BOSSY BOSS

Chapter 118 - Dream



Chapter 118 - Dream

0Sebuah tangan menyentuh kedua bahuku. Aku menatapnya dan sekilas aku menangkap wajah Raja di sana. "Raja..." lirihku kepadanya.     
0

"Daisy... aku Raka," suara yang terdengar berbeda itu lantas membuatku sadar bahwa ini bukan mimpi. Memang bukan mimpi. Yang terbaring di sana adalah Raja, dan di sisiku hanya Raka yang sedang mencoba menenangkanku.     

Aku langsung memalingkan wajahku ke tempat di mana Raja sedang terbaring. Sementara ini aku tidak ingin melihat Raka dulu. Wajahnya yang benar-benar mirip dengan Raja membuatku tidak kuasa ingin memeluknya. Berharap bahwa Raka adalah Raja     

Tak lama dokter yang menangani pun keluar. Aku melihat dokter itu dan mengenalnya walau baru sehari bertemu dengannya. "Dokter Dio?" kataku tak kusangka.     

"Daisy … maaf, aku harus memberitahumu bahwa keadaan Raja sekarang benar-benar kritis. Semuanya terjadi komplikasi dan sekarang ia koma. Aku tidak tahu kejadiannya bagaimana ia bisa tidak berhati-hati sampai bertabrakan dengan truk, tapi aku melihat ini," jelas dokter Dio dan memperlihatkan ponsel Raja padaku. Ponselnya mengarah pada pesan dariku yang belum dikeluarkan. "Sepertinya dia sedang membuka ponselnya dan melihat pesanmu," tambahnya.     

Tidak! Artinya aku yang menyebabkan Raja kecelakaan? Akulah penyebabnya?     

"Akulah penyebabnya kalau begitu," kataku lirih. Aku langsung terjatuh dan Raka menahanku dan rasa lemas tubuhku saat itu juga.     

"Jangan menyalahkan dirimu, Daisy. Tentu saja bukan salahmu. Kita berharap saja semoga Raja baik-baik saja, oke? Aku mengusahakan yang terbaik yang kupunya," kata dokter Dio menenangkan.     

"Dia melihat pesanku dan aku penyebabnya kecelakaannya," ujarku datar dengan tangisan yang tak kunjung berhenti.     

Sekarang aku tidak merasakan lagi siapa yang mendekapku atau memelukku. Yang kurasakan hanya seperti tadi. Kesedihan, kesakitan dan ditambah rasa bersalah.     

Bayang-bayang Raja membuka ponselnya dan tersenyum melihat pesanku, pasti membuatnya tidak melihat jalanan hingga tidak disangka menabrak truk. Bayangan itu sangat jelas hingga membuatku berontak tak karuan. Aku berteriak histeris dengan derai air mata. Kurasakan seseorang memegang tubuhku dengan kuat untuk menahanku dari pemberontakan itu hingga rasa sakit seperti digigit semut membuatku tenang perlahan hingga aku tidak sadarkan diri.     

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku memejamkan mata. Tapi yang jelas, saat aku mencoba membangkitkan tubuhku, aku tidak bisa. Kulihat samar-samar sebuah infus terpasangan di tangan kiriku.     

"Raja..." panggilku.     

"Daisy, kamu sudah sadar?" Raja muncul dan mengusap dahiku.     

"Raja..." desisku.     

"Aku Raka, Daisy. Apa kamu baik-baik saja?"     

Lagi-lagi aku salah lagi. Harapanku melihat Raja dalam keadaan sehat sepertinya tidak terwujud dalam waktu dekat. Kembarannya, yang biasanya kukenal saja bisa membuatku lupa bahwa Raja adalah seorang kembar.     

"Aku... ingin melihatnya," kataku lirih. Aku mencoba beranjak, tapi lagi-lagi aku jatuh terbaring.     

"Jangan banyak gerak. Kamu dehidrasi dan bayimu akan melemah jika kamu berontak," nasihat Raka.     

Ah... sejenak aku lupa kalau aku sedang mengandung. Bagaimana anak kita nanti, Raja? Apa kamu akan sadar dari komamu? Apa kamu akan melihat aku melahirkan dan melihat tumbuhnya anak kita nanti? Dan... apakah nanti aku akan kuat tanpamu?     

Aku hanya diam dan tidak lagi berbicara apapun pada Raka. Sebaiknya begitu mengingat aku jadi teringat Raja yang di sampingku karena mereka kembar. Jadi aku hanya berkata pada Raka. "Tinggalkan aku, Raka. Aku hanya ingin Raja yang di sini."     

