BOSSY BOSS

Chapter 198 - She Doesn't Want It



Chapter 198 - She Doesn't Want It

0"Sebesar apa rasa cintamu pada Daisy, Zen?" tanya Lissa selepas mereka bercinta.     
0

Dahi Zen berkerut. Tidak biasanya Lissa bertanya hal seperti itu padanya. Tapi jika memang bicara tentang cinta. Perasaannya pada Daisy masih sama, tapi Zen lebih memprioritaskan Lissa yaitu istrinya.     

"Aku lebih mencintaimu, Lissa. Daisy itu masa laluku. Mungkin kelihatannya aku seperti nggak bisa melupakannya. Tapi semua tindakanku semata-mata hanya ingin memperbaiki kesalahan yang pernah aku buat. Kita sudah pernah bicara hal ini, bukan?"     

Lissa mengangguk. "Aku hanya bertanya seberapa besar. Bukan tentang hal selanjutnya itu, Zen."     

Kemudian Lissa menghela nafasnya dan beranjak. Ia meraih handuknya dan berjalan menuju kamar mandi. "Aku masuk siang, ingat? Jadi, bersiaplah antar aku," ujarnya seraya tetap berjalan dan kamar mandi tertutup.     

Zen diam sejenak. Yang ia tahu wanita akan luluh jika laki-lakinya mengalah atau dengan sebuah hadiah. Demi Lissa dan tidak ingin kehilangan wanita yang ia cintai lagi, Zen pun mengalah sekaligus berusaha berpikir hadiah apa yang akan ia berikan pada Lissa.     

Sambil menunggu Lissa selesai mandi, Zen menghubungi toko perhiasan langganannya untuk memilihkan kalung terbaik dan termahal untuk seorang wanita. Zen akan mengambilnya saat ia mengantar Lissa untuk bekerja.     

Setelah Zen siap dengan pakaiannya dan Lissa sudah siap untuk segera berangkat, mereka keluar apartemen bersama. Zen meraih tangan Lissa untuk menggandengnya seperti biasa. Walau Lissa masih merasa cemburu, tapi ia tidak bisa menolak rasa sayang yang diberikan pada Zen.     

"Loh, kok berhenti di sini, Zen?" tanya Lissa saat mereka berhenti di sebuah toko perhiasan     

"Tunggu di sini sebentar. Aku ada janji dengan seseorang. Lima menit aja," perintah Zen. Ia langsung keluar dari mobil dan berlari kecil menuju toko perhiasan itu.     

"Bagaimana? Apa kalian sudah menyiapkannya?" tanya Zen kepada salah satu sales di sana.     

"Sudah, Pak."     

Tanpa banyak bicara, Zen langsung memberikan kartu kreditnya pada kasir itu dan menerima barangnya lalu kembali lagi ke mobil.     

Saat Zen masuk ke dalam mobil, Lissa menatapnya heran. "Sudah?" tanya Lissa.     

"Iya, sudah. Aku cuma bertemu dengan seseorang saja."     

"Memangnya ada urusan apa?" tanya Lissa ingin tahu.     

Zen kembali fokus dengan kemudinya dan menjawab pertanyaan Lissa. "Sebuah kejutan."     

Lissa mengangguk-angguk mengerti dan ia pun fokus pada jalanan lagi. Kemudian Lissa berusaha membenarkan kancing blazernya yang mendadak sudah berapa hari selalu saja lepas seakan ia tubuhnya bertambah gendut.     

"Zen?" panggil Lissa padanya.     

Zen bergumam seraya menatapnya sekejap. "Apa aku terlihat gendut?" tanya Lissa. Seraya memperhatikan tubuhnya pada Zen.     

Zen mengernyit. Ia tidak menemukan perbedaan pada tubuh Lissa. Semuanya terlihat normal di matanya. "Nggak. Kamu masih sama dan tetap cantik," jawab Zen.     

Pipi Lissa memerah. Niatnya bertanya malah Zen menjawabnya ditambah dengan pujian. Ia pun tidak membahas lagi tentang bentuk tubuhnya walau ia sendiri merasakan tubuhnya seakan semakin bertambah.     

Ketika Zen menghentikan mobilnya di depan toko kosmetik tempat kerjaan Lissa. Ia pun mulai mengeluarkan hadiah itu dari saku celananya. Lissa yang tadinya akan berpamitan keluar mendadak menatap barang yang Zen bawa sekaligus menatapnya.     

"Itu apa?" tanya Lissa.     

"Kejutan. Hadiah, lebih tepatnya," jawab Zen.     

"Untuk?"     

"Istriku," jawab Zen lagi dengan singkat.     

