BOSSY BOSS

Chapter 199 - It's Not Because of Her



Chapter 199 - It's Not Because of Her

0"Daisy! Astaga! Kenapa bisa sampai begini? Maaf ya, aku habis pulang kampung dan nggak tahu kalau keadaan kamu begini," sambar Ama ketika ia berkunjung ke rumah Daisy.     
0

Awalnya Daisy menerima telepon dari Ama yang ingin mengunjunginya ketika mendengar kabar tentangnya. Memang Ama begitu histeris saat tahu apa yang terjadi pada Daisy.     

Daisy membiarkan Ama memeluknya dengan erat sambil ia tertawa dan berkata bahwa ia baik-baik saja.     

"Jeremy? Di mana dia? Kenapa dia nggak di sini?" tanya Ama menatap sekeliling rumah Ama.     

"Kerja. Aku memang meminta untuk sendiri di rumah. Tadinya aku selalu di rumah Ibu, tapi aku nggak mau merepotkan terus. Akhirnya ia membolehkanku walau harus debat dulu, tapi dengan alasan anak buahnya akan menjagaku di sini," jelas Daisy.     

Ama memperhatikan Daisy dengan perasaan kasihan. Ia cukup tahu bagaimana kehidupan sahabatnya itu sampai di titik sekarang.     

Matanya juga memperhatikan sekeliling rumah Daisy. Ama melihat ada banyak CCTV di rumah itu dan ia paham bahwa memang memasang CCTV di saat kondisi Daisy sekarang ini adalah yang terpenting.     

"Jeremy memang sayang kamu banget, ya. Sampai-sampai dia memasang CCTV di setiap sudut sisi rumah," ujar Ama memberitahu.     

Daisy diam. Kepalanya ia telengkan ke arah Ama dan dahinya berkerut. "CCTV?"     

"Iya. Memangnya kamu nggak tahu kalau Jeremy memasang CCTV?"     

Daisy menggelengkan kepalanya. Barulah saat itu Ama sadar bahwa sepertinya ia salah bicara pada Daisy. Ama berpikir bahwa memasang CCTV tanpa Daisy ketahui mungkin membantu Jeremy memantaunya dari jauh juga.     

"Tapi bohong! Ha ha ha … " ujar Ama dengan gelak tawanya.     

Ia buru-buru memperbaiki ucapannya karena tidak mau jika Daisy tahu benar kenyataannya. Sebab Ama juga mengerti alasan Jeremy memasang CCTV tanpa Daisy ketahui.     

Daisy pun menghela nafasnya dan sedikit kesal pada Ama. "Aku pikir benaran, Ama!"     

"Loh, bukannya anak buahnya itu CCTV-nya Jeremy? Benar, kan?" tanya Ama mengoreksi ucapannya.     

Daisy hanya tersenyum dan mengangguk untuk menyetujui ucapanya sahabatnya itu. Mereka pun mengobrol banyak hal. Banyak hal yang Ama ceritakan pada Daisy dan Daisy hanya mendengarkan dan meresponsnya sesering mungkin. Ama juga bertanya beberapa hal pada Daisy sehingga tidak membuat Daisy merasa seorang diri.     

Mendengarkan Ama dan menceritakan beberapa hal padanya, membuat Daisy merasa memiliki teman. Ia ingin segera melihat karena Daisy merasa seperti orang yang tak berguna sama sekali.     

Ia pun akhirnya menceritakan bagian Zen ingin menolongnya tentang pendonor mata yang ia dapatkan. Tapi Daisy memilih menolaknya karena menghormati Jeremy dan tidak ingin menimbulkan pertengkaran.     

"Duh, Daisy. Sepertinya Zen memang nggak bisa jauh-jauh darimu ya walau pun dia sudah berubah," ujar Ama.     

"Yah, sebenarnya aku juga tahu apakah dia benar-benar sudah berubah atau belum, Ma."     

"Tapi kata hatimu bilang dia sudah kelihatan seperti berubah, kan?"     

Daisy mengangguk.     

Ama pun berdecak dan ia menatap Daisy yang menunjukkan wajah kebingungannya. " Serius, ya. Dari dulu sepertinya kamu benar-benar nggak berubah deh, tentang percaya pada perasaanmu sendiri."     

Daisy tersenyum dan tertawa kecil. Ia sendiri memang menyadari hal itu tapi enggan mengakuinya. Memang Ama cukup tahu tentangnya dan satu yang lagi cukup tahu tentangnya, Zen.     

