BOSSY BOSS

Chapter 121 - A Month Without Him



Chapter 121 - A Month Without Him

0Sebulan berlalu. Sebulan tanpanya membuatku benar-benar harus terus menerus menghembuskan nafas. Aku masih sering menangis, tapi tidak seperti saat awal-awal. Aku juga masih lemah dan terkadang merasa kelelahan sendiri. Lalu aku mencoba bangkit. Melanjutkan posisi Raja di kantornya. Siang malam aku terus menerus belajar tentang kontraktor. Walau susah, tapi lama-lama aku cukup paham.     
0

Raka awalnya terkejut karena aku menggantikan posisi Raja. Tapi aku meyakinkan semua keluarga bahwa aku bisa. Yah, hubunganku dengan keluarga sudah kembali normal. Hanya saja aku masih sering ingin menyendiri atau setidaknya tidak terlalu ketemu mereka.     

Aku mencoba mencari suasana sesibuk mungkin. Aku tidak ingin menghabiskan setiap detik berada di satu tempat yang membuatku terus menerus mengingat Raja.     

Biasanya siang saat jam istirahat kantor, aku makan di luar. Kadang sendiri, bersama Ama, atau Jeremy. Ya, Jeremy masih setia di sisiku. Ia terlalu sering menawari diri untuk membantu atau menemaniku. Seperti saat ini, dia ingin aku makan siang dengannya di saat jam rumah sakitnya juga sedang istirahat. Aku tidak masalah selama itu hal yang baik bagiku.     

Saat Jeremy sudah menjemputku, aku keluar kantor. Namun Raka menghentikan langkahku hingga membuatku harus berbalik menatapnya.     

"Daisy, kamu mau ke mana?" tanyanya.     

Sebelum aku berbicara dengannya, sekarang ada ritual yang harus kulakukan. Menghembuskan nafas. Mengingat wajahnya yang mirip sekali dengan Raja, kadang membuatku lupa bahwa di hadapanku ini adalah Raka.     

"Makan siang. Sama Jeremy," jawabku kemudian.     

Mata Raka menatap ke arah mobil Jeremy yang sudah ia kenali. Dari kejauhan Jeremy melambai padanya dan Raka pun membalasnya.     

"Oh, oke. Tadinya aku mau ajak kamu makan siang bersama Reina, tapi ya sudah kalau kamu sudah ada janji dengan Jeremy," katanya.     

"Oke. Aku duluan," balasku tanpa membahasnya lebih jauh.     

Aku langsung berbalik tanpa senyuman sejak berbicara dengan Raka. Makan siang bersamanya dan Reina? Dia pikir aku akan baik-baik saja, begitu? Beruntunglah aku bukan seorang yang mudah marah secara terang-terangan. Tapi aku yakin dan paham maksud Raka, ia ingin menemaniku. Tapi sayangnya aku tidak butuh bantuan darinya.     

"Hei," sapaku pada Jeremy.     

Kami saling berciuman pipi kanan dan kiri. Sesuatu yang sudah lama menjadi rutinitas kami. Jeremy tersenyum padaku dan menutup pintu sisinya untukku ketika aku sudah masuk.     

"Tadi itu, Raka kenapa?" tanyanya saat mobil sudah berjalan.     

"Dia berniat ajak aku makan siang dengan Reina," jawabku datar.     

"Oh, oke kalau begitu. Bagaimana kandunganmu? Apa kamu merasa oke?" Jeremy tahu bahwa aku tidak ingin membahas tentang Raja ataupun Reina lebih jauh. Apalagi ketika ia mendengar bagian tadi, sudah pasti itu akan membuat diriku merasa tidak baik-baik saja.     

Aku mengangguk padanya bahwa aku dan kandunganku merasa baik-baik saja. Perutku sedikit terlihat lebih besar. Membuatku harus mengenakan dress kantoran yang terasa aneh di tubuhku. Tapi aku menikmatinya dan rasanya menyenangkan bisa bekerja di kantor demi Raja.     

Tiba-tiba aku menangkap mata Jeremy yang memperhatikan jari manisku. Aku memang sudah tidak mengenakan cincin pernikahanku. Aku sengaja melepasnya karena akan terasa menyakitkan ketika aku hidup sendiri tanpa suami dan ayah dari anakku.     

"Aku melepasnya, kalau itu yang kamu pandangi," kataku memecah keheningan.     

Jeremy terkejut karena aku tahu apa yang ia lihat barusan, tapi aku hanya tersenyum padanya.     

"Maaf, rasanya aneh saat melihat kamu tanpa cincin," tuturnya.     

