BOSSY BOSS

Chapter 174 - One Month Again ...



Chapter 174 - One Month Again ...

0Ini di mana? Kenapa rasanya aku pernah di sini sebelumnya? Seperti sudah lama sekali.     
0

Sepi dan rasa tenang di sini menjadi lebih dominan. Tidak ada perabotan apa pun. Aku bahkan tidak di ranjang.     

Kabut atau asap, aku tidak tahu sebutannya, tapi itulah yang aku lihat. Aku berdiri di antara mereka. Kemudian aku melihat cahaya putih yang semakin lama semakin mendekat.     

"Sayang," suara yang menggema itu mengingatkanku akan sesuatu.     

Suara itu suara Raja. Sekarang aku tahu di mana aku sekarang. Tapi ini sudah lama sekali. Bagaimana mungkin aku bisa bertemu atau mendengar suaranya lagi?     

"Raja? Itu kamu?" tanyaku.     

Dan di sinilah dia sekarang. Di depanku dengan menggunakan jubah putih. Ia yang sama sekali tidak kelihatan sakit atau terluka di sekujur tubuhnya.     

Mendadak aku menangis sejadi mungkin. Aku tidak tahu apakah tangisan ini nyata di sini atau juga di duniaku? Sekarang aku merasa berada di dunia fantasi yang mana aku bisa melihat Raja dengan mata kepalaku sendiri.     

"Iya. Ini aku, Sayang. Aku selalu melihatmu dan anak kita yang bertumbuh semakin pintar," ujarnya.     

Uh-oh. Rasanya sangat sakit sekali mendengarnya begitu. Ia bisa melihat kami, tapi tidak bisa merasakan kebersamaan bersama kami. Rasanya sesak sekali dadaku.     

Jarak di antara kami tidak begitu jauh. Bisa saja aku menghamburkan diriku di pelukannya, tapi aku akan bertanya dulu apakah itu akan baik untuknya atau tidak.     

"Istirahatlah, Daisy. Sudah seharusnya kamu membiarkan Jeremy menikahimu dan kamu beristirahat dari karirmu," ucapnya.     

Bagaimana bisa aku beristirahat kalau tiba-tiba pikiranku saja terus terngiang akannya setiap kali sesuatu muncul mengingatkanku tentangnya.     

"Aku nggak bisa, Raja. Nggak sekarang," ucapku.     

"Jeremy punya segalanya yang kamu butuhkan, Sayang."     

Kugelengkan kepalaku. Kali ini aku berkeras diri bahwa aku tidak ingin begitu mengikuti ucapannya sementara Raja tidak tahu bagaimana aku merasakan semuanya sendirian.     

"Aku nggak mau ngikutin semua keinginanmu, Raja. Maaf."     

"Daisy ... Cobalah, sayang. Udah berapa kali aku bilang, terimalah Jeremy."     

Bukan aku bermaksud menolak Jeremy mentah-mentah. Tapi aku sama sekali tidak ingin jika masa laluku membuat hubungan kami hancur. Sekarang saja dengan tiba-tiba Raja muncul begitu saja. Menginginkanku bersama Jeremy. Persis seperti yang dulu pernah ia katakan.     

"Aku ingin bangun dari mimpi ini. Bagaimana bisa aku bangun?" tanyaku akhirnya.     

Entah kenapa aku agak malas bersama Raja jika ia membahas hal yang serupa. Aku tidak tahu kenapa ia begitu memaksaku untuk bersama Jeremy. Hanya karena Jeremy bisa menjamin semuanya? Ah, alasan klasik sekali.     

"Kamu bisa bangun kapan pun, tapi kamu sepertinya belum ingin bangun. Secara alam bawah sadar," ucapnya.     

Aku memejamkan mataku. Aku mencoba sebisaku untuk bangun dari dunia yang bukan duniaku. Entah apa yang terjadi duniaku, apakah aku tidur cukup lama? Karena waktu di duniaku dan dunia ini sangat berbeda.     

Tapi tetap, aku tidak bisa kembali ke duniaku. Entah bagaimana caranya agar aku bisa kembali, tapi aku tidak menemukan cara.     

"Udah kubilang, Sayang. Kamu belum benar-benar ingin meninggalkan dunia ini," suara Raja membuatku membuka mata.     

Aku ingin kembali. Aku ingin kembali. Benar-benar ingin kembali.     

Beberapa kali aku membatin kalimat itu dan samar-samar aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku tidak tahu mereka siapa, tapi mereka jelas memanggilku.     

