BOSSY BOSS

Chapter 194 - Some People Could Change



Chapter 194 - Some People Could Change

- Daisy's POV -     

Pekerjaan tidak akan bisa dihindari apa pun alasannya. Seperti halnya di pagi hari ini. Aku dibangunkan oleh ponselku yang berdering. Sedikit terkejut karena ternyata saat ini sudah jam sembilan pagi dan aku benar-benar bangun terlalu siang.     

Dengan suara yang benar-benar terdengar sehabis bangun tidur, aku menerima panggilan dari nomor kantorku.     

"Ya?" sapaku. Kutatap di sisiku Jeremy sudah tidak ada sementara aku masih dalam keadaan telanjang.     

"Maaf Bu, mengganggu waktunya. Apa Ibu ada janji dengan klien bernama Lissa tentang yang mana beliau kirim email mengenai pemesanan beberapa desain gaun pernikahan?" tanya Firly.     

Aku menepuk dahiku karena aku baru ingat tentang klien baru yang bernama Lissa itu. Beberapa hari lalu ia mengirim email pribadi kepadaku tentang permintaannya itu dan memang aku janjikan bahwa aku bisa.     

Kuraih jubah tidurku seraya ponsel masih berada di telinga. "Sebentar, saya akan kirimkan ke kamu saja ya, Firly. Kamu urus saja. Semua sudah selesai, tinggal bagaimana dia mau memilih yang mana."     

Aku membuka laptopku dengan buru-buru dan kulihat Jeremy sedang sibuk juga dengan laptopnya. Sepertinya dia juga sedang ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda.     

Kumatikan ponselku dan langsung mengirimkan beberapa file pada Firly untuk ia teruskan pada Lissa. Setelah selesai, barulah aku mendekati Jeremy.     

Sekilas ia tampak serius, jadi aku tidak mau mengganggunya. Saat aku melihat Jeremy hanya meminum kopi, maka aku berniat melakukan sesuatu di dapur. Membuat sarapan walau terlambar rasanya bukan masalah.     

Aku membuat pancake yang mana adonannya adalah adonan instan jadi hanya memerlukan tambahan air saja untuk mengaduknya.     

Kubuat beberapa lembar bulat pancake dan kusirami dengan krimer coklat kental. Aku juga membuat susu hangat sebagai minumannya.     

Saat aku menaruh dua piring berisikan pancake dan susu, saat itu juga Jeremy selesai dengan laptopnya. Ia menutupnya dan memperhatikanku sampai aku duduk di hadapannya.     

"Makanlah, Jer," ujarku.     

"Terima kasih, ya. Padahal tadi niatnya aku memasak sebelum kamu bangun, tapi aku lupa kalau hari ini adalah hari gajian karyawanku," katanya.     

Mendengarnya, aku tertawa. Ternyata kami sama-sama lupa dalam satu hal yang sangat penting.     

"Ada apa, Daisy? Kamu tertawa?"     

"Iya. Aku juga hari ini lupa kalau ternyata pengiriman desain permintaan klien baruku lewat email. Untungnya aku udah menyelesaikannya, tapi aku serahkan semuanya melalui Firly," kataku menjelaskan.     

Barulah saat itu Jeremy tersenyum dan mengacak-acak rambutku. Aku tidak tahu apa alasannya sesering itu mengacak-acak rambutku yang membuat diriku merasa sangat spesial seketika itu juga. Padahal saat ini pun aku sudah menjadi istrinya dan tentunya menjadi salah satu yang spesial di hidupnya.     

Jermey mencomot pancakenya, jadi aku seraya bertanya padanya. "Kenapa sih, kamu suka sekali mengacak-acak rambutku?"     

"Gemas. Lucu. Sayang," jawabnya dengan singkat.     

Jujur, aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi jika Jeremy sudah membual seperti ini. Ah, bukan. Bukan pembual, lebih tepatnya menggoda dan merayuku. Menerjamku dengan kata-kata manisnya. Dia sungguh tahu bagaimana memperlakukan wanita.     

"Kapan sih, kamu nggak menggombal?" tanyaku kesal sekaligus senang.     

Jeremy tersenyum dan menyentuh tanganku. "Kapan, ya? Memangnya kamu mau aku berhenti seperti itu?"     

Refleks aku langsung menggeleng. "Tentu saja, nggak!"     

Aku akhirnya menyusulnya untuk makan pancake karena hari ini kami berencana berkeliling kota untuk menikmati honeymoon kami.     

