BOSSY BOSS

Chapter 115 - Unexpected Meeting



Chapter 115 - Unexpected Meeting

Bulan madu yang penuh dengan keindahan berhasil aku dan Raja nikmati. Tidak banyak yang bisa kuceritakan selain percintaan kami yang semakin bertambah setiap hari. Kadang aku bingung, kenapa aku bisa secinta ini dengan Raja, pun sebaliknya dengan dia. Raja... bahkan terkesan berlebihan memperlakukanku seperti ratu. Apalagi sejak kehamilan ini, rasanya si jabang bayi ini benar-benar lengket dengan Papanya.     

Menyadari masa depan dengan Raja membuatku tersenyum sendiri. Raja bahkan rutin mengantarku ke dokter kandungan sejak awal kehamilan. Terhitung setelah aku tidak jadi menggugurkan kandungan ini.     

Ada perasaan bersalah sesaat ketika kejadian ingin menggugurkan kandungan terlintas dalam benakku. Tidak seharusnya memang aku membunuh anakku sendiri. Mereka pantas hidup bagaimanapun. Kuanggap kejadian seperti kemarin adalah karena aku takut dengan masa lalu yang terulang. Sekarang, apapun yang kurasakan, aku akan menghadapinya.     

Sekembalinya ke Jakarta, Raja lebih protektif padaku. Ia mengharuskanku berada di rumah Ibu di saat ia sedang bekerja. Yah, dia selalu mengantarku lebih ke rumah Ibu, kemudian ia akan menjemputku saat pulang kerja nantinya. Aku tidak masalah mengingat aku juga tidak akan kesepian.     

Sejak itu juga, hubunganku dengan Reina semakin dekat. Usia kehamilan kami yang hampir sama walau beda dua bulan, kami lebih banyak menghabiskan waktu bersama ketika para suami bekerja.     

Hari ini aku akan pergi ke salon Ibu hamil bersamanya. Aku sempat melihat salon itu di mal saat aku bersama Ama sering mengunjungi mal. Jadi, aku dan Reina ingin mencobanya.     

Sebelum aku pergi, aku menelepon Raja untuk memberitahunya.     

"Kamu yakin kamu mau ke salon dengannya?" tanya Raja dari sana.     

Entah kenapa Raja seperti masih ragu jika aku dekat dengan Reina. Tapi memang hubungan keduanya masih terlihat dan terasa kaku ketika kami berkumpul atau tanpa sengaja bertemu.     

"Iya, aku yakin. Kamu yang bilang sendiri, Raja, harus terima masa lalu, kan?"     

Raja menghembuskan nafasnya. "Baiklah. Hubungi aku kalau terjadi sesuatu. Jangan matikan hapemu dan pastikan bateraimu terisi penuh."     

Aku tertawa kecil menanggapi tingkahnya yang seperti ini. Untungnya semua hal yang ia ingatkan padaku terlaksana penuh. Jadi aku mengangguk walau ia tidak melihat. "Siap, Bos."     

"I love you, Daisy," ucapnya.     

"I love you too."     

Panggilan kami lalu berakhir dan aku segera meraih tasku. Aku dan Reina pun pergi bersama. Jangan anggap salah satu dari kami mengemudi, ya. Para suami tidak mengizinkan kami mengemudi sampai hari kelahiran atau setidaknya sampai benar-benar diizinkan mengemudi. Sejak kehamilanku dan Reina, mereka merekrut supir pribadi untuk kami. Dan aku serta Reina tidak keberatan. Malah kami jadi geli karena dua-duanya overprotektif terhadap kami.     

"Apa Raja nggak apa-apa kamu pergi denganku?" tanya Reina tiba-tiba saat kami sudah di jalan.     

"Ya. Memangnya kenapa?"     

Reina menggeleng dengan senyumnya. "Terima kasih ya, Daisy. Berkat kamu-"     

"Reina, jangan. Aku nggak mau dengar apapun tentang itu, oke? Kita nikmati saja hari ini dan yang akan datang," potongku.     

Kenyataan mendengar rasa terima kasihnya untuk masa lalu itu masih membuatku enggan membahasnya. Baru segini saja aku jadi teringat lagi akan hal-hal yang pernah mereka lakukan walau aku tidak melihatnya. Aneh bukan, saat kalian bersama mantan kekasih suami kalian yang mana mantan kekasih suamimu itu adalah istri dari kakak suamimu? Rumit? Kalian pasti paham maksud ceritaku selama ini.     

