BOSSY BOSS

Chapter 120 - I Ain't Strong Enough



Chapter 120 - I Ain't Strong Enough

0Aku langsung terbangun dengan perasaan terkejut. Bahkan aku merasakan keringat di sekujur tubuhku. Kutatap sebelahku dan aku sadar bahwa Jeremy masih di sisi. Aku masih di dalam mobilnya dengan AC yang menyala.     
0

"Ada apa, Daisy? Apa kamu mimpi buruk?" tanyanya.     

Aku tidak tahu apakah itu mimpi buruk atau mimpi indah. Entah kenapa di saat aku terpejam, Raja seakan hadir di mimpiku. Mengatakan sebuah informasi dan menginginkanku untuk mewujudkannya.     

"Aku rasa... ya," jawabku ragu.     

Jeremy memberikan sebotol air mineral padaku. "Minumlah. Hmm, apa kamu mau ikut turun atau di sini aja?" tanyanya.     

Kutatap sekeliling dan ternyata kami sudah sampai di restorannya. Sepertinya aku tidur cukup lama sampai Jeremy menungguku terbangun. "Ya, aku ikut turun aja," kataku.     

Aku dan Jeremy turun dari mobil dan pandanganku sedikit kabur karena seperti lama tidak berdiri. Jeremy memapahku hingga tangannya menggandeng tanganku.     

Kesempatan, ya? Di saat seperti ini bisa-bisanya Raja membuatku berjanji untuk memberi kesempatan pada Jeremy. Aku sudah menyakiti Jeremy terlalu dalam. Aku tidak ingin menyakitinya lebih lagi dari kemarin.     

"Tunggu di sini, ya. Kamu bisa pesan yang kamu mau dulu," katanya padaku.     

Aku membiarkan Jeremy pergi untuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai pemilik restoran ini. Sepertinya ia semakin sukses sekarang. Terakhir kali aku ke sini, masih begitu sepi dengan bangunan seadanya. Sekarang, aku bisa melihat beberapa tambahan bangun. Bahkan ada live music-nya.     

Ponselku kembali berdering. Lagi-lagi Raka menghubungiku. Kulihat ke arah Jeremy yang masih sibuk dengan para karyawannya, aku pun hanya mendiamkan ponselku sampai deringannya berhenti. Lalu setelah berhenti aku mematikan ponselku.     

Seperti dejavu, aku pernah di posisi ini. Menunggu Jeremy saat ia sedang melakukan pekerjaannya sebagai pemilik di sini. Tapi itu seperti sudah lama sekali.     

"Maaf lama, ya? Apa kita mau langsung pulang atau apa yang mau kamu lakukan?" tanya Jeremy begitu perhatian.     

"Kita di sini sebentar dulu ya, Jer," kataku.     

Jeremy mengangguk dan setelah itu ponselnya berdering. Ia langsung menatapku dan aku sudah bisa menebak siapa yang menghubunginya.     

"Aku jawab dulu, ya."     

Jeremy pergi agak menjauh dariku karena aku memang tidak ingin mendengar apapun dari yang meneleponnya. Itu pasti Raka. Ia memang mencemaskanku, tapi aku tidak ingin siapapun dari mereka mencari-cariku.     

Tak lama Jeremy kembali dan duduk di sisiku. "Sampai kapan kamu akan menghindar dari mereka?" tanya Jeremy.     

Kukedikkan bahuku sebagai ekspresi. "Aku masih butuh waktu, Jer. Apalagi Raka mirip sekali dengannya."     

"Tapi jangan sampai berlarut, ya. Aku akan tetap di sini untukmu," katanya dengan lembut.     

***     

Aku tahu Daisy tidak ingin menatapku atau berhubungan denganku sejak kematian Raja. Tapi tidak seharusnya ia begini. Apalagi ia sedang hamil sekarang. Seharusnya ia mengesampingkan egonya. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada kehamilannya?     

Walau pun Jeremy ada bersamanya, aku tidak bisa untuk tidak khawatir tentang Daisy. Ibu, Papa, dan Reina menyuruhku membiarkan Daisy begitu dulu untuk sementara waktu. Mereka nantinya yang akan memantau Daisy untukku.     

Sial! Secara tidak langsung aku menyakiti Daisy juga artinya. Dengan wajah kembarku yang seperti Raja, pasti membuatnya terasa sedih setiap waktu.     

Sepertinya aku memang harus memberikannya waktu sampai ia benar-benar bisa menatapku atau berbicara padaku.     

