BOSSY BOSS

Chapter 191 - Found Her



Chapter 191 - Found Her

0Daisy mengelilingi seisi rumah yang baginya adalah penjara. Ia harus meneliti lebih jauh bagian-bagian mana yang bisa memberi peluang untuk dirinya melarikan diri.     
0

Insiden ia memecahkan kaca lemari membuat Zen memberi kebebasan untuk Daisy menjelajahi rumah hingga halaman-halamannya. Tentu saja mata-mata anak buah Zen tidak akan luput begitu saja. Daisy harus bekerja keras untuk membebaskan dirinya sendiri.     

Gerakan Daisy benar-benar membuat beberapa anak buah Zen menjadi tidak bisa melepas pandangan mereka dari Daisy. Sebab Daisy terkadang memang menunjukkan pada mereka untuk mencari celah.     

Tapi Daisy memang tidak menemukan itu, atau memang Daisy memang tidak tahu mana yang bisa dijadikan tempat untuk melarikan diri.     

Ketika Daisy akan masuk ke dalam, suara mobil polisi beramai-ramai menerjang pagar rumah milik Zen dengan kasar. Seolah pagar itu memang tidak kokoh, hanya di terjang beberapa mobil saja sudah terjatuh.     

Semua anak buah Zen langsung waspada ke posisi mereka. Daisy sendiri hanya mematung kebingungan.     

"Nona, masuklah!" perintah Tino.     

Tapi Daisy tidak mendengarkan perintah Tino. Ia hanya tetap di tempat dan ingin menyaksikan apa yang terjadi.     

Matanya berkaca-kaca begitu melihat tubuh Jeremy keluar dari salah satu mobil polisi itu. Kemudian Daisy menjatuhkan air matanya. Dengan segala peluang yang ia miliki, Daisy langsung menghamburkan tubuhnya ke pelukan Jeremy dan Jeremy langsung menerimanya.     

"Jeremy!" teriak Daisy dengan tangisnya yang mulai pecah.     

"Di mana Bos kalian?" tanya salah satu polisi itu.     

Tidak ada yang menjawab pertanyaan polisi itu. Semuanya hanya diam. Lalu Daisy berbisik sesuatu pada Jeremy yang membuat Jeremy mengernyitkan dahinya.     

"Pak, mohon maaf, ini permintaan tunangan saya. Karena dia sudah ditemukan, dia meminta untuk nggak usah menangkap mereka," ujar Jeremy menjelaskan.     

"Apa benar begitu, Bu?" tanya polisi itu pada Daisy.     

Daisy mengangguk dalam pelukan Jeremy. Ia tidak ingin melepaskan pelukan itu barang sebentar saja.     

Beberapa mobil polisi itu lalu mulai pergi beserta Jeremy dan Daisy. Mereka semua membiarkan anak buah Zen dan Zen sendiri tetap bebas. Daisy tidak ingin menghukum seseorang yang sama sekali tidak akan berubah begitu keluar dari penjara.     

Sementara itu dalam perjalanan menuju kamar hotel, Daisy hanya diam. Ia masih syok walau bersyukur Jeremy datang menemukannya.     

"Kita akan pulang hari ini. Aku akan merapikan barang-barangku dulu. Kamu nggak perlu khawatirkan barang-barangmu. Nanti kita bisa membelinya di sana, OK?" ujar Jeremy.     

"Bagaimana bisa kamu menemukan aku, Jer?" tanya Daisy datar.     

"Nanti aja bicara bagian itu. Sekarang kita harus langsung pergi dari sini."     

Setelah Jeremy siap, ia langsung meraih Daisy untuk mengenakan hoodienya. Mereka langsung keluar hotel dengan taksi yang sudah menunggu.     

Ketika taksi berjalan, sebuah mobil berhenti di depan taksi itu hingga taksi itu ikut berhenti. Jeremy melihat siapa yang menghalanginya di saat seperti ini.     

Lalu Zen keluar dari mobilnya. Ia melangkah maju mendekati taksi dan mengetuk-ketuk jendela kaca mobil di bagian Jeremy duduk.     

Jeremy membukanya perlahan dan hanya memberikan celah sedikit, sebab Daisy menggenggam tangannya erat dan tak mau melihat Zen.     

"Well, ternyata lo pintar juga," ucap Zen memuji.     

Jeremy masih diam dan menghadap lurus. Kedua tangannya mengepal, tapi ia tidak ingin ada baku hantam di hadapan Daisy.     

"Kenapa lo nggak menangkap kita-kita, Jer?" tanya Zen sedikit mengejek.     

