BOSSY BOSS

Chapter 119 - He Passed Away



Chapter 119 - He Passed Away

0Ketika semua melihatku keluar, mereka menatapku dengan wajah kesedihan mereka. Jeremy mendekat dan mencoba menenangkanku. Mataku tidak bisa berhenti menatap kaca yang memperlihatkan Raja yang entah apa dokter dan suster lakukan dengan keadaan panik juga terburu-buru.     
0

Air mataku terjatuh tapi bibirku terasa kelu. Aku tidak bisa bicara lagi selain menatap Raja. Ia masih diam dan tidak bergerak. Cincin pernikahan miliknya masih ia pakai dan memori pernikahan itu datang. Seperti mundur dan menceritakan kisah-kisah kami.     

Lalu saat aku melihat tindakan terakhir seperti tidak menunjukkan hasil, aku langsung membelalakkan mataku. Suster menutup seluruh tubuh Raja dengan selimutnya.     

"Nggak, nggak, nggak! Nggak bisa begitu!" aku langsung berlari menuju pintu IGD dan masuk dengan berlari. Tidak ada yang mencegahku. Aku kembali membuka selimut itu dan aku bisa melihat wajah luka-luka Raja dari dekat. Kuusap wajahnya secara perlahan dengan buliran air mata yang masih terjatuh.     

"Kamu nggak bisa begini, Raja. Ayo, kamu bangun! Bagaimana denganku dan anak kita? Kamu yang bikin aku mempertahankan anak kita. Ayo, bangun!" teriakku tanpa memperdulikan pasien lain.     

Aku memegang tangannya. Menggenggamnya seerat mungkin. Sayangnya aku tidak merasakan pergerakan apapun dari Raja. Bahkan tubuhnya sudah terasa dingin.     

Mimpi tadi, apakah itu tentangnya yang berpamitan padaku? Kenapa harus pergi padahal bisa saja ia kembali, bukan? Tapi, saat melihat Raja di mimpiku tadi, ia seperti bahagia dan sembuh. Dan dia ingin aku ikhlas akan kepergiannya. Bagaimana aku bisa, Raja?     

Melihatnya sekarang benar-benar kaku membuat hatiku tersayat-sayat. Kukecup keningnya dan bibirnya untuk terakhir kalinya, lalu aku menutup kembali seluruh tubuhnya. Tidak! Aku harus benar-benar kuat untuknya dan anak kami.     

Aku langsung berdiri tegak dan mengusap kedua mataku. Lalu aku keluar dengan perasaan yang benar-benar kosong.     

"Daisy," suara Jeremy memanggilku.     

Aku langsung menoleh ke arahnya. "Tolong bantu mereka urus pemakaman ya, Jer. Aku sedang ingin sendiri," kataku lalu meninggalkan semuanya juga rumah sakit.     

Sampai rumah aku merasakan kekosongan. Kulihat sekeliling rumah, jejak-jejak yang meninggalkan bekas Raja. Aku langsung terjatuh simpuh begitu saja. Rasanya aku jadi lemah lagi ketika melihat semua ini.     

Aku tidak ingin menangisi kepergiannya, ia pasti sedih. Tapi, mengingat keadaanku sekarang, rasanya aku sulit bertahan seorang diri. Maafkan aku, Raja. Izinkan aku hari ini merasa sedih untukmu.     

Namun walau begitu, sambil air mata kubiarkan terjatuh terus menerus. Aku mengemas semua barang-barang Raja di boks. Benar-benar tanpa sisa aku menyimpannya agar aku tidak lagi melihatnya dan merasa sedih.     

Sesekali aku terdiam ketika menatap foto pernikahan kami yang baru beberapa bulan ini, rasanya sesak sekali. Aku sampai harus memegang dadaku. Mengendalikan nafasku dengan susah payah.     

"Maafin aku, maafin aku!" ujarku seraya menutup wajahku dengan kesal.     

Aku terduduk lelah dan bersandar seraya memegang foto pernikahan kami yang enggan aku masukkan ke dalam boks. Rasanya berat menghapus setiap kenangan darinya. Tapi perpisahan ini menyakitkan sekali.     

Aku langsung menggelengkan kepalaku dengan cepat. Aku harus segera mengemas semua ini agar aku tidak begitu merasakan kesakitan. Tanpa sisa, tidak ada hal-hal tentang Raja di sini. Hanya kenangan-kenangan yang bisa dirasakan hati saja.     

Bahkan aku mengganti sprei kasur. Semuanya.     