***     

"Kenapa sih, kamu menyarankanku ke butik itu, Zen? Memangnya itu butik terbaik, ya?" tanya Lissa saat Lissa kembali ke mobilnya.     

"Ya, butik terbaik yang pernah aku dengar dan lihat. Apa kamu sama sekali nggak tahu kualitas beberapa butik?" tanya Zen.     

Lissa menggelengkan kepalanya. "Nggak. Tapi aku memang tertarik deh, sepertinya sama butik itu. Barusan asistennya mengirimiku email tentang desain dari si pemilik. Baru desain saja aku sudah terpikat, bagaimana hasilnya nanti, ya?"     

Zen hanya tersenyum dan tetap mengemudikan mobilnya.     

"Hmm, Zen … " panggil Lissa.     

"Ya?"     

"Apa alasanmu menikahku?" tanya Lissa. "Dan … kamu bahkan sampai detik ini belum pernah menyentuhku."     

Zen diam. Ia juga baru kali ini bisa mengontrol dirinya untuk tidak menyentuh Lissa selain bergandengan tangan atau memeluknya. Tidak ada ciuman atau seks di antara mereka. Aneh, tapi begitulah yang Zen rasakan.     

"Aku suka kamu," ungkap Zen.     

Tiga kata itu keluar begitu saja dari mulut Zen. Tapi ia memang benar-benar menyukai Lissa. Walau pun Lissa terkadang menggodanya, tapi Zen sama sekali tidak tergoda. Lebih tepatnya ia mengontrol dirinya.     

"Hanya itu?" tanya Lissa heran.     

Zen berusaha mengumpulkan niat untuk mengungkapkan kejujuran pada Lissa. Walau ia masih kesal dengan Daisy. Tapi benar kata Tino, ia harus berhenti dan move on.     

Mereka pun berhenti di sebuah tempat sepi yang Lissa sendiri bingung. Tidak terlalu sepi sebenarnya, masih ada kendaraan yang lewat.     

"Ada apa, Zen?" tanya Lissa.     

"Ayo, kita keluar. Ada yang mau aku bicarakan sama kamu," ucap Zen. Ia keluar lebih dulu dan Lissa pun mengikutinya, masih dengan wajah bingungnya.     

Zen membelakangi Lissa. Ia bingung harus dari mana ia memulai kejujuran ini. Rasanya aneh baginya karena ia baru pertama ini memulai kejujuran pada wanita yang baru beberapa hari dikenalnya dan akan menikahinya.     

"Aku pernah menikah dan punya anak. Aku melakukan banyak hal buruk. Sangat buruk. Aku selalu tidur dengan wanita. Aku juga pernah di penjara karena menculi orang yang aku cintai," ucap Zen cepat dengan intonasi yang benar-benar formal.     

Lissa diam menatap Zen yang kemudian berbalik setelanh memberi pengakuan singkatnya. Ia hanya melongo dengan pandangan yang tidak bisa di deskripsikan.     

Tino, temannya itu, tidak banyak memberi informasi tentang Zen. Hanya saja Tino sempat mengatakan, bahwa Lissa harus menerima segala keburukan dan masa lalu Zen, demi untuk Zen agar berubah menjadi dirinya yang sesungguhnya.     

"Katakan sesuatu, Lissa. Kamu bisa berpikir lagi untuk menikah denganku setelah mendengar pengakuanku," ucap Zen.     

"Daisy. Pasti wanita yang spesial itu, kan? Kamu pernah sekali salah sebut namanya padaku," tanya Lissa dengan suara bergetar.     

Tidak ada anggukkan dari Zen. Ia hanya diam dan menunggu ucapan selanjutnya yang ingin Lissa katakan.     

"Aku … aku butuh waktu untuk berpikir jernih. Ayo, kita pul-"     

"Ada lagi," potong Zen.     

Lissa diam ketika ia sudah berbalik akan ke mobil. Ia menunggu Zen mengatakannya.     

"Butik itu … butik itu adalah butik milik Daisy. Desain-desain gambar gaunmu adalah hasil desainnya. Aku pengen dia tahu kalau aku bisa berubah dan mendapatkan wanita yang pantas juga," jelas Zen.     

Tiba-tiba air mata Lissa terjatuh. Ia pun lantas berbalik dan menatap Zen. saat itu juga Zen merasa bersalah ketika melihat air mata Lissa terjatuh.     

"Apa kamu menggunakanku untuk balas dendam, Zen?"     

***     

Setelah menikmati honeymoon yang cukup panjang. Akhirnya Daisy harus kembali ke kenyataan lagi. Kembali ke kantornya yang tentunya ada saja pekerjaan yang belum terselesaikan semenjak ketidakhadirannya.     

