BOSSY BOSS

Chapter 109 - Unknown Feelings



Chapter 109 - Unknown Feelings

0Kadang aku masih tidak menyangka bahwa aku akan tinggal berdua dengan kakak tiriku. Berpikir akan memiliki keluarga lagi saja aku tidak sampai ke sana. Tapi karena pernikahan Ibu, menjadikan aku mengenalnya. Hingga sekarang aku dengan salah satu kakak tiriku sampai sejauh ini.     
0

Dua orang yang setiap hari bercinta tanpa ada suatu ikatan itu disebut apa? Aku sendiri tidak tahu. Jangankan perasaan, aku saja masih bingung.     

Bersama Raja selalu membuatku menjadi ratu. Ia memperlakukanku benar-benar seperti ratu yang apapun yang kumau selalu dituruti. Padahal kalau dipikir, Raja itu sifatnya lebih dominan daripada aku, tapi yah itulah yang aku rasakan.     

Kemarin aku mendengar semua percakapannya bersama Reina. Aku tahu Raja menahan gejolak emosinya setiap kali ada Reina di kelilingnya, untuk itu aku segera datang menginterupsi mereka. Sebenarnya aku juga sedikit cemburu karena melihatnya bersama Reina walau itu bukan salahnya.     

"Berhenti menanyakan hal itu padanya. Kamu nggak ada hak apa-apa, Reina!" terangku marah padanya saat kemarin aku berbicara berdua dengannya.     

"Aku kakak iparnya sekarang, Dai. Aku juga ikut tanggung jawab atas dirinya," balasnya. Cih! Entah kenapa aku tidak suka dengan cara bicaranya itu. Apa Raka tahu kelakuan istrinya?     

"Kamu bukan orang tuanya. Dia sudah besar dan berhenti berlagak bertanggung jawab! Dia begini juga karena siapa, hah? Kecuali kalau kamu masih ada perasaan padanya! Aku akan menghentikan segala perbuatanmu!" jelasku.     

Reina hanya diam setelah aku mengatakan itu. Aku yakin, jauh di lubuk hatinya, tentu masih ada sebersit perasaan untuk Raja. Tapi seharusnya ia tahu posisinya.     

"Hei!" ciuman hangat pada bahu telanjangku membuatku terkejut. Raja muncul dari balik tubuhku saat aku sedang menyesap kopi di balkon dan memikirkan hari kemarin. Hari ini aku memang bangun lebih awal karena mimpi buruk yang datang membuatku enggan untuk kembali tidur.     

"Hai,"balasku.     

Ia memelukku dari belakang. Rasanya begitu nyaman sekali di bawah sentuhannya. Seandainya ia bisa kumiliki, tapi sayangnya aku belum siap memulai suatu hubungan.     

"Tumben udah bangun," katanya berbisik lirih ke telingaku.     

Debaran jantungku kembali beraksi setiap kata-katanya berada di sekitar telingaku. Membuatku semangat untuk menyentuhnya tapi tidak kulakukan.     

"Aku mimpi buruk, Raja," balasku.     

"Mimpi apa?" Ia terlihat tertarik pada mimpiku. Lalu memangku untuk duduk miring di atasnya. Jadi kutatap wajahnya yang tampan itu sebentar. Aku benar-benar baru sadar bahwa Raja benar-benar tampan. Tapi bukan berarti Raka juga tampan, ya. Padahal mereka kembar, tapi bagiku Raja yang lebih tampan.     

"Kamu. Aku mimpi kamu, Raja," kataku terdengar menyedihkan.     

Alisnya bertautan. Rasanya membicarakan mimpi yang sedikit sudah kulupa aneh, tapi aku akan menceritakannya sesuai apa yang kuingat saja.     

"Ceritakan," perintahnya.     

"Kita bersama. Lalu kita jalan kaki. Yah, jalan-jaln maksudku. Lalu ada anak kecil di tengah jalan yang mana Ibunya lalai menjaganya. Terus kamu lihat dia dan selamatin anak itu. Dan..." aku tidak melanjutkan ceritaku karena suaraku mulai terdengar bergetar dan tenggorokanku tercekat.     

Raja memelukku dan mencium tubuhku yang bisa ia jangkau. "Sssttt, aku baik-baik aja, Daisy. Itu kan, hanya mimpi," katanya menenangkanku. Aku tahu sekarang ia baik-baik saja, tapi aku takut jika mimpiku benar-benar terjadi.     

"By the way, sepertinya nanti aku pulang larut. Ada pekerjaan yang penting dengan Raka karena dia bulan depan akan ke New York untuk memantau kantor pusat," ujarnya.     

