BOSSY BOSS

Chapter 177 - I Want Marry Him



Chapter 177 - I Want Marry Him

0Aku merasa waktunya tidak tepat. Entah memang saat ini dia sudah berubah atau hanya alasanku yang tidak terima bagaimana dia saat ini.     
0

Langkah Zen mendekat dan semakin mendekat pikiranku terpecah belah hingga kembali berkumpul lagi.     

Tatapannya mengarah ke Devan dan seperti memberikan aba-aba untuk meninggalkan kami, karena Devan memang pergi dari kami begitu saja.     

Sementara itu Zen menatap Raka. Tatapannya sama seperti dengan Devan, tapi Raka memilih tetap tinggal dan aku juga tidak mempermasalahkannya.     

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya.     

Pertanyaan pertama yang kupikir tidak akan kudapatkan, kini kudapatkan saat ini juga.     

"Baik. Sangat baik. Bagaimana denganmu?" balasku.     

Zen mengangguk dan ia menyilakan aku dan Raka untuk duduk di kursi teras.     

Jarak kursiku dan Zen sangat jauh. Ia menjaga jarak. Sepertinya memang sebuah kesengajaan hingga suara anak kecil keluar begitu saja dan datang kepadanya dengan memanggilnya, 'Papa'.     

Anak kecil itu kurasa usianya sekitar empat tahunan. Ia menggelayut di kaki Zen dengan sangat imut dan dia adalah seorang perempuan.     

Ternyata Zen sudah menikah dengan—     

"Kanya! Tolong bawa Vivi!" pekiknya.     

Ya ... Dengan Kanya. Mantan kekasihnya, Ibu dari anak pertamanya dan kini sepertinya mereka kembali dan sudah menikah.     

Tidak perlu penjelasan, aku sudah cukup jelas melihat semua dengan mata kepalaku sendiri. Mendadak aku bahkan merasa canggung sendiri.     

Kanya keluar dan mengambil anak kecil itu, menoleh sebentar ke arahku dengan senyuman. Senyuman yang bahkan tidak pernah ia berikan padaku selama dulu mengenalku.     

Sepertinya keluarga ini sudah berubah. Benar-benar berubah.     

"Ada apa, Daisy? Aku nggak pernah duga kamu akan ke sini," tanya Zen memulai pembicaraan.     

"Aku ingin memastikan kamu udah berubah, Zen. Karena nggak mungkin Papaku membebaskanmu tanpa alasan, bukan?"     

Ia mengangguk dan tersenyum. Lalu Zen menggaruk pangkal hidungnya. "Ya, itu benar. Dan sesuai harapanmu, aku berubah. Kamu bisa lihat sendiri, kan, perbedaannya?"     

Iya, aku memang lihat perbedaannya. Tapi aku tidak tahu bagaimana hatinya. Caranya memandangku masih sama, tapi Zen masih menyembunyikannya.     

"OK, terima kasih untuk itu, Zen. Karena aku ingin hidup tenang tanpa dikejar-kejar olehmu," kataku langsung pada inti.     

"Dan kamu dapat ketenangan itu. Maafkan aku pernah berbuat salah dan dosa denganmu, Daisy."     

Aku menganggukkan kepalaku dan kemudian berdiri. Aku rasa sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semua sudah jelas.     

"Gitu aja?" tanya Zen heran.     

"Iya. Gitu aja. Terima kasih untuk waktunya."     

Raka dan aku berjalan menuju mobil. Zen mengantar kami sampai mobil dengan kedua tangannya di saku celananya. Melihatnya berpenampilan begitu, betapa aku sadar bahwa aku merindukannya.     

Zen bahkan membukakan pintu mobil untukku yang kuberi senyuman sebagai terima kasihku. "Hati-hati," katanya.     

Ketika mobil berjalan, aku menatap Zen dari spion hingga aku benar-benar tidak bisa melihatnya lagi. Dari situ aku baru bisa menghembuskan nafas lega. Sesuatu yang kupikir sulit sudah kelewati.     

"Puas?" tanya Raka.     

"Ya, untungnya."     

"Jadi, bagaimana tanggapanmu mengenai dia yang ternyata udah punya anak?"     

Kukedikkan bahuku sebagai jawaban. Sepertinya aku sedang tidak ingin membahas tentang Zen saat ini. Yang pasti aku sudah memastikannya sendiri. Walau tatapannya padaku masih sama, setidaknya dia benar-benar berubah.     

Raka akhirnya diam dan mengerti. Jadi sepanjang perjalanan pulang kami hanya diam.     

