BOSSY BOSS

Chapter 184 - His Lost & It Hurts



Chapter 184 - His Lost & It Hurts

0"Selamat, Daisy. Senang bekerja sama denganmu."     
0

Uluran tangan Zen untuk menjabat tangan Daisy, Daisy balas secara professional.     

"Sama-sama, Zen. Untuk detail desain nanti asistenku yang akan kirimkan emailnya. Aku harus kembali ke kantor," ucap Daisy.     

"Daisy … apa kamu nggak ingin makan siang bersamaku?" tanya Zen sebelum Daisy benar-benar meninggalkannya.     

Daisy tersenyum padanya dan berkata, "maaf, Zen. Aku nggak bisa. Di kantor ada banyak yang harus aku urus. Aku pamit pergi."     

Zen membiarkan Daisy pergi setelah menolaknya secara halus. Ia hanya bisa tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya melihat bagaimana Daisy menghadapi dirinya.     

"Kamu memang berubah, tapi caramu memandangku sama sekali nggak berubah, Daisy," ucap Zen.     

***     

Nafas Daisy tersengal-sengal lepas ia bertemu dengan Zen di kantornya. Ia juga sama sekali tidak menyangka masih ada beberapa karyawan Zen yang mengenalinya dan bahkan masih menghormatinya seolah ia masih istri Zen.     

Hari ini Daisy berhasil melewati waktu dengan Zen secepat yang ia bisa. Menolak ajakan Zen dan tetap mengutamakan keprofesionalannya.     

Daisy langsung meninggalkan kantor Zen setelah cukup lama berada di dalam mobil. Kali ini ia akan menuju kantor Raka untuk memberikan hadiah padanya.     

"Daisy? Ada apa?" tanya Raka setelah melihat Daisy masuk ke dalam ruangannya.     

Daisy langsung mengeluarkan hadiah untuk Raka dari tasnya dan menaruhnya di meja Raka. "Maaf terlambat, tapi aku harap kamu tahu maksudku," ucap Daisy.     

Raka tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia meraih hadiah itu dan seperti biasa, membukanya secara langsung di depan Daisy. "Kamu tahu kamu nggak perlu melakukan kebiasaan ini, Daisy," ucap Raka.     

"Ya, aku tahu. Tapi aku merasa harus. Dan setiap tahun aku rasa kamu memang harus mengganti jam tanganmu. Jadi, pakailah. OK?" balas Daisy.     

Raka mengangguk dan melepas arloji lamanya dengan arloji baru. Keduanya sama-sama pemberian Daisy. Ia memang sengaja memberikan arloji keluaran terbaru dari beberapa merek yang Daisy rasa cocok untuk Raka.     

"Terima kasih. Aku suka," ucap Raka.     

"Hmm, omong-omong … Reina nggak pernah tahu kan, tentang riwayat-riwayat jam tanganmu?"     

"Nggak, Daisy. Aku menghormati keinginanmu untuk nggak mengatakannya, jadi, kamu jangan khawatir."     

Daisy mengangguk dan kemudian bersandar. Bernafas lega dan kemudian ia menceritakan seharian penuh yang terjadi padanya dengan Raka.     

"Kamu mau tips dari aku?" tanya Raka setelah Daisy menceritakan semuanya dan meminta saran padanya.     

"Ya. Kasih aku tips atau saran yang mana dirasa aku nggak perlu bertemu dengannya kecuali hal yang penting."     

"Serahkan semua pada tangan kananmu. Asistenmu misalnya. Jika ada hal penting, baru kamu akan maju. Mudah, Daisy. Tinggal gunakan akalmu dengan kepala dingin."     

Daisy mengangguk-angguk paham. Ia ingin mendengarkan lebih dan tentu saja Raka masih memiliki ide lainnya.     

"Kamu juga bisa membuat kesepakatan. Misalnya semua hal-hal hanya akan dikirimkan melalui email kecuali jika seragam itu sudah selesai, maka karyawan antar barang yang akan menghadap. Begitu saja," tambah Raka.     

"Ah, aku nggak kepikiran sampai sana. Yang aku pikirkan adalah hanya ingin menghindarinya tanpa mencari solusi. Aku terlalu fokus pada itu saja," tangkas Daisy.     

"Lagi pula, kalau dari awal ingin menghindar, kenapa juga kamu menerima tawaran itu?" tanya Raka.     

