BOSSY BOSS

Chapter 113 - We Finally Met



Chapter 113 - We Finally Met

0Aku sudah berhasil melarikan diri dari Raja. Bukan karena Raja jahat padaku tapi karena aku yang menginginkan semua ini.     
0

Kehamilan ini, kehamilan yang tidak diharapkan datang lagi sepertj mimpi buruk untukku.     

Aku tidak ingin lemahnya tubuhku menghasilkan anak yang tidak kuinginkan. Aku tidak ingin menyakiti siapapun cabang bayi yang ada di rahimku.     

Semua ini terasa seperti dejavu sekaligus mimpi buruk. Kalian tahu apa yang terjadi saat aku mengandung anak Zen hingga akhirnya keguguran karena lemahnya tubuhku.     

Padahal, aku merasa saat itu aku sehat-sehat saja. Makanan dan minuman yang kuasup juga normal-normal saja. Entah kenapa alam membuatku lemah hingga aku kehilangan anak pertamaku.     

Memang, saat aku tahu aku hamil pertama itu, aku tidak siap. Benar-benar tidak siap sampai aku akhirnya menerima kehadiran janin itu karena banyak orang terdekat yang mendukungku.     

Sekarang, aku tidak ingin kehamilan ini lantas membuat Raja menikahiku. Seperti halnya Zen saat itu. Walau memang ada cinta, tapi aku tidak ingin hal ini menjadikannya menikahiku.     

Raja memang ingin menikahiku, tapi aku tidak mau dalam kondisi seperti ini. Aku juga harus memastikan janin ini hilang sebelum akhirnya aku menyakitinya dengan lemahnya tubuhku.     

Beruntung aku memiliki Ama yang selalu mendukung kemauanku. Walau ia bersikeras menahanku untuk tidak menggugurkannya, tapi aku tidak bisa mengikutinya. Tidak ada yang bisa menghentikanku.     

Lalu saat Raja menghubungiku entah keberapa kalinya, aku menjawab panggilannya. Ia pasti khawatir sekali walaupun aku meninggalkan surat untuknya.     

Suaranya yang mengharapkan aku untuk pulang membuat hatiku tersayat-sayat. Tapi aku sudah berkeras kepala dengan komitmen yang saat ini kubuat. Bahwa aku akan pulang setelah menggugurkan kandunganku.     

Panggilannya kuputuskan dan aku menangis sejadi mungkin. Ama mengusap-usap bahuku perlahan. Ia berada di sisiku saat Raja menghubungiku karena memang Ama-lah yang membuatku akhirnya menjawab panggilan Raja.     

"Kamu bisa berpikir ulang untuk ini, Dai. Ayolah, coba dulu, oke? Barangkali kamu udah nggak selemah dulu? Kita nggak tahu, kan?" bujuk Ama.     

Dia benar, tapi ini bukan permainan atau kompetisi yang harus kucoba dulu. Saat ini aku bahkan sedang sakit. Aku bisa merasakan betapa lemasnya aku. Dio, si dokter teman Raja sudah memeriksaku dan aku memang merasakan sangat lelah. Bahkan aku langsung memeriksa diriku dengan alat tes kehamilan yang menunjukkan dua garis merah.     

"Keputusanku udah bulat, Ama. Jangan coba menahanku lagi, oke?" kataku.     

"Kasihan anak itu. Kamu nggak tahu seberapa banyaknya pasangan di luar sana yang mau punya anak tapi nggak bisa, Dai."     

Aku tersentuh. Benar-benar tersentuh sampai aku kepikiran dengan pasangan-pasangan itu. Melakukan segala cara untuk bisa hamil, bahkan sampai menghabiskan uang pun mereka rela. Sementara aku… aku yang dikasih secara cuma-cuma, menginginkan dibuang begitu saja.     

Ama meninggalkanku sendirian ketika aku sama sekali tidak membalas ucapannya. Kulihat ia begitu perhatiannya padaku yang selalu semena-mena dengan keputusanku.     

"Maafkan aku, Ama. Kamu belum merasakan bagaimana beratnya menanggung ini semua," kataku saat ia sudah benar-benar pergi dari kamar.     

Ponselku kembali bergetar. Nama Ibu tercantum di depan layarku. Tapi aku tidak menjawabnya. Lalu tak lama nama Om Thomas muncul menghubungiku.     

Semua panggilan itu kudiamkan. Bahkan mode getar yang tadinya kubuat, kuganti menjadi diam.     

