BOSSY BOSS

Chapter 150 - Another Lies



Chapter 150 - Another Lies

0Pernikahan yang seharusnya hari ini terlaksana, terpaksa dibatalkan. Untuk melepaskan rasa rindunya, Jeremy datang ke rumah Daisy. Duduk di sana bersama Raka yang menemaninya dan hanya seperti itu. Berharap ada kabar dari Daisy atau kemungkinan Daisy yang muncul tiba-tiba walau kemungkinan itu kecil.     
0

"Nak Jer, masuk dulu, yuk. Tante dan Om mau bicara sesuatu," suara Weiske muncul ketika duanya tengah merokok di luar rumah.     

Jeremy masuk diikuti Raka di belakangnya. Mereka duduk di ruang keluarga dengan wajah yang begitu tegang. Bagaimana tidak tegang jika hilangnya Daisy masih membekas dan melekat pada mereka.     

"Jeremy, Om mau langsung saja ... Om mau minta maaf atas batalnya pernikahan kalian. Jujur, kita semua nggak tahu kalau hal ini akan terjadi," jelas Thomas mewakili yang lain sebagai yang paling tua di rumah itu.     

"Om, Tante, ini bukan salah kalian semua atau Daisy. Benar, kita nggak tahu hal ini akan terjadi. Bahkan nggak pernah terpikirkan. Tapi saya akan berusaha terus mencari Daisy," timpal Jeremy dengan jelas.     

Raka menepuk-nepuk bahu Jeremy untuk menguatkannya. Reina masih menunduk karena ia masih merasa bahwa dirinyalah yang bersalah atas menghilangnya Daisy. Padahal yang lain tidak ada yang menyalakannya.     

"Dan Reina, jangan merasa bersalah, OK? Aku baik-baik saja. Walau sebenarnya ada kemungkinan di balik penculikan Daisy itu mantan suaminya, alias Zen, tapi aku akan tetap mencarinya," kata Jeremy pada Reina.     

Pembahasan mengenai kemungkinan Zen-lah yang menculiknya sudah mereka bahas. Pada akhirnya Jeremy juga butuh kerja sama dari keluarga Daisy. Karena jika ia yang bekerja sendiri, maka hasilnya mungkin tidak akan terlihat.     

"Om juga sudah mengerahkan anak buah Om untuk melacak Zen. Om yakin, mereka akan menemukan Zen," terdengar Thomas berucap dengan suara yang penuh emosi.     

Semuanya terdiam beberapa saat sampai Weiske berinisiatif untuk mulai makan malam bersama.     

***     

Daisy terbangun di malam hari. Keadaan rumah sudah gelap dan hanya beberapa penerangan lampu jingga saja yang menerangi beberapa tempat. Ia meraih air minum yang terletak tak jauh dari dapur dan meminumnya sampai habis.     

Malam ini ia terbangun dengan keadaan benar-benar fresh. Entah kenapa ia tertidur, Daisy tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Yang ia tahu hanyalah ia menangis dalam pelukan Zen dan kesadarannya hilang.     

Lalu kesunyian menusuk dirinya. Ia tidak menemukan Zen di mana-mana. Hanya ada anak buah yang terjaga secara bergantian. Daisy pun duduk di sofa dan menyalakan televisinya. Padahal acara televisi kalau di tengah malam seperti ini tidak ada yang menarik. Namun Daisy juga bosan jika harus mendekam di kamar terus.     

Dilihatnya Tino yang sedang membaca sesuatu di depan pintu. Daisy pun mengajaknya berbicara walau matanya menatap televisi.     

"Tino, di mana Zen?" tanya Daisy.     

"Oh, Bos ada di apartemennya, Nona. Beliau bekerja dari sana kalau malam," jawab Tino dengan lugas.     

"Kenapa nggak di sini? Memangnya nggak bisa?"     

"Benar, nggak bisa, Nona. Untuk itu beliau menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke sini sekitar subuh saat ia sudah selesai."     

Daisy hanya diam dan mengangguk kecil. Ia tidak tahu bagaimana Zen bekerja untuk perusahaannya dengan sangat keras. Tapi sisi pikirannya yang lain berkata bahwa bisa saja ada kebohongan yang Zen lakukan di belakangnya. Sama seperti dulu.     

"Kamu nggak bohong dengan saya kan, Tino?" tanya Daisy yang sudah menatapnya dengan lekat.     

