BOSSY BOSS

Chapter 117 - The Accident



Chapter 117 - The Accident

1Aku terbangun dari tidurku dengan mimpi buruk yang kudapatkan. Kulihat ke sisiku Raja sudah tidak ada. Sepertinya ia sedang membuat sarapan karena aku merasakan bau masakan yang menyeruak ke rongga hidung.     
0

Kubasuh wajahku dan menatap cermin. Mimpi yang membuatku terbangun masih jelas sekali kurasakan. Entah kenapa di mimpi itu ada Jeremy. Ia muncul seperti tidak pernah merasakan sakit hati karena perbuatanku, kemudian ia menjadi sosok Ayah dari anak yang kukandung. Tidak, maksudku, dari anak yang sudah kulahirkan.     

Di mimpi itu aku bisa melihat jelas bahwa anakku sudah tumbuh besar kira-kira empat tahun. Seorang laki-laki dan ia begitu dekat dengan Jeremy. Herannya, kenapa bukan Raja yang di sana? Apa yang mimpi itu coba sampaikan padaku?     

"Aku akan menjadi penggantinya, Daisy," begitulah kata Jeremy saat ia menatapku.     

Menjadi penggantinya? Maksudnya, Raja tidak ada atau bagaimana?     

"Apa maksudmu menjadi penggantinya?" akhirnya aku bertanya saat berada di mimpi itu.     

"Nanti kamu akan tahu. Aku main dulu dengan Jason, ya," balasnya sekaligus melangkah mendekat ke arah anakku. Jason. Mimpi itu jelas sekali bahwa Jeremy menyebutnya Jason yang aku sendiri bahkan tidak tahu apakah benar nanti aku akan melahirkan anak laki-laki atau perempuan?     

Kucoba menggeleng-gelengkan kepalaku dan kembali membasuh wajahku berulang kali. Jason, ya? Apakah Jeremy menginginkan nama itu kelak menjadi anaknya?     

Mimpi itu mengingatkanku kembali pada Jeremy. Apa karena cerita di antara aku dan dia belum selesai lantas aku memikirkannya? Atau, karena Jeremy sedang memikirkanku saat ini sampai akhirnya refleks aku memimpikannya?     

Aku tidak tahu sistem seperti itu. Tapi mari berharap bahwa semua memiliki niat baik.     

Saat aku keluar kamar, aku melihat Raja sedang duduk di kursi makan dengan laptop yang sedang ia pantau. Tumben sekali juga ia belum bersiap ke kantor.     

"Raja, kamu nggak ke kantor?" tanyaku.     

Raja menyuruhku mendekat dan mengecup bibirku lalu menjawab, "ya, sebentar lagi. Aku masih menyelesaikan pekerjaan ini dulu. Sarapanlah, aku sudah membuat toast untukmu."     

Aku melirik toast yang ada di piring sisi Raja untukku. Kuanggukkan kepalaku dan aku membuat susu dulu untuk Ibu hamil. Setelah itu aku membawanya ke meja makan dan mulai makan toast buatan Raja.     

"Sepertinya rencana kita ke New York bulan depan ditunda," katanya tiba-tiba.     

"Oh, oke. Nggak masalah," balasku. Aku memang tidak mempermasalahkan ke mana akan pergi bersamanya. Selama itu bersamanya, bukan hal yang harus dipikirkan untukku.     

"Kamu nggak kecewa?" tanyanya.     

Kumiringkan kepalaku dan menatapnya. "Untuk apa aku kecewa?"     

"Yah, karena nggak jadi ke luar negeri. Most women, usually get excited to go abroad," katanya menjelaskan.     

"Well, I'm kind a different woman. Jadi, aku nggak terlalu memusingkan itu selagi bersamamu, Raja."     

Raja tersenyum dan mengacak-acak rambutku. Kemudian ia menutup laptopnya dan menatapku yang sedang makan toast dengan susu yang sesekali kuteguk. "Kamu juga bersiap, ya. Aku antar ke rumah."     

"Kali ini biar aku di rumah aja, ya? Biar aku bisa istirahat lebih leluasa," pintaku memohon.     

"Aku nggak mau ada apa-apa sama kamu, Daisy." ujar Raja terlihat khawatir.     

"Please. Aku akan baik-baik saja. Kamu kan, bisa suruh supir jaga aku sekalian di rumah."     

Raja seperti memikirkan ideku walau ia pun juga sebenarnya memiliki ide itu. Raja tidak akan membiarkanku sendiri tanpa pengawasan sejak aku hamil.     

