BOSSY BOSS

Chapter 185 - Make Love



Chapter 185 - Make Love

0Setelah membiarkan Jeremy tertidur di rumahnya, Daisy duduk termenung di ruang tamunya. Hari Minggu ini seharusnya ia menikah dengan Jeremy. Tapi semuanya tertunda karena tiba-tiba Ibunda Jeremy meninggal.     
0

Sejak pemakaman Raja, baru kali inilah Daisy datang ke pemakaman seseorang. Ada perasaan sesak yang hampir sama saat melihat pemakaman. Teringat suaminya dulu, Raja, tentu saja.     

Tapi ada yang berbeda sejak ke pemakaman Ibunda Jeremy. Perasaan sesak itu seakan lepas perlahan. Mungkin karena inilah pemakaman kedua setelah Raja yang Daisy hadiri.     

Lamunan Daisy terdistrak karena sebuah mobil masuk ke halaman rumahnya. Daisy berdiri dan melihat siapa yang datang ke rumahnya. Ternyata Raka dan Reina. Mereka masuk ke dalam dan Daisy segera menyiapkan jamuan untuk mereka.     

"Dia tidur, jadi aku biarkan tenang juga, Raka," ujar Daisy memberitahu sebelum Raka bertanya tentang Jeremy.     

"Kasihan dia. Apalagi seharusnya sekarang pernikahan kalian, kan?" ucap Raka.     

Daisy mengangguk. Ia hanya diam dan pasrah. "Aku nggak apa-apa kok, Raka. Kalian jangan khawatir. Sekarang yang terpenting adalah buat Jeremy tersenyum lagi."     

Raka dan Reina mengangguk bersamaan. Sementara Daisy teringat kembali bagaimana tadi Jeremy menangis dengan amat sangat ikut menyesakkan dadanya. Dia pernah melihat tangisan itu. Tangisan Raja saat akhirnya Reina memilihi Raka dari pada dirinya dan sekarang tangisan Jeremy.     

Keduanya punya kesamaan yang Daisy tidak bisa hindarkan. Keduanya sama-sama berhasil membuatnya jatuh cinta.     

"Hei, kalian di sini?" tiba-tiba suara serak Jeremy terdengar. Daisy langsung terkesiap karena Jeremy tidur dalam jangka yang cukup cepat.     

"Kok lo udah bangun?" tanya Raka. Jeremy bergabung duduk di sisi Daisy yang masih diam.     

"Hmm ya, gue punya kebiasaan nggak bisa tidur lama-lama."     

Di sela-sela percakapan itu, Jeremy meraih tangan Daisy dan mengusap-usapnya. Tentu saja mata Raka dan Reina sama-sama menatap pemandangan itu.     

"Gue belum bilang langsung ke lo, Jer. Turut berduka, ya," ucap Raka.     

"Iya, gue juga ya, Jer. Kita semua datang ke pemakaman nyokap lo. Lo pasti nggak lihat kita, ya?" sambar Reina.     

Jeremy tertawa kecil. "Ah iya, terima kasih. Gue tadi memang nggak lihat siapa saja yang datang. Karena yang urus segala tamu adik-adik gue. Sekali lagi terima kasih, ya," balas Jeremy.     

"Hmm, kalau sekarang lo nggak keberatan, apa lo mau ikut kita makan bersama, Jer?" tanya Raka perlahan.     

"Sorry banget, Ka. Gue sepertinya harus pulang karena udah cukup lama ninggalin rumah. Masih dalam suasana duka, jadi gue harus urus beberapa hal."     

Raka mengangguk paham. Ia tahu bahwa Jeremy memang membutuhkan waktu sampai hari kematian itu berlalu. Tadi ia hanya berbasa-basi sebenarnya karena ingin tahu apa jawaban Jeremy.     

Jeremy langsung mengecup kening Daisy tanpa merasa malu di hadapan Raka dan Reina.     

"Aku pulang dulu, ya. Terima kasih untuk hari ini," ucap Jeremy.     

"Hati-hati," balas Daisy.     

Jeremy pun berpamitan pada Raka dan Reina hingga ia benar-benar meninggalkan rumah Daisy.     

"Aku ikut kalian makan, deh. Oh ya, anak-anak gimana?" akhirnya Daisy bisa berbicara setelah cukup lama diam dan hanya mengeluarkan dua patah kata untuk Jeremy tadi.     

"Aman sama Ibu dan Papa, kok. Ayo, pergi. Kamu mau ganti baju atau bagaimana?" tanya Reina.     

Daisy langsung bergegas meraih tasnya di kamar dan keluar lagi. "Ayo, pergi sekarang aja. Habis itu ke rumah, ya. Aku kangen Jason."     

