BOSSY BOSS

Chapter 190 - The Key He Got



Chapter 190 - The Key He Got

0"Maaf, Pak. Di sini tidak pernah ada pameran di beberapa bulan terakhir. Mungkin Bapak salah hotel," ujar resepsionis pada Jeremy.     
0

Jeremy terpaku dan benar-benar merasa bingung. Hotel tempat di mana Daisy menginap dan melakukan pameran, mengatakan bahwa tidak ada pameran selama beberapa bulan terakhir.     

Ia tidak tahu apakah ini sebuah tipuan atau memang sama sekali tidak ada. Jeremy merasa sangat bodoh begitu mendengar jawaban si resepsionis.     

"OK, kalau begitu, apakah bisa cari tahu tamu atas nama Daisy?" tanya Jeremy dengan menyebutkan nama Daisy.     

"Mohon tunggu ya, Pak."     

Jeremy menunggu dengan tidak sabar sampai si resepsionis itu menatapnya. "Maaf Pak, sekali lagi kami tidak menemukan apa yang Bapak cari."     

Tubuh Jeremy langsung terkulai lemas. Ia sama sekali tidak menemukan apa pun mengenai jejak Daisy. Ia tidak tahu bagaimana harus bertindak dengan kepalanya sedang memanas.     

"Kalau begitu, saya pesan satu deluxe room untuk tiga malam," ucap Jeremy pada resepsionis seraya memberikan kartu identitasnya.     

Resepsionis itu mengangguk dan membuatkan pesanan Jeremy. Setidaknya Jeremy butuh pikiran yang segar dengan kepala dingin.     

"Ini Pak, kami kembalikan. Dan ini key card kamar Anda yang berada di lantai lima, ya. Selamat beristirahat," ujar resepsionis.     

Jeremy meraihnya setelah mengatakan terima kasih. Ia berjalan menuju lift untuk menuju lantai kamarnya. Seraya mencoba berpikir jernih, ia harus menemukan Daisy sebelum masa inapnya di hotel selesai.     

Saat berada di lift, Jeremy bersama seorang seorang wanita dengan dua anak kecil. Awalnya Jeremy terlihat santai dan tak peduli, tapi begitu salah satu anak itu menyebutkan nama Papa Zen, Jeremy terkesiap.     

"Jadi, kita akan ketemu Papa Zen di sini, Mama?" tanya anak perempuan itu.     

"Iya. Jadi, kalian jangan nakal, ya. Nanti Papa nggak kasih hadiah buat kalian. OK?"     

Dua anak kecil itu mengacungkan jempolnya dengan tawa ceria. Jeremy yang memperhatikan itu sudah sangat yakin, Zen yang dimaksud adalah Zen, mantan suami Daisy.     

Yang tadinya ia akan menuju hotelnya, akhirnya Jeremy mencoba mengikuti wanita itu. Beruntungnya, mereka berada di lantai yang sama. Jadi, Jeremy hanya harus mencari tahu di mana kamar wanita itu.     

Hanya berada di ujung, pikir Jeremy.     

Ia tidak tahu siapa wanita itu, tapi yang Jeremy tahu, Zen memiliki anak dari seorang wanita yang merupakan mantan kekasihnya.     

Jeremy segera ke kamarnya dan mulai mengerahkan anak buahnya untuk mencari tahu siapa nama mantan kekasih Zen yang memiliki anak dan apa hubungannya dengan Zen sekarang.     

Jeremy tahu ia bisa mengandalkan anak buahnya. Yang tadinya ia hanya ingin mengandalkan dirinya sendiri, namun akhirnya ia tahu tanpa anak buahnya, ia tidak akan bisa bekerja dengan tenang.     

"Cari tahu juga keberadaan Zen dengan anak-anak buahnya," perintah Jeremy menambahkan.     

Seraya menunggu hasil, Jeremy juga mencari tahu sendiri melakui media apa pun yang ia bisa. Mengikuti wanita itu tidak ada salahnya. Setidaknya dari jauh ia bisa tahu apa yang sebenarnya akan terjadi.     

Segala atribut yang Jeremy kenakan sudah mirip sekali seperti bukan dirinya. Bahkan kartu identitas yang ia berikan tadi pada resepsionis adalah kartu identitas yang palsu. Tentu Jeremy tidak akan sebodoh itu untuk memberikan identitas aslinya pada orang lain sekali pun hotel.     

"Satu kunci sudah aku dapatkan. Aku pasti akan menemukanmu, Daisy."     

***     

Jeremy mencoba duduk di lobi kecil yang disediakan di depan lift. Ia mencoba menyibukkan diri membaca koran atau majalah yang tersedia di sana. Ia akan menunggu kedatangan Zen karena hanya melalui akses lift ini saja tamu akan keluar masuk.     