Di sini Daisy memang belum mengatakan alasannya. Tapi pada akhirnya ia mengatakannya. "Uang. Keuntungan dari kerja sama dengannya sangat menguntungkan, Raka. Kamu tahu, siapa pun jika menawarkan keuntungan yang melimpah, aku akan menerimanya. Tapi aku juga butuh persetujuan Jeremy, awalnya. Aku nggak ingin menyembunyikan apa pun darinya."     

***     

Segera setelah mendengar cerita Daisy tentang Zen yang ingin bekerja sama dengannya, Raka langsung meluncur ke kantor Zen. Ia menunggu Zen di lobi setelah ia mengatakan pada resepsionis kantor Zen bahwa ada Raka di sini. Raka tahu Zen akan langsung keluar setidaknya ketika mendengar nama Raka.     

"Pak, kata Pak Zen Bapak bisa masuk ke dalam ruangannya langsung," ucap resepsionis itu menginfokan.     

"Baik, terima kasih," ucap Raka. Ia tidak salah menduga tentang Zen. Bahkan Zen menyuruhnya untuk langsung ke ruangannya langsung.     

Sambutan senyum hangat Zen memancar begitu Raka masuk ke dalam ruangannya. Raka langsung duduk begitu Zen menyuruhnya.     

"Ada yang bisa dibantu, Raka?" tanya Zen.     

"Langsung saja, gue nggak tahu kenapa lo mau bekerja sama dengan Daisy, Zen. Apa lo nggak mikir mental apa yang Daisy rasakan?"     

"Apa Daisy yang bilang langsung ke lo?" tanya Zen memastikan.     

"Nggak. Gue mencari tahu sendiri," jawab Raka. Ia tidak akan membiarkan Zen tahu bahwa memang Daisy-lah yang memberitahunya.     

Zen tampak menghela nafasnya. Ia meraih bir kaleng di lemari pendinginnya yang terletak di sisinya dan menyodorkannya pada Raka sebagai jamuan untuknya.     

"Jangan salah sangka dulu, gue mau kerja sama dengan dia karena memang cuma butik dia yang gue kenal," ucap Zen.     

Raka berdecak. Walau kelihatannya Zen memang sudah berubah, tapi tidak ada salahnya jika tetap mencurigainya, setidaknya hanya kecil. "Jangan anggap gue bodoh, Zen. Lo bahkan punya banyak kenalan butik selain milik Daisy. Lo pikir gue bakalan percaya begitu aja? Bilang sama gue apa motif lo yang sebenarnya."     

Kedua tangan Zen saling bertautan. Ia tidak berpikir bahwa Raka memang ternyata cerdik dalam hal memata-matai. Entah dengan apa, tapi apa yang Raka katakan memang benar. Zen tidak bisa berpura-pura lagi.     

"Gue hanya ingin bertemu dengannya walau gue nggak bisa menggapainya lagi," ucap Zen mengaku.     

"Zen … tolong, berhenti. Biarkan Daisy tenang dengan pilihannya. Apa yang lo lakuin ini jelas merusak konsentrasinya!"     

Zen menggelengkan kepalanya. "Gue janji gue nggak akan terlalu memperlihatkan keinginan gue di depan dia, Raka. Dan gue nggak berniat sekali pun merusak kebahagiaannya."     

Raka seperti kehabisan cara untuk membuat Zen berhenti. Tapi ia akan memberi kesempatan pada Raka jika memang itulah yang dia inginkan.     

"Tapi dengar, sekali aja lo membuatnya kesal, gue nggak akan tinggal diam, Zen," ancam Raka.     

Zen tersenyum lega. Ia lalu bersandar dan menenggak bir kalengnya. "Tenang, Raka. Gue orang yang cukup bisa menjaga janji."     

Raka berdiri tanpa menyentuh bir kalengnya yang sudah mulai bertetesan dengan buliran air sehabis dari lemari es. Ia membenarkan jasnya dan menatap Zen dalam-dalam.     

"OK, gue rasa cukup sampai sini. Dan gue ke sini bukan untuk menikmati bir bersama lo. Walau lo udah berubah, tapi gue belum bisa sepenuhnya percaya, Zen. Daisy tanggung jawab gue, dan lo harus ingat itu."     

Raka langsung meninggalkannya setelah mengatakan itu pada Zen. Zen tersenyum senang dan menghabiskan birnya. Ia bahkan langsung meremas bir kalengnya yang kosong dan membuangnya ke tempat sampah.     

"Tapi gue nggak bisa janji kalau nanti Daisy jatuh cinta sama gue lagi," lirih Zen dengan senyumnya.     

