BOSSY BOSS

Chapter 171 - The Love Bird



Chapter 171 - The Love Bird

0Suara kicau burung di pagi cukup berhasil membangunkan Jeremy dari tidurnya. Di saat yang bersamaan pula ponselnya berdering. Buru-buru Jeremy menerima panggilan itu sebelum wanita di sampingnya, Daisy, terbangun karena merasa terganggu.     
0

"Ya, halo?"     

"Bos, Ricky berjalan menuju rumah Daisy. Apa yang sebaiknya kami lakukan?" itu adalah anak buah Jeremy yang mana sejak Jeremy kembali ke Indonesia dan bertemu Daisy tanpa sengaja, ia pun akhirnya merekrut anak buah untuk memantau setiap pergerakan Daisy mau pun orang terdekatnya.     

Jeremy menatap Daisy yang masih tertidur pulas tanpa bergerak sama sekali. "Biarkan saja. Tapi kalau dia di sana lebih lama lagi, tolong infokan dengan saya lagi."     

"Baik, Bos."     

Dimatikannya panggilan itu dan Jeremy pun bergegas untuk mandi. Setelah mandi ia memasak sesuatu buat sarapan mereka berdua. Semangatnya jadi lebih baik karena perseteruan percintaan semalam yang baginya sangat hebat dan mengagumkan. Daisy bahkan sangat menyukai dirinya yang sekarang.     

Sampai Jeremy selesai masak pun Daisy tidak bangun-bangun. Ia hanya melakukan pergerakan kecil kemudian terlelap lagi. Akhirnya Jeremy pun menghampirinya dan menciuminya hingga Daisy terbangun.     

"Pagi, cantik!" sapa Jeremy.     

Kalau boleh jujur, Daisy benar-benar terlihat sangat cantik di saat bangun tidur dengan wajah polosnya dan tubuh yang hanya dibaluti selimut.     

"Hei ... astaga, aku kesiangan?! Kebiasaan!" rutuknya yang langsung beranjak dari kasur. Ditatapnya sekelilingnya dan betapa ia merasa malu karena semua barang-barang di kamar Jeremy beserta pakaian mereka terlihat sangat berantakan.     

"Aku senang membuatmu kesiangan. Itu artinya kamu suka," ucap Jeremy.     

"Jer! Jangan membuatku malu, ah."     

Jeremy membungkam bibir Daisy dengan bibirnya. Mereka berciuman dalam beberapa saat sampai Daisy melepasnya secara perlahan. Ia ingat kalau ia adalah wanita karir yang mana pekerjaan adalah nomor satu untuknya demi anaknya.     

"Aku harus mandi dan kamu akan mengantarku ke rumah, bukan?"     

"Untuk apa ke rumah?" tanya Jeremy.     

"Pakaian kerjaku di rumah, Jer. Aku baru pertama di apartemenmu, jadi nggak ada apa pun di sini," jawab Daisy seraya masuk ke dalam kamar mandi.     

Jeremy langsung menarik tangan Daisy dan memperlihatkan satu lemari tanamnya yang menampakkan pakaian-pakaian wanita untuk Daisy.     

"Ini buat kamu. Aku sudah mempersiapkannya dari jauh hari," ucap Jeremy.     

Daisy takjub. Ia tidak tahu harus berkata apalagi selain membuka mulutnya dan menganga. "Tapi aku nggak ada kosmetik, Jer."     

Lagi, Jeremy membuka bagian laci bawah lemari tanam itu dan menunjukkan seperangkat kosmetik beserta parfum dan segala hal yang berbau wanita untuk Daisy.     

Daisy tertawa kecil. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya karena tidak habis pikir dengan apa yang Jeremy sudah persiapkan.     

"Sejak kapan?" tanya Daisy.     

"Sejak melihatmu. Setelah aku membeli apartemen, aku langsung membeli semua barang-barangmu tapi setelah melihatmu lagi. Dan untungnya aku hapal dengan apa yang kamu sukai, Daisy."     

Tidak ada kata untuk menjelaskan betapa Daisy bersyukur dengan Jeremy. Semua tersedia tanpa kurang sedkit pun.     

"Kalau begitu, aku harus benar-benar mandi, Jer," ucap Daisy. Tubuhnya masih memakai selimut kasur yang menutupinya.     

Jeremy memandangnya dari bawah ke atas dengan jakun yang bergerak-gerak menelan ludah. Jeremy tidak ingin membiarkan Daisy melakukan sesuatu sendiri ketika ia bisa saja bergabung.     