Tino tersenyum. Senyum yang bagi siapa pun tidak akan bisa mengidentifikasikannya. "Untuk apa saya berbohong, Nona."     

Percuma, pikir Daisy. Tino adalah kepercayaannya. Mana mungkin ia mengorek informasi buruk dari Tino kalau Tino ternyata menyimpan semua rahasia Zen secara rapat-rapat.     

"Nanti kalau dia datang, tolong bilang saya mau ketemu dengan Ibu saya dan saya nggak mau diganggu sampai Tante Neva tiba," pesan Daisy seraya berdiri setelah mematikan televisi. Ia berjalan ke kamarnya dan mengunci pintu kamar itu rapat-rapat.     

Walau pun ia kembali ke kamar, tidak ada alasan untuk dirinya sendiri merasa harus tidur. Nyatanya ia terjaga sampai subuh datang. Memandang ke arah balkon dan melihat speed boat Zen mendekat. Ia tahu itu Zen bersama dua anak buahnya.     

Buru-buru Daisy menutup jendelanya dan ia mulai mencoba memejamkan matanya. Ia tidak ingin berbicara dengan Zen sekarang. Setidaknya sampai Neva datang dan keinginannya untuk bicara dengan Weiske.     

Daisy mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Sejenak ia terkejut ketika mendengar itu, padahal ia menguncinya dan tidak melepaskan kunci itu dari kenopnya. Dan seketika itu juga ia baru ingat bahwa Zen memiliki segalanya untuk mendapatkan yang ia mau.     

"Maaf aku harus meninggalkanmu ketika malam," ucap Zen yang berdiri di sisi ranjang Daisy. Ia pikir Daisy sudah tertidur, padahal Daisy masih terjaga dan ia hanya pura-pura terlelap.     

"Aku ... nggak bisa mengontrol birahiku saat berada di dekatmu, Daisy. Untuk itu aku ... harus melakukannya di apartemenku, jauh dari kamu," jelasnya mengaku.     

Jantung Daisy berdetak sangat cepat. Pengakuan itu terasa sekali mengiris hatinya menjadi beberapa potongan. Menyakitkan ketika dibohongi olehnya.     

"Aku belum sepenuhnya berubah, Sayang. Tapi aku berjanji akan berhenti ketika kamu mulai mencintaiku seutuhnya," ucap Zen diikuti kecupan pada kening Daisy. Ia pun keluar dari kamar Daisy dan kembali menguncinya.     

Daisy langsung membuka matanya dan menarik nafasnya dengan penuh, kemudian ia menghembuskan nafasnya. Jantungnya masih berdetak. Ia bersyukur karena Zen tidak mendengar detakan dari jantungnya yang keras itu.     

Akhirnya ia memilih untuk tidur saja dari pada memikirkan apa yang baru saja dikatakan Zen.     

***     

Di luar kamarnya, Daisy mendengar suara wanita yang tidak asing untuk telinganya. Neva sudah datang dan Daisy enggan untuk keluar. Ia menunggu Zen datang untuk menyuruhnya. Ia ingin Zen berpikir bahwa Daisy benar-benar tak baik-baik saja di sini.     

Dan benar saja, Zen mengetuk pintu kamarnya dengan memanggilnya. Daisy pun langsung membukanya. Ia memberikan ekspresi yang paling dingin pada Zen.     

"Mama sudah di sini," ucap Zen.     

"Aku tahu." Daisy langsung keluar melewati Zen dengan sengaja.     

Zen berbalik dan diam. Ia menatap Daisy yang tengah dipeluk oleh Neva. Tak sedikit pun Zen beranjak dari pintu di mana Zen berdiri. Ia hanya diam dan terus diam.     

"Zen, jadi apakah kita jadi makan bersama di luar?" tanya Neva memecah kediamannya.     

"Ya ... jadi. Biarkan aku menyiapkan speed boatnya."     

Zen meninggalkan mereka berdua sementara ia ke luar untuk mempersiapkan anak buahnya dan speed boatnya. Ia memang sudah berjanji dengan Neva akan keluar dari pulau ini dan makan di restoran pilihan Neva.     

Setelah semuanya siap Zen memberikan aba-aba pada Neva dan Daisy untuk keluar. Zen membantu keduanya hingga sampai masuk ke dalam dan mesin pun mulai menderu untuk berjalan.     

