BOSSY BOSS

Chapter 158 - He's More Annoying



Chapter 158 - He's More Annoying

0Daisy langsung bangun dari tempat tidurnya dan menuju jendela. Awalnya ia hanya mengintip sedikit cela untuk memastikan. Namun ketika matanya terbelalak, ia terkejut karena Ricky benar-benar di sana, di luar kamarnya, tepatnya di depan jendelanya dengan jarak yang lumayan dekat.     
0

Ia langsung menuju pintu utama dan keluar mengendap-endap. Daisy tidak mau membangunkan Ama atau malah bertanya-tanya.     

"Pak Ricky? Ada apa Anda datang ke rumah saya? Dan ... dari mana Anda tahu alamat rumah saya?" tanya Daisy beruntun.     

Ricky tersenyum miring. "Terlalu banyak pertanyaan. Aku menunggu balasan pesan atau jawaban teleponku untuk kamu balas. Tapi sepertinya tadi kamu sedang sibuk," jelas Ricky.     

Daisy menatap kanan kirinya. Ini sudah terlalu malam untuk menerima tamu dan lagi pula, relasinya dengan Ricky ini hanya sebatas bisnis, tapi kenapa juga Ricky datang seperti tidak tahu sopan santun.     

Daisy menyilangkan kedua tangannya di hadapan Ricky. Jika Ricky bisa bersikap tidak sopan, maka ia pun juga bisa.     

"Ada apa Anda datang ke sini? Ingin membicarakan bisnis, bisa kita lakukan di hari Senin mendatang," jelas Daisy terdengar cuek.     

"Daisy, kamu pikir aku datang untuk membicarakan bisnis? Aku datang untuk menemani tidurmu. Apa itu salah?"     

"Salah!"bentak Daisy tanpa pikir panjang.     

Ricky tersenyum dan berdecak mendekat ke arahnya. Daisy masih diam di tempat dan tidak sedikit pun bergeming. Ia bahkan tidak takut dengan Ricky jika terjadi sesuatu buruk padanya.     

"Tatapan itu ... bukannya tatapan ingin bercinta?" tanya Ricky dengan jarak dekat.     

Hembusan nafasnya bisa Daisy rasakan. Bahwa aroma mint seperti Ricky habis mengunyah permen saja sangat terasa wangi di indera penciumannya.     

Jantung Daisy kembali berdetak saat ia mendengar ucapan Ricky. Detakan yang tak menentu itu persis saat ia bersama Zen.     

"Jangan sembarang berbicara Pak Ricky. Saya bisa membuat nama Anda terdengar buruk di kalangan para pebisnis. Asal Anda tahu," ancam Ricky.     

"Dan kamu pikir aku takut?"     

Daisy langsung diam. Ia tidak menunjukkan wajah cemas atau semacamnya pada Ricky hingga Ricky akhirnya mundur selangkah dan tersenyum dengan dengusannya.     

"Well, sepertinya kamu semakin sulit untuk di dapatkan, ya? Baiklah ... aku akan menggunakan cara yang lain nantinya," katanya terdengar remeh.     

Daisy menelengkan kepalanya. 'Semakin sulit di dapatkan'. Kedengarannya seperti Ricky sudah mengenalnya lebih lama dari siapa pun.     

"Aku akan pulang, Daisy. Dan dengar ... aku akan mendapatkanmu dengan cara apa pun. Selamat malam."     

Ricky pergi begitu saja menuju mobilnya dengan santai. Sebelum benar-benar berjalan, ia menatap Daisy dengan tatapan yang misterius dan menggoda.     

Setelah itu Daisy baru bisa membungkuk dan bernafas lega. Jantungnya benar-benar berdebar dengan keras sampai ia bisa melihat dadanya bergerak sesuai ritme debaran keras itu.     

Buru-buru Daisy menuju kamarnya dan menyelimuti dirinya. "Terlalu mirip," lirihnya. "Dia terlalu mirip dengan Zen."     

Sejak itu perasaan Daisy benar-benar tidak enak. Ia seperti akan menghadapi sesuatu yang besar ke depannya. Sesuatu yang mungkin bisa mengubah dirinya kembali.     

"Bagaimana jika dia benar-benar Zen? Nggak ... nggak mungkin. Identitas seseorang nggak semudah itu tergantikan. Dia hanya mirip. Hanya mirip dan bukan Zen. Aku tahu Zen masih di penjara. Atau ... sebaiknya besok aku memastikannya langsung ke penjara. Ah, nggak! Memangnya untuk apa aku memastikannya. Kayak aku masih peduli saja dengannya. Lebih baik nggak usah sama sekali!" ujarnya pada dirinya sendiri.     