"Kalau begitu," ujarnya seraya melepaskan kemejanya. "Aku juga harus mandi bersamamu," sambungnya dengan kilatan mata penuh nafsu.     

Nafas Daisy tersengal-sengal dan ia pun melepaskan selimutnya hingga menunjukkan tubuhnya yang tanpa sehelai benang. Ia pun mendekat ke arah Jeremy, menciumnya sementara Jeremy mengarahkannya ke kamar mandi.     

***     

Ricky tidak tahu ke mana Daisy dan pergi sejak kapan. Sebab saat ia di pagi hari ini datang ke rumah Daisy, lahan parkir mobilnya kosong, rumah juga kosong ketika ia mengetuk-ketuk untuk kesekian kalinya.     

Sayangnya Ricky tidak mau menghubungi Daisy karena ia tahu Daisy akan menghindarinya. Dan di saat beberapa menit ia menunggu, akhirnya Ricky meninggalkan rumah Daisy.     

Setelah dari rumah Daisy, Ricky berencana ke kantor Daisy. Ia akan memohon apa pun pada Daisy asal Daisy kembali padanya walau hanya karena perjanjian kontraknya.     

Belum sempat ia memasuki lokasi kantor Daisy, ia melihat Daisy turun dari mobil Jeremy. Kedua tangan Ricky mengepal hebat di kemudinya. Kemudian ia pergi dari sana dengan laju gas penuh amarah.     

Ricky tidak tahu apakah ia harus tetap mengejar Daisy yang kini sudah bersama Jeremy, atau membiarkannya begitu saja. Tapi jika dibiarkan saja, Ricky tahu Daisy tidak akan memilihnya, melainkan Jeremy.     

"Halo," Jeremy, demi Daisy, rela menghubungi Jeremy. Ia yakin saat ini Jeremy sudah pergi dari kantor Daisy.     

"Ada apa?" tanya Jeremy.     

"Gue mau kita ketemuan, Jer."     

Jeremy berdecak seolah ia meremehkan Ricky.     

"Ada apa lagi, Rick?"     

"Kita harus membahas tentang Daisy."     

"Lagi?" tanya Jeremy.     

Ricky menganggukkan kepalanya walau ia tahu Jeremy tak akan bisa melihatnya.     

"Kali ini aja. Di restoran baru lo jam 7 malam ini."     

Ricky mematikan panggilannya dan membiarkan Jeremy memilih apakah sebaiknya ia datang atau tidak.     

Jeremy hanya diam ketika Ricky memutuskan panggilannya. Ia tidak peduli tentang ajakan Ricky yang menginginkannya bertemu. Lagi pula, memang perlu hal apa sampai harus kembali membahas Daisy? Jeremy rasa tidak perlu.     

Tapi walau begitu Jeremy tidak akan tinggal diam. Ia tetap mengerahkan anak buahnya untuk memantau perkembangan Ricky yang datang ke restorannya. Ia tidak ingin jika nantinya Ricky merusak suasana restoran.     

Pukul 7 malam tiba. Ricky sudah duduk di kursi yang ia pilih berada di tengah-tengah. Ia sudah memesan kopi hitam untuk menemaninya menunggu kedatangan Jeremy.     

Namun hingga setengah jam lewat, Jeremy tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Padahal Ricky tahu bahwa Jeremy bukan orang yang telat akan waktu.     

Hingga akhirnya Ricky menghubungi Jeremy. Ponselnya sibuk terus sampai Ricky tetap berusaha agar tersambung.     

"Lo di mana?" tanya Ricky sambil melihat sekeliling.     

"Di apartemen gue. Ada apa, Rick?"     

Ricky menghela nafasnya. Jawaban Jeremy adalah jawaban yang tidak diinginkan Ricky.     

"Gue di restoran lo, sialan!" rutuk Ricky.     

"Lo tadi langsung matiin panggilan lo tanpa menunggu jawaban gue, kan?"     

Ricky hanya diam. Kali ini ia merasa kalah karena Jeremy mempermainkannya secara tidak langsung. Ia merasa kesal dan marah.     

"Sorry, Rick. Gue nggak bisa datang dan nggak akan pernah datang untuk temuin lo," ucap Jeremy seraya mematikan panggilan Ricky.     

Dibalikkannya meja restoran yang ia pakai itu hingga beberapa pengunjung serta karyawan melihat yang dilakukan Ricky. Beberapa ada yang merasa takut dan yang lain hanya diam memandang.     

