BOSSY BOSS

Chapter 187 - Away From You



Chapter 187 - Away From You

0Usai mendengar penjelasan Raka, tangan Jeremy mengepal keras. Ia marah dan kesal begitu tahu apa yang dilakukan Zen kali ini. Tapi Raka meyakinkannya bahwa ia sudah memberi pelajaran untuk Zen. Ia melarang Jeremy untuk terjun langsung mengurus Zen karena tidak ingin Daisy tahu dan marah. Sebab Daisy melarang Raka untuk tidak perlu melakukan apa pun.     
0

"Jadi Daisy nggak tahu sama sekali soal lo berantem sama dia?" tanya Jeremy mulai menenangkan emosinya.     

"Iya. Jadi, tolong, anggap lo nggak pernah tahu tentang ini, OK?"     

"Iya, Jer. Kami merasa Daisy yang dulu sudah kembali, jadi jangan membuatnya tahu kalau Raka di balik ini semua," sambar Reina.     

"Kalian tenang aja. Aku pasti jaga rahasia ini. Tapi aku nggak akan tinggal diam juga kalau sekali lagi Zen melakukan aksinya."     

Reina tampak tenang begitu mendengar respons Jeremy. Ia pun berdiri dengan ceria dan menatap dua laki-laki di hadapannya.     

"Aku bawa bahan-bahan masakan yang mau aku masak di sini. Yah, sekalian bakar-bakaran tanpa anak-anak. Jadi, ayo kita masak sambil nunggu Daisy!" jelas Reina dengan semangat.     

"Rei, tapi apa nggak terlalu pagi?" tanya Jeremy heran.     

"It's OK. Kita bikin acara yang antimainstream, OK?!"     

Keduanya saling pandang dan pasrah. Sementara itu Reina sibuk mengeluarkan bahan-bahan masakan dari mobil. Raka dan Jeremy pun ikut membantu.     

Ketiganya masak dengan semangat dan bahkan Jeremy sama sekali belum mengganti pakaiannya. Ia membiarkan jubah tidurnya menemaninya untuk tetap bergabung dalam masak memasak.     

Aroma masakan yang menyengat hidung rupanya membangunkan Daisy dari tidurnya. Ia pun bergegas meraih dasternya dan keluar kamar.     

Daisy terkejut seraya menggosok matanya karena berharap ini adalah mimpi. Namun kenyataan lebih menang dari pada sekadar mimpi. Ia melihat Raka, Reina dan juga Jeremy tengah sibuk di dapur mau pun di halaman belakang dapur yang transparan itu.     

Daisy melangkahkan kakinya perlahan dan berdiri mematung di hadapan mereka. "Kalian di sini? Memasak?" tanya Daisy masih bingung.     

Raka dan Reina yang mendengar itu tertawa melihat Daisy. "Kumpulin dulu nyawamu dan bergabunglah bersama kami," ucap Raka.     

Bukannya bergabung, Daisy menuju halaman belakang dapur. Ia melihat Jeremy sibuk membakar daging di tempat bakaran dengan jubah tidur yang masih melekat padanya.     

"Hello, Beautiful," sapa Jeremy yang langsung mengecup bibir Daisy.     

"Kamu nggak kerja? Ini kenapa masih pakai jubah tidur? Ganti sana!"     

"Hari ini spesial off day. OK? Relax. Aku masih bakar daging, jadi sekalian saja kotor jubahnya."     

Keceriaan ini bisa Daisy rasakan. Semuanya benar-benar merasa bahagia untuk alasan yang Daisy tidak tahu. Tidak ada anak-anak atau orang tua. Artinya, acara ini sengaja dibuat dan sudah pasti ini adalah ide Reina, Daisy berpikir demikian.     

Daisy akhirnya menyerah dan bergabung bersama mereka. Membantu yang bisa ia bantu walau hanya sedikit karena masakan sudah akan tersaji.     

"Rei, dalam rangka apa, sih?" tanya Daisy langsung pada Reina.     

"Nggak ada. Kita kan, jarang sekali buat acara seperti ini. Jadi, sesekali nggak apa-apa, kan?"     

"Iya sih, nggak masalah. Tapi rasanya aneh aja. Apalagi kamu nggak kabari aku dulu, jadi aku malah nggak bisa bantu banyak, kan?"     

Reina terkekeh geli. "Aku sengaja nggak memberitahu. Lagian semua ini nggak terencana, kok. Karena yang direncanakan itu kadang bikin rencana itu sendiri gagal, Dai."     

