BOSSY BOSS

Chapter 168 - I Miss You



Chapter 168 - I Miss You

0Daisy terperangah melihat perlakuan Jeremy. Selama ia mengenal Jeremy, ia tidak pernah melakukan hal semacam cium tangan di depan publik seperti ini. Tentu saja Daisy tersenyum senang melihat Jeremy memperlakukannya seperti itu.     
0

Jeremy bahkan mendorong kursi untuknya duduk. Bagi Daisy, malam ini terasa spesial karenanya. "Terima kasih," ucap Daisy untuk pertama kalinya.     

Pelayan pun langsung datang untuk mencatat pesanan mereka setelah beberapa kali pelayan itu datang untuk mengetahui apa yang ingin di pesan Jeremy tadinya.     

"Kamu ... errr, datang jam berapa?" tanya Daisy gugup.     

"Satu jam lebih awal, Daisy," jawab Jeremy lancar.     

"Terus, kenapa kamu nggak pesan apa pun?" tanya Daisy mengetahu meja kosong tanpa bekas makanan atau minuman.     

Jeremy tersenyum karena pembicaraan mereka seolah hanya untuk memecah rasa kegugupan. Walau begitu, Jeremy tetap menjawab pertanyaan Daisy.     

"Karena aku ingin makan dan minum denganmu, Daisy."     

Daisy menelan ludahnya dan merasa malu. Ia tahu saat ini wajahnya pasti memerah karena merasa tersipu dengan ucapan Jeremy.     

Sejenak mereka sibuk dalam diam. Keduanya menunggu siapa yang akan memulai bicara untuk satu sama lain.     

Jeremy pun akhirnya memulai lebih dulu karena ia merasa, ia adalah laki-laki yang harus bicara dan bertanggung jawab dalam segala hal.     

"Jadi, kamu semakin sukses, ya? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Jeremy.     

"Aku ya, begini-begini saja, Jer. Seperti yang kamu lihat dari luar mau pun dalam," jawab Daisy gugup. Ia tahu Jeremy pasti langsung mengingat tentang jejak ciuman Ricky.     

Dan benar, Jeremy hanya diam walau untuk beberapa detik.     

"Kamu apa kabar? Hmm, akhirnya punya dua restoran ya, di sini?"     

"Aku baik-baik saja dan ya, itu restoran keduaku setelah aku memutuskan untuk kembali ke Indonesia."     

Sementara itu pembicaraan mereka harus berhenti karena makanan dan minuman yang mereka pesan pun sudah tersaji. Jadi, keduanya makan tanpa bersuara dan kadang saling pandang-pandangan sekaligus tersenyum seperti orang yang baru saja kasmaran.     

Tiba-tiba ponsel Daisy berdering. Ia melihat nama Weiske terpampang di layarnya. Daisy pun meminta izin pada Jeremy untuk menerima panggilan Weiske.     

"Ha—"     

"Mama!" teriak Jason tiba-tiba.     

Hati Daisy rasanya mencelos dan seuntai senyuman tanpa sadar terlihat jelas di wajahnya. Bahkan teriakan Jason pun Jeremy bisa mendengarnya, sehingga Jeremy ikut tersenyum menatap Daisy.     

"Anak Mama toh, rupanya. Ada apa, Nak?" tanya Daisy lembut.     

"Mama kapan ke rumah Nenek? Jason mau bobok sama Mama.     

"Hmm ... malam ini ya, Mama ke rumah Nenek jemput Jason. Tapi Mama lagi sama teman Mama."     

"OK, Mama. Teman Mama itu laki-laki atau wanita?" tanya Jason kritis.     

Daisy menahan senyumnya namun ia tetap menjawab pertanyaan anaknya. "Laki-laki, Nak. Jason mau Mama kenalkan sama teman Mama?"     

"Mau, Ma! Bawa ke sini, ya!" seru Jason.     

Daisy mengangguk walau pun Jason tak dapat melihatnya. Lalu seketika panggilan dimatikan oleh Jason. Ya, sudah biasa Daisy dengan hal begitu. Biasanya jika sudah mati begitu saja artinya Jason sambil sibuk bermain.     

"Anakmu pintar bicara ya, sekarang?" tanya Jeremy.     

"Sangat pintar. Hmm ... apa kamu nanti mau ke rumah Ibu? Jason ingin dikenali olehmu," tawar Daisy.     

"Apa aku diizinkan ketemu dia langsung?" tanya Jeremy sebaliknya.     

Daisy tersenyum mendengarnya. "Kalau aku menawarkan, artinya tentu saja boleh, Jer."     