Ia menghembuskan nafasnya lalu mengangguk padaku. "Oke kalau begitu. Aku mandi dulu," katanya.     

Kuberikan senyumanku untuknya dan kembali melamun kepada mimpi yang sedari tadi masih terisi di kepalaku. Apa aku harus bertemu dengan Jeremy? Aku perlu menanyakannya, bukan? Atau kubiarkan saja dan menunggu apa yang akan terjadi ke depannya?     

Tidak, tidak sekarang, Daisy! Kalau aku sengaja bertemu dengan masa lalu, artinya aku yang menyalakan api. Biarkanlah saja sampai waktu menunjukkan kebenaran dari mimpi itu. Karena aku yakin sekali mimpi itu bermakna sesuatu.     

Setelah Raja selesai bersiap, aku terus memandanginya. Sedikitpun aku tidak mengalihkan pandanganku darinya. Kadang aku masih tidak percaya bahwa aku menikah dengan seseorang yang memperlakukanku seperti ratunya. Yang menyayangiku dan sangat mencintaiku.     

Merasa dipandangi, Raja pun menoleh kepadaku saat ia mengenakan sepatunya. "Kamu selalu memandangiku, Daisy," katanya.     

"Aku bersyukur punya kamu dan benihmu di sini," kataku seraya menunjuk pada perutku.     

Senyumnya yang tampan dan kelewatan itu mendekat padaku. Lalu ia berlutut dan mencium perutku. "Aku juga bersyukur karena akhirnya punya kamu di sisi terburukku sekalipun."     

Itu benar. Aku selalu ada di sisinya di mulai dari situasinya yang memburuk. Membuatnya berdiri dari kesedihan hingga melupakan apa itu kesakitan. Dan sekarang, ia terlihat sekali bahagia bersamaku. Tanpa dibuat-buat atau perasaan palsu.     

Aku berdiri di hadapannya dan mengalungkan kedua tanganku di lehernya. Rasanya aku tidak ingin ia pergi dari rumah untuk hari ini. Perasaanku menginginkannya untuk tetap di sini hari ini. Tapi sesuatu yang entah dari mana juga membuatku agar membiarkannya pergi.     

Kupeluk Raja seerat mungkin. Seolah ia akan pergi jauh saja, pikirku. Raja mengusap kepalaku dan punggungku. "Kamu kenapa sih, hari ini? Rasanya kayak manja banget," tanyanya berujar.     

"Entahlah. Rasanya aku nggak mau kamu pergi dan lepas hari ini," sahutku.     

"Yah, sayangnya aku ada meeting penting, Sayang. Maaf, ya?"     

"Nggak apa-apa. Manjaku juga paling bertahan beberapa menit doang," kataku.     

Raja meraih kepalaku dan melumat bibirku selama beberapa menit lamanya. Nafas kami semakin memburu ketika ciuman itu jadi lebih dalam dan intens. Sampai akhirnya Raja mencoba melepas diri karena ingat harus menuju kantor sebelum kliennya datang.     

"Aku mencintaimu," katanya seraya mengecup dahiku, kedua pipiku, hidung dan bibirku.     

"Aku juga mencintaimu, Raja," balasku dan membiarkannya pergi sampai kuantar ke depan pintu.     

Raja melambaikan tanganku saat mobilnya akan berjalan dan aku pun membalasnya. Menatap kepergiannya yang jauh hingga aku tidak melihat lagi mobilnya.     

Semoga ia baik-baik saja hari ini. Mendadak perasaanku jadi tidak enak setelah merasa aku berbeda hari ini. Aku akan menghubunginya nanti saat ia sudah sampai kantor. Tidak, aku langsung saja mengiriminya pesan dan membuatnya harus menghubungiku ketika sudah sampai kantor.     

Setelah aku mengiriminya pesan, aku menonton film yang beberapa hari lalu aku beli. Film romansa pastinya. The Best of Me, itulah judulnya. Aku tidak pernah tahu jika akhir dari film itu ternyata cukup tragis dan menyedihkan. Mendadak aku ikut menangis dan merasa ikut terpukul. Setelah itu kumatikan film itu dan aku baru sadar bahwa aku belum memeriksa ponsel selama dua jam kurang sejak film tadi terputar.     

Tidak kutemukan notifikasi pesan atau pun telepon dari Raja. Tumben sekali. Mendadak pikiranku jadi memikirkan hal yang negatif. Apa dia baik-baik saja?     

