BOSSY BOSS

Chapter 192 - Happiness is You



Chapter 192 - Happiness is You

0"Well, jadi kamu mau minum dengan saya?" tanya Zen berhati-hati.     
0

"Hmm, ya. Sebenarnya saya belum pernah minum. Tapi, apa keselamatan saya bisa kamu jamin? Bagaimana kalau saya mabuk dan nggak sadar?" tanya Lissa dengan polos.     

Zen terkejut. Sebenarnya ia tidak terlalu terkejut. Melihat apa yang dipesan Lissa dan keinginannya minum alkohol, membuat Zen setengah terkejut.     

"Saya akan bertanggung jawab. Jadi, apa yang mau kamu pesan?" tanya Zen menguji pengetahuan yang di miliki Lissa tentang minuman.     

Lissa mengedikkan bahunya dengan senyuman. "Terserah kamu saja. Saya nggak tahu minuman beralkohol selain wine."     

Zen pergi sebentar ke bartender. Ia memesan bir untuknya dan lemon tea lagi untuk Lissa. Tentu saja Zen tidak akan membiarkan wanitanya meminum alkohol. Apalagi ia tahu Lissa terlihat benar-benar polos.     

"Minumlah," ucap Zen dengan membawa dua gelas berbeda.     

Awalnya Lissa terlihat senang, lalu ketika ia mencicipi minuman yang ternyata sama dengan minuman sebelumnya, bibirnya mencebik.     

"Zen, ini lemon tea," ucap Lissa.     

"Saya tahu. Kamu pikir saya akan membiarkan wanita baik-baik sepertimu minum alkohol? Nggak, Lissa. Jadi, itu adalah konsekuensi untukmu ketika saya ajak keluar dari bar dan kamu nggak mau."     

Lissa menghela nafasnya. Baginya, ini pertama kalinya bertemu dengan laki-laki yang langsung menunjukkan perasaan emosionalnya.     

"Siapa kamu, Zen?" tanya Lissa akhirnya.     

"Saya? Orang biasa. Memangnya kamu berekspektasi apa?"     

"Pengusaha kaya atau semacamnya?"     

Zen berdeham. Matanya tak juga lepas dari pandangannya pada Lissa. Dari bibir ke mata, kemudian kembali seperti itu.     

"Bagaimana tentang kamu?" tanya Zen balik.     

Yang ditatap merasa malu. Kedua pipinya memerah namun ia juga harus menjawab pertanyaan Zen. "Saya pekerja di toko kosmetik," jawab Lissa.     

"Hmm, pantas cantik. Pasti kamu pandai merias diri," puji Zen.     

Tidak tanggung-tanggung Zen memujinya, Lissa semakin malu. Bahkan Zen senang melihat Lissa yang menunjukkan rasa malunya tanpa ragu-ragu.     

"Hmm, ayo kita keluar. Cari makan. Saya lapar," alih Lissa tiba-tiba. Hanya anggukkan Zen yang menjawab pertanyaan Lissa. Ia menyuruh Tino membayar pesanannya dengan kartunya dan menyuruhnya kembali lebih dulu dengan taksi.     

Zen butuh mobilnya untuk bersama Lissa seorang.     

"Eh, temanmu-"     

"Dia anak buah saya. Saya suruh pulang lebih awal saja," potonng Zen.     

"Oh? Anak buah? Kamu pasti orang besar sampai punya anak buah," ucap Lissa berpura-pura tidak tahu.     

"Jadi, kamu mau makan apa di jam seperti ini, Lissa?" tanya Zen mengalihkan.     

Lissa berpikir keras. Hari sudah malam. Tentu saja makanan yang ada hanya makanan pinggir jalan yang berdominasi lesehan.     

"Bagaimana kalau pinggir jalan? Apa kamu nggak apa-apa?" tanya Lissa.     

"Saya nggak masalah dengan makanan pinggir jalan, Daisy," jawab Zen. Tubuhnya langsung kaku begitu ia tanpa sadar menyebut nama Daisy.     

Lissa yang mendengar itu bahkan menunjukkan kerutan pada wajahnya. "Daisy? Siapa Daisy?" tanyanya heran.     

Kedua rahang Zen mengeras. Tangannya mengepal di kemudinya. Zen berusaha mengontrol emosinya dengan menarik dan menghembuskan nafasnya.     

"Dia … "     

"Mantan kekasihmu?" tanya Lissa memotong.     

"Lupakan aja, Lissa. Kita sudah akan sampai."     

Lissa berusaha diam dan tidak ingin membahas itu. Ia juga cukup sadar diri bahwa ia memang dipertemukan atas temannya, Tino, tanpa tahu riwayat Zen.     