"Karena nggak akan ada perubahan padamu setelah keluar dari penjara, Zen," celetuk Daisy masih tanpa menatapnya.     

Zen tersenyum tipis, namun raut wajahnya terlihat tersiksa karena akhirnya ia gagal mendapatkan Daisy lagi.     

***     

Sampai rumah Daisy, Jeremy harus mengangkatnya karena Daisy sejak sampai bandara sudah tertidur. Tentu saja Jeremy meminta Raka untuk menjemputnya.     

Ketika Jeremy menaruh Daisy, ia menutup kamar Daisy dan bergabung duduk dengan Raka. Jeremy menghela nafasnya lega karena akhirnya semua terselesaikan sesuai perkiraannya.     

"Lo melakukan pekerjaan dengan baik, Jer," ujar Raka menepuk bahu Jeremy.     

"Gue mencintainya. Apa pun sekarang akan gue lakukan, Ka. Lusa gue harus menikahi dia," ujar Jeremy mantap.     

Raka membelalakan matanya. Ia terkejut dengan keputusan Jeremy yang tiba-tiba itu. "Apa? Apa nggak terlalu buru-buru? Daisy bagaimana? Dia pasti belum tahu tentang ini, kan?"     

Jeremy mengangguk. Ia memang sengaja mengambil keputusan sendiri karena ia ingin selalu Daisy berada di sisinya tanpa jauh-jauh seperti kemarin-kemarin.     

"Gue yakin dia setuju sama keputusan gue, Ka. Gue nggak mau menunda lagi."     

Raka hanya diam seraya menatap Jeremy. Ia ingin mengusulkan sesuatu pada Jeremy yang mungkin tidak akan masuk akal.     

"Ngomong aja, Ka. Gue pasti dengar, kok," ujar Jeremy tiba-tiba.     

Raka terkejut karena rupanya Jeremy tahu apa yang ingin Raka lakukan. "Hmm, gue mau kasih usul. Ini terserah lo mau pakai atau nggak. Jadi, gue mau usul, mungkin lo bisa sesekali datang ke makamnya Raja untuk meminta izin menikahi istrinya."     

"Iya, besok gue akan ke makamnya, kok," jawab Jeremy dengan cekatan.     

"Eh, secepat itu keputusan lo?" tanya Raka semakin heran dan bingung.     

"Memangnya lo mau gue bagaimana, Ka? Sekiranya yang memang wajib dan baik, ya pasti gue lakuin dengan cepat. Semakin cepat semakin baik, kan?"     

Hanya itu saja yang bisa katakan pada Jeremy. Ia benar-benar suka dan takjub pada pribadi dan karakter Jeremy yang benar-benar kuat. Belum pernah ia menemukan teman laki-laki yang seperti Jeremy.     

Raka pun membiarkan Jeremy tidur di sofa sementara dirinya berusaha untuk membuat sesuatu di dapur. Raka berusaha memasak sesuatu yang mana hanya bisa yang dasar-dasar. Ia ingin membuat kehangatan di rumah Daisy saat nanti Daisy terbangun.     

"Jeremy!" tiba-tiba Daisy berteriak memanggil Jeremy dan dengan cepat Jeremy terbangun. Ia langsung masuk ke kamar Daisy tanpa melihat Raka yang sibuk di dapur.     

Raka pun yang tadinya sempat khawatir akhirnya berkurang karena ada Jeremy di sisinya.     

"Aku di sini, Daisy. Tenanglah," ucap Jeremy menenangkan.     

"Jangan pergi. Jangan jauh-jauh," pinta Daisy memeluknya.     

"Iya, nggak. Aku tetap di sini."     

"Ada siapa di luar? Aku mencium bau masakan," tanya Daisy masih memeluk Jeremy.     

"Raka. Dia sepertinya sedang mencoba memasak sesuatu. Apa kamu mau keluar?"     

Daisy langsung mengangguk dan Jeremy pun membiarkan Daisy keluar lebih dulu.     

Raka yang masih sibuk membuat sesuatu, terkejut karena kehadiran Daisy yang tiba-tiba. Ia hanya tersenyum pada Daisy dan tidak berniat untuk membahas tentang yang terjadi saat ia diculik.     

"Masak apa, Raka? Bukannya kamu harusnya kerja?" tanya Daisy. Ia duduk di kursi bar yang menatap Raka dengan tangan bertumpu pada meja dapur.     

"Aku nggak tahu namanya, tapi Reina selalu memasak ini ketika aku minta. Semoga kalian suka," ucap Raka.     