"Bukannya harusnya kamu yang ke sana?" tanyaku menatapnya.     

"Seharusnya. Tapi aku nggak mau pergi tanpa kamu."     

Aku memutar bola mataku karena Raja selalu memakai aku sebagai alasannya. Aku tidak tahu apakah itu candaan atau sebuah kejujuran. Karena Raja seorang yang humoris, jadi apapun yang ia lakukan kadang seolah sebagai candaan bagiku.,     

"Ayo, buat perjanjian kesepakatan, Daisy," katanya mengajak. Aku menaikkan satu alisku. Kesepakatan apa yang akan ia buat? Tiba-tiba sekali.     

"Apa itu?"     

"Aku akan pergi ke mana pun asal kamu ikut. Baik itu bisnis atau hanya sekadar liburan," ujarnya.     

"Hah? Kamu serius bagian itu?"     

Raja mengangguk. "Seperti yang aku bilang, aku akan pergi kalau kamu ikut. Kalau kamu nggak ikut, aku nggak akan pergi."     

Untuk sejenak aku terdiam. Tidak mungkin kan, dia benar-benar serius? Sejak kapan ia seserius ini? Aneh sekali melihatnya seperti benar-benar tidak bisa tanpa aku.     

"Janji?" tanyanya memintaku untuk berjanji.     

"Do I have another choice?" tanyaku akhirnya. Karena apapun ajakannya, sudah pasti ia tidak terima penolakan. Ia pun tersenyum dan mencium bibirku sebagai rasa tanda terima kasih.     

Ciuman yang begitu dalam dan membangkitkan gairah. Mendadak tangannya masuk ke payudaraku yang hanya terbungkus lingerie yang seksi. Tangannya benar-benar lihai membuatku tidak bisa bernafas dengan tenang.     

Aku langsung mengubah posisiku untuk duduk dipangkuan menghadapnya. Membalas ciumannya lebih beringas dari yang ia berikan dan membiarkannya melepas tali lingeriku hingga mengekspos setengah tubuhku.     

Dengusan nafasnya yang berat dan bau khasnya membuatku kecanduan. Tanganku lalu mulai nakal. Melepas kancing dan ristleting celananya setengah hingga memperlihatkan miliknya yang sudah mengeras sedari tadi. Jadi aku mulai sedikit berjongkok dan mulai memasukkan miliknya ke milikku.     

Erangan kami berdua terdengar jelas dan aku mulai bergerak. Tak mau kalah, Raja pun mulai menggendongku dan membawaku ke dalam. Aku tidak bisa mengendalikan ini, rasanya aku ingin berkali-kali keluar karenanya.     

Tiada hari tanpa bercinta. Caranya benar-benar lembut dan membuatku merasa kecanduan. Jadi, kadang tidak ada alasan untukku kesal atau marah padanya. Karena seks memang bekerja pada hubungan kami yang belum jelas ini.     

"Aku harus ke kantor," katanya setelah kami selesai melakukan morning seks. Walau begitu, ia terus menerus menciumi setiap lekuk tubuhku. Membuatku menggeliat dan tertawa karenanya.     

"Ya, sudah sana. Mandi!" seruku mendorongnya.     

Raja mengerlingkan satu matanya padaku dan menuju ke kamar mandi. Sementara aku kembali mengenakan lingerieku dan menyiapkan sarapan yang sudah kubuat sedari tadi.     

Kadang kalau dipikir, sepertinya Raja sudah lebih baik daripada sebelumnya. Aku ingin meninggalkannya karena aku tidak ingin perasaan ini lebih dari sekadar saudara tiri. Aku takut jika aku mulai merasa mencintainya sementara ia tidak. Karena aku merasa Raja butuh aku hanya untuk seks saja. Tapi, satu sisi hatiku tidak ingin meninggalkannya. Aku ingin menetap tapi kebingungan membuatku bimbang.     

"Melamun lagi!" Raja meneriakiku dan aku terkejut. "Ada apa lagi, Daisy?"     

Aku menatapnya tapi tidak berani mengatakannya. Jadi aku menggeleng dan duduk di kursi, begitupun Raja.     

"Ayo, cerita. Pasti ada yang membuatmu melamun selain mimpi buruk itu."     

"Apa kamu sudah baik-baik aja, Raja?" tanyaku perlahan.     

Raja memperhatikanku. Sepertinya ia mengkap maksud dari pertanyaanku. Dan tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku belum baik-baik aja," jawabnya. Ucapannya terasa seperti memiliki makna, tapi sayangnya aku bukan seorang yang mudah mengartikan arti sebuah nada bicara maupun ucapan.     