Raka sudah pasti tahu maksudku, hingga akhirnya benar-benar pergi dari hadapanku dan digantikan oleh Ibu. Beliau menatapku dengan kesedihan di matanya.     

"Bu, apakah perjalanan cintaku harus seperti ini?" tanyaku dengan suara bergetar.     

"Sssttt... Raja pasti baik-baik aja. Kamu harus kuat untuk anakmu juga, ya? Dia milikmu dan miliknya, jangan buat kehamilanmu jadi semakin lemah, Nak."     

Walau begitu, aku hanya mendengarkan. Aku tahu semua yang peduli padaku dan Raja menginginkan aku dan kandungan tetap dalam keadaan sehat. Tapi aku merasa lemah tanpanya. Apalagi aku teringat kembali apa yang menyebabkan Raja kecelakaan.     

Tiba-tiba aku jadi teringat lagi akan mimpi itu. Apakah inilah jawaban dari mimpi itu. Aku ingin bertemu dengan Jeremy. Dia pasti sudah berada di Indonesia sekarang. Aku harus bicara dengannya.     

"Bu, bisa minta tolong bilang ke Raka untuk menghubungi Jeremy?" tanyaku meminta tolong.     

"Jeremy … dia ada di sini, Nak. Apa kamu mau bertemu dengannya?"     

"Ke-kenapa dia ada di sini, Bu?" tanyaku.     

"Dia melihat berita kecelakaan besar itu dan langsung ke sini untuk melihatmu baik-baik saja. Tapi sebelumnya dia ke rumah saat kita sudah pergi. Lalu Jeremy menelepon Raka dan jadilah sekarang dia di sini," jelas Ibu.     

Segitunya Jeremy padaku padahal aku sudah menjauhinya karena rasa bersalahku. Tapi ia sama sekali tidak merasa kesal atau benci padaku. Seperti di mimpiku semalam.     

Setelah aku menyuruh Ibu untuk membiarkan Jeremy masuk, belum melihatnya saja aku sudah tahu ia akan datang. Sebenarnya wangi parfumnyalah yang membuatku sadar bahwa ia sudah akan masuk ke tiraiku berbaring.     

Jeremy muncul dengan senyumannya. Rambutnya yang lurus dengan wajah orientalnya benar-benar terlihat sendu dan nyaman jika kuperhatikan.     

"Hai, bagaimana keadaanmu?" tanyanya.     

Aku mencoba tersenyum sebisaku walau tenggorokanku tercekat karena menahan tangisan yang akan keluar. "Buruk," jawabku dengan nafas yang begitu erat. Pada akhirnya aku menangis. Air mata yang terjatuh di sudut mataku membuat Jeremy harus menyekanya.     

"Maaf, aku nggak di sampingmu saat kamu begini," ujarnya.     

Apa dia bercanda? Kenapa harus meminta maaf saat aku sadar bahwa akulah yang seharusnya minta maaf karena menyakitinya. Kenapa sih, Jeremy begitu baik denganku sampai detik ini.     

"Jason, huh?" tanyaku padanya.     

Jeremy memandangku dengan wajah terkejutnya. Sepertinya ia sadar maksudku, tapi aku tidak menyangka bahwa apa yang mimpiku tunjukkan, memperlihatkan kebenarannya.     

"Dari mana kamu tahu nama itu?" tanyanya padaku.     

"Apa kamu mau menamai anakku Jason?" jawabku dengan pertanyaan.     

Jeremy hanya diam. Tapi sejujurnya aku tahu jawabannya. Aku hanya ingin memastikan bahwa semua mimpi itu berkata benar.     

"Katakan padaku, Jer … bagaimana bisa kamu yakin kalau kamu akan menggantikan posisi Raja?" tanyaku tiba-tiba.     

"Daisy … sebaiknya jangan bahas itu dulu. Aku ingin kamu dalam keadaan sehat sambil kita menunggu Raja kembali pada kita," katanya.     

"Kamu merasakan mimpi itu juga? Atau kamu yang membuatku bermimpi itu?" tanyaku tanpa mengalihkan pembicaraan.     

Jeremy menatapku dengan pandangan yang benar-benar terkejut. "Aku nggak tahu kalau kamu mimpi itu juga, Daisy. Aku pikir, hanya aku yang bermimpi itu," jawabnya akhirnya.     

Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Jadi, sesuatu mencoba menunjukkan rencananya padaku dan Jeremy. Melalui mimpi. Rasanya konyol tapi harus kuakui bahwa Jeremy merasakan itu juga. Aku rasa dia pun bertindak sampai sekarang karena mimpi itu.     