***     

"Daisy, sini deh. Aku mau bicara denganmu," ujar Ama yang tiba-tiba menyuruhnya duduk bersamanya. Tidak biasanya Ama seserius itu dengan Daisy.     

"Apa, Am? Tumben."     

"Seminggu lagi aku harus balik ke rumah orang tua, Dai. Apa kamu nggak apa-apa sendirian lagi?"     

Bagi Daisy, yang namanya ditinggal sudah biasa. Ia tanpa anaknya pun tak masalah selama kebutuhan anaknya tercukupi olehnya.     

"Iya. Nggak apa-apa. Kayak nggak tahu aku saja," jawab Daisy.     

"Jangan begitu dong, Dai. Aku sebenarnya nggak enak mau ninggalin kamu."     

Daisy memegang tangan Ama dan tersenyum padanya. "Kamu juga punya orang tua, Ama. Aku mengerti, kok. Lagian, kamu juga tahu sendiri aku pasti pulang ke rumah saat sudah malam."     

Walau begitu, Ama merasa lega mendengar ucapan Daisy. Daisy memang lebih sering pulang malam dan jarang sekali mereka berkomunikasi seperti ini kecuali hari libur atau mungkin saat pagi untuk sarapan.     

Mereka lalu sibuk dengan kegiatan masing-masing. Daisy memutuskan keluar rumah karena ada sesuatu yang mau ia beli sendiri.     

Sebuah mobil berhenti di depan gerbangnya ketika ia akan membukanya untuk mengeluarkan mobilnya. Lalu jendela mobil yang berhenti itu terbuka.     

"Morning, Sunshine. Ayo, naik! Pasti kamu mau pergi, kan?" suara Ricky memecah kesunyian jalanan.     

Daisy sedikit panik jika sampai Ama melihatnya. Namun ia tidak punya pilihan lain selain ikut dengan Ricky. Sebab jika tidak, Ricky pasti tidak akan enyah darinya.     

Ricky tersenyum penuh dengan kemenangan. Sementara itu Daisy membodohi dirinya sendiri karena ia tidak cukup hapal dengan mobil yang dikendarai Ricky.     

"Sebaiknya simpan senyum Anda itu, Pak!" ujar Daisy kesal.     

"Jadi, kamu mau ke mana? Biar aku antar dan aku temani."     

Daisy menghela nafasnya. Sebenarnya ia akan pergi ke supermarket, tapi jika di temani oleh Ricky, harinya pasti jadi buruk.     

"Atau aku akan mengajak kamu keliling jika kamu nggak menjawab," ancam Ricky santai.     

"Supermarket. Saya mau belanja," jawab Daisy akhirnya.     

"Hmm, OK. Kita ke supermarket mal saja. Sekalian jalan-jalan, OK?"     

Sesampainya di mal, Daisy langsung keluar dan jalan lebih dulu dari pada Ricky. Langkahnya ia sengaja percepat agar Ricky tidak mengajaknya berbicara.     

Benar dugaannya semalam, bahwa ke depannya ia tidak akan tenang. Sudah dengan Reza, sekarang dengan Ricky yang dua-duanya memiliki efek berbeda untuk Daisy.     

Daisy memasuki pusat supermarket dan mengambil troli. Tapi tiba-tiba tangan Ricky mengambil alih troli itu dari genggamannya. "Biar aku yang bawa, Sunshine," ujarnya.     

Daisy langsung membuang wajahnya karena menyembunyikan senyumnya yang tertahan atas panggilan Ricky yang membuatnya semakin berdebar.     

Mereka berjalan beriringan. Daisy mengambil beberapa kebutuhan yang habis dan menaruhnya di troli. Kadang Ricky membantunya menaruh jika Daisy kesulitan menaruhnya.     

"Kenapa kamu nggak belanja dengan Ama?" tanya Ricky tiba-tiba.     

Langkah Daisy berhenti dan menatap Ricky dengan serius. "Dari mana tentang Ama?" tanya Daisy mulai kesal.     

Ricky mengedikkan bahunya. "Aku tahu semuanya, Daisy. Aku hanya bertanya, nggak perlu kita bahas tentang hal yang aku tahu."     

"Berhenti jadi penguntit, Pak! Kerja sama kita batal! Saya nggak mau bekerja sama dengan penguntit yang mengerikan seperti Anda!" jelas Daisy dan ia memilih melanjutkan langkahnya.     

"A ... tunggu sebentar," ujar Ricky memotong ucapannya karena ponselnya berdering.     

