BOSSY BOSS

Chapter 189 - Just Like The Old Time



Chapter 189 - Just Like The Old Time

0Suara gelas pecah yang Jeremy pegang saat akan menuangkan minuman ke gelas tiba-tiba jatuh. Sekejap itu juga Jeremy langsung kepikiran Daisy. Tanpa merapikan pecahan gelas itu terlebih dulu, Jeremy langsung menghubungi Daisy.     
0

Ponselnya tersambung namun tidak ada jawaban.     

Jeremy berusaha berpikir positif bahwa Daisy sedang sibuk-sibuknya mengurus pameran kedua atau sedang bekerja dengan laptopnya di tempat lain dan tidak membawa ponsel.     

Jeremy akhirnya merapikan pecahan gelas itu dengan perlahan. Pikirannya tetap kepada Daisy. Ia tidak bisa mengindahkannya.     

"Bang, ada apa?" suara Jenny muncul bertanya ketika mendengar gelas pecah itu.     

"Bukan apa-apa. Cuma gelas Abang jatuh," jawab Jeremy berusaha bersikap normal.     

Jenny langsung kembali meninggalkan Jeremy dan Jeremy kembali menghubungi Daisy. Tapi jawabannya tetap sama.     

Jeremy berusaha untuk tidak bersikap posesif dengan menghubungi asistennya untuk bertanya. Ia masih berpikir bahwa Daisy sedang sibuk. Tapi Jeremy akan menyuruh Raka untuk menghubungi Daisy.     

"Nggak ada jawaban, Jer. Mungkin benar, dia lagi sibuk. Kenapa tiba-tiba lo sekhawatir itu?" tanya Raka yang akhirnya mendatangi rumah Jeremy.     

Bibir Jeremy menipis dan berpikir keras. "Gelas yang mau gue pakai untuk minum tiba-tiba pecah gitu aja. Dan saat itu gue langsung kepikiran Daisy," jawab Jeremy.     

Raka pun jadi ikut memikirkan ucapan Jeremy. Ia memang tidak merasakan apa pun, tapi melihat Jeremy sekhawatir itu, Raka juga ikut mengkhawatirkannya.     

"Kita telepon dia satu jam lagi, OK? Kalau nanti nggak ada respons lagi, kita hubungi asistennya itu," ucap Raka mencoba menenangkannya.     

"OK."     

Satu jam berlalu, akhirnya keduanya saling menghubungi Daisy bergantian. Tapi tetap tidak ada jawaban.     

Jeremy akhirnya menghubungi Firly. Ketika suara Firly terdengar, Jeremy merasa lega walau sedikit. "Firly? Apa kamu bersama Bu Daisy?" tanya Jeremy langsung.     

"Oh, Ibu masih di hotel, Pak. Kami semua pulang karena pameran akan Ibu urus sendiri," jawab Firly dari seberang.     

Raka dan Jeremy saling pandang dengan kebingungan mendengar suara Firly yang Jeremy loudspeaker.     

"Kalian pulang? Apa kamu bertemu langsung dengan Ibu?" tanya Jeremy waswas.     

"Tidak, Pak. Kami dapat kabar langsung dari Manager Umum hotel. Katanya Ibu lagi sibuk di pameran maka dari itu nggak sempat memberitahu kami secara langsung."     

Sejenak Jeremy terdiam. Perasaannya semakin tidak keruan. "OK, terima kasih, Firly. Tolong kamu hubungi Ibu Daisy terus, ya. Kalau ada jawaban, beri tahu saya."     

"Baik, Pak."     

Jeremy menutup panggilannya dan mengusap rambutnya frustrasi. "Gue harus ke sana. Nggak tahu kenapa firasat gue bilang ada yang nggak beres, Ka."     

"Gue juga mikir hal yang sama. Tapi serius lo mau nyusul? Nggak nunggu beberapa hari lagi sampai pameran selesai? Mungkin Daisy benar-benar sibuk atau terjadi sesuatu sama ponselnya jadi dia nggak bisa hubungi kita?"     

Jeremy menghela nafasnya. Apa yang Raka katakan ada benarnya. Setidaknya Jeremy benar-benar harus menunggu.     

"Satu hari, Raka. Gue akan tunggu satu hari sampai besok."     

"OK. Sambil kita tetap pantau."     

"Jangan sampai yang lain tahu dulu. Gue harus benar-benar memastikan di hotelnya kalau sampai besok nggak ada jawaban dari Daisy," ucap Jeremy.     

Raka menepuk bahu Jeremy untuk mendukungnya. "Tenang aja. Akan gue coba tutupi sampai berita terkonfirmasi. Tolong, lo juga kalau ada apa-apa, hubungi gue segera, Jer."     

