BOSSY BOSS

Chapter 155 - Five Years Later



Chapter 155 - Five Years Later

0"Jason, Mama tinggal dulu, ya? Nanti Mama jemput setelah Mama pulang kerja, OK?"     
0

Jason mengangguk dan mencium tangan Daisy dengan senyum lebarnya. "OK, Mama. Jason akan tunggu Mama di sini sama Tante Ama."     

"Good boy! Cium Mama dulu." Daisy mengerahkan satu jarinya ke pipinya pada Jason dan Jason menciumnya.     

Ama, teman yang sudah Daisy anggap sebagai sahabatnya sekarang bekerja di sekolah taman kanak-kanak di mana Jason juga bersekolah. Biasanya ia mempercayai Jason pada sahabatnya itu sampai Daisy kembali dari kesehariannya bekerja.     

"Jaga dia, Ama," ujar Daisy.     

"Selalu. Hati-hati di jalan, OK?"     

Daisy mengangguk dan ia berjalan meninggalkan Jason dan Ama yang melambai padanya. Setelah itu Daisy benar-benar tidak melihat keduanya ketika mobilnya sudah menjauh dari sekolah Jason.     

Daisy kini sudah menjadi wanita yang benar-benar mandiri dan kuat. Ia berhasil merintis bisnis online-nya sampai berkembang pesat hingga mendirikan sebuah toko baju yang mana ia juga menjadi suplier tangan pertama untuk penjual-penjual yang ingin menjual bajunya.     

Ia tidak lagi bekerja di kantor Raka mau pun Raja. Sudah sejak empat tahun setelah setahun ia sempat stres akhirnya ia memulai semuanya dari nol. Daisy juga masih sendiri dan belum menikah lagi sejak ia menolak untuk menikah dengan Jeremy.     

Sampai toko butiknya, ia masuk ke dalam ruangannya dan mulai bekerja. Ada banyak penawaran yang ia dapatkan untuk bekerja sama dengannya, tapi Daisy masih harus memilah-milah mana yang layak dan saling menguntungkan.     

Baginya, tidak ada yang begitu indah selain menjalani harinya sebagai seorang Ibu dan wanita bisnis. Sebab Daisy kadang terlalu lemah jika membicarakan masalah cinta. Apalagi ia masih berkutat dengan masa lalu yang kadang mengajaknya untuk kembali namun enggan untuk benar-benar kembali.     

"Bu, hari ini ada pemotretan untuk baju keluaran terbaru, Anda nggak lupa, bukan?" tanya Firly, asistennya.     

"Iya, saya nggak lupa. Apa semua sudah siap?" tanya Daisy.     

"Sudah, Bu. Hanya tinggal menuju lokasinya saja."     

"OK. Sepuluh menit lagi. Saya harus siap-siap dulu."     

Firly mengangguk dan keluar dari ruangan Daisy. Daisy menghela nafasnya dan bersandar pada kursinya seraya mematikan laptopnya. Ia juga bekerja sebagai model dari butiknya sendiri jadi jadwalnya terkadang padat.     

Daisy punya ritual sebelum ia menuju lokasi pemotretan. Yaitu sepuluh menit sebelum berjalan, ia harus bersiap dan meminum cokelat panas yang ia buat sendiri di ruangannya. Ia percaya bahwa cokelat bisa membantu menaikkan mood-nya.     

Di lokasi pemotretan Daisy langsung mengganti pakaiannya dengan baju model terbaru keluaran atas desainnya sendiri. Ia bangga bisa mendesain pakaian dan menciptakannya hingga banyak pembeli yang tertarik untuk membelinya.     

"Bu, silakan di minum," ujar Firly memberi sebotol mineral padanya saat istirahat dari pemotretan.     

"Terima kasih, Firly. Apa ada telepon dari keluarga saya atau anak saya?"     

"Hanya dari Ibu Weiske. Anda diharapkan pulang tidak terlalu malam dan katanya Jason akan dijemput oleh beliau."     

"OK. Tolong nanti telepon beliau kalau saya akan pulang lebih awal."     

Matanya menatap sekeliling lokasi pemotretan dengan berbagai kru fotografer dan juga beberapa klien yang tertarik untuk membicarakan tentang desainnya. Baik wanita mau pun laki-laki. Daisy memang membuat kesepakatan terhadap kliennya jika ingin membicarakan tentang desainnya, maka bisa dibahas di lokasi pemotretan. Dan beberapa di antara mereka datang atas kesepakatan yang telah Daisy setujui.     