"Aku pikir kamu udah baik-baik aja. Karena kamu terlihat baik baik... aja," balasku gugup.     

"Aku mencoba bersikap normal, Daisy. Sejujurnya aku nggak baik-baik aja. Ada apa?"     

Aku langsung menggelengkan kepalaku. Tidak bisa aku mengatakan itu padanya di saat ia benar-benar belum baik-baik saja. Jadi, aku urungkan saja semua yang terlintas dalam benakku.     

"Makanlah kalau begitu."     

"Dengar, Daisy. Kalau kamu bertanya begitu dengan maksud kamu mau meninggalkan aku, sebaiknya kamu pikirkan lagi. Karena aku nggak akan membiarkan kamu meninggalkan aku," jelasnya tiba-tiba membahas hal itu lagi.     

Aku tercengang dengan ucapannya. Apa maksud dari itu? Tidak akan membiarkanku meninggalkannya?     

Raja tiba-tiba berdiri dan meraih jasnya. "Aku berangkat sekarang," katanya. Aku mengikutinya sampai ke depan dan ia melangkah menuju mobilnya. Kemudian tiba-tiba ia berhenti dan berbalik. "Aku lupa sesuatu." Raja mencium bibirku sejenak selama sepuluh detik, kemudian melepasnya perlahan. Dan dia pun pergi begitu saja.     

Bertemu dengan Ama rasanya cocok. Walau ia tidak banyak memiliki pengalaman dalam cinta, tapi ia selalu berhasil dan benar tentang dugaan yang biasanya aku ceritakan tentang apa yang terjadi. Jadi, aku bersiap diri dan membuat janji padanya.     

Ama itu sekarang kerjanya freelance. Ia seorang marketing properti. Tugasnya hanya mencari rumah dan melisting iklan. Sekeras usahanya bekerja, ia lebih cepat dapat klien daripada temannya yang lain. Jadi, ketika ia memiliki uang lebih dari cukup, saat itulah di mana ia membagi waktunya untuk dirinya sendiri.     

Kami janjian melakukan perawatan di salon jadi aku bisa saling bercerita padanya tidak peduli jika nantinya terapis mendengar. Toh, mereka tidak mengenal seeorang yang aku ceritakan nantinya.     

"Hah? Yakin dia bilang gitu sama kamu?" tanya Ama saat aku sudah bertemu dengannya dan langsung menceritakan semuanya padanya.     

Aku mengangguk. "Aku nggak salah dengar, Ma. Itulah yang dia yang katakan."     

"Fix dia punya perasaan padamu!" katanya terus terang.     

Sejenak aku berpikir hal yang sama. Kupikir tadinya hanya aku saja yang memiliki gagasan yang sama. Tapi saat mendengar Ama, ternyata dia juga mengatakan hal yang sama. Masa Raja juga merasakan hal yang sama, sih? Tapi kenapa dia tidak mengatakan itu langsung? Biasanya ia yang langsung mengatakan sesuatu yang ia rasakan langsung. Apa yang sebenarnya ia pikirkan?     

"Perasaanmu sendiri bagaimana, Dai? Karena dari kamu kan, juga penting," tanya Ama.     

"Eh, a-aku?" aku kebingungan menjawab.     

Kami sedang menunggu masker rambut kami selesai di streamer oleh terapis. Jadi, ada beberapa hal yang terapis tidak dengar saat kami berbicara.     

Ama berdecak dan menatapku dengan gelengan kepalanya. "Jangan-jangan kamu nggak tahu sama perasaanmu sendiri seperti saat bersama Zen?"     

Tepat sekali! Itulah yang sedang aku rasakan. Kebingungan seperti halnya yang aku rasakan pada Zen. Jadi aku mengangguk dengan cengiran tanpa dosa. "Kayaknya begitu, Ma," jawabku.     

"Jangan merasakan hal ini dua kali dong, Dai. Kamu harus ngerti dan paham yang kamu rasakan. Apalagi kamu udah merasakan ini, kan?"     

"Jadi, maksudmu apa, Ama?" tanyaku. Sebenarnya aku sudah tahu apa yang akan ia katakan. Tapi sekali lagi, aku takut mengakuinya sendiri, aku takut dengan ekspektasi perasaanku sendiri. Salah-salah malu dan kecewa, jadi aku menunggu respons Ama.     

"Kamu mencintainya, Daisy. Tentu saja itu yang benar-benar kamu rasakan. Masih nggak mau mengakuinya?" katanya dengan jelas.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.