Mereka berdua akhirnya memilih tempat yang tidak terlalu ramai. Tentu saja atas keinginan Zen. Ia masih tidak suka mengekspos dirinya di keramaian seperti ini.     

"Kenapa di pojok sementara ada yang kosong di barisan depan? Bukannya aksesnya malah lebih mudah?" tanya Lissa.     

Zen langsung memberikan dompetnya pada Lissa tanpa menjawab pertanyaannya. "Pesan dan langsung bayar. Untuk menunya saya ikut kamu," ucap Zen.     

Lissa melongo. Baru kali ini juga ada laki-laki yang langsung menyerahkan dompetnya pada Lissa dengan mudah.     

***     

Malam-malam memang enaknya mencari pengisi perut dikala lapar. Jeremy, sejak insiden hilang dan ditemukannya Daisy bahkan enggan meninggalkan Daisy di rumah. Hanya saat malam saja Jeremy datang untuk menginap di rumah Daisy, sebab Daisy juga belum siap untuk ditinggal.     

"Kalau dipikir-pikir kamu ternyata keren ya, Jer. Aku benar-benar nggak tahu kalau selama ini kamu punya anak buah juga dan yah, cara kerjamu yang bikin aku semakin mencintaimu," jabar Daisy.     

Jeremy menaruh telunjuknya di bibir dengan senyuman. "Jangan sampai siapa pun tahu, OK? Aku nggak mau mereka terekspos oleh siapa pun. Jadi memang aku menggunakan mereka ketika dalam keadaan genting aja."     

"Iya. Aku hanya kagum, Sayang."     

Debar jantung Jeremy begitu cepat ketika ia mendengar panggilan Sayang yang keluar dari Daisy. Ia hanya bisa mengacak-acak rambut kepala Daisy karena baginya hal itu sangat lucu.     

"OK, kita sampai di lesehan yang kamu mau," ucap Jeremy.     

Mereka pun turun seraya bergandengan tangan. Daisy dan Jeremy sama-sama memilik lauk yang mereka inginkan. Setelah pesan, mereka pun mencari meja dan pilihan Daisy terletak pada tepi jalan dengan akses yang lebih mudah untuk dijangkau.     

Tiba-tiba langkah Jeremy berhenti membuat Daisy ikut berhenti karena mereka masih bergandengan. "Kita pindah aja tempat aja," ucap Jeremy.     

Daisy yang penasaran dengan tingkah Jeremy akhirnya mengikuti arah tatapan Jeremy. Daisy pun sama halnya terkejut. Ia menghadap Jeremy dan mengatur nafasnya.     

"Udah, nggak apa-apa. Kita sudah terlanjur pesan, kasihan kan penjualnya, pasti udah menggoreng juga," ucap Daisy berusaha baik-baik saja.     

"Kamu yakin baik-baik aja?"     

Daisy mengangguk. "Kelihatannya juga dia nggak benar-benar serius hancur, dia bersama wanita lain, Jeremy."     

Akhirnya Jeremy menuruti kemauan Daisy dan mereka pun duduk di tikar. Daisy tidak ingin menghadap ke arah Zen berada, jadi Jeremy-lah yang menghadapnya.     

Pada saat itu, Zen terkejut melihat Daisy dan Jeremy. Ia mencoba memasang wajah biasanya dan berharap semoga Lissa tidak melihat sebuah perbedaan pada raut wajahnya.     

Zen menjadi lebih diam saat itu juga hingga membuat Lissa sedikit bingung. "Apa kamu ada masalah?" tanyanya.     

"Ah, nggak. Setelah ini, apa kamu mau mampir ke apartemenku?" tanya Zen ingin memancing.     

"Hah?"     

"Maksudku, kamu di sini tinggal dengan orang tua atau sendiri?" tanya Zen meralatnya. Ia pikir terlalu cepat untuk membawa seorang wanita ke apartemennya. Ia ingin sekali mengontrol nafsunya dengan Lissa.     

Lissa tersenyum mendengarnya. "Sendiri, Zen. Tapi aku hanya kost. Keluargaku semua di kampung. Lagi pula, aku nggak akan keluar di jam segini kalau masih tinggal dengan mereka."     

Daisy mendengar percakapan mereka. Ia memutar bola matanya kesal karena ternyata Zen masih saja bermain wanita.     

Saat makanan tiba, mereka pun makan. Sesekali Daisy menyuapi Jeremy, sama seperti yang sering ia lakukan di rumah. Hal ini bukan karena ia ingin memanasi Zen, tapi hanya kebetulan saja, kebiasaan Daisy terbawa ke warung-warung.     