Setelah cukup menunggu lama, ponselnya justru yang berdering. Jeremy segera menjawabnya karena anak buahnya yang menghubunginya.     

"Ya, katakan," ucap Jeremy.     

Dahi Jeremy berkerut begitu mendengar informasi anak buahnya. Ia hanya berdeham sebagai respons lalu mematikan panggilan itu.     

Kedua tangannya mengepal. Menurut informasi anak buahnya, Zen benar-benar berada di sini. Di kota yang sama. Walau begitu, setidaknya Jeremy semakin yakin dengan firasatnya.     

Begitu dentingan lift berbunyi, Jeremy kembali menyibukkan diri untuk membaca majalah. Sesekali matanya melirik untuk melihat siapa yang datang.     

"Tino, pastikan nggak ada orang yang melihat saya masuk ke kamar Kanya," ujar suara yang Jeremy hapal sekali.     

"Baik, Bos."     

Sepatu fantofel kedua laki-laki itu melangkah menjauhi lift menuju kamar Kanya. Jeremy sekarang sudah yakin, wanita itu bernama Kanya.     

Sebuah pesan masuk ke ponsel Jeremy. Anak buahnya mengirimi nomor polisi mobil Zen. Jeremy langsung menuju arah parkiran. Ia sudah menyiapkan alat pelacak untuk mobil yang bisa ia sambungkan ke ponselnya. Dengan begitu, Jeremy akan tahu di mana Zen tinggal. Sebab bisa jadi Daisy bersamanya.     

Dengan mengendap-endap, Jeremy berhasil memasangnya walau harus sambil berkeringat dan dengan jantung berdetak cepat.     

Setelah itu, dengan sedikit tenang Jeremy kembali ke kamar hotelnya.     

"Bagaimana, Jer? Ada perkembangan?" tanya Raka menghubunginya saat Jeremy sudah di kamarnya.     

"Gue rasa iya. Gue pikir akan sesusah sebelum-sebelumnya. Tapi di hari yang sama gue datang, gue tahu Zen ada di sini dan bahkan gue lihat sendiri. Detailnya bakal gue ceritain nanti. Semoga cara gue ini bekerja," jelas Jeremy.     

"Memangnya lo pakai cara apa?"     

"Gue nggak bisa cerita sekarang, Ka. Gue cuma nggak terbiasa cerita sesuatu yang belum kelihatan hasilnya. Jadi, mari berharap yang baik-baik."     

"OK. Good luck. Semoga sebelum hari dia selesai pameran, sesuai yang keluarganya tahu, Daisy bisa ditemukan."     

Jeremy mengangguk. Ia memandang keramaian hotel dari balkon tempat ia berada.     

"Tapi Jer … apa lo yakin Zen di balik semua ini?" tanya Raka.     

"Gue nggak mau curiga sama orang sebenarnya, tapi karena dia sering membuat masalah, jadi kecurigaan gue memang ke dia. Seperti yang lo bilang kemarin," jawab Jeremy.     

Suara room service terdengar ketika Jeremy masih berbicara dengan Raka. Ia pun akhirnya mematikan panggilannya dengan Raka dan membuka pintu untuk karyawan room service itu.     

Seorang laki-laki masuk dengan membawa makanan yang Jeremy pesan. "Siapa namamu?" tanya Jeremy pada karyawan itu.     

"Andi, Pak," jawab Andi.     

"Duduklah, Andi. Saya mau bicara denganmu."     

"Eh? Saya, Pak?"     

Jeremy mengangguk dan kembali menyuruh Andi duduk di kursi. "Saya mau kamu mencari informasi dan akan saya bayar lebih dari gajimu sebulan, tapi syaratnya jangan memberitahu siapa pun," usul Jeremy.     

Andi menelan ludahnya ketika mendengar tawaran Jeremy. "Apa susah, Pak?" tanya Andi.     

"Nggak. Mudah. Tapi kamu harus kerja dulu, setelah itu bayaran akan kamu terima tunai. Bagaimana, setuju?"     

Andi langsung mengangguk penuh.     

"Tapi, semisal kamu gagal pun, saya akan tetap membayarmu, tapi setengahnya. Jadi, pastikan kamu mengerjakannya dengan penuh," ujar Jeremy sebelum menyampaikan maksudnya.     

"Baik, Pak. Akan saya usahakan."     

"Berikan rekaman CCTV seminggu terakhir di hotel ini pada saya. Secara diam-diam, tanpa ada orang lain yang tahu. Apa kamu bisa?"     

***     

Satu hari berlalu dan Jeremy belum juga mendapatkan kabar selanjutnya dari karyawan room service itu.     

Mobil Zen juga belum bergerak sejak kemarin, artinya Zen menginap di kamar Kanya.     