"Iya. Terima kasih, Ka. Maaf dari dulu gue ngrepoti lo," ucap Jeremy.     

Tiba-tiba dahi Raka berkerut. Ia menatap Jeremy sampai Jeremy sadar bahwa ia sedang ditatapi. "Zen. Firasat gue ini semua ada sangkut pautnya dengan Zen," ucap Raka tanpa ragu.     

***     

"Tino! Lepasin saya!" teriak Daisy begitu ia terbangun dari pingsannya. Ia sadar bahwa kedua kaki dan tangannya diikat agar Daisy tidak melarikan diri.     

Begitu melihat Tino, Daisy benar-benar yakin bahwa memang Zen di balik semua ini. Bahkan walau tahu yang dilakukan Bos-nya adalah sebuah kesalahan, Tino tetap setia pada Zen.     

"Maaf, Nona. Saya nggak bisa melepaskan Anda kecuali permintaan Bos," balas Tino tenang.     

Berapa kali pun Daisy berusaha, ia tetap tidak akan bisa melepaskan dirinya sendiri. Jadi Daisy benar-benar pasrah hingga ia bisa menemukan celah untuk berlari.     

Pikirannya dikelilingi oleh orang-orang yang mencarinya, mungkin, di saat seperti ini. Bagaimana nasih karyawannya, Jeremy yang sudah pasti menghubunginya terus menerus, hingga tahu ada sesuatu yang salah padanya.     

"Berapa hari saya di sini?" tanya Daisy pada Tino.     

"Hanya satu hari, Nona."     

"Di mana Zen?"     

"Bos sedang mengurus sesuatu."     

Daisy berdecak dengan senyum sungging. Sudah pasti Zen sedang mengurus sesuatu yang berkaitan tentang dirinya. Zen selalu sigap dan rapi dalam permainannya.     

"Maukah kamu bertanya apa motif Zen, Tino?" tanya Daisy.     

"Untuk mendapatkan Nona kembali," jawab Tino tenang. Daisy tidak terkejut lagi mendengar itu. Ia sudah sering mendengar niat Zen ketika ingin bersamanya lagi.     

"Apa kamu ada saran, Tino? Saya yakin kamu punya saran untuk saya bisa melarikan diri," tanya Daisy dengan pandangan menyelidik.     

Tino hanya diam mendengar pertanyaan Daisy. Tapi ia juga melirik tidak tenang seraya menatap arah pintu kamar. "Turuti saja, Nona. Saat ada celah, maka larilah. Hanya itu yang bisa saya katakan," jawab Tino dengan cepat.     

Daisy menghela nafasnya. Ia tahu sejak dulu Tino selalu memiliki sisi baik yang Zen tidak ketahui. Tino tahu benar mana yang salah dan benar. Ia hanya melakukan pekerjaannya semata-mata karena merasa berhutang budi pada Zen yang membantunya di saat ia kesusahan.     

"Terima kasih," ucap Daisy dengan tenang.     

Tak lama suara pintu kamar terbuka. Zen datang dengan membawa kopor dan tas Daisy. Daisy meliriknya dengan pandangan tajamnya.     

"Tino, keluarlah," perintah Zen. Tino langsung keluar dan Zen mendekat ke arah tepi ranjang Daisy.     

Ia menghela nafas melihat Daisy yang memberikan pandangan jijik. Bahkan Daisy membuang wajahnya dan memilih menatap jendela kamar hotel yang di tralis..     

Lalu Daisy merasakan kedua tangan Zen melepas ikatan di tangan dan kakinya hingga Daisy sedikit teheran-heran melihatnya.     

"Aku nggak akan mengikatmu seperti ini lagi kalau kamu tetap tenang seperti ini, Daisy," ucap Zen.     

"Aku bawa makanan dan minuman. Pakaianmu sudah aku rapikan. Tapi segala alat komunikasi aku pegang. Jadi, manfaatkan waktumu untuk berpikir tentang ini," kata Zen seraya memberikan sebuah amplop coklat pada Daisy.     

Daisy tidak membalas ucapan Zen. Zen akhirnya keluar dari kamarnya dan membiarkan Tino masuk ke dalam untuk menjaganya.     

Buru-buru Daisy membuka amplop itu dan membaca sebuah ketikan bercetak di atas kertas HVS.     

Daisy mendengus nafasnya. "Dia sama sekali nggak berubah ternyata," ucap Daisy. Tino yang mendengar itu hanya diam.     