"Tapi, Ma … kadang aku merasakan lagi getaran itu saat bersama Zen atau bertemu tanpa sengaja. Menurutmu itu normal?" tanya Daisy.     

"Aku rasa normal. Bagaimana pun juga kalian pernah bersama. Apalagi pernah menikah, kan, jadi ya … wajar, Dai."     

***     

Begitu melihat CCTV restorannya, Jeremy langsung keluar dari ruangannya dengan segera. Kedua tangannya sudah mengepal tapi Jeremy berusaha mengontrol emosinya karena tidak mau menimbulkan perdebatan di muka umum.     

Belum sempat Zen menginjakkan kakinya ke dalam restoran Jeremy, Jeremy sudah muncul lebih dulu dan mendekatinya.     

"Jer, kita harus bicara," ucap Zen langsung tanpa basa basi.     

"Mau apalagi? Lo mau membuat kesepakatan sialan lagi?" tanya Jeremy masih menjaga nada bicaranya normal.     

Zen membuka kacamata hitamnya dan menoleh ke kanan kiri. "Sebaiknya kita bicara di tempat tertutup karena cuku panjang, Jer."     

"Di sini aja," ujar Jeremy.     

"Ini tentang Daisy dan donor matanya," ungkap Zen mengakui diri bahwa ia tahu apa yang sudah dialami Daisy.     

Dahinya Jeremy berkerut dan ia pun menyadari sesuatu, bahwa Daisy menyimpan sesuatu itu sendiri demi Jeremy.     

"Ke ruangan gue," kata Jeremy seraya berjalan duluan agar Zen mengikutinya.     

Sepanjang keduanya berjalan menembus kerumunan resto yang cukup ramai, membuat kebanyakan dari pengunjung menatap mereka dengan pandangan takjub. Bagaimana tidak, keduanya memang sangat tampan di hadapan para wanita. Apalagi memang pengunjung restoran Jeremy lebih banyak wanitanya dari pada laki-laki.     

Jeremy duduk di kursinya dan Zen di hadapannya yang dibatasi meja. Ia memperhatikan ruangan besar Jeremy yang cukup memadai untuk ditinggali bersama Daisy.     

"Katakan maksud lo, Zen. Memangnya lo tahu apa soal Daisy?"     

"Semua. Tapi bagian terpenting adalah gue dapat pendonor mata untuknya. Saat di supermarket dan Daisy tersesat, gue ketemu dia. Gue sempat menawarinya bantuan tapi gue rasa dia menolaknya karena nggak mau lo tahu bahwa gue adalah di balik dari tawaran donor mata itu," jelas Zen singkat.     

Jeremy hanya diam. Ia memang tidak mendengar apa pun dari Daisy tentang itu. Kecuali saat dirinya bilang bahwa ia bertemu Zen yang ternyata di mimpi. Kini Jeremy cukup mengerti maksud Daisy.     

"Dilihat dari reaksi lo, sepertinya lo memang nggak tahu. But it's OK. Di sini gue cuma mau menawarkan bantuan itu sama lo, Jer. Karena sepertinya Daisy benar-benar menghormati lo sebagai suaminya," ungkap Zen melanjutkan.     

Jeremy menatap keseriusan Zen. Wajah benci yang ia berikan pada Zen masih jelas terlihat dan Zen paham akan itu. "Tanpa syarat. Gue … berusaha menebus kesalahan gue. Itu aja," jujur Zen.     

"Bagaimana kalau Daisy menolaknya juga walau gue yang memintanya?" tanya Jeremy.     

"Jer, gue rasa lo pandai bicara sama dia. Tinggal lo bilang bahwa lo menemukan pendonornya, gue yakin dia mau dan percaya sama lo."     

Jeremy memikirkan ucapan Zen. Dilihat dari cara bicara Zen, ia bisa membaca bahwa Zen benar-benar bersunguh-sungguh. Sebab ia juga pakar psikologi dan cukup tahu perilaku seseorang.     

"Dua hari. Gue kasih waktu dua hari. Gue cukup bisa menemukan pendonor dengan mudah dan cepat, Jer. Jadi, pikirkanlah," ujar Zen seraya berdiri dan berpamitan pada Jeremy. Ia pun keluar dari ruangan Jeremy untuk kembali ke apartemennya.     

Kenyataan bahwa Zen tahu keadaan Daisy dan Daisy bertemu dengannya saat di pusat perbelanjaan, membuat hati Jeremy sedikit merasa sakit. Mungkin benar maksud Daisy tidak mengatakan padanya karena ingin menghormatinya. Tapi dengan menyembunyikan bahwa Zen datang untuk menolongnya, membuat Jeremy berpikir, segitunya Daisy menolak bantuan Zen walau bantuan itu kelihatan tulus.     

