Panji tidak bekerja sama dengan Mr.Kurosawa.     

"Putri dari Mr.Kurosawa sangat suka menggambar Pak"     

"Baguslah kalo begitu...bukankah kamu pandai menggambar Cin, telpon pihak restoran dan katakan untuk menyiapkan segala sesuatunya"     

Cindy tak segera menjawab. Sekertaris Panji itu terdiam sejenak.     

"Ada apa Cindy...." tanya Panji seakan dia tau kegelisahan sekertarisnya.     

"Maaf Pak....saya tidak bisa menemani Bapak, Ibu saya malam ini dijadwalkan operasi. Saya sudah menyampaikan ini sama Bapak kemarin"     

Panji terdiam, ia berpikir sejenak. Kepalanya terlalu penuh nama satu orang. Sampai-sampai dia lupa tentang Cindy yang kemarin meminta ijin tidak bisa menemaninya malam ini.     

"Baiklah...carikan sekertaris dari departemen lain untuk menggantikanmu.Pastikan dia bisa menggambar"     

Titah Panji.     

"Sudah saya carikan pengganti saya Pak..Ella akan menemani Bapak"     

"Baik lah...kamu boleh keluar sekarang"     

"Baik Pak.... permisi"     

Setelah pamit undur diri Cindy memutar tubuhnya lalu berjalan keluar dari ruangan Panji.     

Panji termenung, ia memandang keluar jendela sembari mengetuk-ngetuk pulpen di atas meja.     

Soal menggambar bukankah ada sesorang yang lebih mengerti tentang itu pikir Panji. Terlintas dalam benaknya untuk menghubungi satu nama, Algis.     

Panji merogoh benda persegi empat dari saku celananya, lalu mencari nama Algis dari menu kontak.     

Sudut bibirnya berkedut ketika membaca nama Algis di dalam ponselnya. Tidak tau pasti dan entah sejak kapan Panji memberi nama my wife is a boy pada kontak nomer ponsel Algis.     

Panji membuka kotak pesan whatsapp lalu mengirimkan sebuah pesan ke nomer Algis.     

Panji : Lagi di mana?? bisa kita bertemu??     

Pesan terkirim.     

Semenit...dua menit..tiga menit...hingga lima belas menit berlalu tidak ada balasan pesan dari Algis.     

Panji mulai gelisah entah sudah berapa kali dia berjalan memutari ruang kerjanya untuk menghilangkan rasa gelisah menunggu. Dia bahkan melupakan setumpuk pekerjaan yang harusnya ia selesaikan.     

Kenapa Algis tidak menjawab, bukankah biasanya Algis akan segera menjawab jika ia mengirim pesan. Apakah karna kejadian kemarin saat Ajeng mencium pipinya. Ahhhh dia akan menjelaskan hal itu pada Algis nanti. bahwa apa yang terjadi tidak seperti yang Algis pikirkan.     

Tapi tunggu dulu...Kenapa dia harus menjelaskan pada Algis??? untuk apa???kenapa kedengarannya seperti seorang kekasih yang menjelaskan pada pasangannya yang sedang cemburu. Emang Algis cemburu???     

Arrggghhh....Panji pusing kepalanya berdenyut. Berulang kali Panji membenturkan kepalanya pada meja kerjanya berharap kewarasannya kembali.     

Kling...     

Sebuah pesan whatsapp masuk. Secepat kilat Panji meraih ponselnya dan membuka pesan.     

Algis : Algis udah di rumah Mas..baru pulang kuliah.     

Tak perlu menunggu lama Panji segera mengirim balasan.     

Panji : Aku jemput ya...aku mau Ajak kamu ke suatu tempat.     

Lama tak ada jawaban lagi.     

Rasanya Panji ingin melempar ponselnya. Dia tidak suka dibuat menunggu.     

Algis : Mau kemana Mas..     

Panji : Bersiaplah aku jemput sekarang!!!!     

Balas Panji bernada memerintah. Setelah itu Panji meraih jasnya lalu pergi meaninggalkan kantor untuk menjemput Algis di rumah.     

Membaca balasan pesan Panji, Algis tersenyum bahagia. Ia persis seorang gadis yang bahagia di ajak kencan oleh gebetannya.     

