BOSSY BOSS

Chapter 154 - The Prison



Chapter 154 - The Prison

0Aku ingin memastikan bahwa Zen benar-benar berada dalam penjara. Maka dari itu, setelah Papa dan yang lain menjelaskan semua rencana mereka untuk menemukanku, aku menginginkan bertemu dengan Zen.     
0

Mereka semua tentu syok karena aku masih ingin menemuinya setelah apa yang ia lakukan padaku.     

Sebenarnya ada perasaan yang sangat sedih dan terluka saat mengetahui mantan suamiku di penjara. Rasanya aneh. Aku juga tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Tante Neva. Dan aku sadar, semua yang berhubungan denganku rasanya banyak merugikan pihak lain.     

"Aku akan mengantarmu, Daisy," ujar Jeremy.     

Aku menganggukkan kepalaku karena akhirnya mereka mengizinkanku untuk bertemu dengan Zen.     

Sebelum aku bertemu dengan Zen, aku pergi menemui anakku di kamarnya. Akhirnya aku benar-benar menamainya Jason, seperti yang Raja inginkan melalui mimpiku.     

Melihatnya yang masih mungil, membuat hatiku lega karena akhirnya aku bisa melihatnya secara langsung.     

Raja pasti senang dengan lahirnya anak kami. Ia juga sudah tidak pernah hadir lagi dalam mimpi-mimpiku.     

Aku belum bisa menggendongnya. Bukan masalah karena operasiku, melainkan entah kenapa diriku merasakan keanehan saat ternyata aku tidak siap menggendong Jason.     

Namun sebagian dalam diriku ingin sekali merasakan tanganku merengkuh Jason, tapi aku tak bisa.     

Tapi untungnya air susu ibu untuknya keluar dengan lancar. Sayangnya aku harus memompanya dan membiarkannya meminumnya melalui botol bayi.     

"Apa kamu siap menggendongnya?" suara Ibu terdengar saat ia masuk ke dalam kamar Jason.     

Aku menggeleng dengan lemah seraya menatap Jason. "Aku ... Belum siap, Bu. Apa ini normal?" tanyaku.     

"Ibu rasa normal, Nak. Selama kamu masih ingin menyentuhnya."     

Kutatap anakku yang tertidur dan sesekali tersenyum entah pada siapa, rasanya sangat menggemaskan.     

Tak terasa air mataku terjatuh. Bisa sampai seperti ini dan sekuat ini, semua karena keinginan Raja yang menginginkan anak ini tumbuh dengan sempurna.     

"Maaf, Bu, aku nangis," kataku pada Ibu.     

Ibu menatapku dan tangannya terulur ke kedua bahuku. "Ada apa, Daisy? Apa kamu ingin mengatakan sesuatu?"     

Sebenarnya ada. Tapi aku bingung bagaimana harus kukatakan pada Ibu. Padahal sejauh ini hanya Ibu yang bisa mengerti aku dan menjaga rahasiaku.     

"Katakan, Daisy. Kita bahkan udah lama nggak berbicara seperti ini, kan?"     

"Bu ... Seandainya aku nggak menikah dengan Jeremy setelah ini semua, nggak apa-apa, bukan?" tanyaku hati-hati.     

"Ibu bukan pemaksa, kamu udah jadi seorang Ibu, Daisy. Kamu berhak memutuskan mana yang terbaik untukmu dan nggak. Jadi, Ibu nggak masalah, Nak."     

Aku memeluk Ibu perlahan dan tetap berhati-hati dengan jahitan operasiku. Aku bersyukur memiliki Ibu yang mengerti aku.     

Kini aku hanya tinggal menyampaikan semua ini pada Jeremy. Aku yakin dia mengerti melebihi siapa pun.     

Dalam perjalanan menuju tempat di mana Zen di penjara, aku dan Jeremy hanya diam. Lebih tepatnya aku masih belum bisa membuka suara lebih dulu. Jadi aku menahannya sampai ia mulai berbicara padaku.     

"Jahitanmu nggak apa-apa, bukan?" tanya Jeremy.     

"Sakit, tapi aku masih bisa menahannya."     

"Apa sikap Zen baik selama ini denganmu?" tanyanya.     

"Iya, Jeremy. Dia selalu baik denganku tapi aku selalu membalasnya dengan kasar," jawabku sekenanya.     

"Apa ada sesuatu yang mau kamu bicarakan, Daisy?" tiba-tiba Jeremy bertanya begitu.     

Mungkin Jeremy tahu bagaimana aku bersikap setelah semua ini. Aku memang merindukannya, tapi keinginan untuk menikah sesuai rencana sebelumnya, aku tak yakin bisa menghadapinya.     