Rasanya aku benar-benar jahat, tapi aku tidak ingin mengingat Raja dalam keadaan sedihku. Aku belum bisa menerima kepergiannya, hanya cara ini yang bisa memastikan aku tidak akan begitu sedih nantinya.     

"Daisy?" suara yang kukenal memanggil.     

Aku langsung menatap pintu depan dan memperlihatkan kekusutanku berbenah. Mata itu memandang seluruh ruangan ini. Boks-boks yang cukup terisi dengan barang milik Raja.     

"Aku harus... menyimpan barang-barangnya," kataku padanya dengan suara bergetar.     

Langkahnya mendekat saat aku mencoba menyibukkan diri. Kemudian tangannya menarikku dan memelukku. Aku langsung menangis hebat di sana. Memukul-mukul dadanya yang bidang dan membasahi bajunya dengan air mataku.     

"Kenapa dia? Kenapa bukan aku? Kenapa?!" ratapku sedih.     

"Ssstttt, jangan buat dia sedih, Daisy."     

Aku masih tak habis pikir bagaimana bisa laki-laki sepertinya masih baik kepadaku? Aku bahkan sudah memutuskannya dengan perasaanku yang mendua saat itu. Jeremy terlalu baik. Dan sekarang, ia mencoba menenangkanku. Ia di sini untuk memberikan ketenangan.     

Aku merasakan kepalaku diusap olehnya. Sampai aku tenang, lalu masih dalam dekapannya, ia membawaku ke sofa dan duduk di sana. Isak tangis masih terasa, hanya saja aku sudah cukup mereda.     

"Kamu mau aku yang merapikan semua ini? Sementara kamu istirahat?" tanyanya dengan lembut.     

Aku mengangguk karena aku memang merasakan lelah sekali. Jadi Jeremy membiarkanku berbaring di sofa dan ia menyelimuti tubuhku dengan jaketnya. Lalu aku tertidur begitu saja.     

***     

Pemakaman Raja telah selesai. Semua keluarga kembali ke mobil mereka masing-masing. Hanya tinggal aku seorang dan masih menatap gundukan tanah yang masih basah itu. Melihat banyaknya bunga-bunga yang ia dapatkan.     

Aku tersenyum kecut. Air mataku terjatuh lagi. Rasanya mataku seperti tidak berhenti menangis. Hidungku memerah terus dan mataku terasa perih karena tangisan ini.     

"Apa kamu di sana biak-baik aja?" tanyaku padanya.     

"Kamu bakal tetap di sampingku, kan?" tanyaku lagi.     

Getaran hebat dalam diriku terasa runtuh. Hal terakhir yang ia ucapkan tentang ia yang mencintaiku membuatku menangis sejadi mungkin.     

"Mimpi itu... kamu kan, Raja? A-aku... aku harus bagaimana tanpamu? Mungkin aku bisa kuat, tapi aku rasa aku butuh waktu lama. Maafkan aku membuatmu sedih."     

Rasanya seperti orang tolol, berbicara dengan seseorang yang bahkan sudah berada di liang kubur. Menyakitkan sekaligus terasa perih.     

Dari kejauhan aku melihat keluargaku menatapku. Mereka tentu saja merasakan sedih yang berkepanjangan seperti aku. Apalagi Raka dan Papa. Mereka sangat dekat dengan Raja dan selalu bersama sedari awal.     

"Raja... aku nggak bisa menatap Raka terlalu lama. Dia udah pasti membuatku ingat akan kamu. Maaf, ya jika nantinya mungkin aku sedikit jutek dengan Raka," kataku lalu berdiri.     

Kuhela nafasku cukup lama. Rasanya berat sekali meninggalkannya di sini sendiri. Sejenak kutatap sebentar tanah basah di hadapanku ini. "Aku akan kembali bawa bunga yang lebih segar. Oke? Aku mencintaimu, Raja."     

Aku langsung masuk ke dalam mobil tanpa menatap semua keluargaku. Lebih tepatnya mobil Jeremy. Dari awal Jeremy sudah sudi menemaniku. Ia bahkan yang datang ke mimpiku dan Raja juga mengharuskanku untuk bersama Jeremy. Tapi, tidak akan secepat itu. Aku butuh waktu, waktu yang lebih lama dari sebelumnya. Karena semuany masih terasa seperti mimpi yang sedang tidak ingin membangunkanku.     

"Apa kita ke rumah Ibumu atau-"     

"Rumahku aja, Jer. Tapi sebelumnya, apa kamu mau menemaniku makan? Aku harus sehat, kan? Itu yang Raja mau dari aku."     

"Oke. Kita makan dulu dan ya, agar Raja senang melihatmu dan bayi kalian sehat."     