***     

Berita duka menjadi kabar yang tidak diinginkan siapa pun. Terpaksa pernikahan Daisy dan Jeremy diundur karena tiba-tiba Ibu Jeremy meninggal karena penyakitnya.     

Daisy ikut menangis ketika mendampingi pemakaman Ibunda Jeremy. Ia tidak melepaskan genggaman tangan Jeremy untuk menguatkannya.     

Jeremy memang tidak menangis, tapi diamnya Jeremy lebih menyedihkan dan menakutkan bagi Daisy. Hanya kedua adiknya dan beberapa keluarga yang hadir.     

Setelah melakukan ritual pemakaman, Jeremy langsung pergi dari sana bersama Daisy. Ia tidak memikirkan yang lain karena tahu yang lain bisa menjaga dirinya. Daisy hanya bisa menemaninya dalam kebisuan yang Jeremy sedang rasakan.     

Jeremy mengemudi mobil perlahan menuju tempat yang Daisy tidak tahu. Tapi mereka berhenti di satu tempat yang mana mereka bisa melihat kota dengan indah.     

Rasanya Daisy ingin berbicara pada Jeremy, tapi Jeremy bahkan belum mengatakan apa pun pada Daisy. Daisy tahu betapa hancurnya perasaan Jeremy saat ini.     

"Maafkan aku," ucap Jeremy tiba-tiba.     

"Jer … kamu nggak salah apa-apa."     

"Pernikahan kita terpaksa ditunda. Kamu nggak mempermasalahkannya, kan?"     

Daisy tidak habis pikir, bagaimana bisa Jeremy memikirkan perasaan orang lain sementara dirinya sedang hancur-hancurnya.     

Daisy memeluk Jeremy dari belakang. Melingkarkan kedua tangannya di perut Jeremy. Aroma parfum khas Jeremy bisa Daisy rasakan di hidungnya. "Jangan pikirkan itu dulu. Aku nggak apa-apa."     

Tangan Jeremy menyentuh dua tangan Daisy yang memeluknya. Daisy bisa tenang sedikit setelah itu karena akhirnya Jeremy berbicara.     

"Aku benar-benar merasa salah akan itu, Daisy. Kepergian Mama yang nggak kukira, pernikahan yang seharusnya terlaksana, semua membuatku hancur."     

Daisy hanya bisa mengangguk dan tetap dalam keadaan seperti itu. Setidaknya ia ingin menjadi penenang bagi Jeremy. Di sisinya, sudah pasti berarti bagi Daisy.     

"Tante sudah nggak sakit lagi. Ikhlaskan dan jangan larut dalam sedih, OK? Kamu pernah bilang seperti itu sama aku, Jer," ucap Daisy.     

Jeremy diam dan tiba-tiba tangan Daisy merasakan ada air yang terjatuh. Daisy pikir hujan akan turun, nyatanya Jeremy sedang menangis. Tubuhnya terasa tenang, tapi air matanya berjatuhan.     

Akhirnya Daisy melepas pelukan itu dan menghadap Jeremy. Disekanya air mata itu dan ia tersenyum menatap Jeremy. Wajah Jeremy yang memerah karena tangisan cukup membuat Daisy sedikit terkejut, karena selama ini Jeremy tidak pernah menunjukkan sisinya yang seperti ini.     

Jeremy mencium tangan Daisy yang masih ada di pipinya. Ia merasa sedikit malu hingga menghentikan tangisan itu.     

"Jangan berhenti kalau kamu belum puas menangis, Jer. Jangan malu," ucap Daisy.     

"Terima kasih untuk tetap di sisiku, Daisy."     

Daisy tersenyum menatap Jeremy. "Aku janji akan selalu di sisimu, Jer. Apa kamu mau menangis lagi?"     

Ya, pada akhirnya Jeremy menangis lagi. Dengan tubuh yang berguncang dan benar-benar bisa Daisy rasakan betapa sakitnya kehilangan seseorang yang berarti di hidup kita. Bahkan Daisy bisa mendengar suara tangisan Jeremy yang tidak pernah ia dengar sebelumnya.     

"Belum cukup aku membahagiakan Mama. kenapa dia benar-benar pergi? Kenapa? Bahkan beliau belum melihat aku menikah. Bagaimana nanti ketika kita menikah, beliau nggak ada di sana?" kata Jeremy dengan suara getir.     

Tak terasa Daisy ikut menangis dalam pelukan Jeremy. "Satu-satunya yang Mama inginkan adalah melihat aku menikah. Tapi sekarang … beliau nggak akan bisa melihatku secara langsung, atau merasakannya secara langsung. Sakit … Daisy, sakit!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.