Tentang Raja... aku masih tidak menyangka bahwa saudara kembarku akan pergi seperti ini. Meninggalkan istrinya yang sedang mengandung anaknya. Apalagi mereka baru menikah. Sangat disayangkan sekali bagi mereka. Terutama bagi Daisy. Kehilangan baginya pasti sangat menyakitinya.     

Semua merasa kehilangan. Tapi tidak ada yang merasa sesedih Daisy. Ia benar-benar terpukul sampai saat ini. Tidak ingin bertemu dengan kami semua. Sampai akhirnya Jeremy-lah yang akan jadi penghubung bagi kami.     

Papa masih terkejut dan diam. Beliaulah yang paling dekat dengan Raja. Saat ini beliau juga ingin menyendiri. Semua rumah terasa sepi tanpa Raja. Memang ia tidak tinggal bersama kami, tapi kepergiannya yang untuk selamanya itu membuat seluruh ruang di rumah ini terasa kosong.     

Aku bahkan tidak memiliki kenangan terakhir bersama Raja. Ia benar-benar koma sampai mengembuskan nafasnya untuk yang terakhir kalinya.     

Beginikah rasanya kehilangan saudara kembar? Jantungku rasanya sakit setiap kali berdenyut.     

Saat di pemakaman tadi, aku bisa melihat sorotan dingin dari mata Daisy padaku. Sebenarnya dari situ aku sudah paham maksud dari sorotan itu. Ia tidak ingin melihatku yang mana adalah kembaran suaminya. Tapi bahkan sampai saat tadi saja aku berusaha tetap menghubunginya.     

Kulihat Reina yang tertidur karena kelelahan. Ia beruntung aku masih ada di saat masa-masa kehamilannya. Aku tidak bisa membayangkan Daisy yang hanya seorang diri sekarang. Berjuang di masa kehamilannya tanpa Raja. Apalagi ia sedang lemah dalam kehamilannya juga.     

"Raja, gue akan menjaga Daisy seperti lo menjaganya," kataku pada awan-awan yang kutatap dari balkon.     

***     

Sampai rumah aku langsung merebahkan diri di sofa. Jeremy pamit pulang karena ingin membiarkanku sendiri. Aku tidak masalah dan memang itulah yang kuinginkan. Hanya saja Jeremy katanya akan kembali nanti malam untuk makan malam. Ia ingin memastikan aku tetap ternutrisi dengan asupan makan dan minumku.     

Aku sudah mengunci pintu rapat-rapat. Sekarang aku benar-benar sendiri. Suasana begitu hening. Kutatap langit-langit ruang tamu yang putih itu, berharap Raja muncul di sana. Katanya ia akan tetap di sampingku, bukan?     

Kunyalakan ponselku dan aku mendapatkan banyak pesan dari semua orang yang berbelasungkawa. Raka lebih banyak mengirimiku pesan. Pesan-pesannya mengatakan bahwa ia khawatir padaku. Yah, hanya seperti itu.     

Kutaruh ponselku dan aku langsung menatap dapur. Biasanya Raja di sana memasak sesuatu untukku. Aku berdiri dan melangkah terseok-seok ke arah dapur. Meraba setiap sudutnya dengan tangan gemetar. Bahkan tadi ia sempat membuatkanku sarapan.     

Tetesan air mata ini kembali terjatuh. Sekarang katakan padaku, Raja. Bagaimana bisa aku mencintai laki-laki lain di saat hatiku seperti ini padamu? Mengikhlaskan pun sulit.     

Memori-memori tentangnya dan aku kembali begitu saja...     

"Nanti setelah anak kita empat tahun, kita buatin adik ya, buat dia," katanya saat malam kami sedang mengobrol setelah bercinta.     

Aku tertawa saat itu. "Satu aja, ah, Raja."     

"Dua anak lebih baik, Sayang," timpalnya.     

Kenangan obrolan itu mencekikku secara perlahan. Aku bahkan terbaring memeluk diriku sendiri di lantai dapur.     

"Aku mencintaimu lebih dari mantan-mantanmu," katany padaku saat itu.     

"Aku juga mencintaimu. Lebih dari wanita yang sekadar hanya ingin tidur denganmu."     

Raja menggelitikiku dengan tangannya hingga aku tertawa terpingkal-pingkal. Lalu ia menatap mataku dengan matanya yang tajam bagai elang. "Apa yang udah kamu perbuat padaku, Daisy?" tanyanya.     

Aku menangis sejadi mungkin mengingat kenangan itu. Aku tidak tahu apa yang aku perbuat padamu sampai kamu begitu mencintaiku. Dan aku juga ingin bertanya hal yang sama, kenapa aku bisa mencintaimu begitu dengan sangat?     

