BOSSY BOSS

Chapter 200 - The Best Mistake



Chapter 200 - The Best Mistake

0Tiba-tiba Daisy menangis. Benar-benar menangis dan menitikkan air matanya di depan Zen. Walau ia tidak bisa melihat Zen, tapi ia tahu saat ini Zen menatapnya. Ia pun langsung menyekanya walau air mata itu kembali terjatuh.     

Sebuah pergerakan ia rasakan di sisinya. Wangi tubuh Zen sangat terasa dan ia tahu Zen ada di sisinya.     

"Apa kamu butuh … pelukan?" tanya Zen menawarkannya.     

Daisy menggelengkan kepalanya. Walau datang kepada Zen adalah sebuah kesalahan, ia tidak mau menambah kesalahannya dengan menerima pelukan Zen juga.     

"Aku hanya ingin didengarkan, Zen," ucap Daisy.     

Zen pun kembali ke posisinya seperti tadi. Ia benar-benar berusaha mengontrol keinginannya untuk berada dekat dengan Daisy betapa pun dirinya sangat ingin.     

"Sejak aku nggak bisa melihat, aku merasa nggak berguna," ucap Daisy dengan sesenggukkan.     

"Nggak ada yang merasa begitu, Daisy. Kamu berguna," timpal Zen.     

Daisy menggeleng-gelengkan kepalanya. Baginya ia sama sekali tidak berguna. Terlebih untuk dirinya sendiri. Biasanya ia bisa mengurus segala hal dengan pandangan jelas, sekarang yang ia bisa lihat hanya kegelapan. Kekosongan.     

Ketika Daisy mencurahkan isi hatinya, Zen hanya diam sambil terus menatap Daisy. Pandangan matanya tak sekali pun lepas dari Daisy. Momen di mana ia jarang sekali melihat Daisy dengan jarak sedekat ini tanpa menyentuhnya. Sebenarnya ini adalah momen yang langka baginya.     

Lalu tiba-tiba ponsel Zen berdering, membuat Daisy berhenti bicara. "Sebentar, aku terima panggilan dulu," ucap Zen.     

"Iya, Lissa?"     

"Sekarang? OK baiklah. Tunggu di sana," ucap Zen seraya mematikan panggilan itu.     

Daisy menunggu Zen berbicara karena ia mendengar sesuatu sedang terjadi pada istrinya itu. Sementara Zen sedikit bingung mengutarakan niatnya. Kebersamaannya dengan Daisy tak ingin diganggu, tapi ternyata alam memihak hal lain.     

"Daisy, sepertinya Lissa sakit dan aku harus menjemputnya," ucap Zen memberitahu.     

Daisy pun berdiri menghadap Zen. "Iya, pergilah. Aku akan sekalian pulang. Terima kasih untuk waktunya, Zen."     

Ketika Zen memperhatikan betapa mungil dan kecilnya Daisy di hadapannya, Zen sadar, bahwa Daisy terlihat jauh lebih kurus sejak sakit.     

Daisy memanfaatkan waktu yang ada untuk menghubungi Ama. Ia sudah mendapatkan ponsel baru yang mana ponsel dengan tombol timbul dan diajari juga untuk mencari tahu di mana nomor Ama berada.     

Setelah ia menelepon Ama, Daisy menghadap Zen lagi dengan senyuman. "Aku pulang kalau begitu, bisa kamu antar aku ke pintu?"     

"O-oh, ya. Biarkan aku pegang tanganmu," ujar Zen sambil menuntunnya.     

Sebelum Zen benar-benar membuka pintu apartemennya, ia ingin memberanikan diri mencium Daisy dengan meminta izinnya.     

"Ada apa, Zen? Apa kita udah di depan pintu?" tanya Daisy merasa aneh.     

"Daisy … aku … apakah kamu mengizinkanku menciummu?" tanya Zen terbata-bata.     

Daisy diam. Ia menghela nafas. Tadi ia sudah menolak untuk dipeluk Zen dengan alasan tidak mau menambah rasa bersalahnya dari Jeremy. Tapi dicium Zen dengan meminta izin seperti ini, adalah momen yang tidak pernah ia rasakan saat ia masih bersama Zen.     

"Ya … cium aku, Zen," ujar Daisy mengizinkan.     

Zen maju satu langkah. Kedua tangannya sedikit bergetar untuk meraih kepala Daisy. Ia mulai mendekat dan sedikit menunduk untuk meraih bibir Daisy.     

Seperti sudah lama tidak melakukannya pada Daisy, tubuhnya bergetar hebat. Sejenak ia berdiam diri ketika bibirnya sudah mendarat di bibir Daisy. Lalu seiring berjalannya waktu, ia mulai memainkan bibirnya di sana. Memberikan ciuman yang paling lembut untuk Daisy rasakan.     