"Saya bisa katakan bahwa desain terakhir itu yang paling elegan, Bu Daisy." Tiba-tiba suara wanita saat ia selesai pemotretan terdengar mendekat.     

Daisy berbalik dan ia sedikit mengingat-ingat wanita di hadapannya. Suaranya terdengar agak asing, dan memang, Daisy hanya sempat bertemu sekali.     

"Saya Maurin, saya harap Anda masih mengenali saya," ujarnya dengan mengulurkan tangan.     

Daisy langsung tersenyum dan ia pun membalas uluran tangan Maurin. "Ah, ya, saya sekarang ingat, Bu. Maafkan saya karena saya hampir lupa. Dan terima kasih untuk pujian Anda."     

"Hal yang wajah kalau wanita karir seperti Anda lupa akan banyak kenalan. Apa bisa kita membicarakan tentang desain terakhir itu? Saya sangat berminat untuk memborongnya."     

"Ah, mari ikut saya ke ruangan khusus untuk membicarakan bisnis," ujar Daisy mulai memimpin jalan.     

Di lokasi pemotretan, Daisy memang menyiapkan ruangan khusus untuk bertemu dengan kliennya. Sehingga mereka akan mendapatkan privasi yang lebih dan berbicara dengan sangat leluasa.     

"Anda terlihat cantik, Bu Maurin. Saya biasanya memberikan satu desain saya sesuai keinginan klien untuk dicoba. Jadi, saya akan menyiapkan satu gaun itu untuk Anda, jadi Anda bisa mempertimbangkan lagi jika benar ingin memborongnya," jelas Daisy seraya menuangkan minuman pada gelas Maurin.     

Maurin tersenyum dan meneguk minumannya dengan elegan. "Terima kasih, Bu. Apa Anda selalu memberikannya? Bukankah itu akan membuang uang Anda dengan percuma?"     

"Bu Maurin, uang bisa dicari selama kita berusaha. Dan saya nggak takut kehabisan uang karena saya tahu akan terus berusaha sampai saya merasa lelah. Karena semua ini hanya titipan, bukan?" jelas Daisy seakan memberi ceramah.     

Maurin menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub. "Sangat berkelas sekali. Nggak seperti saya yang berpikir sebaliknya, Bu. Tapi jika memang begitulah cara kerja Anda, saya akan menerimanya."     

"Semua orang punya pemikiran yang berbeda, Bu. Saya menghormati apa pun pemikiran orang selama mereka menghormati pemikiran saya. Akan saya siapkan dulu melalui asisten saya. Mohon ditunggu."     

Daisy menelepon Firly dan memerintahkannya sesuai yang ia inginkan. Lalu setelah itu ia menutup teleponnya dan kemudian ia menatap Maurin sejenak.     

"Hmm, Bu Maurin, jika saya boleh katakan, apakah Anda keberatan kalau kita saling memanggil nama? Agar terdengar lebih akrab?" tanya Daisy.     

"Dengan senang hati, Bu."     

Daisy mengangguk tersenyum dan mereka pun terlibat dengan pembicaraan yang cukup santai. Daisy juga memberikan sebuah form tertulis yang mana nantinya harus Maurin isi untuk merencanakan kerja sama dengannya.     

Tak lama Firly datang dengan kantung belanjaan dengan model tas yang tercetak nama toko butik Daisy dan ia memberikannya pada Daisy untuk diberikan pada Maurin.     

"Silakan diterima ya, Maurin. Aku akan menunggu keputusan bulatmu jika ingin memborong desainku ini," ujar Daisy dengan percakapan selayaknya teman.     

"Terima kasih lagi, Daisy. Padahal aku benar-benar sudah bulat untuk memborongnya, tapi sepertinya kamu ingin aku benar-benar memikirkannya, ya?"     

Daisy mengangguk. "Di samping itu, masih ada beberapa klien yang harus aku temui setelah kamu, Maurin."     

Maurin menutup mulutnya seolah ia baru sadar bahwa ia seperti mengganggu waktu Daisy. "Oh, maafkan aku. Sebaiknya aku pergi setelah ini. Dan aku akan mencobanya dan memikirkannya lagi jika itu maumu."     

Daisy dan Maurin tertawa bersamaan seraya mereka melangkah keluar dari ruangan. Mereka pun berpisah dan Daisy kembali masuk ke dalam merapikan gelas Maurin. Lalu ketukan pintunya berbunyi dan ia menyuruh orang itu masuk.     