Pemuda itu kembali membuka layar ponselnya, memastikan tadi dia tidak salah baca. Panji akan datang ke rumahnya, menjemputnya. Mengajak dirinya pergi ke suatu tempat.     

Sudah berhari-hari Algis menahan rindu tidak bertemu dengan Panji. Lalu tiba-tiba pria itu menghubungi dan mengajaknya ke suatu tempat. Bolehkah Algis sejenak melupakan segala batasan yang ada. Bolehkan untuk kali ini Algis melakukan apa yang seharusnya tidak ia lakukan.     

Untuk kali ini Algis ingin melakukan sesuatu demi dirinya sendiri tanpa harus memikirkan orang lain. Untuk kali ini saja.     

Algis membuka lemarinya, pemuda manis itu membongkar semua pakaian terbaik yang ia punya. Satu persatu Algis mencoba pakaian yang menurutnya cocok untuk ia kenakan,namun belum satu pun ada baju yang pas menurut Algis. Jika tau Mas Panji akan mengajaknya pergi dia pasti akan beli baju baru pikirnya.     

Kamar Algis mendadak jadi berantakan, semua pakaiannya berserakan di atas tempat tidur.     

Algis berdiri di depan cermin merapikan rambutnya. Akhirnya Algis menjatuhkan pilihan pada celana jeans slim fit warna hitam sobek-sobek di bagian paha dipadukan dengan kemeja panjang motif daun. Untuk pemanis Algis mengenakan kalung warna silver menghias leher jenjangnya. Seperti biasa tidak lupa Algis membuka dua kancing kemeja bagian atas.Memperlihatkan dadanya yang putih halus.     

"Gis...."     

Suara Bu Ambar dari ambang pintu kamar Algis. Wanita paruh baya itu terkejut melihat kamar Algis sudah mirip kapal pecah.     

"Kok berantakan gini Gis..."     

"Heheh Algis cari baju yang pas Bu, malu pakek baju asal depan Mas Panji..." Sahut Algis sambil tersenyum bahagia.     

Namun tidak lama senyum itu memudar ketika Algis teringat tidak seharusnya ia bicara seperti itu.     

"Maksud Algis....."     

"Ibu tau....."potong Bu Ambar,Wanita itu terseyum sebentar,menjeda kalimatnya.     

"Nak Panji tadi sudah kasih tau Ibu, Mama Papanya kangen kamu dan ngajak kamu makan malam. Jadi kamu harus pakek baju yang bagus kan" lanjut Bu Ambar.     

Perlahan Bu Ambar membelai surai hitam putra kesayangannya. Wanita itu tersenyum menatap wajah manis Algis dengan tatapan yang tak Algis mengerti.     

"Anak ibu udah besar....Ibu sayang kamu dan Ajeng, Ibu sayang kalian berdua. Asal kamu bahagia ibu juga bahagia Algis...."     

Ucap Bu Ambar pelan. Tangannya masih membelai Algis. Dan si manis hanya tersenyum canggung.     

"Mas... Mama Papa beneran mau ketemu Algis?"     

Tanya Algis pada Panji ketika mereka berdua sudah ada di dalam mobil.     

"Enggak...Mereka sekarang lagi di pesta temannya"     

"Lho..terus kita mau kemana?"     

"Ikut aja..nanti juga tau" Jawab Panji     

Ya..Panji terpaksa berbohong pada Bu Ambar, alasan dia menjemput Algis karna orangtuanya yang meminta. Tidak mungkin kan Panji akan jujur Pada Bu Ambar kenapa dia menjemput Algis.     

Panji menoleh ke arah Algis mengamati penampilan Algis yang sangat menggemaskan.     

Merasa diperhatikan Algis jadi salah tingkah, ia mengingat-ingat apa ada yang salah dengan penampilannya tapi seingatnya tidak ada. Lalu kenapa pria disampingnya ini terus melihat ke arahnya.     

"A-ada apa Mas..."tanya Algis lirih.     

tak ada jawaban.     

Panji justru mendekatkan tubuhnya kepada Algis, memangkas jarak antara mereka berdua.     

Algis jadi gugup jantungnya berdegub tidak karuan, sekarang posisi Panji benar-benar berada tepat di depan wajahnya. Hembusan nafas Panji terasa hangat menerpa wajah Algis. Si manis semakin gugup, Ia memalingkan wajahnya ke samping untuk menghindari tatapan mata Panji dan hidung mancung Panji yang hampir saja menyentuh pipi halusnya.     