Entah kenapa perjalanan pulang jadi lebih cepat ketimbang ketika menuju ke sini. Aku sampai menghela nafasku karena tak kusangka kami sampai di rumahku.     

"Terima kasih ya, Raka. Sebaiknya kamu pulang langsung. Ini udah malam banget soalnya," ujarku padanya.     

Raka mengangguk dan mengacak-acak rambutku. "Jangan galau karena mantan udah nikah, ya?" ejeknya.     

Aku tak bisa menahan perasaan yang berkecamuk di dalam diriku ketika ia mengatakan itu. Tentu saja aku galau, tapi aku rasa itu yang terbaik untukku. Toh, Zen berubah demi kebaikannya.     

"Udah ih, aku juga biasa aja, kok," ujarku menolak dibilang galau di hadapannya.     

"Ya, udah. Kunci dulu pintu rumah, baru aku akan pergi," katanya memerintah.     

Aku mengangguk dan masuk sesuai dengan perintahnya. Pintu kukunci hingga aku bisa melihat mobil Raka baru akan pergi setelahnya.     

Sekarang aku sendiri. Rumah yang sepi hanya berisikan aku. Anakku merasa betah tinggal di rumah Kakek Neneknya, sementara aku tak memaksanya untuk tinggal denganku. Tapi bukan masalah, yang penting dia senang dan bahagia.     

Kubasuh wajahku dan mengganti pakaian tidur. Lalu aku naik ke atas kasur dan merebahkan diri memeluk gulingku.     

Hari ini Jeremy tidak menghubungiku sama sekali. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku rasa aku harus menghubunginya lebih dulu.     

Setelah aku kirim pesan, kutaruh ponselku di sisiku dan aku memejamkan mataku untuk tertidur.     

Paginya aku terbangun dengan suara ketukan pintu rumahku. Padahal masih jam enam pagi tapi seorang tamu rupanya datang sekaligus membangunkanku. Jadi aku beranjak dari kasur dengan setengah nyawa belum terkumpul.     

"Morning, cantik!" sapa Jeremy.     

Ah, aku jadi lupa kalau semalam aku mengirimnya pesan tapi aku tidak tahu apakah ia membalasnya atau tidak.     

"Hei, morning. Masuklah," balasku seraya menyuruhnya masuk.     

Aku membuka pintu rumahku lebar-lebar karena memercayai rezeki akan masuk di pagi hari ketika kita membuka pintu rumah lebar-lebar.     

Kududuki sofa dan memejamkan mata. Dalam keadaan setengah tidur karena masih mengantuk. Sepertinya Jeremy sedang sibuk di dapur karena aku mendengar peralatan dapurku berbunyi seperti ia sedang memasak sesuatu, atau memanaskan sesuatu, sebab aku melihatnya tadi membawa sekantung plastik yang kucium adalah bau makanan.     

"Ayo, sarapan!" teriaknya tiba-tiba membuatku sedikit tersentak.     

Aku pun beranjak dan menyikat gigiku terlebih dahulu untuk bergabung dengan Jeremy di meja makan. Jeremy memang sudah sangat pandai berada di rumahku. Ia bahkan menganggap rumahku seperti rumahnya sendiri, jadi aku pun juga sudah biasa.     

"Semalam kamu pasti udah tidur, ya?" tanya Jeremy.     

"Hmm, ya. Setelah aku kirim pesan ke kamu, aku langsung tidur. Kamu balas, ya?"     

Jeremy mengangguk. "Iya, aku balas. Terus hari ini kamu ke kantor?"     

"Iya, Jer. Aku harus ke kantor. Mastiin semua clear. Nanti kalau semua tertata rapi, mungkin aku pulang lebih awal. Pengen tidur, rasanya."     

"Nggak jemput Jason?" tanyanya.     

"Mungkin sorenya aku ke sana. Kayaknya aku menginap di sana. Nggak apa-apa, kan?" tanyaku.     

"Memangnya aku pernah melarang kamu buat ketemu anak? Nggak, kan? Jadi, silakan," katanya dengan senyumannya.     

Aku tersenyum mendengarnya. Memang dia tidak pernah melarang apa pun aktivitas yang kulakukan. Sekali pun mungkin membahayakanku, tapi dia selalu mengizinkannya.     

Setelah selesai makan, aku mandi. Jeremy selalu berkeras merapikan meja makan dan dapur jika bersamaku, jadi aku sedikit bisa santai ketika bersiap diri.     