"Enak kan, Jer? Next time kita harus kembali makan di sini," ucap Daisy.     

"Iya, enak. Pilihanmu memang selalu tepat."     

***     

Dengan cepat dan sarapan seadanya Zen terburu-buru harus ke kantor. Ia sudah mencoba merelakan Daisy dengan kedatangan Lissa. Ia harus mendekati Lissa demi melupakan cinta lamanya. Walau terkesan egois, tapi Zen yakin ia bisa.     

Ia langsung melajukan mobilnya dan menyuruh Tino mencari tahu tentang Lissa. Hingga sampai kantor, berkas tentang Lissa sudah ia dapatkan.     

"Secepat ini?" tanya Zen menaikkan satu alisnya.     

"Saya sudah menyiapkannya sebelum Anda meminta, Bos. Saya yakin Lissa adalah pilihan yang tepat untuk Anda," jawab Tino.     

"Terima kasih, Tino."     

Tino tak juga keluar dari ruangan Zen. Ia bahkan masih berdiri seolah ada yang ingin ia katakan. Wajahnya tampak sedikit gugup tapi Zen tahu apa yang ingin Tino lakukan.     

"Ada apa lagi?"     

"Bos … kali ini saya mohon, lebih hati-hati dan dengan cara yang baik," saran Tino.     

Zen memikirkan ucapan Tino dan ia berdeham mengangguk. "Iya, baiklah. Kamu boleh pergi."     

Tino pergi dan Zen membaca kertas-kertas berisikan informasi tentang Lissa. Ternyata Lissa merupakan kepala dari toko kosmetik tempatnya bekerja. Karena sudah lama maka ada kenaikan jabatan dengan catatan pekerjaan harus benar-benar baik.     

Diam-diam Zen mengulum senyumnya. Ternyata Lissa benar-benar hampir mirip dengan Daisy. Ia menghela nafasnya begitu melihat tidak ada satu pun daftar mantan kekasih yang dimiliki Lissa.     

Tapi kali ini Zen tidak akan mengalami kejadian yang sama. Zen harus tahu apakah Lissa benar-benar tidak memiliki kekasih atau mantan kekasih.     

***     

Kesibukan Daisy di kantor membuatnya tidak merasa ketakutan. Ia dikelilingi karyawan-karyawannya dan peduli padanya. Salah satunya adalah asistennya, Firly. Begitu tahu kejadian itu dari Daisy sendiri, Firly meminta maaf berulang kali karena tidak mencerna atau mencari tahu lebih dulu. Tapi Daisy tidak mempermasalahkannya karena memang bukan salahnya.     

Di sela pekerjaan yang sudah terkontrol, Daisy belajar cara-cara menghindari seseorang dengan baik dan tanpa takut. Ia juga membaca serta menonton cara seseorang berbohong atau berniat jahat padanya.     

Daisy tidak mau ada kejadian-kejadian seperti kemarin. Apalagi ia sudah sangat sering mengalami itu dan pelakunya selalu saja Zen.     

Sayangnya Daisy tetap menyalahkan dirinya sendiri. Jika saja saat itu ia tidak datang bersama Raka, pastilah Zen tidak akan melakukan hal ini lagi.     

Memang, tidak bisa dipungkiri baginya, masih ada sisa-sisa perasaan sayangnya pada Zen, tapi tidak untuk kembali. Baginya memang yang lalu telah berlalu, apalagi jika sudah tidak bisa diperbaiki, untuk apa?     

Waktu melamunnya benar-benar membuatnya berpikir ke belakang. Hal-hal yang disebabkan karenanya dan dirinya yang masih belum juga bisa melupakan.     

"Mama!" tiba-tiba suara Jason berteriak masuk ke dalam ruangan Daisy. Ia terkejut bukan main karena memang sedang melamun.     

Daisy langsung berdiri dan memeluk Jason. Ia menggendongnya dan mencium pipi Jason dengan perasaan gemas.     

"Loh, Jason sama siapa?" tanya Daisy karena Jason masuk sendiri.     

"Sama Papa, Mama."     

Dahi Daisy berkerut. Butuh beberapa detik untuk mencerna ucapan Jason. Barulah ia sadar bahwa 'Papa' yang di maksud adalah Jeremy.     

Jeremy masuk dengan senyumannya. Ia membawa sekantung plastik yang berbau makanan ke dalam.     

"Papa sama Jason mau ajak Mama makan siang. Ayo, Ma!" ucap Jason seraya menarik tangan Daisy menuju sofa di ruangannya.     

Jeremy tertawa melihat Jason yang begitu semangat. "Iya, ayo makan sama Mama dan Papa, ya!" balas Daisy tak kalah ceria.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.