Wajah Lissa terlihat kebingungan. Mendengar nama 'istriku' disebut membuat otaknya bekerja lalu sadar bahwa istrinya adalah dirinya sendiri. Lissa pun terkejut seketika dan mengingat kembali tentang toko perhiasan yang tadi Zen datangi. Sebab kotak yang Zen pegang memiliki nama merek dari toko itu.     

"Aku?" tanya Lissa masih syok.     

Zen mengangguk dan membuka kotak itu. Kotak itu lalu menampilkan sebuah kalung emas putih dengan kilap yang menyala-nyala lengkap dengan gantungannya.     

"Sini, aku pakaikan," ucap Zen seraya mengeluarkan kalung itu dari tempatnya dan Lissa pun mendekat untuk membiarkan Zen memakaikannya.     

"Cantik. Aku mencintaimu, Lissa. Sangat mencintaimu," ujar Zen dengan buaian lembutnya.     

***     

- Daisy's Pov -     

Di mana mereka? Kenapa jadi terpisah begini, sih? Ini salahku karena aku berjalan-jalan dan menolak dibantu mereka. Aku juga tidak memegang ponsel sejak kecelakaan itu. Kalau aku memanggil-manggil mereka atau berteriak, nanti dikira aku gila.     

Sial! Siapa yang bisa kuandalkan jika begini?     

Hmm … wangi ini … maksudku, parfum ini, parfum yang nggak asing di hidungku. Apa dia benar-benar di sini? Rasanya semakin dekat dan-     

"Aw!" aku menabrak seseorang yang ternyata sumber dari wangi ini adalah orang yang kutabrak.     

"Ma-maaf. Aku nggak bisa … melihat," ucapku merasa bersalah.     

"Daisy, ini aku. Kamu pasti mencium wangi parfumku, kan?"     

"Zen? Jadi, benar-benar Zen? Aku pikir orang lain yang mengenakan parfum yang sama. Kamu di sini?"     

"Ya. aku di sini. Kamu sendirian? Nggak, kan? Kamu seperti tersesat."     

Pasti Zen melihatku seperti anak kecil yang baru saja kehilangan orang tuanya. Jadi aku mengangguk dan tersenyum kaku.     

"Hmm, Zen … apa kamu bisa menghubungi Raka? Jangan hubungi Jeremy, ya," tanyaku meminta tolong.     

"Kamu takut jika aku dan Jeremy bertengkar atau semacamnya?" tanya Zen.     

Aku mengangguk dengan harap agar Zen mendengarkanku. "Aku mohon, Zen. Sepertinya Jeremy nggak akan bisa memaafkanmu sejak terakhir kalinya kejadian itu. Jadi-"     

"OK. Aku akan menghubunginya. Tenanglah, aku juga nggak mau menimbulkan keributan di tempat seperti ini. Bagaimana kalau sekalian berkelilingi?"     

Ucapannya terdengar meyakinkan. Tapi memang Zen seperti sudah berubah seperti yang Lissa ucapkan saat bertemu denganku.     

"Aku nggak akan menculikmu, Daisy," ucap Zen seperti tahu apa yang aku pikirkan.     

"Dia sama gue. Kebetulan gue ketemu dia di salah satu barisan barang. Iya, mungkin lo bisa ke yang paling ujung. Tapi biarkan gue bicara sebentar sama dia sampai gue antar dia ke ujung. Iya, OK. Gue janji," ucap Zen. Sepertinya dia habis menelepon Raka.     

Aku menunggu Zen untuk berbicara sebelum kami berjalan.     

"Aku udah telepon Raka. Dia akan menemukanmu di ujung barisan sana jadi, sekalian kita bicara, OK?" ucapnya.     

"Ba-bagaimana kalau Jeremy sampai melihat kita?"     

"Aku yang akan jadi mata kamu, Daisy."     

Jantungku berdegup kencang ketika Zen dengan mudah mengatakan itu. Kalimat barusan benar-benar seakan berarti sekali. Aku tahu Zen bukan tipikal laki-laki yang bisa menggombal. Jadi aku tahu benar maksud yang ia katakan.     

"Biarkan aku menggandeng tanganmu," katany seraya mengambil tanganku sebelum aku benar-benar menyetujuinya.     

Aliran dan getaran hangat itu aku rasakan kembali ketika tangannya menyentuhku. Seperti memberikan energi baru yang sudah lama tidak aku rasakan. Zen, adalah cinta pertama bagiku. Memang aku belum benar-benar melupakannya. Kadang, aku hanya membenci perlakuan semena-menanya padaku. Tapi kali ini, aku menyukainya.     

"Bagaimana kabar Jason?" tanya Zen.     

"Dia baik. Sehat dan ceria."     

"Lalu, bagaimana dengan kamu, Daisy?"     

