BOSSY BOSS

Chapter 188 - He Won't Stop



Chapter 188 - He Won't Stop

0Pameran pertama telah selesai. Tapi belum semuanya selesai karena masih ada empat hari lagi untuk menuntaskan pameran itu.     

Daisy bersyukur karena beberapa butik hasil desainnya laku keras. Bahkan ada yang melakukan pre order. Tentu saja Daisy tidak bisa beristirahat dengan tenang. Usai pameran di hari pertama pun, Daisy harus mengerjakan beberapa desain setidaknya untuk mencicilnya.     

Daisy yang tadinya membuat Jeremy khawatir, tentu saja langsung menghubungi Jeremy melalui video panggilan. Sebab ia harus bekerja juga sambil menelepon kekasihnya itu.     

"Hai, baru selesai?" sapa Jeremy.     

Melihat Jeremy dari layar ponselnya saja Daisy sudah senang. Bahkan semangatnya bertambah setelah melihat Jeremy.     

"Hmm, ya. Dan aku masih harus bekerja karena ada yang memesan desain baru juga pre order. Hari pertama cukup ramai dan ya, menghasilkan keuntungan. Maaf ya, aku baru bisa menghubungimu sekarang," jelas Daisy.     

"Istirahatlah. Jangan terlalu memforsir tenaga. Wajahmu sudah kelihatan lelah, Daisy," ucap Jeremy memperhatikannya.     

"Iya. Mungkin sebentar lagi. Bagaimana kamu? Baik-baik saja di sana?" tanya Daisy balik. Walau pun ia fokus pada laptopnya, ia tahu bagaimana harus merespons Jeremy.     

"Aku nggak baik-baik aja, Dai," ujar Jeremy.     

Daisy langsung menghentikan aktivitasnya terhadap laptopnya dan ia memandang Jeremy dengan serius. Setelah itu barulah Jeremy tertawa dan Daisy sadar, bahwa ia sedang ditipu Jeremy.     

Daisy memutar bola matanya kesal tapi ia tetap memandang Jeremy.     

"Siapa yang baik-baik aja kalau ditinggal kekasihnya kerja jauh walau cuma seminggu?" tanya Jeremy dengan senyuman.     

"Ugh, jangan begitu. Aku jadi ingin cepat-cepat pulang dan memelukmu, Jer," ujar Daisy lesu.     

"Kok malah kamu yang lesu? Seharusnya aku, dong? Sudahlah, aku hanya bercanda. Aku baik-baik saja di sini. Jason juga."     

Mendengar nama Jason, wajah Daisy berbinar. Ia merindukan anaknya juga. Tapi seperti sudah menjadi makanan kesehariannya, ia menganggap rindu itu biasa.     

"Syukurlah kalau dia baik-baik aja. Apa dia menanyaiku?" tanya Daisy.     

Jeremy menggeleng dengan enggan. Ia tahu jika pertanyaannya sudah seperti ini, tentu akan membuat Daisy terlihat sedih. Seperti saat ini, wajah Daisy berubah menjadi wajah kesedihan setelah mendengar respons Jeremy.     

"Aku mau membelikannya mainan di sini. Dia pasti suka!" kata Daisy mencoba untuk ceria.     

"Iya, aku yakin dia suka. Sekarang, tidurlah, Daisy. Ini sudah terlalu malam kalau kamu menghabiskan tenagamu. Lagi pula pameran masih berjalan empat hari lagi, bukan?"     

Daisy mengangguk sebagai respons. Ia memang tahu kapasitas kekuatannya. Bahkan sekarang matanya sudah mengantuk berat.     

Daisy pun segera mematikan panggilannya bersama Jeremy yang tentu saja diakhiri dengan kata-kata cinta. Setelah itu ia mencoba untuk merebahkan dirinya senyaman mungkin dengan lampu menyala.     

Walau tidur dengan lampu menyala bukanlah hal yang ia senangi, tapi Daisy memang tidak berencana untuk terlelap. Ia hanya ingin merebahkan dirinya yang barangkali saja bisa tertidur dengan pulas tanpa direncanakan.     

Pinggangnya yang cukup sakit dan pegal itu akhirnya bisa merasakan empuknya kasur hotel. Walau mengantuk, tapi Daisy tidak bisa memejamkan matanya. Hanya butuh satu jam untuknya terbangun lagi dan melanjutkan aktivitasnya di laptop.     

Ketukan pintu kamar hotel berbunyi berkali-kali hingga Daisy tersentak dalam tidurnya. Ia terbangun dengan kepala berada di atas meja dan sadar bahwa semalaman ia bekerja dan tertidur di hadapan laptopnya.     