***     

Hari yang mendebarkan sekaligus membuatku bertanya-tanya, tiba. Aku terus menerus merasa dilema sejak ucapan Ama tentang pasangan yang ingin memiliki anak. Apakah aku benar mengambil langkah ini? Itulah yang terus muncul di benakku sampai detik ini, detik di mana aku akan melakukan pengaborsian yang legal.     

Ama mendampingiku untuk bertemu orang itu. Ia yang akan mengemudi mobilku dan aku yang menuntun arahnya. Kami sama-sama terdiam sejak malam itu. Aku sebenarnya merasa tidak enak, tapi aku punya pilihanku sendiri.     

"Sebentar ya, Dai... kita keluar jalur dari arah yang kamu bilang dulu. Aku mau ketemu sama pacarnya temanku, di nitipin sesuatu," kata Ama ketika mobil benar-benar keluar jalur.     

"Oke, nggak masalah. Memangnya dia nitipin apa?" tanyaku.     

"Hmm, entahlah. Mereka LDR, sih. Aku cuma suruh ngasih sesuatu aja buat pacarnya. Mungkin dia mau buat kejutan."     

Aku mengangguk paham dan langsung melemparkan pandanganku ke luar jendela mobil. Kejutan, ya? Rasanya saat bersama Jeremy dulu ia selalu memberiku kejutan yang cukup membuatku senang berlipat ganda. Aku jadi ingat masa-masa bersamanya walau hanya sebentar. Apa ia sekarang membenciku?     

Mobil berhenti tepat di sebuah tempat yang tidak kuketahui. Terkesan sepi dan benar-benar hanya ada beberapa mobil di parkiran ini. Ama turun dari mobilnya lalu membuka pintu mobil untukku.     

"Ayo, kamu nggak mau kan, kepanasan di dalam mobil?" tanyanya mengajak.     

"Eh, nggak apa-apa aku ikut?" tanyaku.     

"Nggak apa-apa. Dia tahu kok, aku bawa kamu."     

Aku pun lantas turun dan jalan beriringan dengan Ama. Kami memasuki lorong yang sepi. Suara langkah kami benar-benar menggema di lorong ini. Aku tidak tahu apakah ini pabrik atau apa, karena aku melihat pipa-pipa besar di atasku yang terhubung satu sama lain.     

Ama menyuruhku masuk setelahnya dan menutup pintu. Kemudian aku mendengar pintu itu terkunci dari luar. Kulihat ke belakang Ama tidak ada. Ia mengunciku dan ia berada di luar.     

Mendadak perasaanku tidak enak. Kucoba buka kenop pintu itu namun tidak bisa juga aku membukanya. "Ama! Apa-apaan ini?!" teriakku sekaligus menggedor-gedor pintu itu.     

"Daisy," suara yang tidak asing sekaligus kurindukan tiba-tiba muncul di belakangku. Aku membalikkan tubuhku dan aku terkejut. Aku pikir ini hanya halusinasi atau mimpi, tapi aku benar-benar di sini bersamanya. Bersama Raja.     

"Jangan salahkan, Ama. Salahkan aku yang merencanakan ini semua," katanya mendekat.     

Aku tidak punya tempat untuk berlindung. Pintu di belakang tubuhku sudah mengunciku dan memblokir aksesku.     

"Aku nggak ingin kamu menggugurkan kandungan itu. Aku mohon, jangan!"     

"Bukan kamu yang memutuskan, Raja!" balasku.     

"Tapi dia tanggung jawabku, tanggung jawab kita."     

Aku menggelengkan kepalaku lemah. Dengan segala cara, aku tetap mencoba tanganku membuka kenop itu sampai benar-benar bisa. Tapi aku tahu seberapa pun usaha yang kucoba, tak lantas pintu itu akan terbuka.     

"Aku nggak akan membiarkan kamu melakukannya, Daisy. Please, jangan... aku mau kamu dan anakku hidupku," ujar Raja dengan tegas.     

Perasaan ini... perasaan yang begitu kalut kini membuatku benar-benar sedih karena mendengar ucapannya. Cara bicara Raja yang benar-benar membuatku jatuh ke lantai. Aku lemas. Haruskah aku pasrah dan membiarkan anak ini berkembang dalam rahimku?     

Raja meraihku dan membuatku terduduk di sofa yang tersedia di sana. Ia berlutut di hadapanku seraya memegang tanganku. Mengecupnya berkali-kali. Aku tidak bisa melihatnya begini, memohon dengan sangat dan membuatku luluh.     

"Please, I beg you, babe," katanya.     

