BOSSY BOSS

Chapter 195 - The Car Accident



Chapter 195 - The Car Accident

0Senyum Daisy langsung menghilang ketika ia mendengar nama Zen disebut. Matanya berkedip berkali-kali dan mencoba bersikap biasa. Daisy juga berpikir siapa Lissa ini karena bertanya tentang Zen.     
0

"Kamu pasti terkejut, ya, aku bertanya tentang dia?" Tanya Lissa dengan senyuman kaku.     

"Siapa kamu sebenarnya?" Tanya Lissa dengan nada menyelidik.     

"A-aku calon istrinya, Zen, Daisy."     

Daisy langsung berdiri. Rasa laparnya mendadak hilang ketika ia mendengar nama mantan suaminya itu. Namun Lissa mencegahnya pergi, hingga semua karyawan Daisy menatap ke arah mereka.     

"Dengarkan aku dulu, Daisy. Aku hanya ingin tahu sesuatu. Aku sudah mendengar dari Zen, dan aku perlu mendengarnya dari kamu," jelas Lissa lirih     

Daisy akhirnya mengalah dan kembali duduk. Ia menegakkan dirinya dan menghadap Lissa. "Katakan," perintah Daisy.     

"Aku mendengar semua pengakuannya. Dan aku perlu meyakinkan diriku untuk mendengarnya dari kamu. Apa semuanya benar?"     

"Bagian mana saja yang dia bicarakan denganmu?" Tanya Daisy skeptis. Ia curiga bahwa Zen tidak akan menceritakan semuanya. Sama seperti saat dulu, ia hanya tahu beberapa hal.     

Lissa pun kembali menceritakan semua pengakuan Zen pada Daisy. Awalnya Daisy tidak percaya, tapi ketika Lissa menceritakan ulang, Daisy tidak menyangka bahwa Zen akan sejujur itu.     

"Kenapa dia menceritakan semua itu?" Tanya Daisy merespons.     

"Jadi benar? Benar semua yang dia ceritakan?"     

"Jawab pertanyaanku dulu, Lissa."     

"Itu karena dia bilang dia ingin berubah. Membuktikan padamu bahwa dia bisa berubah," jelas Lissa.     

Alis Daisy naik satu, mencoba tidak mempercayainya tapi semua kejujuran Zen memang ia ceritakan dengan jelas.     

"Apa dia pernah menyentuhmu?" Tanya Daisy lagi. Dia perlu tahu sejauh mana hubungan mereka. Sebab Zen tidak pernah bisa mengontrol nafsunya di depan wanita yang menarik di matanya.     

Perlahan Lissa menggeleng. Wajahnya sedih. Seolah Daisy tahu bahwa Lissa sangat sedih karena Zen tidak pernah menyentuhnya.     

"Kami hanya berpelukan dan menggandeng tangan. Itu saja. Memangnya ada apa?"     

"Karena dia bukan laki-laki yang mudah mengontrol nafsunya. Tapi mendengar hal-hal perubahan yang baik darimu, aku sedikit percaya."     

"Kupikir dia nggak ingin menyentuhku karena nggak mencintaiku," ucap Lissa lemah.     

Daisy berdecak. Kedua tangannya ia silangkan di depan dadanya. "Cinta itu nggak bisa dibuktikan hanya dengan sentuhan. Kalau dia sampai melakukan kebaikan seperti itu, artinya ada progres. Dan kamu benar-benar membuatnya menjadi baik," jelas Daisy.     

Wajah Lissa memerah. Memerah karena ia malu dan merasa terpuji. Tapi ia juga tidak bisa begitu senang karena belum pernah disentuh oleh Zen.     

Daisy akhirnya berdiri dan Lissa pun refleks mengikutinya. "Sepertinya sudah selesai. Aku harus kembali bekerja," ucap Daisy.     

"Apa kita bisa berbicara kembali?" Tanya Lissa.     

"Hmm?" Daisy menelengkan kepalanya.     

"Lupakan. Terima kasih untuk waktumu, Daisy. Dan mengenai gaun itu, aku harap kamu membuat yang terbaik, ya."     

Daisy mengangguk dan berjalan mendahului Lissa. Mendadak nafasnya sesak dan ia baru bisa bernafas lega saat sudah di dalam ruangannya.     

Ada perasaan kesal dalam dirinya ketika tahu Zen berubah menjadi lebih baik saat bukan bersama dirinya. Padahal ia dan Zen cukup lama bersama saat itu, sementara wanita tadi … pikir Daisy, mungkin dalam hitungan hari mereka saling mengenal.     

Atau … tiba-tiba Daisy teringat akan pertemuannya dengan Zen saat berada di makanan lesehan pinggir jalan. Wanita itu … bisa jadi adalah Lissa. Kekasih baru Zen dan klien baru Daisy.     