Daisy langsung membuka pintu kamarnya dan melihat asistennya yang sudah rapi dengan pakaian bebasnya.     

"Pagi, Bu. Apa saya membangunkan Ibu?" tanya Firly.     

"Ada apa, Firly? Bukannya Pameran diadakan sore?"     

"Saya datang karena mau mengajak Ibu sarapan. Kita kan, dapat sarapan dari hotel, Bu."     

Daisy memegang kepalanya karena baru ingat. "Masuklah dulu, saya harus mandi."     

***     

"Apa dia di sudah di sini?"     

"Sudah, Pak. Semua masih berjalan dengan baik," ujar Sinta pada laki-laki itu.     

"Bagus. Sementara ini biarkan saja dia tetap dengan bagiannya. Butiknya sangat berarti untuknya, jadi saya nggak akan menemuinya sampai pameran ini selesai," ujar laki-laki itu.     

Sinta menunduk pada laki-laki itu dan pergi meninggalkannya.     

***     

Sekilas ketika Daisy akan masuk ke restoran hotel, ia melihat sosok laki-laki yang sepertinya tidak asing di matanya. Tapi ketika Daisy melihat lagi dengan jelas, ia tidak melihat siapa pun, kecuali Sinta, si Manager Umum yang sedang berjalan ke arah lift.     

Dahinya berkerut. Perasaannya aneh tapi Daisy tidak tahu apa yang akan terjadi. Mendadak pikirannya jadi tak menentu. Tapi secepat itu juga, Daisy berusaha untuk menghilangkan pikiran buruk itu dan masuk ke restoran bersama Firly.     

"Firly, saya mau tanya, apa kamu tahu siapa owner hotel ini?" tanya Daisy yang tiba-tiba kepikiran dengan pemilik hotel tersebut.     

"Saya nggak tahu namanya, Bu. Tapi yang saya tahu beliau seorang laki-laki muda dan berasal dari kota kita," jelas Firly.     

Daisy pun menggunakan ponselnya untuk mencari tahu pemilik hotel itu. Tapi ia tidak menemukan apa-apa selain tentang hotel tersebut.     

Daisy memang tidak banyak tahu mengenai latar belakang perhotelan, tapi ia berharap ia tahu siapa pemiliknya. Sebenarnya bisa saja jika ia bertanya pada Sinta secara langsung, tapi Daisy tidak ingin bertanya sesuatu yang bukan berkaitan dengan pameran pada orang hotel tersebut.     

"Bu, yang saya dengar, owner hotel ini seorang yang tertutup. Beliau sama sekali nggak pernah menampakkan wajahnya di hadapan karyawannya. Mereka bahkan nggak tahu seperti apa wajah owner hotel ini," tambah Firly menjelaskan.     

Daisy mengangguk paham. Ia langsung menghilangkan rasa penasarannya terhadap pemilik hotel tersebut dan memilih untuk sarapan yang sudah tersaji di depannya.     

"Terima kasih, Firly. Kita makan saja," ucap Daisy.     

Selesai makan, Daisy memilih untuk keliling bagian hotel, tentunya bagian yang bisa diakses para tamu.     

Daisy lebih tertarik untuk mengunjungi kolam renang bagian hotel ini. Kolam renang yang megah dan banyak, membuatnya teringat akan sesuatu hal yang sama persis seperti yang ada di pikirannya.     

Daisy langsung menggeleng-gelengkan kepalanya dan memilih untuk kembali ke kamarnya. Ia tidak mau mengingat hal yang ingin ia lupakan di saat seperti ini. Daisy butuh pelepasan. Bukan pelepasan dengan laki-laki, melainkan ia akan mencoba menikmati fasilitas gym yang ada di hotel ini juga.     

Setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian olahraga, Daisy mendatangi tempat gym. Karena ia merupakan pemilik dari butik yang ada di pameran, maka fasilitas gratis bisa ia nikmati.     

Tiba-tiba aroma yang tidak asing masuk ke indera penciumannya. Daisy mencoba berkonsentrasi pada alat gym yang ia gunakan, tapi betapa pun ingin ia hindari, ia tidak bisa lepas dari aroma yang memabukkan itu.     

Dengan setengah keringat yang basah pada tubuhnya, Daisy mengendap-endap mencari tahu dari mana aroma itu berasal.     

Ketika Daisy melihat seseorang yang menghindar dengan cepat, Daisy mengejarnya. Baginya, tidak mungkin orang tersebut lari jika tidak ada maksud tertentu. Bahkan aroma itu adalah aroma dari seorang yang sedang ia kejar.     