"Aku belum bisa menikah denganmu, Jer. Maafkan aku," kataku akhirnya.     

Diamnya Jeremy kadang membuatku merasa takut jika ia marah besar padaku.     

"Nggak masalah, Daisy. Aku tahu."     

Di luar ekspektasiku, Jeremy tidak mempermasalahkannya. Aku memang sedari awal yakin ia bisa mengerti. Tapi aku juga berharap seperti ada reaksi marah atau semacamnya. Nyatanya tidak. Bahkan mendengar jawabannya saja aku terheran-heran.     

"Terima kasih udah mau mengerti," ucapku dengan senyuman.     

Rasanya beban itu hilang. Kini hanya tergantikan bagaimana nanti aku bertemu Zen dan apa yang harus aku katakan padanya.     

Saat sampai di lokasi, jantungku berdegup kencang. Sejenak aku menarik nafasku dan menghembuskannya. Lalu aku menatap Jeremy yang kemudian mengangguk menyuruhku untuk turun bersama.     

Jeremy memberi waktu padaku dan Zen untuk berbicara. Ia menunggu di depan sementara aku duduk di kursi di mana nantinya Zen akan datang dan duduk di hadapanku.     

Kini aku melihatnya muncul dengan rahangnya yang masih mengeras sekaligus terkejut melihatku.     

Langkahnya berhenti saat melihatku. Lalu ia mulai memberanikan diri mendekat dan duduk di hadapanku. Hanya meja yang membatasi kami.     

"Apa kamu baik-baik aja sekarang? Lalu anak kita? Maksudku, anakmu?" tanyanya padaku.     

Aku sempat merasa terharu begitu tahu ia masih mengkhawatirkanku sementara ia di penjara. Ia bahkan tidak membenciku barang sedikit pun.     

"Masih sakit, tapi aku bisa menahannya," jawabku seraya menyentuh perutku. "Dan Jason sehat. Aku menamainya Jason, Zen."     

Zen terlihat seperti mengucapkan kata syukur. Aku memang tidak mendengarnya, tapi begitulah yang aku lihat.     

"Seharusnya kamu istirahat aja, Daisy. Untuk apa kamu datang ke sini?"     

"Aku ingin memastikan apakah kamu benar di sini atau nggak. Karena rasanya—"     

Aku tidak sampai tega melanjutkan kalimatku. Tapi Zen malah yang melanjutkannya.     

"Aneh karena aku nyatanya bisa di penjara? Memang hukuman untukku, bukan?"     

Aku hanya diam. Aku yang membencinya dan yang mengatakan tidak mencintainya, merasa sedih melihatnya di sini.     

Entah kenapa hatiku seperti teriris-iris melihatnya berada di balik jeruji besi. Walau aku tahu aku tidak perlu mengkhawatirkan kekuatannya, tapi tetap saja, ada sesuatu yang membuatku merasa terluka.     

"Bagaimana Tante Neva? Ia pasti membenciku," kataku.     

"Apa aku pernah membencimu, Daisy?"     

Aku menggelengkan kepalaku.     

"Kalau begitu, itulah yang Mamaku rasakan sejak dulu sampai sekarang. Jadi, jangan khawatir."     

Aku lupa, aku membawa sesuatu untuknya. Bukan masakanku, tapi aku membelinya. Jadi, aku memberikannya untuknya.     

"Makanlah. Bukan masakanku, tapi itu kesukaanmu," kataku memberinya sekantung plastik yang berisikan makanan.     

Zen tersenyum. "Terima kasih. Kalau ada waktu, tolong temui Mamaku, dia akan memberitahumu sesuatu yang bukan wewenangku untuk memberitahumu."     

"A-Apa?"     

Zen mengedikkan bahunya dan tersenyum. Lalu ia berdiri saat tahu waktu bicaranya denganku sudah habis.     

Aku perlahan berdiri bahkan Zen sampai harus membantuku. Kami bertatapan dalam beberapa detik sampai aku merasakan kembali debaran jantungku.     

"Senang melihatmu, menyentuhmu, dan mendengar debaran jantungmu, Daisy," katanya dengan senyuman.     

Sesaat setelah ia melepaskanku, Zen menjauh. Meninggalkanku yang masih diam dengan debaran yang masih bergemuruh. Lalu ia berhenti sejenak dan menatapku. Kemudian dengan cepat ia mendekat dan meraih bibirku untuk diciumnya.     

Aku yang tanpa pikir panjang, membalas ciumannya sangat dalam. Zen bahkan sangat hati-hati sekali saat ia dengan brutal menciumku kemudian memilih melepaskannya.     

Kening kami saling bersentuhan dan ia menatapku.     

