Pamanku Kesalahanku

Berjalanlah Perlahan, Tunggu Aku



Berjalanlah Perlahan, Tunggu Aku

0Semua orang menatap Nenek Han dengan kaget.     
0

Padahal tidak ada yang memberitahu tentang kematian Kakek Han padanya, jadi bagaimana dia bisa tahu?     

Tidak ada kesedihan di wajah Nenek Han. Ia masih memajang ekspresi senyum di wajahnya, seolah-olah dirinya berbicara tentang hal yang sangat umum, bukan soal hidup dan mati.     

Mo Yangyang pun bergumam "Ibu…."     

Nenek Han hanya membalas pandangan mereka dan lanjut berkata sambil tersenyum, "Aku menikah dengannya di usia 20 tahun... sekarang, sudah tepat lima puluh tahun pernikahan kami. Sebagian besar waktu hidupku kuhabiskan dengan hidup bersamanya. Kami telah menjadi satu bagian bagi satu sama lain. Jika dia pergi, bahkan jika kamu tidak memberitahuku, aku bisa merasakannya."     

Bahkan di saat seperti ini, Nenek Han masih bisa tersenyum.     

Orang tua sudah begitu lemah, namun tidak menyangka bahwa hatinya begitu hangat dan kuat.     

Seolah-olah, tidak peduli seberapa besar angin dan ombak menerpanya, itu semua tidak bisa menjatuhkannya.      

Bahkan jika cobaan itu membuat tubuhnya dipenuhi luka, tetapi tetap tidak bisa merusak jiwanya yang mulia!     

Mo Yangyang dan semua orang sempat khawatir lantaran tidak tahu cara memberitahu kematian Kakek Han padanya.      

Namun siapa sangka, ia ternyata sudah tahu sejak lama.      

Beberapa hari saat dirinya dirawat, semua orang di laboratorium sepakat untuk tidak membahas tentang Kakek Han di depannya.     

Mereka mengira, dengan tidak membahas itu, Nenek Han akan baik-baik saja.      

Akan tetapi, kelihatannya Nenek Han tidak bisa dibandingkan dengan lansia biasa. Orang tua itu ternyata bisa lebih tenang dan jernih saat berfikir, juga sangat teliti....     

Nenek Han menepuk tangan Mo Yangyang, "Baiklah, ayo pergi! Kita temui Kakek. Lelaki tua itu pergi sangat cepat... bahkan tidak meninggalkan sepatah katapun padaku."     

Air mata di wajah Mo Yangyang menjadi semakin deras.     

Namun Nenek Han malah tersenyum dan membalas, "Anak bodoh, kenapa kamu menangis? Ayo pergi!"     

Mo Yangyang terisak dan mengangguk, kemudian mendorong Nenek Han itu keluar dari laboratorium.     

Nenek Han telah tinggal di laboratorium selama 12 hari.     

Semua orang di lab menyaksikan dengan mata mereka sendiri betapa sulitnya kondisi yang dialami Nenek Han selama dua belas hari ini.     

Namun, setelah Nenek Han bangun, tidak peduli betapa menyakitkannya itu, Nenek Han selalu tersenyum dan menenangkan semua orang.     

Padahal setelah bangun 7 hari yang lalu, beberapa komplikasi terjadi di tubuhnya. Detak jantung dan tekanan darahnya tidak normal. Saat minum obat, Gu Fei sangat khawatir dirinya akan salah memberi obat.      

Bahkan pada saat itu, Nenek Han bisa berkata padanya, "Nak, jangan panik, jangan takut, tidak apa-apa…"     

Di musim dingin hari ini, matahari bersinar cerah, tetapi suhu udara saat ini masih terasa sedikit dingin.     

Nenek Han mengulurkan tangan, sehingga dirinya bisa merasakan angin dingin bertiup ke ujung jarinya.      

Ia tersenyum, "Menyenangkan sekali."     

Sesampainya di makam.      

Nenek Han tersenyum ketika melihat foto di batu nisan Kakek Han, "Foto ini dipilih dengan baik, terlihat penuh semangat!"     

Kemudian, ia mengulurkan tangan untuk menyentuh foto itu. Tatapan matanya memancarkan perasaan penuh kenangan, "Ketika mendapatkan foto ini tahun lalu, dia bilang padaku bahwa jika suatu hari dia meninggal, dia ingin menggunakan foto ini di batu nisannya!"     

Mo Yangyang berkata, "Latiao yang memilih foto itu."     

Nenek Han bahkan lebih senang, "Kakek, kamu dengar? Cucu pertamamulah yang memilih foto ini. Lihatlah, seberapa baik dia memahamimu!"     

Mata Mo Yangyang memerah, lalu mengangkat kepalanya sambil menatap langit.      

Sikap Nenek Han yang seperti ini, malah membuat hatinya semakin berat.     

Nenek Han pun berbicara kepada batu nisan itu seolah masih ada jiwa Kakek di sana, "Jangan berjalan terlalu cepat, berjalanlah perlahan, tunggu aku…"     

Mo Yangyang berseru sambil menangis, "Ibu…."     

Nenek Han berkata lagi, "Hei, di usiaku ini, bahkan jika dikatakan mampu hidup seratus tahun pun, apakah aku benar-benar bisa bertahan sampai beberapa tahun lagi?"      

"Semua ini hanyalah masalah waktu, tidak perlu dibuat susah. Aku menyuruhnya berjalan perlahan, supaya nanti aku tidak perlu mengejar terlalu susah." Tambahnya.     

Nenek Han malah menganggap ini sebagai lelucon!     

Tapi hanya orang dengan hati yang benar-benar kuat yang bisa mengatakan ini dengan ringan.      

Latiao mengulurkan tangan dan memegang tangan Nenek Han, "Nenek... apakah nenek tidak menginginkan Latiao juga?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.