Daisy membalasnya. Ia meraih leher Zen dan mengalungkannya di sana. Kemudian perlahan mereka saling melepas diri dengan hembusan nafas yang memburu.     

***     

Dalam perjalanan pulang, Daisy hanya diam. Ia masih terbawa suasana oleh ciuman Zen yang membuatnya sedikit memiliki tempat untuk Zen di hati.     

Walau ia sudah menikah, tapi bukan berarti juga ia ingin kembali pada Zen. Kadang, Daisy hanya merindukan masa-masa kebersamaan dengan Zen dengan cara yang baik.     

Seperti saat tadi, ciuman lembut itu sebelumnya tidak pernah Daisy rasakan. Kesopanan Zen dalam meminta izin juga tidak pernah Zen lakukan sebelumnya.     

"Kamu mau beli sesuatu? Eh, nggak, maksudnya kita harus beli sesuatu, Dai. Bisa-bisa Jeremy tanya kita ke mana saja dan pulang tanpa membawa apa-apa," ujar Ama memberi ide.     

Daisy menggelengkan kepalanya. "Bilang aja kita cuma ke taman dan makan-makanan pinggir jalan. Nggak perlu ada barang untuk membuktikan. Jeremy nggak seposesif itu, Ama."     

Ama mengangguk. Ia menipiskan bibirnya karena merasa sahabatnya itu berkelakuan aneh sejak keluar dari apartemen Zen.     

Pikiran Ama menjadi liar mengingat ia tahu bagaimana hubungan Zen dan Daisy berjalan. Jadi ia berpikir ada aktivitas seks di antara Daisy dan Zen.     

"Katakanlah, Ama. Kamu mau bicara apa?" tanya Daisy. Ia tahu Ama pasti ingin bertanya sesuatu namun merasa enggan padanya.     

Ama terkejut karena ia sendiri belum tahu bahwa Daisy akan menjadi sepeka ini. "Eh? Aku … "     

"Aku jadi sedikit sensitif, Ma, sejak buta. Jadi, seperti saat ini, aku bisa merasakan kamu mau bicara sesuatu sama aku," potong Daisy.     

Ama menghela nafasnya dan memberanikan diri. "Sebenarnya, apa yang membuatmu aneh sejak keluar dari apartemen Zen? Coba cerita dan jangan sampai Jeremy melihat keanehanmu, Daisy."     

Ama ada benarnya, pikir Daisy.     

"Aku berciuman dengan Zen. Itu saja. Hal itu sudah lama nggak kami lakukan. Sepertinya benar, Zen benar-benar berubah. Dia bahkan jadi lebih sopan padaku, Ama," jelas Daisy.     

Ama membelalakan matanya. Bibirnya terkatup rapat dan belum bisa membalas ucapan Zen.     

"Aku tahu ini namanya perselingkuhan. Tapi aku benar-benar seakan nggak bisa menghindar darinya, Ama. Sangat susah. Walau aku sendiri nggak ada keinginan untuk kembali padanya, tapi membuatnya seolah nggak ada lebih sulit dari yang aku duga," tambah Daisy.     

Ada nada lega dari Daisy. Ia sudah mengeluarkan semua isi hatinya juga pada Ama.     

"OK. Aku nggak ada saran lain selain jangan sesering itu menerima segala perlakuan Zen. Kalian sudah sama-sama memiliki pasangan yang sah, jadi jangan sampai merusaknya karena keegoisan semata kalian," nasihat Ama.     

Daisy mengangguk. Ia memang tidak ingin pernikahannya kali ini gagal. Apalagi Jeremy selalu memberikan yang terbaik untuknya.     

"Hmm, kita ke toko baju POLO ya, Ma. Aku mau membeli baju untuk Jeremy," pinta Daisy tiba-tiba. Setidaknya ia ingin memberi hadiah pada Jeremy yang mana akan Jeremy kenakan selalu.     

"OK. Kebetulan kita belum melewatinya."     

Selama dalam perjalanan, Jeremy menelepon Daisy. Daisy tahu itu Jeremy ketika ia menerima panggilan itu.     

"Sayang, apa kamu sudah di rumah?" tanya Jeremy.     

"Belum. Lebih tepatnya aku lagi di jalan, Jer. Ada apa? Apa kamu mau pulang?"     

"Iya. Kabari aku kalau sudah sampai, ya, biar aku pulang ketika kamu sudah di rumah."     

"Iya, Jer."     