"Apa maksudmu, Zen?"     

Zen menghentikan langkahnya dan kurasa ia menghadapku saat ini karena aku merasakan pergerakan pada tubuhnya.     

"Aku punya kabar baik untukmu. Aku menemukan pendonor mata dan aku akan berikan kamu waktu sehari untuk berpikir dan membuat alasan pada keluargamu, terutama Jeremy. Jadi, pikirkanlah lagi," ucap Zen memberitahu dengan nada berharap padaku untuk menerima tawarannya.     

***     

Aku benar-benar kesal karena Jeremy yang terlalu khawatir denganku. Amarahnya benar-benar baru kelihatan sejak aku mengalami kebutaan dan bahkan sebelumnya, saat terakhir kali Zen menculikku.     

Aku tahu Jeremy khawatir dan takut. Tapi ia sangat berlebihan dan aku bahkan sampai menangis. Aku juga jadi terlalu sensitif sejak itu. Seakan ini adalah ujian untukku di pernikahanku yang baru.     

Dalam perjalanan aku hanya diam dan begitu juga Jeremy. Entah ke mana aku harus memandang, pokoknya ada untungnya aku mengalami kebutaan seperti ini. Sebab aku tidak perlu memandang siapa pun atau apa pun. Semua benar-benar gelap.     

Kudengar Jeremy menghela nafasnya tapi aku mencoba tidak peduli. "Maafkan aku. Aku berlebihan," ucapnya seketika itu juga.     

Kupejamkan mataku untuk mengontrol emosiku. Sepertinya aku juga salah padanya. Apalagi ketika aku bertemu Zen dan memilih untuk tidak mengatakannya,     

"Maafkan aku juga … " balasku.     

"Nggak seharusnya aku memarahimu seperti itu, Daisy. Maafkan aku."     

"Aku bertemu Zen," ungkapku jujur. Kurasa Jeremy harus tahu tentang berita itu. Mungkin ia mau menyetujuinya.     

Aku tidak mendengar Jeremy membalas ucapanku. Sepertinya ia terkejut dan aku mendadak menyesal mengatakan itu.     

Oh, tidak! Bodohnya aku! Seharusnya memang aku tidak perlu mengatakannya. Sepertinya aku harus mencari ide atau melakukan sedikit prank padanya agar aku jadi tidak usah mengatakan kejujuran itu.     

"Apa kamu bilang?" tanyanya memastikan.     

"Aku bertemu Zen … " ucapku lirih.     

"Di mana? Kapan?"     

"Semalam, di mimpi!" jawabku disertai gelak tawa yang benar-benar sungguhan. Aku benar-benar tertawa tanpa kubuat-buat. Ya, aku memilih menolak tawaran Zen walau itu untuk kebaikanku. Aku tidak ingin ada timbal balik ketika aku menerima tawaran itu. Aku tidak ingin merasa berbalas budi padanya.     

"Daisy … Sayang … jantungku sampai hampir mati, kamu tahu?" katanya yang kemudian merasa lega.     

Aku tersenyum dan mencoba untuk meraih tangannya walau awalnya aku salah memegangnya. "Hanya mimpi buruk, Jer. Maafkan aku kembali membuatmu khawatir," ucapku.     

Sampai rumah aku langsung mandi. Kubiarkan Jeremy mengatur barang-barang belanjaan. Akhirnya kami tidak jadi bertengkar seharian penuh. Aku bersyukur sekali karena menemukan suami yang setidaknya tidak bisa marah berlama-lama dengan istrinya.     

***     

"Apa? Tapi Daisy nggak ada bilang apa pun sama gue atau yang lain, Zen," respons Raka ketika Zen memberitahu tahu tentang donor mata itu.     

Zen mengernyitkan dahinya. "Sepertinya Daisy menolak bantuan gue."     

"Mungkin sebaiknya lo sendiri yang bilang sama Jeremy. Jangan sampai lo buat kesepakatan lagi padanya. Kalau memang niat lo membantu Daisy dan mau menebus kesalahan lo, lo harus ikhlas," jelas Raka menuturinya.     

"Dan lo pikir Jeremy mau menerima bantuan gue?"     

Raka mengangguk. "Senggaknya dia selalu berpikir sebelum bertindak. Lagi pula Daisy hanya patuh padanya. Dia suami yang baik untuk Daisy, Zen."     

Zen hanya diam. Kedua rahangnya mengeras namun kemudian ia melunak lagi. "Daisy menolak bantuan gue, Raka. Gue rasa itu karena bantuan dari laki-laki bajingan yang pernah menculiknya."     

"Maka dari itu, sebaiknya lo sendiri yang menghadap Raka," timpal Raka memberi saran.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.