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita satu mobil aja? Mobilmu biar aku suruh orangku untuk mengambilnya dan antar ke rumahmu," tawar Jeremy.     

"Tono maksudmu?" tanya Daisy.     

Keduanya tersenyum diikuti tawa renyah karena mengingat tentang Tono yang menjadi saksi atas kebohongan Jeremy dan Raka.     

Setelah mereka selesai makan, keduanya sama-sama berpikir seolah pertemuan mereka akan menjadi sesuatu perdebatan yang akan memanjang. Nyatanya tidak sama sekali. Malahan, keduanya bersikap seolah semua normal dan baik-baik aja.     

Sudah sejak lama Daisy tidak duduk di sisi kemudi Jeremy. Kini ia bisa merasakan kembali mobil Jeremy walau ia telah menggantinya dengan mobil baru.     

"Apa Jason akan menyukaiku?" tanya Jeremy tiba-tiba.     

"Dia suka semua orang, Jer. Aku membiasakannya bersama orang-orang selain aku," ucap Daisy seraya mengenang masa-masa di mana ia membesarkan Jason.     

"Katakan apa yang terjadi. Karena kedengarannya kamu sedih."     

Ya, Daisy memang sedih. Salahnya karena sejak kecil ia tidak selalu berada di sisi Jason sejak Daisy sudah bisa mulai bekerja dan membangun semuanya sendiri.     

Salahnya karena walau pun Daisy membesarkan Jason seorang diri, tetap saja Daisy membiarkannya bersama keluarganya sehingga sekarang Jason akan terlihat biasa saja ketika melihat Ibunya sendiri.     

Rindu hanya sebatas rindu ketika bertemu, begitulah Jason. Hanya akan memeluknya dan dalam sekejap, rindu itu hilang. Padahal Daisy berharap lebih bisa setidaknya Jason tetap bersamanya.     

Tapi memang semua sudah salah Daisg. Ia bahkan terlalu sering membiarkan Jason bersama keluarganya di saat ia sedang merasa terpuruk atau dengan keegoisannya ingin sendiri.     

Hanya saja Daisy bersyukur karena keluarganya sangat menerima dan menyayangi Jason. Terutama Raka dan Reina. Mereka bahkan menganggap Jason sudah seperti anak laki-laki untuk mereka.     

"Nggak sepenuhnya salahmu," ujar Jeremy merespons.     

"Tapi aku memang salah, Jer."     

"Benar. Tapi aku kan, bilang, itu bukan sepenuhnya salahmu. Sekarang kamu syukuri aja, Dai, bagaimana Jason saat ini. Toh, dia bertumbuh menjadi anak yang baik, bukan? Walau waktunya banyak di habiskan dengan keluargamu," nasihat Jeremy.     

Jeremy benar, pikir Daisy. Ia memang sudah sepantasnya bersyukur selalu dan tidak perlu merasa bersalah terlalu sering.     

"Tapi ada yang kurang bagiku untuk Jason. Dia punya segalanya sejak kecil, aku berjuang untuknya. Tapi menurutku hanya satu yang kurang," ujar Daisy mengulangi kalimat pertama dan terakhirnya.     

"Apa, Dai?"     

"Dia nggak benar-benar punya sosok Ayah, Jer. Papanya meninggal sebelum ia melihatnya. Walau pun ada Raka yang serupa dengan Raja, tetap saja keduanya berbeda, bukan?"     

Jeremy hanya diam selagi ia memikirkan sesuatu. Tidak mungkin di saat seperti ini ia lantas mengajak Daisy untuk menikah dengannya. Terlalu cepat, pikirnya.     

"Aku bisa menjadi Papanya, Dai ... Errr, itu kalau kamu nggak keberatan," ujar Jeremy tiba-tiba mengatakan hal itu begitu saja.     

Belum sempat Daisy menjawab, mereka sudah sampai di rumah Weiske. Daisy hanya tersenyum lalu keluar dari mobil yang diikuti Jeremy.     

Sambutan Jason terdengar nyaring sampai seisi rumah tertawa dan tersenyum melihat reaksi Jason karena kedatangan Daisy.     

"Nah, ini teman Mama. Namanya Om Jeremy," ucap Daisy mengenalkan Jason pada Jeremy.     

Jason mencium dan menyalami tangan Jeremy saat berada di gendongan Daisy.     

"Aku mau di gendong Om," pinta Jason seraya mengulurkan kedua tangannya ke arah Jeremy.     

Semua yang menatap satu sama lain terkejut karena seketika Jason begitu terlihat sangat akrab dengan Jeremy padahal mereka baru saja bertemu.     

Namun akhirnya Jeremy mau menerima Jason dalam gendongannya. Seketika mereka terlihat seperti anak dan Ayah yang membuat Daisy cukup merasa tersentuh.     