Untuk menghilangkan rasa jenuhnya, Jeremy pun berkeliling hotel.     

Saat Jeremy akan keluar kamar, ia melihat Zen keluar. Jeremy pun mengurungkan niatnya dan kembali masuk. Hampir saja ia ketangkap basah, tapi untungnya Zen tidak melihat ke arah mana pun karena sibuk berbicara dengan Kanya.     

Kegagalannya untuk berkeliling hotel, membuatnya setidaknya mendapatkan perkembangan alat pelacak yang ia taruh di mobil Zen.     

Jeremy menatap layar ponselnya yang menampilkan alat pelacak itu mulai bergerak meninggalkan hotel.     

Dengan serius Jeremy merekam alat pelacaknya yang bergerak itu, karena siapa tahu Jeremy akan mendatangi lokasi yang akan menjadi tujuan Zen, seorang diri.     

Lokasi yang Zen tuju tidak jauh dari lokasi hotel ini, pikir Jeremy. Artinya setidaknya jalan kaki tidak masalah.     

Ketukan pintu kamar yang beruntun membuat Jeremy tersentak dan membukanya dengan cepat. Andi, karyawan room service itu segera masuk dengan wajah sedikit pucat.     

"Ada apa, Andi? Kenapa kamu pucat begitu?" tanya Jeremy.     

"Ini pertama kali buat saya mengambil barang yang bukan milik saya, Pak. Jadi saya sedikit syok. Tapi Bapak tenang aja, rekaman atas diri saya sendiri yang masuk diam-diam sudah saya hapus dan saya bawa rekaman yang Bapak minta," jelas Andi.     

Jeremy memperhatikan Andi dengan serius. "Kamu bisa mengakses area CCTV dengan benar?"     

Andi mengangguk. Saya kerap ke sana karena teman-teman saya di bagian itu, Pak. Dan saya cukup tahu cara mengoperasikannya karena mereka terkadang mengajari saya. Saya juga sesekali melihat cara mereka bekerja," jawab Andi dengan jelas.     

Ia memberikan rekaman itu pada Jeremy dan Jeremy menyuruhnya duduk sebentar di kursi kamarnya.     

"OK, tunggu di sini. Apa ini termasuk semua lantai hotel?" tanya Jeremy.     

"Benar, Pak."     

"OK. Sambil saya buka, ceritakan bagaimana bisa kamu sampai mendapatkan ini. Prosesnya, maksud saya," tanya Jeremy ingin tahu keseriusan Andi.     

"Area CCTV ini di jaga oleh dua teman saya, Pak. Ketika saya berkunjung dengan alasan ingin main ke area mereka, mereka berdua menitip tempat itu pada saya sebentar karena keduanya ingin membeli nasi bungkus di depan hotel, lalu saya langsung bergerak cepat," jelasnya tanpa merasa ragu.     

Wajah Jeremy serius memperhatikan rekaman CCTV yang ia dapatkan dengan flashdisk dari Andi. "OK, kenapa mereka nggak makan di kantin?" tanya Jeremy detail.     

"Jarak area CCTV ke kantin lumayan jauh, Pak. Mereka biasanya memang memilih nasi bungkus di depan hotel dari pada makan makanan di kantin yang letaknya memang jauh."     

"Bukannya kantin gratis untuk karyawan?" tanya Jeremy..     

"Kantin di sini memang gratis, Pak. Tapi kebanyakan memilih menjadikannya uang kalau mereka nggak makan di kantin. Karena pemilik hotel memberikan pilihan seperti itu. Termasuk saya, saya memilih menjadikannya uang daripada makan di kantin walau gratis," jelas Andi.     

Jeremy mengangguk penuh dan mengerti. Ia lalu melihat sosok Daisy di salah satu lantai. Benar-benar Daisy yang mana sedang berhadapan dengan Zen. Kedua tangannya mulai mengepal lagi.     

"Pak, apa Bapak baik-baik saja?" tanya Andi yang sedikit takut begitu melihat raut wajah dan tangan Jeremy yang mengepal.     

Jeremy menarik dan menghembuskan nafasnya. Ia lalu meraih tas yang berisikan uang untuk Andi agar segera pergi.     

"Ini bayaran untukmu. Pekerjaanmu selesai. Kalau bertemu saya selama di hotel ini, anggaplah kita nggak saling kenal. OK? Saya sedang melakukan misi di hotel ini. Jadi, pergilah, Andi."     

"Pak, tapi ini terlalu banyak," ucap Andi bingung.     

"Saya sudah bilang, kan? Saya akan membayar kamu lebih dari gaji bulananmu. Pekerjaan dan penjelasanmu juga sangat bagus. Tolong jaga rahasia ini, OK?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.