***     

Setelah bertemu dengan Jeremy, Zen cukup lega. Ia hanya harus menunggu persetujuan itu. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk Daisy walau pun sepertinya cukup sulit untuknya jika Daisy tahu bahwa di balik semua ini adalah keinginan Zen.     

Zen langsung kembali ke apartemennya dan saat ia sampai apartemennya, ia tidak percaya akan yang dilihatnya.     

Daisy datang ke apartemennya bersama sahabatnya, Ama.     

"Daisy?" ucap Zen tak percaya. Ia menoleh arlojinya. Waktu masih terlalu sore dan ia cukup bersyukur karena Lissa baru saja memulai shift-nya.     

"Nanti aku telepon, Ama. Ingat ya, jangan sampai Jeremy tahu," ujar Daisy pada Ama.     

Ama mengangguk dan memeluk Daisy. Lalu Ama menatap Zen dan memberikan peringatan padanya. "Jaga dia."     

"Apa kamu nggak mau membiarkan tamumu masuk?" tanya Daisy padanya.     

"O-oh … sebentar, aku hanya cukup kaget saja." Zen langsung mengeluarkan key cardnya dan pintu pun terbuka. Ia membiarkan Daisy masuk lebih dulu sementara dirinya melihat ke kanan kiri untuk memastikan tidak ada siapa pun yang melihat.     

Daisy berdiri dengan tongkatnya dan senyumannya. Lalu Zen menyuruhnya duduk sekaligus membantunya namun Daisy menolak bersentuhan dengan Zen.     

"Aku nggak lupa di mana sofa kamu berada," ujar Daisy dengan senyuman.     

Zen hanya diam dan menyiapkan minuman untuk Daisy. Lalu ia duduk di hadapannya dengan diam untuk menunggu Daisy bicara.     

"Jadi, kamu udah menikah dengannya, ya?" tanya Daisy memulai.     

"Hmm, ya. Daisy, apa yang mau kamu lakukan di sini? Bagaimana jika Jeremy mencarimu?" tanya Zen yang tak tahan untuk bertanya.     

Daisy terkekeh kecil. Mendengar nada khawatir Zen akan Jeremy untuk pertama kalinya membuatnya geli. Ia bahkan tertawa dan berhenti sampai mampu membalas ucapan Zen.     

"Aku bosan di rumah. Jadi aku putuskan ke sini. Aku ingin tahu banyak hal mengenai perubahanmu, Zen. Apa itu salah?"     

"Nggak. Nggak salah sama sekali. Tapi aku pikir kamu menghormati suamimu."     

"Aku menghormatinya. Aku hanya menghindari pertengkaran dan perdebatan. Ada Ama, sudah pasti ia percaya bahwa aku pergi dengan Ama hanya untuk berjalan-jalan."     

Zen menghela nafasnya. Ia tidak mau membahas lagi karena cukup senang juga dengan kedatangan Daisy. Zen pun menawarkan minuman yang ia sediakan untuk Daisy.     

"Sepertinya Lissa nggak di sini, ya? Aku nggak mencium bau tubuhnya," tanya Daisy seraya masih mengendus-endus.     

"Iya. Dia bekerja dan baru saja berangkat. Aku tadi mengantarnya."     

"Kenapa dia dibiarkan bekerja sementara dulu aku harus susah payah memintamu bekerja, Zen?" tanya Daisy.     

Zen hanya diam. Ia sebenarnya tidak mau membahas masa lalu pada Daisy. Motif Daisy ke apartemennya juga membuatnya berpikir tentang apa yang diinginkan Daisy selain hanya ingin tahu apakah Zen benar-benar berubah atau tidak.     

"Kadang aku sedikit iri karena Lissa bisa membuat berubah menjadi orang baik," terang Daisy. Zen mendengarkan dan menatap Daisy dalam-dalam. Baginya, ada sedikit keuntungan karena bisa menatap Daisy sebebas yang ia mau.     

"Aku berubah karena keinginanku sendiri, Daisy. Bukan karenanya," ralat Zen.     

"Tetap saja. Dia di sisimu. Membantumu. Sementara aku? Nggak berguna sama sekali." Mata Daisy berkaca-kaca. Zen bisa melihatnya. Sebentar lagi buliran air yang menumpuk itu akan terjatuh pada akhirnya.     

"Daisy, apa maksudmu? Ada apa denganmu saat ini?" tanya Zen yang mulai mengerti dibalik kesedihan Daisy.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.