Yah, aku tahu. Jangankan ia yang melihat, aku sendiri saja masih belum terbiasa dengan jari manisku yang tanpa cincin. Tapi ini semua demi kesehatan mentalku. Cincin dan kalung pemberian Raja, semua barang yang berhubungan dengannya, aku simpan rapat-rapat.     

"Aku tahu. Tapi aku harus melepasnya, Jer."     

"Itu hakmu, Daisy. Kamu mau memakainya atau melepasnya, itu hakmu," katanya mengulang dengan penjelasan yang singkat.     

"Omong-omong, kenapa kita nggak sekalian ke salon? Rambutmu cukup panjang, kelihatannya," timpalku memperhatikan rambutnya yang memang sudah sedikit panjang.     

Walau Jeremy mengenakan gel rambut, tapi aku bisa melihat bagaimana rambut itu sedikit lebih panjang dan lebat di kepalanya. Ia pun memperhatikan dirinya di kaca mobil yang ia hadapkan ke kepalanya.     

"Ya, kamu benar. Memang sudah panjang. Kamu mau aku potong rambut sekarang atau setelah makan?"     

"Biar lebih enak dipandang dan efisien, sebaiknya potong rambut dulu," ujarku memberi masukan.     

"Oke. As you wish."     

Mobil berhenti di salon laki-laki langganan Jeremy. Aku cukup mengenal salon ini karena semasa pendekatan dengan Jeremy, ia sering mengajakku ke salon ini. Dan pastinya barbernya cukup mengenal kami. Karena kami sering mengobrol dengannya. Namanya Doni.     

Saat masuk ke dalam, udara AC yang segar menyelimuti tubuhku. Aku merasa sangat adem berada di AC dengan suhu yang rendah. Jadi aku duduk di sofa seraya menunggu Jeremy selesai potong rambut.     

"Jadi, dia udah hamil, huh?" tanya Doni pada Jeremy.     

Aku melirik sekilas ketika aku sedang melihat-lihat majalah. Saat itu tatapan Jeremy bertemu dengan mataku yang meliriknya. Mendengar pertanyaan Doni yang membuatku geli. Jeremy seolah tidak memiliki jawaban yang pasti.     

"Nikah nggak undang-undang ya, lo!" timpal Doni lagi. Padahal pertanyaan sebelumnya saja belum Jeremy jawab.     

"Atau jangan-jangan... lo belum nikah tapi udah hamilin dia? Astaga!"     

Aku tersenyum sendiri. Jeremy mencoba menghembuskan nafasnya karena menahan malu. Tentu saja ia malu padaku. Tapi aku penasaran juga, jawaban apa yang akan ia katakan pada si Doni itu.     

"Sialan, lo! Gue udah nikah sama dia," katanya dengan tenang.     

Mendadak aku terkejut dan diam. Aku pikir ia akan menjawab hal lain selain itu. Pantas saja Jeremy terlihat sangat malu padaku karena jawaban yang ia lontarkan adalah hal yang mengejutkanku.     

"Nggak pakai cincin?" tanyanya.     

"Hemat. Nikah gue sama Daisy hemat, jadi nggak pakai cincin. Cukup bukti nikah aja," jawab Jeremy sekenanya.     

Setelah potong rambut, kami keluar dari salon itu dengan diam. Jeremy belum mengajakku bicara sampai kami berhenti di rumah makan padang.     

"Maaf ya soal tadi, aku harus berbohong. Biar Doni nggak tanya banyak hal lagi," katanya mulai bicara padaku.     

'"Ya, aku tahu. Nggak masalah kok, Jer."     

"Kamu yakin? Aku nggak mau bikin kamu nyaman, jadi-"     

"Aku baik-baik aja, Jeremy. Sungguh. Malah, aku cukup terhibur, kok," potongku.     

Sepertinya sejak kematian Raja, banyak orang yang benar-benar minta maaf padaku atas hal kecil yang mereka lakukan dan menurut mereka menyinggungku. Padahal sebenarnya aku bahkan tidak masalah. Dan, banyak yang berpikir bahwa aku seorang Ibu hamil yang sangat sensitif.     

Aku tidak tahu perubahan apa yang terjadi padaku selain perutku yang membuncit ini. Aku merasakan aku sangat seperti diriku seperti biasanya. Malah, yang aku rasakan hanya beban di perutku saja yang setiap bulannya membesar.     

Dokter Margaret mengatakan kandunganku baik-baik saja dan memang tidak rewel. Bahkan aku tidak merasakan apa itu mengidam atau menginginkan sesuatu berdasarkan yang si bayi minta. Tidak ada sama sekali. Aku tidak merasakan itu.     