***     

Daisy menikmati makanannya dengan santai. Raka dan Reina saling berpandangan karena melihat sikap Daisy yang sedikit berbeda dari biasanya. Pembawaan Daisy cukup santai karena biasanya Daisy bersikap dingin atau enggan untuk melakukan hal sesantai ini.     

"Apa makanannya seenak itu, Dai?" tanya Reina ingin tahu. Barang kali makanan yang Daisy pilih jauh lebih enak dari miliknya, pikirnya.     

"Hmm ya, enak. Kenapa? Makanan kalian kurang enak?" tanya Daisy balik.     

"Nggak. Cuma kami nggak pernah lihat kamu sesantai dan sesemangat itu ketika makan," jawab Reina jujur.     

Daisy tersenyum dan mengusap bibirnya dengan tisu untuk menatap Reina dan Raka. "Anggap aja aku lagi ingin menikmati satu hari ini tanpa kerjaan, Rei."     

Akhirnya mereka pun ikut menikmati makanan mereka walau tetap memandang Daisy aneh. Hingga selesai makan, Raka membayar tagihan makanan mereka dan kemudian mereka pun pulang ke rumah.     

Sayangnya, sampai rumah anak-anak sedang tidur siang. Terpaksa Daisy duduk diam di rumah Ibunya dan mencari-cari cara untuk membunuh kebosanan karena ini adalah hari Minggu.     

Lalu sebuah ide terlintas dalam benaknya. Sudah lama ia tidak bertemu dengan sahabatnya, Ama. Jadi, Daisy ingin menghubungi Ama untuk bertanya apakah ia sedang sibuk atau tidak. Setelah memastikan tidak sibuk, Daisy pun akhirnya meminjam mobil Raka karena ia tidak membawa mobil, untuk pergi menemui Ama.     

"Duh, Ama, lama nggak ketemu, sekarang makin cantik, ya?" puji Daisy seraya mencium pipi kanan-kiri secara bergantian dengan Ama.     

"Ya iya, dong. Harus perawatan! Bagaimana kabar?"     

"Baik. Starbucks, yuk? Eh, kamu udah makan, kan?" tanya Ama.     

Ama mengangguk. "Iya, baru banget makan. Ya, udah ayo ke Starbucks, aku yakin kamu juga udah makan makanya ngajak ke sana."     

Keduanya berjalan menuju Starbucks sambil berbincang-bincang membahas beberapa hal yang mereka saling tidak tahu menjadi tahu.     

"Omong-omong, lusa ada reuni kampus jurusan kita, nih. Ikut, yuk?" ajak Ama saat mereka selesai memesan pesanan.     

"Eh? Aku ikut? Nggak, ah. Malu!" tolak Daisy tersenyum kaku.     

"Ada aku, Dai. Santai ajalah. Sesekali dong, kamu nggak pernah ikut perkumpulan seperti itu, loh."     

"Hmm, lihat nanti besok, deh, Ma. Kamu tahu sendiri aku punya kerjaan sama punya anak. Yah, walau Jason jarang tinggal sama aku, sih."     

Ama mengusap-usap punggung Daisy begitu nadanya terdengar sedih ketika Daisy membicarakan Jason. "Jangan gitu. Walau bagaimana pun, toh kamu udah jadi Ibu yang baik buat Jason. Dan Jason juga tahu itu, kan."     

Daisy mengangguk. Tapi baginya, dia sama sekali belum memberikan yang terbaik untuk Jason.     

"Bagaimana kabar hubunganmu dan Jeremy?" tanya Ama.     

"Hmm, kami baik-baik aja. Harusnya hari ini adalah hari pernikahan kami, tapi Ibunya meninggal, Ma."     

Ama terlihat syok. "Astaga. Salam rasa belasungkawaku padanya, ya. Tapi kenapa? Apa beliau sakit?"     

"Iya. Sakit. Sakit yang sudah lama dan nggak pernah beliau periksakan karena nggak ingin mendengar diagnosa dokter. Jadi selama ini hanya berobat dengan obat-obatan sesuai keluhan beliau aja," jelas Daisy.     

"Yah, kasihan sekali. Pasti berat buat Jeremy. Tapi dia baik-baik aja kan, Dai?"     

Daisy mengangguk dengan senyumnya. "Iya, dia baik-baik aja sekarang. Bicara soal dia, aku jadi kangen Jeremy."     

Ama berdecak dan menggoda Daisy hingga Daisy tidak bisa menahan tawa dan senyumnya. Tapi Daisy sudah biasa jika digoda seperti itu. Ia hanya merasakan rindu sejak Jeremy pulang ke rumahnya. Itu saja.     