Kemudian seseorang laki-laki masuk membuat Daisy menoleh saat ia menyiapkan minuman untuk kliennya yang baru datang.     

Sejenak Daisy hanya diam karena terkejut ia kedatangan klien laki-laki. Menurut yang ia ingat, ia tidak memiliki klien laki-laki. Semuanya atas nama wanita kecuali jika beberapa di antaranya memakai nama asisten atau sekretari, lalu yang datang ternyata atasannya yang merupakan laki-laki.     

"Halo, Daisy ... "     

***     

Daisy pulang ke rumah orang tuanya sebelum adzan magrib berkumandang. Ia menepati keinginan Ibunya karena sepertinya keluarganya mau makan malam bersama.     

Rasa lelahnya hilang ketika melihat Jason dengan tawa cerianya sedang bermain di rumah orang tuanya dengan Lily, anak dari Reina.     

Ya, pada akhirnya prediksi mengenai jenis kelamin anak Reina itu benar. Sehingga ketika ia melahirkan, mereka sepakat menamai anak mereka Lily.     

Jason memeluk kaki Daisy ketika melihat Ibunya pulang dari bekerja. Daisy terkekeh geli karena Jason begitu imut dan menggemaskan.     

"Mama capek? Jason pijat, ya," ujar Jason dengan suara imutnya.     

"Iya, tadi Mama capek. Tapi merasakan Jason peluk Mama, hilang deh, capek Mama," sambar Daisy.     

Jason pun memeluk Daisy tanpa melepaskannya. Ia berpikir bahwa apa yang dikatakan Ibunya adalah benar. Sehingga Daisy dan lainnya tertawa geli.     

Daisy pun membiarkan Jason kembali bermain bersama Lily dan ia menuju dapur di mana Ibunya sedang memasak sesuatu.     

"Bu, ada apa?" tanya Daisy langsung.     

"Hanya ingin makan malam bersama, Daisy. Kita sudah lama nggak melakukannya. Dan ada sedikit tamu dari teman Papamu. Satu keluarga," jelas Weiske.     

Kening Daisy berkerut. Ia memakan buah apel yang ia ambil di lemari es dan menatap Weiske. "Teman Papa? Bu, artinya ini bukan makan malam keluarga. Sebaiknya aku dan Jason nggak ikut."     

Weiske menghentikan potongan sayuran dan menatap Daisy dengan wajah serius. "Daisy, kamu nggak bisa terus begini. Sampai kapan kamu mau mengurung diri dari orang baru?"     

"Bu, aku nggak mengurung diri. Aku hanya nggak ingin terlibat dengan orang yang mana bukan bagian dari klienku," sambarnya.     

"Ibu nggak mau tahu. Kamu dan Jason tetap di sini. Lagi pula Jason menikmati waktunya berada di rumah Kakek dan Neneknya."     

Daisy tidak bisa menolak jika Weiske sudah memaksanya. Ia memang sering menolak makan malam bersama jika berkaitan dengan teman orang tuanya atau seseorang yang tidak dikenalinya. Dan melihat Jason senang berada di sini juga adalah alasannya untuk tetap menuruti keinginan Weiske.     

"Aku akan mandi kalau begitu," ucap Daisy menuju kamarnya.     

Pancuran air dingin membasahi tubuhnya dan menghilangkan beban lelahnya. Matanya terpejam dan kembali teringat kejadian saat ia di lokasi pemotretan. Klien laki-laki yang datang padanya dan tanpa sopan santun, berani-beraninya memanggil namanya.     

Memang niat laki-laki itu bekerja sama dengan Daisy karena tertarik dengan beberapa gaun desainnya. Tapi Daisy tidak mengira bahwa ia akan bekerja sama dengan laki-laki yang mirip sekali dengan Zen. Wajahnya dan segalanya. Sayangnya laki-laki itu mengaku bahwa ia bukan Zen, melainkan Ricky.     

Rasanya aneh karena ia masih berpikir bahwa itu adalah Zen. Memang sejak itu Daisy tidak bertemu Zen dan tidak tahu menahu tentang kabarnya.     

Lantas, mengenai Zen yang memiliki kembaran juga rasanya tidak mungkin. Hanya saja laki-laki bernama Ricky ini memiliki janggut yang sedikit tebal, sementara yang Daisy tahu Zen tidak memilikinya.     

Apakah ini sebuah kesengajaan atau ketidaksengajaan?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.