Aku mencoba tersenyum setipis mungkin. Aku harus memaksakan diriku untuk tetap sehat. Hanya kehamilan inilah pemberian dari Raja. Anaknya. Aku harus sehat dan melawan kelemahanku agar bisa melahirkan anak ini.     

Seperti Jeremy cukup tahu apa yang kuinginkan saat ini. Nasi goreng Lapangan Tembak. Cukup membuatku sedikit tersenyum karena mantan kekasihku cukup tahu yang kubutuhkan. Ia langsung tersenyum begitu memarkirkan mobilnya, menatapku.     

"Ayo," ajaknya.     

Setelah kami memesan, aku mendapat panggilan dari Raka. Kuserahkan pada Jeremy agar ia saja yang menjawab panggilan darinya. Saat ini aku tidak ingin bertemu mereka semua. Kecuali Jeremy.     

"Halo," sapa Jeremy.     

"Iya, dia lagi sama gue. Lagi makan." Jeremy menatapku dengan pandangan yang benar-benar membuatku merasa aman.     

"Kayaknya dia lagi mau sendiri, Ka. Iya, dia bilang... dia lagi nggak mau ketemu sama kalian, termasuk lo," tukas Jeremy memberitahu.     

"Oke. Lo bisa percaya sama gue. Bye."     

Jeremy langsung memberikan ponselku padaku. Aku tidak ingin menanyakan apapun darinya mengenai panggilan itu karena aku tahu arah pembicaraan itu.     

Sejenak kami hanya diam. Jeremy juga masih sibuk dengan ponselnya. Aku bingung ingin berbicara apa padanya. Tidak mungkin kan, aku membahas masalah mimpi itu lagi atau masa lalu. Pasti aneh, apalagi di saat seperti ini.     

"Daisy, nanti habis makan, apa kamu keberatan kalau ikut aku sekalian ke restoranku?" tanyanya memulai pembicaraan.     

Ah, iya. Aku sempat lupa Jeremy memiliki restoran. "Aku nggak keberatan, Jer. Selama bisa sekalian menjernihkan pikiranku," jawabku.     

"Oke. Tapi kalau kamu berubah pikiran, tolong jangan memaksakan, ya? Karena kehamilanmu lebih penting."     

Aku mengangguk dan tersenyum. Semua keluargaku mungkin memang orang yang saat ini kubutuhkan, tapi Jeremy berbeda. Sepertinya dengan kehadirannya benar-benar bisa membuatku merasa nyaman dan terlindungi.     

Selesai makan, kami langsung menuju restoran Jeremy. Hanya alunan musik klasik berinstrumen yang mengisi mobil. Aku sedikit mengantuk karenanya. Apalagi jarak ke restorannya cukup jauh, jadi aku memutuskan untuk tidur sebentar.     

"Sayang... aku senang kamu akhirnya nggak sedih lagi."     

Suara ini... suara Raja. Apakah ini mimpi lagi? Aku menatap penampilan Raja yang benar-benar bercahaya di hadapanku. Ia hanya mengenakan jubah panjang dan aku tidak bisa menyentuhnya ketika aku berusaha menyentuhnya.     

"Aku memang nggak mau kamu sedih, Sayang. Jadi, jangan menangis lagi, ya? Demi aku. Demi anak kita."     

Bibirku terkatup tak bisa berbicara. Bagaimana aku tidak bisa menangis jika saat ini aku di hadapkan olehnya? Raja benar-benar kelihatan tidak terluka. Bahkan ia kelihatan sehat.     

"Jeremy laki-laki yang tepat untukmu. Mungkin kamu bisa memberikannya kesempatan lagi. Aku menjamin ini, Daisy," katanya.     

"Aku mencintaimu, Raja," akhirnya aku bisa mengatakan itu padanya.     

"Aku tahu. Aku juga mencintaimu. Tapi kamu tahu kan, kadang ada cinta yang nggak bisa kita miliki selamanya? Aku ingin kamu berjanji padaku," ucapnya.     

Bagian cinta yang tak bisa dimiliki untuk selamanya membuatku menangis. Yang dikatakannya benar karena aku merasakannya saat ini ketika kehilangannya. Aku rasa semua hal di dunia ini memang tidak bisa dimiliki dalam jangka yang lama. Semua hanya harapan sampai harapan itu musnah.     

"A-apa?" tanyaku bergetar.     

"Cintailah Jeremy seperti kamu mencintaiku. Dia akan mengerti kamu dalam hal apapun. Bukannya kamu bisa merasakannya saat ini juga?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.