Hal yang tidak kurasakan lagi adalah ketika semua pandanganku gelap gulita dan aku benar-benar tidak sadarkan diri.     

Perlahan mataku terbuka, tapi aku tidak bisa membukanya lebih lebar. Aku hanya mendengar sedikit kegaduhan di sekelilingku. Aku tidak tahu suara siapa itu. Tapi yang jelas aku hanya merasa lemas dan tidak bisa membuka keseluruhan mataku.     

"Bagaimana bisa ini? Astaga!"     

"Daisy? Kamu sudah bangun?"     

Suara siapa itu? Aku merasakan sentuhan di puncak kepalaku. Aku juga merasakan sesuatu yang dingin berada di dahiku.     

"Dia demam, Raka!"     

Apa? Raka? Raka di sini? Lalu suara siapa yang barusan itu?     

"Kenapa lo ninggalin dia, Jer!"     

Uh-oh. Jadi ada Jeremy di sini? Kenapa rasanya aku tidak bisa membuka mataku. Rasanya kedua mataku ikut lemas juga.     

"Gue nggak tahu kalau keadaannya bakal begini! Sialan!"     

Aku melenguh. Ya, aku bisa merasakan lenguhan sakitku. Sakit yang kurasakan di setiap tubuhku.     

"Daisy? Kamu sadar?"     

Aku tahu yang barusan itu suara Jeremy. Ia terdengar panik sekali. Sepertinya aku membuat semua orang panik. Langkah kaki mereka juga bukan hanya dua orang. Tapi ada beberapa yang sepertinya tidak ikut berbicara.     

"Raja..." aku memanggil nama Raja.     

Kenapa kali ini Raja tidak hadir dalam tidurku? Apa karena aku sakit jadi dia tidak datang ke mimpiku? Apakah ia sedang mengancamku secara tidak langsung?     

"Raja," sekali lagi aku memanggil.     

"Daisy... ini Jeremy. Kamu sedang demam," suara Jeremy terdengar jelas di telingaku. Sepertinya ia sedang mengompresku. Itu sebabnya aku merasakan sesuatu yang dingin di dahiku.     

Tangannya memegang tanganku. Genggamannya begitu erat hingga aku bisa membalas genggamannya.     

"Apa dokter sudah datang?" tanya Raka entah pada siapa.     

"Sudah!" Itu suara Reina.     

Ah, Reina... wanita itu, apa dia merasakan kehilangan Raja juga seperti aku? Apakah ia menangisi Raja dengan sangat? Aku tidak melihat mereka semua sejak aku menghindar dari mereka.     

Mataku masih sulit terbuka. Tapi aku bisa merasakan kegelisahan dalam kesakitanku. Ketika sebuah benda dingin menempel di bagian dadaku juga perutku, aku yakin sekali ini adalah dokter yang tadi Raka sebut-sebut. Aku sedang diperiksanya.     

"Ini demam. Demam pada Ibu hamil jangan disepelekan. Beruntunglah kalian memanggil saja selaku dokter kandungan Ibu Daisy," kata dokter itu berucap.     

Sepertinya ini dokter Margaret.     

"Bu, Daisy... jika Ibu mendengar saya, ayo, coba buka matanya perlahan, ya..." perintah beliau.     

Aku sedang mengusahakan diriku untuk membuka mataku. Tapi aku seperti susah untuk membukanya. Bagian diriku menginginkan aku untuk tetap tidur selama beberapa waktu. Tapi seharusnya hal ini tidak bisa dibiarkan.     

Akhirnya dengan susah payah, aku berhasil membuka mataku. Pandangan yang cukup kabur dan rasanya aneh menyelimuti sekitarku. Aku mengerjap dan menatap semua orang.     

Ada Jeremy, Raka dan Reina. Sepertinya Ibu dan Papa tidak ikut. Tidak masalah, aku juga tidak ingin membuat mereka khawatir melihatku.     

Reaksi semuanya terlihat lega begitu melihatku membuka mata. "Raja... di mana... dia?" tanyaku pada mereka.     

Aku memang belum sepenuhnya sadar. Sehingga aku merasakan ketidakhadiran Raja di sisiku. Sampai diamnya mereka membuatku tersadar. Aku sedang bergurau.     

"Ah, maaf..." kataku mencoba tertawa paksa. "Aku baru ingat bahwa aku seorang istri yang sedang hamil yang ditinggal suaminya meninggal," tambahku dengan nada getar yang dahsyat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.