Kemudian tak lama anak buah Jeremy datang mencekal tubuh Ricky hingga ia merasa terkunci dan tidak bisa bergerak     

"Dengar, semua karyawannya Jeremy!" bentak Ricky sekaligus memberontak. "Bilang sama bos lo, gue nggak akan tinggal diam begitu aja!" tambahnya mengancam sekaligus memperingati karyawan Jeremy.     

***     

Hari ini Daisy benar-benar bersemangat. Waktu yang ia jalani dengan Jeremy rasanya memuaskan walau terkadang ada saja keinginannya untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengannya.     

Daisy tidak ingin menjadi sosok yang egois. Dengan Jeremy berada di sisinya saja ia bersyukur. Lagi pula, ia masih ingin belajar untuk mencintai Jeremy dengan tulus bukan karena seks.     

"Bu ... Di dalam ada seseorang yang ingin menemui Ibu," ujar Firly memberitahu.     

Daisy menaikkan satu alisnya. Ia merasa tidak ada janji dengan siapa pun hari ini untuk menemuinya di kantor.     

"Siapa? Apa saya tahu orangnya?" tanya Daisy.     

Firly mengangguk. "Iya, Bu. Beliau pernah ke sini beberapa kali."     

"Siapa namanya Firly?" tanya Daisy lagi.     

"Pak Reza, Bu."     

Walau pun Daisy tidak punya urusan dengan Reza, tapi entah kenapa nalurinya berkata Reza datang karena sesuatu. Yang mana bagi Reza belum selesai.     

Daisy jadi heran lagi dengan dirinya sendiri yang mana selalu saja di kelilingi laki-laki yang menyukainya. Sejak dulu, hal yang seperti itu belum berubah.     

"OK, terima kasih, Firly."     

Daisy langsung masuk ke dalam ruangannya dan melihat Reza yang tengah duduk di depan mejanya dengan mengenakan seragam pilotnya.     

Dikerjapkannya matanya setelah mencerna apa yang dilihatnya. Daisy lalu ingat bahwa Reza pernah berkata padanya ia hanya sebulan menetap di rumah.     

"Hei, Daisy. Akhirnya kita bertemu," sapa Reza yang berdiri untuk menghormati Daisy.     

"Hmm ... Ada apa, Reza?" Daisy yang bingung harus berkata apa pun hanya bertanya seperti itu pada Reza.     

Daisy lalu duduk dan mempersilakan Reza juga duduk di kursinya.     

Seumur hidupnya, Daisy belum pernah melihat laki-laki berpakaian pilot di hadapannya. Sekarang ia melihatnya sendiri, mantan kekasihnya yang sudah lama sekali.     

"Aku mau pamit sama kamu. Kamu ingat kan, kalau waktuku di rumah hanya sebulan?"     

Daisy mengangguk.     

"Hari ini aku udah harus terbang, Dai. Jadi aku mau lihat kamu terakhir kalinya sebelum aku terbang," ucap Reza.     

Daisy menghela nafasnya. "OK. Aku harap kamu baik-baik, ya, Rez."     

Reza mengangguk dan tersenyum pada Daisy. "Sepertinya aku nggak akan mendapatkan hatimu, ya?"     

Entah harus apa Daisy bereaksi, tapi ia hanya diam menanggapi ucapan Reza. Sedikit canggung dan ada rasa bersalah.     

"Jangan bilang begitu, Rez. Kamu seakan menyalahkan aku, tahu."     

"Nggak. Aku hanya mengungkapkan aa yang ingin kuungkapkan. Tapi benar, kan, aku nggak akan bisa dapatin hatimu?"     

Mau tidak mau Daisy mengangguk. Reza memang minim berusaha meraihnya. Lagi pula menurut Daisy, ia tidak merasakan sesuatu saat bersama Reza.     

"Jadi, Jeremy? Dia yang berhasil?" tanya Reza.     

"Dari mana kamu tahu namanya?"     

"Aku cukup dekat dengan Raka, Dai. Jadi apa benar?"     

Daisy mengedikkan bahunya. "Entahlah. Aku dan Jeremy memang kelihatannya bersama. Tapi aku belum tahu pasti apa yang kurasa."     

"Sepertinya dia laki-laki yang baik," ucap Reza.     

"Ya. Dia memang laki-laki yang baik. Saking baiknya, aku merasa nggak pantas buatnya."     

Reza meraih tangan Daisy. Ia mengusapnya dan menatap Daisy lekat-lekat. Awalnya Daisy syok dan ingin menarik tangannya yang berada di genggaman Reza, tapi sepertinya bukan masalah untuknya jika membiarkannya begini sebagai akhir dari pertemuan mereka.     

"Jangan sampai keegoisanmu menggagalkanmu, Dai."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.