***     

Daisy melangkah ke depan pintu rumah untuk mendengar suara mobil Jeremy. Namun ternyata ada satu mobil lagi yang Daisy ingat bahwa itu adalah mobil Raka.     

"Hei, cantik!" sapa Jeremy mencium keningnya.     

"Jer? Apa kamu sama Raka?"     

Jeremy menatap Raka dan mengangguk walau Daisy tidak bisa melihatnya. "Iya. Aku sama Raka. Yuk, masuk, Ka. Aku bawa makanan untuk kita makan bersama."     

"Reina nggak ikut, Ka?" tanya Daisy pada Raka.     

"Nggak. Dia jaga anak-anak, Dai."     

Sementara Jeremy sibuk mempersiapkan makan malam, Daisy duduk di ruang tamu dengan Raka. Raka awalnya hanya diam tapi melihat Daisy menunggunya berbicara sebelum Jeremy datang membuatnya tak tahan karena kecanggungan yang terjadi di antara mereka.     

"Duh, nanti saja ya, tunggu Jeremy yang bilang. Dia kan, suamimu, Dai," ucap Raka karena merasa geli dengan tingkah konyol yang Daisy lakukan.     

Dahi Daisy berkerut dan bibirnya mencebik. Ia tidak bisa menunggu lama, tapi Daisy juga tahu bahwa Raka tidak ingin mendahului Jeremy, sebagai suami Daisy.     

"Dan kamu datang pasti untuk mendukung, kan?" tanya Daisy memancingnya.     

"Hmm, ya. Sebenarnya juga karena aku sangat lapar, jadi Jeremy menjanjikan untuk sekalian makan malam bersama kalian."     

Daisy bersandar dan menghela nafasnya. Lalu suara langkah Jeremy mendekat dan duduk di samping Daisy. Ia merentangkan satu tangannya di belakang Daisy dan tersenyum padanya. Walau kenyataannya ia tahu Daisy menyembunyikan pertemuannya dengan Zen saat di supermarket membuatnya kecewa, namun bukan masalah untuknya karena Daisy melakukannya untuk menghormati Jeremy.     

"Daisy Sayang, aku mau memberikan kabar baik buat kamu," ujar Jeremy memulai.     

"Sebelum makan dimulai?" tanya Daisy.     

"Iya. Kamu mau mendengarnya, kan?"     

Daisy mengangguk dengan senyuman.     

"Aku dapat donor mata untuk kamu, Sayang," ucap Jeremy dengan ceria.     

Daisy terdiam. Matanya berkaca-kaca mendengar nada ceria pada Jeremy. Tapi kemudian ia tersenyum untuk memberikan respons pada suaminya.     

"Benarkah? Kamu nggak bohong, kan?" tanya Daisy.     

Jeremy menatap Raka yang mengangguk padanya. "Nggak, Sayang. Aku benar-benar mendapatkannya. Bagaimana? Apa kamu bersedia?" tanya Jeremy.     

Tanpa berpikir panjang lagi, Daisy mengangguk penuh. Saat itu juga air matanya terjatuh dan ia memeluk Jeremy dengan erat.     

"Terima kasih, Jer. Terima kasih karena kamu selalu memberikan yang terbaik buat aku. Kamu suami terbaik!" ungkap Daisy bersyukur.     

Jeremy tersenyum dan mengusap-usap punggung Daisy dengan lembut. Kini ia benar-benar tahu bahwa Daisy memang hanya patuh dan menurut pada ucapan Jeremy.     

Jeremy berusaha untuk melupakan segala kekecewaannya dengan membuat Daisy senang. Walau sepenuhnya Zen-lah yang lebih banyak berusaha dari padanya, tapi demi menutupinya, Jeremy rela.     

"Raka … nggak perlu kamu dukung, aku sudah pasti mau karena Jeremy berhasil mendapatkan donor mata itu," ucap Daisy dengan senyuman setelah memeluk Jeremy.     

"Yah, senggaknya aku dapat makan malamnya, dong," balas Raka.     

"Pulang aja sana kamu! Ha ha ha," usir Daisy dengan canda.     

"Sudah, sudah … karena berita bahagia, sekarang ayo, kita mulai makan," ajak Jeremy. Ia menuntun Daisy menuju meja makan sementara Raka di belakang mereka.     

Raka memperhatikan air muka Jeremy yang mana senyuman itu memudar. Ia tahu bahwa ini karena pertolongan Zen. Raka tahu bahwa Jeremy sepenuhnya ingin menjadi sosok yang berhasil menemukan donor mata itu, bukan Zen. Namun demi agar Daisy melihat kembali, Jeremy rela, selama Zen menawarkan sesuatu tanpa persyaratan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.