Saat sampai mal, kami keluar bersama dan langsung menuju salon itu tanpa berkeliling. Aku dan Reina memilih pregnant spa sebagai perawatan yang akan kami lakukan. Hanya butuh sembilan puluh menit saja untuk melakukan perawatan ini.     

Aku dan Reina berpisah kamar. Karena memang satu orang satu kamar dengan satu terapis wanita, tentunya. Saat aku akan menuju kamar perawatan, aku bertemu Rosi yang saat itu akan masuk ke sebelah kamarku.     

Untuk beberapa detik kami saling pandang satu sama lain. Lalu Rosi berkedip lebih dulu dan menyapaku. "Hai, Daisy. Ka-kamu di sini?"     

"Hai," balasku. "Ya, aku juga mau perawatan.     

Jika Rosi di sini, di salon khusus Ibu hamil, artinya ia sedang hamil juga? Bukan begitu?     

"Apa kamu sedang hamil juga?" tanyanya padaku.     

Juga? Berarti benar jawaban dari pertanyaan di kepalaku. Rosi sedang hamil untuk kedua kalinya juga. Pastinya bersama Zen. Mungkin mereka sudah menikah. Tapi aku tidak pernah mendengar lagi kabar Zen di televisi. Atau mungkin mereka melakukan private wedding?     

"Dan artinya kamu juga?" tanyaku balik tanpa menjawabnya.     

"Ya. Aku hamil. Tiga bulan," jawabnya dengan wajah senang.     

Tiga bulan sejak pernikahanku. Mungkinkah saat aku melihat cincin yang tersemat di jemari mereka menandakan mereka sudah menikah? Bukan lagi tunangan?     

"Wah, sama kalau gitu," kataku dengan perasaan yang semakin senang. Aku sengaja memperlihatkan kebahagiaanku yang tanpa dibuat-buat walau aku merasa penasaran dengan ceritanya.     

Wajah Rosi terlihat terkejut. Lalu kemudian ekspresinya berubah. "Kalau begitu, aku masuk dulu, ya?" Ia langsung masuk ke kamarnya, begitupun denganku.     

Selesai perawatan, aku langsung menuju kasir untuk membayar tagihanku dengan Reina. Ia sepertinya belum selesai, jadi aku menunggu di ruang tunggu sampai benar-benar selesai.     

"Daisy," suara Rosi kembali terdengar di sampingku. Ia ikut duduk dan menatapku.     

"Eh, ada apa?" sebenarnya aku terkejut karena berpikir ia tidak akan berbicara denganku seperti ini.     

"Aku belum menikah dengan Zen, jika itu yang kamu pikirkan ketika tahu aku juga hamil. Kami hanya... bertunangan," katanya memberitahu.     

Entah bagaimana ia tahu apa yang kupikirkan dan membuatku penasaran, Rosi akhirnya memberitahuku. Sesaat aku mencerna semuanya hingga aku paham. Tapi aku tidak mengerti alasan Zen yang sebenarnya.     

"Dia... dia bilang dia tidak bisa terikat dengan seseorang lagi, selain denganmu," katanya lagi.     

Oh... hatiku sedikit mencelos mendengar ucapannya. Rosi pasti tersiksa dengan perasaannya sendiri. Berjuang sendiri ketika Zen tidak ingin menikahinya.     

"Maaf, aku tidak tahu kalau keadaannya jadi begitu," kataku begitu menyesal mendengarnya. Aku jadi ingat senyuman yang Zen tunjukkan padaku saat ia datang ke pernikahanku.     

Rosi menggelengkan kepalanya bahwa aku tidak perlu meminta maaf padanya. "Zen tetaplah Zen. Kami memang berpasangan seperti layaknya pasangan pada umumnya. Tapi... dia masih bermain wanita, di belakangku. Walau ia menganggap aku tidak tahu, tapi aku tahu semuanya."     

"Lalu untuk apa kamu bertahan?" tanyaku.     

Rosi memegang perutnya. Aku tahu, ini semua pasti karena kehamilannya. "Aku pernah menggugurkannya dan aku nggak mau kedua kalinya terulang lagi. Dan... alasan lain karena aku ingin anak ini tahu siapa Papanya dan tinggal bersama."     

Sedih rasanya mendengar Rosi menceritakan hal sedetil ini padaku. Padahal seharusnya ia tidak perlu begitu. Ia bisa mengunci penjelasan itu dan tidak usah berbagi padaku. Tapi sepertinya Rosi butuh seseorang untuk bisa mendengar ceritanya.     

"Daisy... sudah?" tiba-tiba Reina muncul dan aku mengangguk.     