Daisy segera menyelesaikannya dengan meminta asistennya agar tidak mengganggu siapa pun tamunya. Jika bisa menunggu, maka harus menunggu sampai Daisy selesai.     

Ketika Daisy menghela nafasnya sebentar untuk meregangkan tubuhnya, teleponnya berdering. Ia pun menerimanya dan bertanya ada apa pada Firly.     

"Ada seorang wanita yang mau bertemu dengan Ibu. Katanya ini penting, Bu," jawab Firly.     

Daisy mengerutkan alisnya. Setahunya ia tidak memiliki janji temu dengan orang yang bukan rekan kerja atau kliennya.     

"Tunggu satu jam lagi saat makan siang. Saya masih harus menyelesaikan beberapa, Firly."     

"Baik, Bu. Kebetulan beliau mau menunggu."     

Daisy menutup teleponnya dan ia pun melanjutkan pekerjaannya. Sebelumnya ia memasang alarm untuk makan siang agar tidak keterusan dalam bekerja, sebab seseorang sedang menunggunya.     

"Iya, Sayang. Maaf ya, sepertinya siang ini nggak bisa makan siang dengan kamu. Ada seseorang yang menungguku dari tadi. Aku nggak tahu siapa, tapi dia seorang wanita," jelas Daisy pada Jeremy melalui ponsel.     

"Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa langsung panggil aku. Walau dia wanita sekali pun. OK?"     

Daisy tersenyum seraya bersiap-siap keluar dari ruangannya dan meraih tas kecilnya. "Iya. Aku makan siang di kantin kantor, kok. Kamu jangan lupa makan ya, walau tanpa aku."     

"Iya, istriku."     

"Ya, sudah. Aku tutup teleponnya. Aku mencintaimu."     

"I love you more."     

Daisy menatap ke arah wanita yang tengah duduk di lobi dengan tenang. Wanita cantik dan anggun, pikir Daisy. Dengan bingung, Daisy mendekatinya.     

"Maaf, Anda yang menunggu saya sejak satu jam lalu? Saya Daisy," ujar Daisy dengan sopan.     

Wanita itu berdiri dan memandang Daisy dalam sekejap. Seperti sedang menilai-nilai penampilan Daisy. Ada rasa cemburu dalam diri wanita itu ketika melihat Daisy.     

"Maaf?" ucap Daisy lagi membuyarkan diamnya wanita itu.     

"Ah, maaf … saya pasti sangat nggak sopan menatap Anda seperti itu. Saya Lissa, klien Anda. apa Anda ingat?" Lissa mengulurkan tangannya dan Daisy membalas uluran tangan itu untuk berjabatan.     

Seraya berpikir-pikir, Daisy sadar bahwa ia ingat kliennya yang bernama Lissa. Ia tersenyum padanya saat itu juga.     

"Iya, saya ingat. Maaf, tapi ada keperluan penting apa, ya?" tanya Daisy.     

"Hmm itu … "     

"Maaf saya potong, jika memang penting, bagaimana kalau kita makan di kantin kantor saya? Kebetulan saya sekalian istirahat juga," tawar Daisy.     

Lissa menutup mulutnya dan ia pun mengangguk seraya mengikuti Daisy. Sampai kantin, mereka langsung memesan makanan dan minuman. Lissa memilih diam lebih dulu. Melihat Daisy, ia tahu Daisy seorang wanita yang baik.     

"Jadi, ada apa, Bu?" tanya Daisy.     

"Hmm, apa kita bisa memanggil nama saja? Biar terdengar akrab?" pinta Lissa.     

"Oh, dengan senang hati. Kebetulan banyak sekali klien wanita saya meminta hal yang sama." Daisy tersenyum padanya dengan ramah.     

Lissa merasa lega mendengar jawaban Daisy. Ia juga mencium bau harum dari tubuh Daisy. Jika ia seorang laki-laki, tentunya ia pasti juga akan merasa mabuk karenanya.     

"Tentang desain gaun itu … aku mau dua gaun dengan nomor satu dan empat, Daisy," ucap Lissa sebagai awalan topik.     

"Hmm, baik. Nanti aku coba lihat lagi. Lalu ada apa lagi? Karena tadi asisten aku bilang ada sesuatu yang penting?"     

Lissa tidak yakin apakah ia harus bertanya sekarang atau tidak. Tapi demi mendapatkan informasi dari pihak lain, dia harus. "Sebelumnya aku mau minta maaf, apa … apa kamu mengenal Zen?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.