Aku mengusap-usap rambut Raja. Ada alirah darah yang begitu deras dan sangat menginginkannya sekarang. Sialan! Saat seperti ini saja aku masih menginginkan seks dengannya sekarang juga. Sebab aku terbiasa memegang rambutnya ketika kami bercinta, dan itu membuat hasratku semakin naik.     

"Kamu nggak akan berhenti sampai aku setuju kan, Raja?" tanyaku akhirnya.     

Raja mengangguk padaku dan ia duduk di sisiku. Mendekapku dalam pelukannya dan mengusap rambutku. Air mataku terjatuh untuk beberapa saat sampai aku menoleh ke arahnya.     

"Apa?" tanya Raja.     

Pikiran nakalku terlintas dengan kerinduan yang membuatku tersiksa. Aku tidak menjawabnya, tapi aku melepas satu persatu kancing kemejanya. Kemudian kubantu ia melepas jasnya. Seharusnya ia pasti bekerja, tapi sekarang ia di sini untukku.     

Nafas Raja ikut menderu ketika aku melepaskan kemejanya. Lalu aku pun mulai melepas dress yang kukenakan. Sekarang aku hanya memakai dalaman saja. Raja mulai menciumku tanpa kuminta. Tangan lihainya melepas kaitan braku hingga terbuka. Aku merasa ia sudah menelanjangiku dengan nasfusnya yang menggebu-gebu.     

"Kamu nggak tahu betapa aku merindukan ini, Daisy," ujarnya lirih.     

"Hmm... aku tahu. Aku juga merindukannya."     

Kecupannya yang berbunyi membuatku semakin berhasrat. Kubiarkan bibirnya menjelajahi setiap inci tubuhku. Lalu Raja membawaku ke meja dan menidurkanku di sana. Kedua kakiku berada di pundaknya dan ia mencoba memasukkan miliknya ke dalam milikku. Setelah itu ia mulai bergerak dan melebarkan kedua kakiku.     

Rasanya benar-benar nikmat berada di bawahnya dan digoyang dengannya penuh cinta. Keringat yang kulihat terjatuh dari pelipisnya membuatnya terlihat begitu tampan.     

"Kita akan cepat. Ama pasti masih di luar sana," katanya dengan erangan.     

"Hmm.. Ya," aku tidak bisa menjawab dengan normal. Jadi aku mendesah setiap kali gerakannya semakin ia percepat.     

Kegilaan ini kerap kali terjadi pada kami. Tidak peduli tempat dan waktu, selama nafsu itu tak bisa terkendali, maka kami akan bercinta saat itu juga.     

Belum puas sekali, Raja menyuruhku berbalik dan menungging. Tapi sebelumnya ia membawaku ke sofa agar aku tidak merasakan kesakitan jika berada di meja. Ia pun kembali bergerak dari belakangku. Aku tidak bisa menahan gejolak yang akan keluar. Ingin berteriak tapi Raja membekap bibirku agar tidak bersuara.     

Setelah kami selesai bercinta, sejenak kami beristirahat dan mengatur nafas. Aku memeluknya di sofa ketika kami memutuskan untuk berbaring sebentar. Rasanya begitu nyaman berada dalam dekapan Raja.     

"Ibu dan Papa bagaimana?" tanyaku padanya.     

"Mereka khawatir. Ibumu yang lebih khawatir karena kamu pernah berada di posisi ini. Tapi aku meyakinkan mereka bahwa aku akan menemukanmu, Daisy."     

"Dan, bagaimana kamu bisa tahu aku ada bersama Ama?" tanyaku penasaran.     

Raja diam sebentar. Sepertinya ia menyembunyikan sesuatu yang mana aku tidak boleh tahu. Tapi setelah itu akhirnya ia menjawab, "teman dekatmu cuma Ama. Sayangnya aku baru sadarnya telat. Dan kemudian aku menyuruhnya untuk membuatku bertemu denganmu."     

"Apa... kamu benar-benar mencintaiku, Raja?" tanyaku mengalihkan topik.     

"Apa aku kurang serius denganmu? Wanita yang menggodaku bahkan aku tolak demi kamu, Daisy."     

Kumainkan jari jemariku di dadanya. Masa lalu yang cukup buruk membuatku enggan untuk menikah. Karena saat Zen mengatakan mencintaiku, ia terus menerus bermain wanita di belakangku.     

"Aku dan dia berbeda, Daisy. Aku bukan tipikal yang akan bermain wanita di saat aku mencintai satu wanita. Jadi, jangan berpikir seperti itu," katanya seolah tahu apa yang kupikirkan. "Dan ya, aku mencintaimu. Tentu saja."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.