Kutarik nafasku dalam-dalam. Mataku terpejam cukup lama. Lalu kuhembuskan nafas itu. Beberapa kali aku melakukannya hingga aku rileks.     

"Hah!" suara nafasku yang tercekat timbul begitu saja hingga membuatku terbangun dan melihat keadaan sekitar.     

Aku bisa melihat bahwa sekarang aku berada di rumahku. Dari perabotannya saja aku hapal. Lalu aku melihat Jeremy yang sedang memegang tanganku, merasa kalut dan panik juga cemas.     

"Daisy? Astaga! Kamu buat aku cemas! Apa yang terjadi sebenarnya?" tanyanya memberondongku.     

Aku belum bisa menjawab karena aku masih bingung. Apakah tadi itu termasuk mati suri? Aku tidak tahu.     

Bukannya menjawab pertanyaannya, aku hanya bertanya, "berapa lama aku tertidur?"     

"Tiga hari. Kamu tertidur tiga hari. Ada apa, Daisy? Katakan padaku."     

"Aku ... Aku bertemu dengannya lagi, Jer. Raja," ucapku gamblang.     

Jeremy mengerutkan keningnya. "Raja? Seperti dulu lagi?"     

Aku mengangguk. Pasti wajahku penuh dengan kekacauan sekali sekarang. Merasa takut dan semacamnya. Tapi bukan takut akan Raja yang membuatku takut. Aku takut jika aku tidak bisa kembali seperti tadi.     

"Apa yang dia katakan, Daisy?" tanya Raja.     

Aku tidak mungkin menceritakan apa yang Raja inginkan karena ini menyangkut dirinya. Bisa-bisa Jeremy menawariku untuk menikah dengannya.     

"Yah, dia melihatku dan perkembangan anaknya. Rasanya aneh berada di sana. Kamu tahu, seperti aku nggak merasakan apa pun."     

Jeremy mendengarkanku dengan serius.     

"Dia seperti nggak menginginkanku untuk kembali, Jer. Lalu aku coba rileks dan akhirnya aku benar-benar bisa kembali," jelasku.     

Jeremy menyentuh dahiku dan mengusapnya. Ia masih terlihat sangat khawatir dan aku bisa melihat itu dari wajahnya yang sungguh-sungguh.     

"Sekarang yang terpenting kamu kembali. Aku akan mencoba berada di sisimu terus dan membangunkanmu di saat kamu tidur cukup lama, OK?"     

Kuanggukkan kepalaku dan berterima kasih padanya. Lalu aku dengar aktivitas orang-orang di luar kamarku. Aku menautkan kedua alisku untuk bertanya siapa di luar sana.     

Jeremy mengedikkan bahunya hingga aku sadar bahwa ia telah memanggil keluargaku. "Aku nggak punya pilihan, Daisy. Sorry."     

Kuhembuskan nafasku dan aku mencoba beranjak dari kasur. Rasa pusing akibat tidur cukup lama rupanya membuatku merasa lapar juga haus. Jeremy langsung mengulurkan segelas air mineral dan aku meneguknya hingga habis.     

Belum cukup, aku langsung beranjak menuju dapur dan mengambil air mineral sebanyak yang bisa kuteguk.     

Semua orang menatapku. Aku menatap mereka juga dari balik gelas yang kuminum. Kemudian aku meraih roti yang memang selalu kusediakan di dapur dan memakannya dengan lahap.     

"Menurut lo, apa sekarang Daisy berubah menjadi makhluk aneh?" tanya Raka. Ya, aku bisa mendengarnya karena suaranya cukup keras.     

Jeremy menatap Raka dan menaruh satu telunjuknya di bibir. Membungkam Raka hingga ia terbungkam juga akhirnya.     

"Dia tiga hati nggak bangun. Jelas dia lapar dan haus, Raka."     

"Aku bisa mendengar kalian!" seruku pada mereka.     

Ibu menghampiriku dan menatapku. "Nak, apa kamu baik-baik aja?" tanyanya cemas.     

Kuanggukkan kepalaku lagi. "Sangat baik-baik aja sekarang, Bu. Jangan khawatir, OK?"     

Ibu menangis di hadapanku. Aku yakin sekali ia memang cemas padaku. Anaknya ini memang terlalu banyak menyusahkannya hingga membuatnya sedih. Aku memang salah dan aku akui itu.     

"Maaf, Bu. Aku terlalu sering membuat Ibu menangis," ucapku sesal.     

"Yang penting kamu membaik. Itu yang Ibu harapkan."     

Ya, aku tahu semua orang mengharapkan hal-hal baik padaku.     