"Ma-mas mau apa???" Tanya Algis lagi dengan suara sangat pelan.     

Jantungnya semakin berdegub tak karuan, kedua pipi Algis memanas dan merona merah menggemaskan.     

"Pakai seat beltnya....."bisik Panji sembari meraih seat belt di sisi Algis lalu membantu Algis untuk memasangkannya.     

Algis membuang nafas lega, rasanya jantungnya sudah seperti akan lepas dari dadanya. Melihat itu Panji tersenyum penuh kemenangan. sudah lama ia tidak melihat ekpresi gugup Algis yang menggemaskan, Apalagi rona merah di pipinya. Sangat lucu dan imut.     

"Kenapa..?? apa kamu berpikir aku akan menciummu???" Goda Panji     

"Enggak....."Sahut Algis pelan hampir tidak terdengar.     

Ia sibuk memalingkan wajahnya kemana saja asal tidak beradu pandang dengan pria di hadapannya.     

"Kamu lucu..."     

Kata Panji sambil tersenyum dan mengusak manja pucuk rambut Algis yang lembut dan beraroma strawberry. Si manis tersipu malu. Perlakuan Panji sungguh tidak baik untuk kesehatan jantungnya.     

Panji kembali duduk tegap menghadap depan lalu menyalakan mesin mobil. Perlahan mobil mulai berjalan meninggalkan pelataran rumah Algis.     

Sepanjang perjalanan mereka berdua tidak banyak bicara. Panji fokus pada kemudinya sedangkan Algis, pemuda itu memandang keluar jendela bibirnya diam-diam mengulum senyum. Ia sedang membayangkan kemana Panji akan membawanya. Apakah akan ke tempat dimana dulu Panji pernah membawanya jalan-jalan sore. Saat itu adalah hal yang paling membahagiakan buat Algis.     

Mobil berhenti perlahan di depan halaman sebuah salon besar. Algis mengerutkan kening bingung. Untuk apa Panji membawanya ke salon.     

"Kenapa ke salon Mas..."     

Tanya si manis sembari melepas sabuk pengaman.     

"Gis....malam ini aku mau minta bantuanmu.."     

"Bantuan apa Mas.." Algis bingung     

"Malam ini aku ada tamu dari Jepang, tamu penting. Dia datang dengan anak dan istrinya, kebetulan anaknya suka menggambar. Harusnya sekertarisku yang menemaniku malam ini, tapi dia tidak bisa ikut ada hal mendesak lainnya"     

Panji menangkup wajah Algis dengan kedua tangannya.     

"Mau kan kamu malam ini temani aku makan malam bersama mereka menggantikan sekertarisku..hanya menemani aku"     

Seketika itu hati Algis patah menjadi dua. Jantungnya yang berdegub seakan menjadi remuk. Rasa kecewa teramat sangat menelusup memenuhi rongga dadanya. Sakit..sangat sakit.     

Untuk kesekian kalinya Panji membutuhkan dirinya namun untuk menjadi orang lain. Menyuruhnya untuk memerankan orang lain, Jika sebelumnya ia harus pura-pura menjadi istrinya dengan identitas kakaknya, sekarang dia harus berperan menjadi sekertarisnya.     

Panji tak akan pernah benar-benar melihatnya, membutuhkannya sebagai sosok Algis. Lalu apa itu tadi, Untuk apa dia membayangkan akan menghabiskan waktu bersama Panji jika pada akhirnya dia harus menjadi orang lain terlebih dahulu untuk dapat berada di sisi Panji.     

"Gis....."     

"Iyaa Mas...."     

"Kamu mau kan..."     

Algis tersenyum. Senyum yang ia paksakan.     

"Iya....asal bisa bantu Mas Panji"     

Panji meraih tubuh ramping Algis membawa dalam dekapannya.     

"Makasih yaa"     

Mereka berpelukan sebentar.     

Kali ini Panji tidak peka, pria itu tidak bisa melihat guratan kesedihan di mata bulat Algis. Panji tidak mampu melihat kekecewaan yang begitu dalam dari mata pemuda manis itu. Dan hal ini akan membawa Panji membuat kesalahan.Kesalahan yang membawanya pada satu kata, P.E.N.Y.E.S.A.L.A.N!     

Bersambung...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.