"Aku masih mencintaimu, Daisy. Bukan karena nafsu, tapi karena aku benar-benar mencintaimu. Jaga diri baik-baik, oke?"     

Zen benar-benar pergi dari hadapanku. Aku sama sekali tidak bergeming. Diam seribu bahasa sampai sebuah sentuhan mengejutkanku.     

"Udah selesai?" tanya Jeremy.     

Aku lupa kalau di sini ada Jeremy. Walau pun ia di depan, tapi apakah ia melihat yang baru saja terjadi?     

"Udah. Ayo, kita pulang."     

***     

Kebersamaan yang kurindukan selama beberapa minggu ini membuatku merasa senang. Bisa makan bersama dengan keluarga dan melihat mereka secara langsung membuatku bahagia.     

Aku melihat Raka dan Reina yang sepertinya mereka sudah baikkan. Perutnya semakin membesar dan aku rasa anaknya akan lahir dalam waktu dekat.     

Reina juga masih terus meminta maaf padaku atas hilangnya aku tempo lalu. Padahal itu bukan kesalahannya dan sebenarnya tidak perlu membahasnya.     

Selesai makan, mereka merapikan meja makan. Sebenarnya aku sudah bisa untuk melakukan pekerjaan wanita, tapi mereka tidak mengizinkanku dikarenakan luka jahitanku belum mengering. Jadi aku memilih diam namun aku duduk di kolam renang.     

"Hei, Dai," suara Raka muncul di balik bahuku. Ia duduk di sisiku.     

"Bagaimana kabarmu dan Reina, Raka?" tanyaku langsung.     

"Kami baik. Aku juga udah nggak bersama wanita itu," jawabnya.     

Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. Aku mencoba percaya walau kenyataannya memercayai laki-laki yang berselingkuh itu sulit. Lagi pula, apa yang dilakukannya tidak akan merugikanku.     

"Zen. Bagaimana ia tadi?" tanyanya.     

Ah, Zen. Mendengar namanya diangkat membuat perasaanku jadi tak menentu.     

Jadi, apakah ini yang dinamakan benci jadi cinta? Padahal dengan mantan suami sendiri. Aneh ya, rasanya.     

"Dia kelihatan baik. Berapa waktu yang ia perlukan untuk berada di penjara?" tanyaku.     

"Sampai Papa mencabut tuntutannya, Daisy."     

Artinya semua bergantung dengan Papa. Aku bisa saja membuat Papa membebaskannya. Tapi aku juga ingin membiarkan dia merasakan apa arti sebuah tanggung jawab.     

"Jeremy melihat kalian berciuman," kata Raka memberitahu.     

Aku menoleh ke arahnya dengan senyuman dan menunduk merasa kikuk.     

"Apa selama di pulau itu, kalian terlibat satu sama lain? Maksudku, kamu dan Zen?"     

"Dia sama sekali nggak menyentuhku. Bahkan dia bersama wanita lain selama bersamaku. Aneh, bukan? Tapi aku udah biasa," jelasku.     

"Dan bagaimana perasaanmu sekarang, Daisy?" tanyanya.     

Aku tidak tahu. Itulah yang ingin kukatakan tapi tidak tersampaikan. Memangnya pentingnya apa jika aku mengatakan perasaanku? Toh, aku tidak ingin bersama siapa pun saat ini. Aku ingin merasakan menjadi seorang Ibu.     

"Perasaanku sekarang adalah ingin menggendong Jason, tapi aku belum siap, Raka," jawabku tentang Jason.     

"Apa kamu udah mencobanya?" tanyanya.     

Aku menggeleng.     

"Menyentuhnya mengingatkanku akan kepingan-kepingan kenangan bersama Raja. Bukan berarti aku nggak mau menggendongnya. Tapi aku belum siap. Menyentuhnya pun aku seperti harus berhati-hati."     

"Tapi nggak selamanya begini kan, Dai? Cobalah gendong dia. Dia juga pasti ingin berada di dekapan Mamanya, kan?"     

Apakah hal semacam itu dinamakan Baby Blues? Aku tidak yakin. Pengetahuanku mengenai kehamilan, kelahiran, Ibu dan anak sangat minim sekali.     

"Aku hanya butuh waktu agak lama, Raka. Jadi untuk sementara ini aku percayakan Jason pada Ibu dan Reina, oke? Aku sesekali menyentuhnya dan menciumnya, kok."     

Raka menghela nafasnya. Ia mengangguk dan kemudian mengacak-acak rambutku, persis seperti yang sering Jeremy lakukan.     

"Kalau gitu, aku masuk ke dalam dulu. Waktunya untuk mompa ASI untuk Jason," kataku dengan senyuman.     

Raka membantuku berdiri dan membiarkanku berjalan masuk ke dalam seorang diri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.