Tiba-tiba tangan Jeremy menyentuhku. Mengusap punggung tanganku dengan dirinya yang hanya diam di sisiku. "Istirahatlah. Aku ingin semua baik-baik saja," katanya.     

"Maafkan aku," kataku.     

"Untuk apa?"     

"Melukaimu dan membuatku menjauhimu karena kesalahan yang kulakukan saat bersamamu," kataku singkat.     

Jeremy tersenyum dan mengusap puncak kepalaku. "Yang terpenting, kamu bahagia dan baik-baik saja. Aku tunggu di luar, ya. Kamu harus baik-baik saja. Demi Raja dan... Jason," katanya. Ada nada yang begitu gugup saat ia menyebut nama 'Jason'. Nama yang kelak akan menjadi nama anakku dan Raja.     

Kutatap punggungnya yang keluar dari tiraiku dan aku mulai menatap langit-langit rumah sakit. Benar kata Jeremy, aku harus kuat. Apapun hasilnya nanti, bagaimana pun sakitnya nanti, aku harus kuat.     

Aku pernah berada di titik terendah, pasti aku bisa menghadapinya sekali lagi, bukan?     

Kupejamkan mataku karena aku merasa kantuk menyergap. Aku berharap saat aku bangun nanti, Raja sudah kembali sehat dan bahkan sudah berada di hadapanku.     

***     

"Daisy..." sebuah suara panggilan yang tak asing membuatku berbalik.     

"Raja?" kataku tak percaya melihatnya. Aku tidak melihatnya seperti baru saja kecelakaan. Tidak ada alat medis yang terpasang di tubuhnya. Malah, ia kelihatan sehat dan bercahaya.     

Aku mendekat dan memeluknya. Bahkan saat aku memeluk, ia tidak merasakan kesakitan. Kutatap wajahnya dengan lekat. Wajah tampannya yang masih sama seperti terakhir aku melihatnya.     

"Aku harus pergi, Sayang. Apa kamu bisa berjanji padaku bahwa kamu akan baik-baik aja tanpaku?" katanya.     

Aku mengerutkan keningku. Baru bertemu kenapa ia akan pergi?     

"Kamu mau ke mana? Kita baru bertemu, Raja."     

"Pulang. Udah saatnya aku pulang. Kamu lihat kan, aku udah nggak merasa sakit lagi," katanya seraya merentangkan kedua tangannya dan berputar menunjukkan padaku bahwa ia sudah tidak sakit lagi.     

"Ap-apa maksudmu pulang? Kita akan pulang ke rumah, itu benar."     

"Pulang ke tempat yang seharusnya. Apa kamu bisa ikhlasin aku, Daisy?"     

Tiba-tiba aku sadar akan sesuatu. Ini mimpi. Aku berada di dunia yang kusebut mimpi. Jadi, aku sedikit mundur dari hadapannya. "Ini mimpi," lirihku.     

"Ikhlasin aku, Sayang. Kamu harus bisa menjaga anak kita setelah aku pergi. Aku tahu kamu kuat," katanya.     

Aku menggelengkan kepalaku. Mencoba mencerna kalimatnya walau aku tahu maksudnya. Aku hanya menolak bahwa aku mengerti.     

"Kamu harus kembali, ayo ikut aku!" kataku seraya mencoba menarik tangannya, namun ternyata … tembus.     

Apa? Tadi saat aku memeluknya, semua terasa jelas. Kenapa sekarang tembus? Aku pun berusaha meraihnya, tapi percuma. Lagi-lagi tanganku tembus. Kutatap Raja yang tersenyum padaku.     

"Nggak! Kamu harus kembali. Ayo! Masih ada waktu, Raja! Aku butuh kamu, anak kita butuh kamu!"     

"Ikhlas dan kuatlah, Sayang. Kamu tahu, aku selalu mencintaimu. Aku selalu ada di sisimu. Oke?"     

"Nggak... nggak, aku mohon jangan tinggalin aku! Raja, aku mohon!" aku memohon padanya sampai aku menatap langkahnya yang pergi dari arah seberangku. Menjauh sampai aku aku tidak melihatnya lagi.     

"Nggak! Raja!" tiba-tiba sadar dan terbangun dari tidurku, mataku melotot. Aku langsung beranjak dan mencabut paksa infusku dan mulai berlari ke ruang IGD.     

Di sana aku langsung melihat dokter dan suster-suster seperti sedang serius menangani Raja. Keluargaku bahkan langsung menatapku begitu melihatku, termasuk Jeremy.     

"Ada apa ini? Apa yang terjadi padanya?" tanyaku histeris pada mereka semua.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.