Setelah aku minum dan makan sampai merasa cukup, kutatap sekeliling keluargaku. Reina tidak ikut, artinya ia menjaga Lily dan Jason di rumah.     

"Apa Jason baik-baik aja?" tanyaku.     

Raka mengangguk. "Dia sehat dan baik. Dia nggak tahu kalau kamu nggak sadar selama tiga hari."     

"Tolong jangan katakan apa pun padanya. Aku nggak mau buat dia sedih. Dia udah cukup tahu banyak hal diusianya yang masih muda.     

"Tenang, Dai. Kami semua tahu mana yang harus kami katakan dan nggak."     

Aku tersenyum dan berterima kasih pada Raka. Dia banyak membantu. Pun tak luput Jeremy juga. Jeremy sangat andil sekali dalam kehidupanku sekarang. Ia sepertinya tidak mempermasalahkan status kami karena tahu jawabanku apa.     

"Kalau gitu, kami pulang dulu, ya?" pamit Raka.     

"Iya. Terima kasih untuk kunjungan kalian," ucapku.     

Aku memeluk mereka semua dan mengantarkan mereka sampai mobil. Lalu kini hanya tinggal aku dan Jeremy.     

Karena ini masih pagi dan matahari sudah sedikit muncul, aku pun punya ide secara tiba-tiba.     

"Jer, ayo kita keliling kompleks hingga ke taman. Aku butuh matahari," ucapku.     

"OK. Ide bagus, Daisy."     

Setelah kami siap dengan pakaian olahraga. Aku dan Jeremy berjalan beriringan. Aku cukup merasa lelah karena sudah lama tidak berolahraga. Tapi untungnya aku cukup mampu meneruskannya sampai berada di taman.     

Walau nafasku memburu, Jeremy mengajarkanku untuk mengontrol nafas. Ia juga membelikan minuman untukku.     

"Ah, rasanya udah lama sekali," ucapku.     

"Seberapa lama?"     

"Beberapa tahun?"     

"Lama juga, ya?" ucapnya.     

Kini aku bisa melihat ada yang berbeda dari Jeremy. Cara bicaranya yang bukan dia sekali. Seperti dia sedang menutupi sesuatu.     

Aku memang tidak tahu apa sudah dilewati Jeremy. Aku juga bahkan tidak peka dengan keadaan sekitarku. Hingga saat ini aku merasakan sesuatu darinya.     

"Jer? Selama aku tidur, apa aja yang udah kamu lakuin?" tanyaku memancingnya.     

"Hmm, aku bekerja. Tapi aku mengontrolnya dari rumahku. Maksudku secara online. Aku nggak benar-benar bisa meninggalkanmu, Daisy."     

Aku mengangguk. Jawabannya masih terdengar normal. Tapi aku yakin ada sesuatu yang ia sembunyikan.     

"Lalu apa lagi? Hmm, bagaimana keluargamu?" tanyaku.     

"Keluargaku? Mereka baik-baik aja, Daisy."     

Aku tahu pasti rasanya aneh mendengar aku bertanya tentang keluarganya. Hal yang tidak pernah aku bicarakan.     

"Dan kamu ... Apa kamu baik-baik juga?"     

Kali ini Jeremy diam. Matanya menatap kosong ke taman yang mana banyak orang berkeliling. Mendadak perasaanku tidak enak. Baru tiga hari tanpaku, sekarang aku sendiri yang merasa sangat berbeda ketika Jeremy bersamaku. Ia tidak biasanya sepertinya.     

"Jeremy ... Katakan sesuatu. Apa yang membuatmu jadi aneh?" tanyaku akhirnya.     

Jeremy tersenyum kecut. Ia bahkan mendengus. "Hmm, kelihatan sekali ya, Daisy? Padahal aku mencoba menutupinya, loh."     

Kuanggukkan kepalaku. "Katakan, Jer. Kalau memang itu tentang kita atau bukan. Aku siap."     

Jeremy hanya diam. Sepertinya ia butuh waktu untuk mengeluarkan isi hatinya. Jadi aku bersabar menunggu jawabannya seraya membayangkan hal yang indah-indah walau aku tahu sebentar lagi aku akan menerima kenyataan yang pahit, kurasa.     

"Dalam waktu satu bulan ..." tiba-tiba ucapannya menggantung.     

Nafasku tercekat menunggu tambahan ucapannya.     

"Orang tuaku, menginginkan aku untuk menikah. Jika aku nggak bisa dengan pilihanku, maka mereka akan mencari pilihan mereka untukku," jelasnya membuatku seperti tersambar petir.     

Bahkan aku perlu mencernanya berulang kali sampai mataku memanas setelahnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.