Hari ini adalah hari bebas Neva ingin membawa Daisy ke mana pun selama ia dan anak buahnya ikut untuk menjaga-jaga. Padahal tadinya Neva tidak mau ia ikut, sayangnya Zen sudah cukup tahu bagaimana Daisy nekat jika akan melarikan diri.     

Daisy pikir ia akan diajak ke mana, ternyata sama saja seperti kemarin. Ke kota dan bedanya Neva ingin mengajaknya ke restoran yang diinginkannya.     

Sesekali Daisy melirik Zen yang hanya diam dan konsentrasi pada ponselnya. Pikirannya kembali ke ucapan Zen saat subuh tadi. Ia pikir Zen akan tahu jika dirinya tertidur pura-pura. Nyatanya tidak. Zen bahkan mencurahkannya secara jujur.     

Siapa lagi wanita yang ia pakai di malam hari? Pikirnya penasaran.     

Tapi Daisy memang berniat mengabaikan Zen seharian ini. Sementara Zen juga masih sibuk dengan ponselnya. Kesempatan ini akan Daisy gunakan untuk berbicara dengan Neva.     

"Tante, Tante tahu wanita yang bernama Ester? Dia dokter kandungan, bukan?"     

Neva seperti sedang berpikir untuk mengingat. "Iya, kenal. Dia teman kuliah Zen dulu dengan jurusan yang berbeda. Apa dia dokter kandunganmu sekarang?"     

Daisy menggelengkan kepalanya. "Sekarang diganti dokter Erik, Tante. Aku mau tanya satu hal sama Tante tapi aku mau Tante jawab jujur."     

"Tanyakanlah, Sayang," ujar Neva mengusap rambut Daisy.     

"Tentang Ester ... apakah ia berhubungan secara istimewa dengan Zen?"     

Neva menelan ludahnya. Ia melirik Zen sekilas dan kemudian diam. Tentu saja Neva tahu semua hal perbuatan Zen, tapi ia juga tidak berpikir bahwa Daisy akan bertanya tentang ini.     

"Coba jelaskan ke Tante kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" tanya Neva kemudian.     

Daisy menjelaskan semuanya pada Neva. Hal-hal dan firasat yang ia rasakan saat Zen tidak bersamanya, atau bau badan Zen yang pertama kali tercium seperti bau wanita menempel pada tubuhnya. Semua kecurigaan itu mengarah pada Zen yang sedang bermain dengan Ester.     

Neva memang tidak seharusnya membuka kartu anaknya pada wanita lain. Tapi Neva sudah menganggap Daisy seperti anaknya sendiri. Sayangnya Neva masih mengulur waktu untuk menjawab kecurigaan Daisy.     

"Ester punya tunangan sebenarnya, Daisy," timpal Neva memulai. "Dan hubungannya dengan Zen ya, memang bisa dikatakan istimewa sejak beberapa bulan ini."     

Daisy menelan ludahnya membayangkan kedekatan seperti apa yang mereka sedang alami. Membuatnya sangat yakin bahwa keduanya ada main.     

"Tante sih, sebenarnya nggak begitu suka dengan wanita itu. Dia nakal dan perokok. Padahal dia dokter kandungan, kan? Bersyukur Tante karena akhirnya Zen menggantikannya dengan dokter Erik," jelas Neva.     

"Tapi dia baik dan cantik, Tante."     

"Memangnya baik dan cantik saja itu cukup? He he he. Nggak, Sayang. Tapi ya, kalau Ester baik sama kamu, Tante lebih sangat bersyukur. Padahal sebenarnya Ester itu sifatnya antagonis, loh, terhadap sesuatu yang nggak dia suka."     

Ditautkannya kedua alisnya, menelaah apa yang diucapkan Neva. "Bukannya semua orang seperti itu?" tanyanya, mengingat Zen juga begitu.     

"Benar. Tapi ya, lupakanlah tentang bahasan ini. Tante akan menjawab pertanyaanmu di awal tadi."     

Daisy mengangguk-angguk tak sabar.     

"Seharusnya Tante nggak mengatakan ini padamu, Sayang. Tapi Tante menganggapmu sebagai anak. Dan ya ... hubungan mereka istimewa. Maksud Tante, kamu pahamlah istimewa seperti apa jika berhubungan dengan Zen. Laki-laki dan wanita. Lalu seks," jelas Neva dengan rinci.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.