Aku terkejut ketika ponselku berbunyi dan menampilkan nama Raja di sana. Aku tersenyum dan menerima panggilan itu. Belum sempat kusapa, tiba-tiba suara asing bertanya, "apa benar ini istri dari Bapak Raja?"     

"Ya? Maaf ini siapa?" tanyaku diliputi pikiran yang tidak-tidak.     

"Kami dari Rumah Sakit Siloam ingin mengabarkan bahwa Bapak Raja mengalami kecelakaan mobil dengan truk dan..."     

Ponselku langsung terjatuh begitu mendengar kabar itu. Aku tidak lagi mendengar keseluruhannya karena aku langsung lemas tak berdaya.     

Raja... tidak mungkin ia kecelakaan. Tidak mungkin!     

Tiba-tiba air mataku terjatuh membasahi pipi dan dadaku terasa sesak. Aku benar-benar merasa tidak bisa bergerak atau terbangun dari tempatku duduk. Aku tidak memperdulikan ponselku. Panggilan yang berulang kali kudengar, membuatku sama sekali tidak bergerak.     

Keadaanku benar-benar syok. Memoriku kembali terulang kepada saat aku manja padanya hari ini. Di mulai dari mimpi sialan itu yang membuatku berpikir negatif. Lalu caraku memeluk Raja dan caranya menciumku. Bahkan caranya mengatakan perasaannya padaku serta senyuman lambaian tangannya saat ia berangkat ke kantor.     

Rasanya aku hancur dan tangisku meledak. Sampai sebuah sentuhan di pundakku membawaku dalam pelukannya. Aku tidak tahu siapa yang datang karena aku tidak melihat dan berpikir siapa mereka. Aku hanya mendengar keramaian.     

"Bawa dia …"     

"Dia syok, Raka!"     

Lalu, "kita harus segera ke rumah sakit bersamanya!"     

Suara siapa itu … untuk sementara waktu aku tidak mengenal suara mereka. Tapi aku bisa merasakan seseorang dengan tangan kuatnya mengangkatku dan membawaku ke mobil. Ya, aku bisa merasakan suasana mobil dan mesin berbunyi lalu berjalan.     

"Daisy? Ayo, lihat aku, Daisy!" suara wanita menyuruhku melihatnya, tapi aku juga tidak melihatnya. Hanya air mata yang terus menerus terjatuh.     

"Raja … kecelakaan," ujarku dengan datar.     

"Dia akan baik-baik aja! Aku mau kamu tetap berharap begitu. Raja membutuhkamu, oke?!"     

Aku seperti merasa mati suri. Tubuhku benar-benar tidak bisa bergerak. Hanya kepingan memori terakhir itu yang kuingat dalam pikiranku. Membayangkan jika Raja tidak ada, lalu bagaimana aku dan anak kami?     

"Aw!" aku langsung mengaduh ketika seseorang mencubitku. Aku langsung melihat sekelilingku. Masih di dalam mobil tapi aku melihat Reina, Ibu dan Raka di mobil ini. Aku menatap mereka satu persatu dan kemudian aku sadar.     

"Rei, Ibu, Raka... Raja... dia, dia kecelakaan!" isakku histeris.     

"Kita ke sana. Kita ke rumah sakit, oke? Kamu harus sadar saat melihat Raja, oke? Dia akan baik-baik saja," kata Reina.     

Aku tidak bisa berkata lagi selain menangis histeris. Entah kenapa aku merasa Raja tidak akan baik-baik saja. Perasaanku sedari tadi memang tidak enak, tapi aku tidak menyangka bahwa semua ini mengarah padanya.     

"Aku nggak mau kehilangan Raja, Reina!" kataku.     

"Kita nggak akan kehilangan dia. Kamu tenang, ya!"     

Tapi aku tidak bisa tenang. Saat mobil berhenti diparkiran, aku langsung keluar dan sedikit berlari menuju ruang IGD. Aku bertanya di mana Raja ditangani dan suster mengarahkanku ke tempatnya. Sayangnya aku tidak bisa melihat Raja atau menyentuhnya dari dekat. Hanya dari kaca saja aku bisa melihatnya yang terbaring dengan alat-alat medis di tubuhnya.     

Aku menangis tidak berhenti. Tanganku mencoba meraihnya dari balik kaca yang memisahkanku dengannya. Tapi percuma, aku tidak bisa menggapainya. Aku tidak ingin kehilangan seseorang yang kucintai lagi, Tuhan...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.