Kusentuh bahu Rosi sebelum aku benar-benar pergi darinya. "Aku prihatin, Rosi. Kamu masih menyimpan nomorku jika kamu butuh seseorang untuk mendengar masalahmu. Aku... harus pergi," kataku.     

Rosi mengangguk dan wajahnya jadi menegang sesaat. Tatapannya mengarah pada pintu kaca depan salon, membuatku jadi ikut melihatnya. Ternyata Rosi datang bersama Zen. Aku mengatur nafasku senormal mungkin. Reina yang menyadari itu pun lantas memegang lenganku.     

Aku melangkah keluar bersama Reina yang harus melewati Zen. Tiba-tiba Zen memegang lenganku yang satu dan menatapku. "Aku ingin bicara," katanya yang masih terdengar bossy.     

Kutatap Reina yang menatap Zen dengan tatapan membunuh. "Aku akan baik-baik aja, Reina," kataku padanya. Reina menatapku lalu melepaskan genggamannya.     

"Aku tunggu di bangku itu," tunjuk Reina dan aku mengangguk.     

Kuperhatikan di dalam salon Rosi belum juga keluar. Sepertinya ia sengaja membiarkanku bicara dengan Zen. Aku pun mengikuti Zen yang ternyata ia mengarah ke bangku kosong seperti yang Reina duduki di jarak yang lumayan jauh.     

"Apalagi, Zen?" tanyaku padanya.     

Zen masih diam dan memperhatikanku. Matanya seakan menelanjangi tubuhku. Kenyataan kami pernah bersama membuatku tersipu. Tatapan itu benar-benar menunjukkan betapa ia masih mencintaiku.     

"Berapa usia kandunganmu?" tanyanya.     

"Tiga bulan."     

Zen menghela nafasnya. Lalu tangannya memijat-mijat pangkal hidungnya. Kuperhatikan pakaiannya yang terkesan benar-benar formal untuk berada di mal, membuatku sedikit takjub karena ia tidak berubah sedikit pun.     

"Kita pernah mendapatkan bayi itu di usia itu sebelum kamu... keguguran," katanya yang terdengar frustrasi.     

Nafasku benar-benar tercekat. Rasanya ingin menangis tapi aku tidak ingin menangis di hadapannya. Ia kembali mengingatkanku akan pahitnya keguguran di saat akhirnya aku menerima kehamilan itu.     

"Zen... cukup. Kalau kamu ingin berbicara ini, sebaiknya aku pergi," kataku mengancam.     

"Tolong, jangan. Aku benar-benar ingin bicara denganmu, Daisy."     

"Oke, maka bicaralah."     

"Aku tahu Rosi mengatakan sesuatu padamu. Dan itu sebabnya juga aku tidak melepasnya seperti saat bersama Kanya. Aku ingin anak itu, aku nggak ingin kehilangan anakku untuk kedua kalinya," jelasnya.     

"Nikahilah dia, Zen. Apa kamu nggak mencintainya lantas kamu nggak mau menikahinya?"     

"Ya, aku... tidak mencintainya. Cintaku lebih besar pada seseorang yang nggak bisa kuraih."     

Aku tidak perlu bertanya kepada siapa yang ia maksud. Tapi aku sangat kasihan terhadap Rosi. Hidupnya yang jadi berantakan karena Zen. Entah bagaimana reaksi keluarganya.     

Zen menatapku dengan senyumannya yang paling tulus. "Aku... aku hilang arah tanpamu, Daisy."     

Mataku membelalak. Bagian dalam hatiku rasanya hancur ketika ia mengatakan itu. Entah seperti apa perasaanku saat ini, tapi aku susah bernafas dengan normal. Jadi aku langsung menyandarkan tubuhku lemas.     

"Kamu baik-baik saja?" tanya Zen begitu melihat aku yang lemas. Ia tahu reaksi seperti apa yang aku tunjukkan.     

Aku mencegah diri agar ia tidak menyentuhku. "Ya, aku baik-baik saja," kataku dengan satu tangan di hadapannya untuk tidak menyentuhku.     

"Apa sudah selesai?" Reina muncul bak penjagaku. Ia memang tahu hubunganku saat bersama Zen, jadi wajar saja ia khawatir.     

Zen langsung menoleh ke arah Reina lalu kembali menoleh ke arahku. Aku segera berdiri dan menghadap Zen yang ikut berdiri juga.     

"Jaga diri dan kandunganmu, Daisy," katanya dengan matanya yang menyiratkan kesedihan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.