"Apa seperti ini hobinya? Selalu membuat kesepakatan atau pun perjanjian sialan ini, Tino? Bos-mu benar-benar brengsek, kamu tahu itu, kan?" kata Daisy pada Tino dengan tawa ejeknya.     

***     

"Kita akan tinggal di sini, Daisy," ucap Zen ketika akhirnya ia membawa Daisy ke rumah yang benar-benar baru.     

Daisy menatap sekelilingnya. Ia hanya diam. Perasaannya benar-benar geram sekali dengan Zen. Sama sekali tidak ada perubahan pada dirinya. Tetap memerintah dan melakukan semuanya sesuka hati.     

"Apa rencanamu selanjutnya, Zen? Aku bahkan sudah tanda tangan kesepakatan sialanmu itu!" tanya Daisy dengan desisan.     

"Tentu saja menikahimu. Memang apa lagi selain itu?"     

Zen langsung kembali meninggalkan Daisy yang terdiam begitu mendengar ucapan Zen. begitu Zen benar-benar pergi dengan mobilnya, Daisy membanting semua perabotan rumah itu tanpa merasa tidak enak pada Tino.     

"Sialan!" teriaknya kesal.     

Barang-barang yang mudah pecah itu sengaja Daisy banting. Ia akan membuat Zen semakin kesal dengannya sebagaimana Daisy kesal padanya.     

"Nona, hentikan! Bos bisa marah pada Anda," ucap Tino menghentikan aksi Daisy.     

Tapi Daisy menepis sentuhan Tino dan tetap membanting semuanya dengan frustrasi. "Biarkan aja! Dia memang harus begitu pada saya, Tino! Saya sudah hancur sejak mengenalnya!" teriak Daisy.     

Setelah merasa puas menghancurkan semuanya, Daisy masuk kamar dan mengurung diri di sana. Ia menangis sesenggukan tanpa henti. Tapi Daisy tahu bahwa menangis tidak akan menemukan jalan keluar.     

Daisy akhirnya mencoba cara keluar dari rumah ini dari kamarnya. Ia tidak bisa menemukan celah melalui jendela. Kamar mandi bahkan tidak ada celah juga.     

Akhirnya Daisy memberontak kesal. Ia memecahkan cermin yang ada di lemari kamar itu hingga pecah. Tangannya berdarah tapi baginya itu tidak menyakitkan.     

"Laki-laki brengsek!" rutuknya.     

"Nona, apa Anda baik-baik saja?" suara Tino mengetuk kamarnya tidak ia jawab. Tapi Daisy tahu, dengan mendengar suaranya, Tino tahu tidak ada yang terjadi pada Daisy, sementara Tino sendiri tidak tahu bahwa tangan Daisy berdarah.     

"Akan aku buat kamu menyesal, Zen!" desis Daisy dengan dendam.     

***     

Zen menatap seluruh rumahnya yang berantakan. Beberapa orangnya sedang merapikan kekacauan itu sementara Zen mendatangi Tino.     

"Ada apa ini?" tanyanya.     

"Nona … dia menghancurkan segalanya, Bos. Sepertinya dia sedang marah sekali pada Anda," jawab Tino.     

Zen menghela nafasnya, kesal. Ia baru saja pulang kerja tapi Daisy sudah berulah lagi. "Lalu apa?" tanyanya lagi.     

"Dia nggak mau keluar kamar sama sekali," ucap Tino.     

Zen langsung membuka kamarnya dan terkejut melihat Daisy tak sadarkan diri dengan darah di tangannya.     

"Tino! Panggil dokter!" teriak Zen. Ia langsung berlari meraih tubuh Daisy yang tak sadar itu dan membawanya ke kasur.     

Wajah pucat Daisy membuat Zen kalut. Tubuh Daisy bahkan sudah sedikit dingin. Sementara Zen membalut luka di tangan Daisy dengan perban yang ia miliki.     

Tak lama dokter datang dan segera memeriksa Daisy. Zen mondar-mandir di hadapan Daisy yang terbaring. Khawatir dan ia sama sekali tidak ingin ada yang terjadi pada Daisy.     

"Dia hanya pingsan karena lukanya. Tapi sepertinya dia stres juga. Jadi, jangan membuatnya stres ya, Pak? Saya akan tuliskan resep obat yang bisa Anda tebus nantinya," ucap Dokter itu dengan profesional.     

Tino mengantar dokter itu keluar sementara Zen memperhatikan Daisy yang masih belum sadar. Kedua tangannya terlipat di dadanya. Berpikir apa yang harus dia lakukan agar Daisy tidak stres sementara ia sendiri tidak yakin, karena yang ia lakukan saat ini benar-benar membuat Daisy stres.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.