1

Hingga di lorong kamar hotel, Daisy bingung. Seorang itu adalah laki-laki yang mengenakan celana training. Ia lari dan bersembunyi sangat cepat. Daisy bingung harus melihat ke arah mana karena perasaannya mengatakan seseorang sedang mempermainkannya.     

"Halo?" seru Daisy. Ia mencoba berkomunikasi dengan laki-laki yang membuatnya penasaran.     

Walau suara instrumen lorong kamar hotel itu terdengar tenang, tapi bagi Daisy, tetap saja suasananya menjadi mencekam karena seseorang yang misterius membuatnya penasaran.     

"Kamu siapa? Munculah! Dan apa motifmu? Kamu nggak akan lari kalau nggak ada apa-apa, bukan?" tanya Daisy perlahan ia semakin maju untuk memerika setiap bilik pintu hotel yang tertutup.     

Hening, pikir Daisy. Tidak ada jawaban atau pun sahutan.     

***     

"Bos? Bukannya Anda ingin menemuinya setelah pameran selesai?" tanya anak buahnya itu.     

"Tadinya saya pikir begitu, tapi semakin melihat Daisy, saya nggak bisa mengontrolnya. Saya sudah suruh Sinta untuk mengurus karyawannya dan memulangkannya, semua sudah saya urus selesai," jelasnya.     

"Buka pintunya, biar saya yang melakukannya, Tino."     

Tino mengangguk walau ia merasa ragu, namun tetap melakukan perintah Bosnya.     

"Daisy," suaranya memanggil Daisy, membuat Daisy berbalik dan membelalakan matanya dengan ekspresi terkejut.     

"Zen? Ka-kamu di sini?" tanya Daisy tidak percaya.     

"Aroma itu … desain kolam renang itu … kamu?" tanya Daisy mengingat kembali hal-hal yang membuatnya ganjal.     

Daisy mundur perlahan. Kedua tangan dan kakinya kosong. Ia tidak membawa ponsel atau apa pun yang bisa ia hantamkan ke Zen. sementara Zen tetap maju tanpa ragu. Celana training yang Daisy lihat pun, ternyata memang Zen-lah orangnya. Bahkan Zen tidak mengenakan atasan apa pun. Hanya celana trainingnya.     

"Itu aku, Daisy. Senang melihatmu di sini," balas Zen tenang.     

"Ja-jadi, kamu pemilik ho-hotel ini?" tanya Daisy.     

Zen hanya mengangguk dan Daisy menunjukkan ekspresi takutnya.     

"Seharusnya aku nggak ke sini! Seharusnya aku tahu lebih dulu siapa pemilik hotel ini! Apa sih, maumu, Zen? Kita sudah selesai sangat lama!" seru Daisy frustrasi.     

Zen menghela nafasnya. "Kamu tahu cinta kadang membuat seseorang gila. Dan aku nggak bisa melepaskanmu, Daisy. Walau penjara menjadi tempat tidurku."     

Nafas Daisy tercekat. Ia merasa ngeri mendengar ucapan Zen. Sebegitu gilanya Zen terhadapnya selama bertahun-tahun.     

"Kamu seharusnya bersikap normal dan tetap menurut seperti dulu, Daisy. Aku bahkan nggak bisa menyakitimu," ucap Zen.     

"Kalau kamu cinta, kenapa saat itu kamu setuju untuk aku ceraikan? Seharusnya kamu meyakinkanku lebih untuk bertahan! Bukan jadinya seperti ini!"     

"Karena kamu memaksa ingin bebas dariku! Hanya karena perselingkuhan itu!" gertak Zen kesal. Emosinya kembali naik setelah ia menghadapi Daisy yang masih saja melawannya.     

Zen langsung meraih tangan Daisy dan menariknya untuk masuk ke dalam kamarnya. Ia juga tidak ingin merusak suasana hotelnya dan mengganggu tamunya jika Daisy bersikap seperti ini terus.     

"Ayo! Ikut aku!" paksa Zen.     

"Nggak! Aku nggak mau!"     

Tadinya Zen pikir tidak perlu membungkam Daisy hingga pingsan. Tapi ternyata cara itu tidak bekerja karena Daisy semakin memberontak.     

Zen akhirnya dengan tega membungkam hidung dan mulut Daisy dengan sapu tangan yang berbau alkohol untuk membuatnya pingsan.     

Daisy pun terkulai lemas dalam pelukan Zen. Zen lalu membopongnya dan membawanya ke kamarnya.     

Bersentuhan membuat Daisy benar-benar membuatnya gila dan frustrasi. Setidaknya Zen harus sabar sampai menunggu Daisy sadar menerimanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.