Daisy mengabaikannya dan memilih tidak ingin tahu apa yang sedang ia bicarakan. Tapi tetap saja Daisy bisa mendengar apa yang sedang dibicarakan Ricky.     

Sepertinya ia sedang di telepon oleh seorang wanita, batin Daisy.     

"Aku nggak bisa, Rin! Kamu tahu aku punya cewek, dan sekarang aku sedang bersamanya," ujar Ricky seperti menolak seseorang.     

Daisy langsung menolehnya dan menaikkan satu alisnya. Kemudian kepalanya ia geleng-gelengkan karena ternyata Ricky memanfaatkan dirinya sebagai kekasihnya di telepon dengan seorang wanita.     

Merasa diperhatikan Daisy, Ricky pun menjauh sebentar dan melanjutkan pembicaraannya. Ia tetap menatap Daisy karena tidak ingin kehilangan jejak Daisy. Lalu tak lama ia kembali dan mengambil alih lagi trolinya.     

"Fans?" tanya Daisy mengejeknya.     

"Aku mau bicara sebentar. Lebih tepatnya aku minta tolong denganmu, Daisy," ucap Ricky tiba-tiba.     

Selama beberapa hari mengenal Ricky, Daisy belum pernah mendengar atau melihat keseriusan Ricky hingga saat ini ia terlihat benar-benar serius.     

"Hah? Minta tolong? Saya rasa saya nggak bisa menolong Anda, Pak," tolak Daisy langsung.     

Tangan Ricky memegang lengan Daisy dengan cengkraman yang lumayan kuat hingga membuat Daisy sedikit meringis karena kesakitan.     

"Ya, aku akan perbaiki kata-kataku. Bukan minta tolong, tapi aku ingin kamu melakukan sesuatu atas perintahku. Tanpa penolakan," ralatnya dengan tegas.     

Kedua mata mereka saling berseteru di barisan peralatan rumah tangga tanpa ada orang yang melihat mereka. Sehingga butuh beberapa detik bagi Daisy untuk mengangguk hingga Ricky melepaskannya.     

"Apa?" sentak Daisy akhirnya.     

"Jadi kekasih pura-puraku di depan wanita yang menyukaiku."     

***     

- Daisy's POV     

Dia gila! Jadi kekasih pura-puranya? Memangnya ini drama apa? Kenapa sih, harus aku? Apa mungkin ini juga triknya untuk membuatku jatuh dalam pesonanya?     

Sekarang aku tidak punya pilihan selain mengiyakannya. Entah kenapa aku tidak bisa menolak ketika ia mengatakan tidak terima penolakan.     

Aku bisa bersumpah, dia sangat mirip sekali dengan Zen. Entah bagaimana, tapi sangat mirip. Baik wajah dan karakternya. Walau pun wajahnya sedikit agak berbeda, tapi mereka punya pesona karisma yang bukan main untuk di hadapan wanita.     

Sebenarnya aku memang jatuh dalam pesonanya, tapi aku masih bisa mengontrol dan mengendalikan diriku. Aku tidak ingin seperti dulu. Yang mudah jatuh cinta begitu saja tanpa pikir panjang.     

Sekarang yang kupikirkan hanya Jason. Aku tidak ingin menjadi Ibu yang buruk untuknya. Kebutuhanku juga harus menjadi kebutuhannya, itulah prioritasku sekarang.     

"Sebenarnya apa yang akan terjadi jika saya menolaknya?" tanyaku pada Ricky.     

Kami masih berjalan di barisan demi barisan barang yang dijual di supermarket. Aku masih memilih-milih dan berusaha mencari tahu apa motifnya selain ingin mendapatkanku.     

"Belum kupikirkan. Tapi yang pasti aku nggak bisa menerima penolakan. Jadi, setelah ini kamu akan ikut aku ke rumahku dan kita akan berbicara untuk saling mendekatkan diri," jelasnya.     

Aku mendengus kesal. Aku seperti melakukan sesuatu yang mana aku tidak diuntungkan di dalamnya. Seharusnya aku membuat kesepakatan yang menguntungkan untukku juga.     

"Baiklah, sekalian saya ingin mengajukan kesepakatan sebelum kita memulai menjadi pasangan yang berpura-pura," sambarku terdengar santai.     

"Apa maksudmu?" tanya Ricky. Nada bicaranya terdengar tegang.     

"Saya nggak mau melakukan semua ini sia-sia, Pak. Saya juga ingin diuntungkan, bukan hanya Anda saja. Jadi, sebaiknya kita bahas di rumah Anda selain saling mendekatkan diri, seperti yang Anda katakan sebelumnya," kataku dengan senyuman.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.