"Benar. Sebenarnya aku tadi nggak mau, tapi Reina memaksa dan akhirnya kami ke pasar, deh," sambar Raka dengan diikuti tawanya.     

***     

Satu minggu berlalu sejak meninggalnya Ibunda Jeremy. Daisy pun juga memiliki jadwal ke luar kota yang mana ia harus pameran butik yang ia desain sendiri. Ia sendiri lupa memberitahu Jeremy jadi ketika ia ingat dan saat hari itu tiba, Daisy langsung menghubungi Jeremy untuk memberitahunya.     

Awalnya Jeremy terkejut, tapi karena ini urusan bisnis, maka Jeremy tidak mempermasalahkannya. Ia hanya ingin Daisy mengabarinya sesering mungkin agar ia tidak khawatir terhadap dirinya.     

"Maaf ya, aku benar-benar lupa kabari kamu tentang ini," ucap Daisy seraya memegang kedua tangan Jeremy saat mereka di bandara.     

Jeremy mengacak-acak rambutnya dan tersenyum menatap Daisy. "Jangan meminta maaf terus. Baik-baiklah di sana, OK? Kabari aku kalau sudah sampai, kalau nggak, aku akan nyusul terbang," ucap Jeremy dengan nada mengancam tapi menggemaskan.     

Daisy mengangguk dan menyentuh pipi Jeremy. Sesaat keduanya dimabuk oleh pandangan yang saling menatap satu sama lain seolah mereka sedang bercinta dalam tatapan itu. Tatapan sendu dan belaian Jeremy pasti akan sangat dirindukan Daisy.     

"Aku titip Jason, ya. Nanti kalau aku pulang, aku mau kamu yang jemput aku dan kita bercinta dengan hebat!" pinta Daisy dengan suara cerianya.     

Jeremy langsung memeluknya dan mencium aroma parfum Daisy dalam-dalam. Ia bahkan menutup matanya untuk merasakan aroma itu agar tertinggal pada tubuhnya dalam jangka yang lama.     

"Aku mencintaimu," bisik Jeremy.     

"Aku juga mencintaimu, Jer," balas Daisy dengan senyuman.     

Jeremy melepas pelukannya karena ia mendengar pesawat penerbangan Daisy sudah diinfokan. Ditatapnya dalam-dalam mata Daisy dan kemudian mereka berciuman sebentar.     

Daisy pun melepas ciuman itu dan ia berbalik untuk masuk ke dalam. Tangannya melambai pada Jeremy hingga Jeremy tak bisa melihatnya lagi.     

Daisy pergi bersama beberapa karyawannya yang memang penting untuk berada di pameran. Sebenarnya beberapa karyawan sudah lebih dulu berangkat, sementara Daisy pergi bersama asistennya, yaitu Firly.     

"Firly, nanti kalau pameran sudah selesai, kamu bisa pulang lebih awal dengan karyawan yang lain," ucap Daisy ketika mereka sudah berada di dalam pesawat.     

"Tapi, Bu, bagaimana dengan Ibu?"     

"Jangan pikirkan saya. Saya rencana mau beli sesuatu untuk orang rumah, jadi duluan saja pulang saat pameran selesai," ujar Daisy.     

Firly mengangguk dan mereka pun menikmati perjalanan mereka hingga sampai tujuan.     

Sampai hotel, Daisy langsung masuk untuk beristirahat. Pameran akan dimulai sore nanti. Tapi perasaan yang tadinya ingin langsung istirahat, membuat Daisy tidak bisa benar-benar beristirahat.     

Daisy hendak memerika persiapan pameran di ballroom hotel karena ia belum lihat sama sekali kecuali memantau dari karyawan yang menjadi ketua dalam pameran tersebut.     

"Apakah Anda Bu Daisy?" suara wanita menghentikan langkahnya ketika akan masuk ke ballroom.     

Daisy menoleh untuk melihat wanita tersebut. "Ah, iya. Saya Daisy, Bu … dan Ibu?" Daisy langsung menoleh ke arah name tag yang terpasang di sisi kiri blazer wanita itu. "Oh, Anda Manager Umum di sini, ya? Ibu Sinta?"     

Wanita yang bernama Sinta itu mengangguk penuh dengan senyuman. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabatan dengan Daisy.     

"Panggil saja Sinta, Bu. Kita kan, seumuran. Bedanya, Anda lebih sukses," ujar Sinta.     