***     

Suara ketukan berkali-kali yang ia lakukan membuatnya frustasi. Lissa tak juga keluar dari kamarnya saat tahu yang datang adalah Zen. Zen tahu bahwa Lissa mungkin masih kesal padanya.     

Sementara itu Lissa tetap diam dan menunggu sampai Zen pergi. Walau ia gelisah juga jika Zen terus menerus mengetuk pintu kamar kosnya.     

"Aku akan tetap di sini, Lissa. Menunggumu," ucap Zen.     

Ia menghentikan ketukannya dan memilih duduk di kursi yang memang tersedia di setiap kamar kos Lissa.     

Lissa mengintip sedikit melalui jendela kamarnya. Ia melihat Zen benar-benar di sana, duduk dan menunggunya.     

Saat dua jam berjalan, Lissa merasa lapar. Akhirnya demu menuntaskan rasa laparnya, mau tak mau Lissa keluar kamar dan memilih berbicara dengan Zen juga.     

"Ayo, aku lapar. Ajak aku ke suatu tempat untuk makan," pinta Lissa seraya mengenakan hoodienya.     

Wajah Zen terlihat benar-benar senang saat melihat Lissa keluar.     

Melihat penampilan Lissa yang terlalu berbeda dengan Daisy. Lissa lebih senang memakai pakaian yang lebih mirip dengan laki-laki, sementara Daisy lebih senang terlihat anggun layaknya wanita yang sesungguhnya.     

"Aku harap kali ini kamu nggak keberatan aku berpenampilan seperti ini," ujar Lissa.     

Selama ini memang penampilang Lissa selalu diatur oleh Zen, dan Lissa sangat tersiksa dengan aturan yang tidak ia nikmati itu.     

"Aku nggak akan melarangmu lagi berpenampilan sebagaimana kamu, Lissa."     

"Ya, udah. Ayo!"     

Lissa bergegas lebih dulu menuju mobil Zen dan masuk ke dalam. Diam-diam ia menahan senyumnya karena merasa senang Zen seperti benar-benar takut akan dirinya.     

"Kita ke fast food, ya," ujar Zen.     

"OK."     

"Apa kamu udah ada jawaban, Lissa?" Tanya Zen.     

"Dari mana kamu tahu kalau hari ini aku libur?" Tanya Lissa mengalihkannya.     

"Aku selalu mudah mencari tahu segalanya, Lissa. Bahkan aku tahu kamu ternyata adalah temannya Tino."     

Lissa terkejut. Matanya membelalak tapi Zen hanya tersenyum senang karena akhirnya ia membuat Lissa merasa bersalah.     

"Ya, benar. Tino mengakui semuanya. Tapi aku nggak menyalahkannya. Setidaknya pertemuanku denganmu memberikan dampak baik," jelas Zen.     

Lega. Begitulah yang dirasakan Lissa. Walau ia juga merasa bersalah atas kesengajaan itu, tapi ucapan minta maaf tidak bisa ia lontarkan dengan mudah.     

"Kamu nggak mau bicara sama aku?" Tanya Zen.     

"Aku lapar. Butuh energi untuk sekadar bicara."     

"OK, kita sampai."     

Zen memarkirkan mobilnya dan mereka keluar bersama. Ia langsung menggandeng tangan Lissa untuk menunjukkan pada dunia, bahwa mereka adalah sepasang.     

Setelah memesan dan menerima menu, Lissa langsung makan dengan lahap. Zen sampai berpikir sudah berapa lama Lissa tidak makan.     

"Kapan terakhir kali kamu makan?" Tanya Zen.     

"Kemarin siang."     

"Apa? Kenapa?"     

"Aku terlalu sibuk bekerja sampai lupa makan. Karena kemarin toko juga ramai, jadi aku seperti nggak lapar."     

Zen hanya diam. Ia ikut makan dan berusaha memperhatikan seberapa parah Lissa merasa lapar.     

"Maaf, aku terlalu lapar," ujar Lissa seraya membersihkan mulutnya.     

Zen tersenyum dan meminum colanya. "Jadi, apa jawabanmu, Lissa? Apa kamu menerima semua masa laluku?"     

Lissa berdeham. Tapi Zen tidak bisa mencernanya. Entah itu menerima atau menolaknya.     

"Katakan lebih jelas," perintah Zen dengan suara dominannya.     

Lissa menatapnya dengan kesal. Walau menyakitkan, tapi ia tidak bisa berbohong bahwa ia sudah menyukai Zen. "Iya. Aku menerima masa lalumu. Menerimamu apa adanya," tegas Lissa menatap Zen serius.     