***     

Jadwal pertemuan Daisy dengan beberapa klien sudah ditentukan oleh asistennya, Firly. Daisy sudah menyerahkan kepercayaannya pada asistennya itu sehingga ia membiarkan Firly mengatur jadwalnya.     

Begitu beberapa klien Daisy temui di luar kantornya. Daisy cukup terkejut dengan klien terakhir yang tidak ia duga. Ia memang tidak bicara pada asistennya itu untuk mengecualikan pertemuan dengan seseorang. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan Daisy harus menghadapinya.     

"Firly, kamu bisa kembali ke kantor sendiri. Klien ini biar saya tangani," perintah Daisy saat melihat daftar nama klien itu.     

"Ah, baik, Bu. Kalau begitu, saya permisi."     

Daisy menunggu klien terakhirnya dengan perasaan gelisah. Entah kenapa ia punya firasat yang cukup tidak enak dengan laki-laki ini. Padahal ia ingin menghindarinya, tapi selalu seolah gagal.     

Pikirnya, dengan bertaubatnya laki-laki itu, maka tidak ada celah untuk dia mengganggu Daisy secara tidak langsung.     

Sayangnya, bisnis menjadikan mereka harus bekerja sama.     

"Maaf, membuatmu menunggu lama," suara Zen muncul dan duduk bergabung dengan Daisy.     

Aroma parfum Zen yang menyeruak ke hidung Daisy benar-benar menggodanya. Parfum yang sama sekali tidak pernah Zen pakai di muka umum, kecuali pada dirinya.     

Firasat Daisy seolah mengatakan kejujuran satu per satu.     

Daisy berdeham dan mulai membuka dokumen untuk ia bahas dengan Zen. "Kita langsung saja pada topik, kalau begitu," ucapnya gugup.     

Walau Daisy mencoba untuk menghindari pandangan Zen, hal itu membuat Zen yakin bahwa Daisy sedikit mulai goyah dengan kehadirannya. Ia tersenyum melihat sikap Daisy.     

Tanpa mendengar pembahasan Daisy, Zen sudah tahu pointnya. Semua sudah ia rencanakan agar tidak kelihatan jika ia tidak fokus.     

"Aku rasa cukup sampai sini, Zen," ujar Daisy menutup dokumennya.     

"Ya, cukup. Terima kasih untuk waktu luangnya membahas ini," ucap Zen.     

"Sama-sama. Aku harus-"     

"Temani aku di sini, Daisy. Hari ini saja," pinta Zen memotong ucapan Daisy.     

Daisy yang awalnya akan berdiri, terpaksa duduk kembali ketika tangan Zen menyentuhnya. Sentuhan yang membuatnya seakan terkena sengatan listrik, membuatnya berdesir. Rasa yang sama masih ada walau sedikit.     

"Apa ini di luar bisnis?" tanya Daisy memastikan.     

Zen mengangguk dengan tatapan intens yang ia berikan pada Daisy. Daisy bernafas lega dan ia bersandar. Entah kenapa walau firasat buruknya mengatakan sesuatu, tapi Daisy tetap menikmati kebersamaannya dengan Zen.     

"Tolong, kalau kamu melihat Jeremy, jika ia di sini, katakan padaku," ucap Daisy seraya menatap ke segala penjuru arah.     

"Tenang saja. Tempat ini sudah aku pesan sesuai yang aku mau," timpal Zen.     

Daisy langsung menatap Zen dengan tatapan tak percaya. Lalu ia sedikit tersenyum licik karena tahu Zen selalu memiliki rencana-rencana yang tak diketahuinya.     

"Kamu udah merencanakan semua ini," ujar Daisy. Sebuah pernyataan yang membuat Zen mengangguk tanpa merasa bersalah sedikit pun.     

"Apa yang kamu inginkan lagi, Zen? Aku pikir kamu sudah berubah menjadi yang lebih baik," tanya Daisy.     

"Memang. Setidaknya mendekati. Aku hanya ingin pelan-pelan dengan cara yang elegan, Daisy."     

"Apa maksudmu?" tanya Daisy.     

Dengan satu jentikkan jari, semua karyawan di restoran tempat mereka bertemu pergi. Tirai-tirai di tutup dan Daisy menatap ke sekelilingnya. Entah sejak kapan, restoran itu tanpa ada pengunjung kecuali mereka. Padahal terakhir kali ia menatap sekelilingnya, masih ada beberapa pengunjung.     

Daisy terkesima.     

"Aku ingin bercinta denganmu dan aku tahu kamu juga ingin," lirih Zen.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.