"Kalau begitu panggil saya Daisy. Dan yah, nggak perlu terlalu formal. Dan juga, Anda dong, yang lebih sukses dari saya. Anda kan, Manager Umum."     

Sinta tersenyum dan tertawa kecil. "Baiklah, kita bicara informal saja, ya. Apalah arti sebuah jabatan kalau nggak punya bisnis sendiri, Daisy. Aku sedikit iri denganmu tapi juga sangat senang dengan butik-butik rangkaianmu."     

Daisy bisa melihat betapa santainya Sinta ini. Mungkin karena ia adalah Manager Umum hotel dan banyak bertemu dengan tamu, maka pembawaannya pun santai.     

"Terima kasih, Sinta. Tapi jangan pernah iri terhadap apa pun, semua yang kita punya, hasil apa pun yang kita miliki, harus kita syukuri, bukan?"     

***     

Jeremy sedikit tidak tenang karena Daisy sampai saat ini belum juga menghubunginya. Ia bahkan sudah menghubungi Daisy tapi belum ada jawaban. Bodohnya Jeremy, ia tidak memiliki nomor ponsel asistennya Daisy. Tapi bukan Jeremy namanya jika ia tidak mencari tahu langsung.     

Sampai kantor Daisy, Jeremy langsung bertanya kepada satpam untuk mencari tahu nomor ponsel Firly. Karena hari sudah malam, tentu saja hanya satpam yang bisa Jeremy andalkan. Ketika Zen mendapatkan nomor itu, ia langsung menghubungi nomor Firly tanpa berpikir lagi saat tiba di bar, di mana ia janjian dengan Raka juga untuk menemaninya.     

"Halo?" sapa Firly di seberang sana.     

"Firly? Ini saya, Jeremy. Apa Bu Daisy bersamamu?" tanya Jeremy langsung.     

"Oh, Bapak. Iya, Pak. Ibu bersama saya. Apa Bapak mau bicara?"     

Jeremy seakan menimbang-nimbang apakah ia akan bicara dengan Daisy langsung atau hanya ingin mengirimkan catatan pada Firly untuk Daisy.     

"Ya, Jer? Astaga! Aku lupa kabari kamu lagi, ya? Maaf, ya, buat kamu khawatir. Di sini benar-benar sibuk. Aku memang bawa ponsel tapi ponselku ada di dalam tas dan dalam mode silent. Maaf, ya?"     

Tiba-tiba suara penjelasan dari Daisy membuat Jeremy tersentak. Ia bahkan belum memberikan persetujuan pada Firly, tapi sepertinya asisten Daisy itu tahu apa yang menjadi kekhawatiran Jeremy.     

Jeremy tersenyum lega setelah ia merasa syok. Ia memang khawatir berlebihan, tapi untungnya Daisy baik-baik saja. Hanya saja Daisy lebih sibuk dari biasanya.     

"Nggak apa-apa. Maaf, aku lancang menghubungi asistenmu. Dan ya, aku memang khawatir, Daisy," balas Jeremy akhirnya.     

"Iya, maaf, ya. Mungkin aku akan di dalam kamar jam 10 kurang lebih, hubungi aku di jam segitu. OK?"     

Jeremy mengangguk walau Daisy tidak bisa melihatnya. "Baiklah. Aku merindukanmu."     

"Aku merindukanmu, Jer."     

Panggilan pun tertutup. Jeremy tahu betapa sibuknya Daisy apalagi saat ia mendengar keramaian pameran Daisy di seberang telepon. Jadi, mendengar suaranya saja Jeremy sudah cukup lega.     

"Dia baik-baik aja, kan?" tanya Raka di sampingnya.     

"Ya, dia baik-baik aja. Gue cuma khawatir berlebihan ternyata," ucap Jeremy.     

Raka menyesap birnya dengan senyuman. Ia menemani Jeremy saat menerima panggilan Jeremy yang mengkhawatiri Daisy karena tidak ada kabar darinya.     

"Dia kuat, Jer. Lo nggak perlu khawatir tentang itu," timpal Raka.     

"Gue tahu. Tapi ini pertama kalinya gue jauh dari dia. Maksud gue, biasanya gue bisa lihat dia setiap hari, sekarang harus dihalangi oleh satu minggu."     

Raka tertawa dan berdecak. Ia tahu apa yang Jeremy rasakan karena dulu pun, Raka pernah merasakan hal yang sama sepertinya.     

"Cinta memang bisa membuat orang gila. Saking gilanya, semua mereka khawatirkan. Benar begitu, kan? Gue pernah merasakan itu, Jer."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.