***     

Daisy menatap desain gaun yang ia desain. Memperhatikannya dan sejenak ada pikiran buruk untuk membuat gaun itu menjadi jelek.     

Buru-buru Daisy menggeleng-gelengkan kepalanya dan berusaha untuk berpikir jernih. Ia pun langsung melirik arlojinya yang menunjukkan jam pulang. Diraihnya tasnya dan keluar dari ruangannya.     

"Daisy … aku baru saja sampai," ujar Jeremy menyambutnya.     

Jeremy mengecup keningnya dan mereka pun pergi dari kantor.     

"Apa ada yang mengganggumu?" Tanya Jeremy. Daisy memang hanya diam saja sejak dalam perjalanan pulang.     

Sementara itu Daisy bingung apakah ia harus menceritakan pertemuannya itu pada Lissa atau tidak. Pikirannya jelas terganggu dan ia tidak bisa untuk tidak memikirkannya.     

"Iya, ada. Dengarkan aku sampai selesai, ya. Setelah itu kamu bisa berkomentar," ucap Daisy akhirnya.     

Jeremy mengangguk dan Daisy pun mulai bercerita. Selama Daisy masih berbicara, tidak ada ekspresi apa pun. Ia benar-benar menyimpan ekspresi maupun emosional responnya untuk nanti saat Daisy selesai berbicara.     

Setelah Daisy berhenti tanda selesai. Jeremy pun mulai memberikan responnya. "Batalkan membuat gaun untuk calon istrinya," perintah Jeremy yang mulai menunjukkan perasaan kesalnya.     

"Kamu serius, Jer?"     

"Kenapa? Apa kamu keberatan? Zen sudah berbuat sesukanya padamu. Aku nggak akan memberikanmu kesempatan untuk bekerjasama yang berkaitan dengannya."     

Jika suaminya sudah begitu, Daisy tidak bisa menolak. Alasan Jeremy juga masuk akal untuknya. Lagi pula, Daisy senang karena akhirnya Jeremy memberikan larangan tentang hal berkaitan dengan Zen.     

"OK, aku akan membatalkan membuat gaun untuknya."     

"Maaf," ucap Jeremy melembut.     

Daisy mengerutkan keningnya. "Kenapa harus minta maaf, Jer?"     

"Maaf karena aku melarangmu. Aku hanya ingin kamu nggak kenapa-kenapa."     

Daisy menyentuh pipi Jeremy. Ia tidak mencium Jeremy karena mereka masih dalam perjalanan. "Aku nggak masalah. Malah senang. Senang karena ada seorang yang bisa kuandalkan dan khawatir padaku."     

Mereka saling tersenyum dan memandang satu sama lain. Lalu Daisy pun mengalihkan pandangannya ke depan dan matanya membelalak.     

"Jer! Awas!!!" Teriak Daisy dan refleks Jeremy pun menoleh sekaligus membanting stirnya ke kanan untuk menghindar.     

"CRASHHH!!!"     

Suara mobil tertabrak membuat Daisy dan Jeremy terluka hingga tak sadarkan diri.     

Klakson mobil Jeremy pun berbunyi nyaring dan membuat jalanan dipenuhi oleh orang-orang yang berusaha menolong mereka. Sementara yang lainnya mencoba menghubungi ambulans.     

Daisy mengalami luka lebih parah dari pada Jeremy. Sehingga saat keduanya di rumah sakit, Jeremy lebih dulu sadar dan mencari-cari Daisy.     

"Di mana dia, Raka?" Tanya Jeremy pada Raka. Semua keluarga baik dari Daisy maupun Jeremy, mereka semua berkumpul.     

"Tenanglah dulu, Jer. Lo harus segera pulih biar bisa melihat Daisy. OK?"     

"Nggak, gue harus memastikan dia. Antar gue ke sana, atau gue jalan sendiri!"     

Ketegangan dan kekhawatiran Jeremy jelas terlihat. Raka yang memandang semuanya, mereka pun mengangguk setuju daripada membiarkan Jeremy berjalan sendirian.     

Saat melihat Daisy di ruang ICU. Hati Jeremy lebih terluka dan merasa sakit.     

"Apa dia sudah memberikan response? Sadar?" Tanya Jeremy tidak melepaskan pandangannya pada Daisy.     

"Belum. Belum ada perkembangan. Hanya saja terkadang detak jantungnya lemah, kemudian normal lagi."     

"Gue akan ke sini setiap waktu. Lo bisa kan, tangani dokter suster itu agar gue bisa tetap berkeliaran untuk melihatnya?"     

Raka menghela nafasnya. "Asal lo harus segera pulih. Apa lo bisa janji sama gue?"     

Jeremy mengangguk seraya mencium tangan Daisy.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.