Kuusap perutku karena pikiranku tiba-tiba tertuju pada pikiran bahwa anakku sepertinya seorang yang mandiri dan mengerti keadaan Mamanya.     

***     

Saat sampai rumah, aku kembali menjadi seorang yang sendiri. Rutinitasku hanya merapikan rumah sepulang kantor, memasak sesuatu untuk besok, lalu beristirahat. Aku masih mengendarai mobilku sejak kepergian Raja. Sudah tidak ada lagi larangan darinya kecuali Raka. Tapi aku tidak mempedulikan ucapan Raka. Walau ia melarangku untuk tidak usah mengendarai mobil, tapi aku tidak mendengarkannya. Aku tetap melanggaran aturannya karena ia bukanlah suamiku.     

Hal yang kurasakan saat berada di rumah adalah kehampaan. Suara televisi boleh menyala, tapi suara hati rasanya masih sangat kosong.     

Aku merindukan Raja di saat-saat seperti ini. Apalagi kenangan-kenangan kami bercinta di setiap sudut rumah ini membuatku gagal bangkit. Gairah yang kami lakukan di rumah ini masih terasa nyata. Sayangnya, sekarang hanya aku yang merasakannya seorang.     

Bayangan jika suatu saat nanti anakku tumbuh besar dan mulai menanyakan Papanya, aku semakin takut. Padahal bisa saja aku mengatakan bahwa Papanya meninggal karena kecelakaan mobil, yah, sesuai fakta. Tapi aku merasa aku tak mampu. Sekarang saja aku merasa masih sangat rapuh walau sebulan tanpanya telah berlalu.     

"Aw!" tiba-tiba perutku bereaksi. Aku tidak tahu apa itu. Tapi rasanya menyakitkan. Aku sampai memegang sisi perutku.     

"Aduh!" sekali lagi aku berteriak karena tidak kuasa menahan sakit ini.     

Aku melangkah merangsek ke ponselku yang ada di ruang tamu. Dengan susah payah dan langakh terseok-seok, akhirnya aku mendapatkan ponselku. Kuhubungi Jeremy karena hanya dia yang bisa kuandalkan, hingga sambunganku terjawab.     

"Jeremy... tolong," kataku tidak tahan.     

"Daisy? Ada apa? Ada apa?" Nadanya terdengar khawatir. "Aku segera ke sana!"     

Aku tidak mematikan panggilanku. Kubiarkan tetap menyala sampai ia datang. Tapi aku terus menerus berteriak sampai aku merasakan sesuatu mengalir menuju pahaku.     

Darah. Seketika aku langsung melemas dan aku hilang dalam kesadaranaku.     

Bau khas obat-obatan dan cahaya putih ketika aku mencoba membuka mataku, membuatku bertanya apa yang terjadi. Tapi tanpa menunggu jawaban, aku sudah paham bahwa sekarang aku berada di rumah sakit. Tanganku diinfus dan aku menatap ke arah kananku Jeremy sedang tertidur dengan tanganku ia genggam.     

Bagaimana kandunganku? Apa ia tidak apa-apa? Karena aku tadi merasakan darah keluar dan aku mulai berpikir negatif. Aku tidak ingin kehilangan anakku.     

"Daisy, akhirnya kamu sadar." Suara Raka muncul dari pintu, diikuti oleh Reina dan Ibu juga Papa. Jeremy pun langsung terbangun di sisiku. Sepertinya Jeremy memberitahu mereka tentang keadaanku.     

"Kalian di sini," kataku yang lebih kepada pernyataan.     

"Apa kamu baik-baik aja sekarang?" tanya Ibu.     

"Apa yang dokter bilang tentang kandunganku?"     

"Kamu dan anakmu baik-baik aja, Daisy. Hanya saja kamu nggak boleh banyak pikiran. Karena ketika kamu banyak pikiran, pikiran stres itu membuat anakmu berkontraksi hebat," Jeremy menjelaskan padaku dengan lembut.     

Aku tidak tahu jika pikiran-pikiran yang sedari tadi aku pikirkan membuat anakku ikut stres. Aku... masih terlalu dini dengan semua ini. Pengetahuanku minim sekali.     

Melihat Reina dalam keadaan baik-baik saja dan sehat, tiba-tiba pikiran iri menyelimutiku. Ia tidak merasakan apa yang kurasakan. "Aku hanya ingin bersama Jeremy," kataku memberitahu mereka seolah mengusir mereka secara halus.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.