"Dia seperti Papanya," ucap Raka berbisik.     

"Jason maksudmu?" tanya Daisy.     

Raka menggeleng. "Jeremy. Apa nggak sebaiknya jadikan Jeremy sebagai Papanya?"     

Daisy langsung memelototi Raka hingga Raka merasa takut seketika dalam artian bercanda.     

"Jadi, kamu kembali sama Jeremy?" tanya Weiske saat Daisy ke dapur untuk mencari buah segar di lemari es.     

"Ibu ... Apa, sih, tiba-tiba tanya begitu?"     

"Ibu dan Papa nggak apa-apa loh, Nak, kalau kamu mau kembali sama dia," timpal Weiske.     

Daisy hanya diam sampai ia akhirnya menemukan buah apel di lemari es. Ia lalu memotongnya menjadi beberapa bagian dan memakannya.     

"Bu, aku nggak mau terburu-buru lagi. Kebahagiaan Jason nomor satu untukku. Dan biarkan seperti ini dulu, OK?"     

Weiske mengangguk dan tersenyum. Lagi pula baginya, tadi adalah sebuah motivasi yang setidaknya bisa Daisy pikirkan. Bahwa banyak dari mereka yang berharap Daisy menemukan pengganti Raja.     

Setelah melihat waktu yang menunjukkan pukul malam, Daisy dan Jeremy pun berpamitan. Jason sudah tertidur dalam pangkuan Daisy sehingga Daisy harus menggendongnya hingga ke mobil.     

Saat dalam perjalanan, Jason benar-benar terlihat sangat lelah dan tidak bergerak sama sekali. Ia sesekali mendengkur dalam pelukan Daisy dan Daisy merasa seperti sudah lama tidak dalam posisi seperti ini.     

"Aku baru sadar, aku lama nggak memangkunya seperti ini saat dia lagi tidur," tiba-tiba Daisy berceletuk pada Jeremy.     

"Manfaatkan momen ini, Dai. Kamu jadi bisa kembali dekat dengannya."     

Daisy mengangguk. "Dia lucu, pintar dan tampan seperti Papanya."     

"Aku tahu. Aku senang bisa menggendongnya," ucap Jeremy.     

Daisy menoleh ke arah Jeremy dengan senyumnya. "Malam ini ... Apa kamu keberatan tidur di rumahku?"     

"Sangat nggak keberatan, cantik. Aku mau menemani malammu. Sebenarnya tadi aku mau menawarkan diri."     

Jeremy mengedipkan satu matanya pada Daisy dengan nakal. Daisy tersipu dan mengalihkan pandangannya pada Jason yang tertidur.     

Sampai rumah, perlahan Daisy turun dan membiarkan Jeremy yang membuka pintu rumahnya. Lalu Daisy menaruh Jason di kamarnya dan menyelimutinya.     

Ditatapnya Jason perlahan-lahan hingga ia mencium kening Jason. Membiarkan lampu kecil menyala dan menutup pintu kamarnya.     

Daisy keluar dari kamarnya dan menyentuh tengkuk lehernya karena lelah. Ia duduk di sisi Jeremy yang sedang bersandar memeriksa ponselnya sendiri.     

"Hmm, apa orang rumahmu nggak apa-apa kamu di sini?" tanya Daisy memecah kesunyian.     

"Daisy, kamu belum tahu aku saat ini tinggal di apartemen?"     

Daisy menggeleng takjub. "Kamu beli apartemen?"     

"Iya. Mungkin sebaiknya lain waktu kamu main ke sana?"     

"Dengan senang hati, Jer."     

Keduanya lalu terdiam dalam beberapa waktu sampai akhirnya Jeremy bergerak menghadap Daisy.     

Tanpa perlu meminta izin, Jeremy menarik tangan Daisy dan menciumnya. Daisy terkejut dengan tindakan Jeremy namun akhirnya ekspresinya melembut merasakan sentuhan yang sudah lama tak ia rasakan.     

Daisy yang terdorong oleh hawa nafsu akhirnya mulai mendekati Jeremy. Naik ke atas pangkuannya dan mencium Jeremy. Jeremy membalasnya lebih berhasrat dari biasanya.     

Kedua bokong Daisy ia remas hingga nafasnya tersengal-sengal. Jeremy benar-benar berubah, pikir Daisy. Lebih liar.     

"Kamu nggak tahu betapa aku merindukanmu, Dai. Semua ini. Kamu milikku," ucap Jeremy menciuminya dengan nafsunya.     

"Aku juga rindu, Jer. Rindu kamu," balas Daisy melirih.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.