Daisy menatap masakan Raka dan mengangguk-angguk paham. "Baunya enak," ucap Daisy. Raka tersenyum dan mengedikkan bahunya.     

Lalu tiba-tiba Daisy menyentuh tangan Raka yang bebas. "Terima kasih ya, kamu juga pastinya membantu Jeremy, kan, untuk menemukan aku sebelum keluarga yang lain tahu?"     

***     

Zen mengacak-acak seluruh perabotan apartemennya dengan amarahnya. Ia sebenarnya sudah lelah mengejar Daisy. Tapi belum ada wanita yang membuatnya segila ini. Kegagalannya mengambil Daisy membuatnya hancur.     

Zen akhirnya pergi ke bar untuk melampiaskan emosinya. Ia akan meniduri beberapa wanita dan akan meninggalkannya. Sama seperti Daisy meninggalkannya dan bahkan memilih laki-laki lain dari padanya.     

Walau begitu, Tino tetap di sisi Zen. Ia harus menjaga Zen dari bahaya, sesuai dengan janjinya. Walau ia tidak begitu suka dengan rencana-rencana Zen, tapi Tino tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti apa yang Zen inginkan.     

Namun rupanya Tino memiliki rencana lain. Ia memiliki salah satu teman wanita yang sangat mirip sekali karakternya dengan Daisy. Tak kalah cantik dan menawan juga. Ia berniat mengenalkan teman wanitanya itu dengan Zen di bar ini. Merencanakan sebuah ketidaksengajaan yang akan membuat Zen berpaling pada teman wanita Tino.     

"Bos, sepertinya wanita di sana mirip sekali dengan Nona Daisy," celetuk Tino di telinga Zen berbisik.     

Zen melihat ke arah Tino menunjuk seorang wanita yang tengah sendiri dengan pakaian sedikit tertutup. Wanita itu adalah teman Tino. Sepakat tidak akan saling mengenal di hadapan Zen.     

"Lalu kenapa?" tanya Zen dengan malas.     

"Dari pada dengan wanita malam yang nggak jelas, hanya menginginkan uang Anda, bagaimana jika Anda mendatangi wanita itu?" usul Tino.     

Zen meneguk wine-nya sampai habis dan menghampiri wanita itu. Dengan kesadaran yang masih normal, Zen langsung duduk di hadapan wanita itu.     

"Nggak masalah, bukan, kalau saya temani kamu?" tanya Zen sopan.     

"Maaf, kamu siapa?" tanya wanita itu.     

"Zen. Sepertinya kita sama-sama kesepian. Siapa namamu?" tanya Zen langsung. Ia tidak ingin lagi berbelit-belit.     

Wanita itu hanya memutar bola matanya dan duduk bersandar melihat sekeliling bar.     

"Pakaian yang tertutup, sendiri di bar, hanya memesan lemon tea, sedang apa kamu di sini, Nona?" tanya Zen dengan rinci.     

"Apa masalah untukmu?" tanya wanita itu kesal.     

Tino memang tidak menjelaskan detail tentang Zen. Yang ia usulkan adalah teman wanitanya itu untuk berkenalan dengan Zen. Tapi sepertinya teman wanitanya itu terlihat kesal dengan Zen.     

Semakin galak, Zen semakin menyukainya. Ia tersenyum menatap wanita di hadapannya itu. Wanita yang belum juga menyebutkan namanya.     

"Karena saya di sini, jadi itu masalah untuk saya, Nona. Saya nggak suka wanita baik-baik seperti kamu di sini. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Zen mengintimidasi.     

Nada Zen kali ini benar-benar melembut. Ia seperti tidak ingin kehilangan kesempatan bersama wanita yang mirip dengan Daisy.     

"Lissa. Nama saya Lissa. Dan saya di sini menunggu teman, tapi sepertinya dia nggak datang karena ini sudah satu jam berjalan," ujar wanita yang bernama Lissa itu menjelaskan.     

Zen menganggukkan kepalanya dan mengingat-ingat nama Lissa di kepalanya.     

"Kalau begitu, pergi dengan saya saja. Dari pada kamu di sini sendirian," ujak Zen.     

Lissa mulai tersenyum pada Zen. "Bukannya tadi kamu bilang mau menemani saya di sini?"     

Kali ini Zen tersenyum penuh arti. Ia menatap Lissa dalam-dalam. Sirat mata yang berbeda dari Daisy begitu kelihatan. Kali ini wanita di hadapannya sepertinya sedikit nakal dari pada Daisy saat di awal-awal.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.