Jujur aku tidak tahu apa motif Jeremy pagi-pagi ke sini hanya mengajak sarapan bersama lalu mengantarku kerja. Aku tidak pernah memintanya, tapi karena aku sudah terbiasa, maka aku membiasakan diri juga.     

Setelah aku siap, Jeremy mengantarku sampai kantor dan meninggalkanku setelahnya. Aku masuk kantor dan seperti biasa, semua karyawan menyapaku dan ada yang senang melihatku muncul kembali.     

Yah, rasanya memang seperti sudah lama tidak masuk kantor. Aku bahkan malas menghitung sudah berapa lama aku tidak masuk kantor.     

Ruanganku tetap bersih dan benar-benar rapi. Sepertinya selalu dibersihkan walau pun aku tidak masuk kantor.     

Kutuntaskan semua pekerjaan yang tertunda tanpa terdistraksi oleh apa pun. Dan untungnya hanya butuh dua jam aku selesai.     

Karena di kantor aku merasa tidak ada apa pun untuk kukerjakan lagi akhirnya aku memutuskan pulang. Ya, pulang tanpa meminta Jeremy untuk menjemputku. Aku hanya menggunakan sopir kantor saja untuk mengantarku sampai rumah.     

Sampai rumah aku benar-benar tidur. Rasanya entah kenapa aku menjadi sangat lelah akhir-akhir ini. Jadi langsung saja aku merebahkan diriku dan tidur dibawa alam.     

Suara adzan maghrib yang berkumandang membangunkanku dari tidur. Aku lekas beranjak dan siap-siap menuju rumah Ibu. Hari ini aku harus menemui anakku, karena aku merindukannya.     

Hanya berbekal seadanya, aku keluar rumah dan mengunci pintu. Namun saat aku akan ke mobilku, aku mendengar deru mesin mobil yang masuk ke dalam gerbang rumahku.     

Ah, Jeremy lagi. Kenapa rasanya bisa pas sekali, ya? Dia datang di saat aku akan pergi.     

"Aku antar, ya?" tawarnya.     

Kuanggukkan kepalaku dan aku pun langsung masuk ke dalam mobilnya.     

"Kamu tahu aku ke rumah Ibu jam seginian?" tanyaku padanya.     

"Hanya menebak, he he he."     

"Ah, kamu kalau nebak selalu benar loh, Jer. Yakin, kamu nggak mata-mataiku, kan?" godaku.     

Jeremy hanya diam dan kemudian ia menggeleng dengan senyuman.     

"Aku hanya menebak, OK? Atau next time aku nggak perlu nih, jemput kamu?"     

Mendadak bibirku mencebik. Walau aku tidak ingin merepotkannya, tapi jika rutinitas antar jemput itu berhenti, tentu saja melukai perasaanku.     

"Nah, kan, manyun. Bercanda, bercanda."     

Tertawa bersamanya cukup membuatku bahagia. Jeremy memang selalu bisa menempatkan posisi dalam keadaan dan situasi apa pun.     

Sampai rumah, aku dan Jeremy langsung masuk. Jason yang melihatku pun langsung berlari ke arahku dan kugendong dirinya langsung.     

Aku senang sekali menciumi pipinya yang mirip seperti bakpao. Walau dia tidak gendut, tapi pipinya sangat lucu. Bahkan aku sudah bisa melihat betapa tampannya anakku.     

Setelah cukup melepas rindu pada anakku. Kubiarkan ia bermain kembali dengan Lily. Lalu aku pun nimbrung di ruang tamu yang mana lengkap dengan Ibu, Papa, Raka dan Reina.     

Kali ini aku akan menyampaikan sesuatu yang mungkin akan mengejutkan semuanya, termasuk Jeremy.     

"Karena pada kumpul, aku mau bicara sesuatu sama kalian," ucapku seraya duduk.     

Jeremy sudah terlihat penasaran dengan apa yang ingin kubahas. Karena sejak tadi aku bersamanya dan tidak membahas apa pun di hadapannya.     

"Tumben, ada apa?" tanya Papa.     

Yah, memang aku jarang membahas hal-hal yang serius selama ini. Jadi aku tidak heran jika mereka sedikit merasa aneh karena aku akan membahas hal yang serius.     

"Hmm, ini tentang aku dan Jeremy," ucapku.     

Jeremy kembali menatapku dengan serius. Wajah keingintahuannya benar-benar terlihat sangat lucu dan menambah ketampanannya.     

"Aku akan menikah dengan Jeremy satu bulan lagi," terangku setelah itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.