BOSSY BOSS

Chapter 122 - Still Into You



Chapter 122 - Still Into You

0Aku bisa melihat bagaimana Reina menangkap maksud tatapanku. Tidak peduli bagaimana aku bisa kesal padanya. Yang pasti, aku iri melihatnya. Itulah kenapa aku lebih memilih menjauh dari Raka maupun Reina. Mereka lengkap sementara aku tidak.     
0

Akhirnya mereka benar-benar keluar walau dengan wajah sedih di ekspresi mereka. Aku membuang wajahku tepat ke arah sebelah Jeremy.     

"Jer, jaga dia," timpal Raka.     

Jeremy mengangguk. Kuperhatikan penampilan Jeremy, sepertinya ia habis melakukan pertemuan atau semacamnya. Terlihat ia sekarang hanya mengenakan kemeja panjang dengan lengan ia gulung dan dasi yang sudah ia kendurkan.     

"Kamu habis apa, Jeremy? Apa kamu meeting dengan seseorang?" tanyaku.     

"Ah, ya. Aku habis meeting dengan seseorang yang mau menyewa restoran seharian untuk acara mereka. Sepertinya acara ulang tahun," katanya memberitahu.     

"Artinya aku mengganggumu?" tanyaku.     

Jeremy menggeleng dan tersenyum padaku. "Nggak, Dai. Tadi aku baru saja selesai. Untungnya. Kalau pun saat masih dengan klien, aku akan tetap mengutamakan kamu."     

Aku tersenyum dan mengatur posisi duduk. Walau rasanya masih sakit, tapi aku bisa menahannya. Sepertinya aku akan berada di rumah sakit dalam beberapa waktu lamanya.     

"Oh ya, Jer, apa kamu masih menyimpan cincin yang saat itu kamu lamar aku?" tanyaku tiba-tiba.     

Entah pikiran dari mana, aku ingin tahu bagaimana nasib cincin itu.     

Jeremy menatapku selama beberapa detik. Pasti ia tidak berpikir aku akan bertanya sampai sana. Aku saja heran. Sebenarnya juga agar ada pembahasan. Menyelesaikan yang harus diselesaikan.     

"Ada apa, Daisy? Kenapa kamu tanya tentang cincin itu?" tanyanya.     

"Apa bisa kamu menyematkannya lagi di jariku?" tanyaku.     

"Daisy..."     

"Apa cincinnya masih ada?" tanyaku sekali lagi.     

Jeremya berdeham seperti akan mengatur suaranya. Lalu ia menatapku dengan lekat dan tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari kantungnya.     

Tempat cincin itu tinggal. Aku terkejut karena ternyata Jeremy membawanya. Aku tidak tahu apakah setiap hari ia membawanya atau hanya pada saat sekarang ini tanpa sengaja.     

Jeremy membuka tempat itu dan mengarahkannya padaku. Pandangannya tertuju pada cincin itu lalu kembali padaku. "Aku selalu membawa cincin itu di saku celanaku, Dai. Bukan karena sekarang, tapi sejak kamu mengembalikannya."     

Oh, hatiku tersentuh. Aku sampai merasakan ada air mata yang basah di pipiku. Sepertinya luka yang dialami Jeremy begitu dalam. Aku bahkan tidak tahu bagaimana perasaannya saat itu dan sekarang.     

Dulu, dengan keegoisanku, aku mengembalikan cincin itu. Lalu sekarang dengan tiba-tiba aku memintanya lagi. Memang dari dulu aku ini tipikal yang tidak tahu malu sekali.     

Jeremy meraih tanganku dan kemudian ia menyematkan cincin itu di jari manisku. Ia tersenyum menatap tanganku. Dan aku pun secara langsung juga ikut tersenyum untuknya.     

"Aku nggak tahu makna cincin ini sekarang. Tapi aku mau kamu bahagia ketika kamu meminta ini," katanya tersenyum dan menyeka air mataku.     

Jeremy lalu membiarkanku tidur sementara dirinya akan membeli kopi di kantin. Aku memejamkan mataku sampai akhirnya aku membukanya kembali saat setelah memastikan ia sudah pergi.     

Kuperhatikan cincin yang sekarang tersemat di jari manisku. Cincin ini pernah di jari manisku dulu saat aku ke Thailand untuk memberikannya kejutan. Kami bercinta setelah aku menyatakan perasaanku. Lalu sebelum itu ia melamarku dengan cincin ini. Hingga sekarang, Jeremy seperti menungguku. Ia setia berada di sisi untukku.     

Akhirnya aku merasa kantuk mengundangku. Sangat mengantuk sampai-sampai aku tertidur sendiri.     

"Senang melihatmu akhirnya memberikan kesempatan untuk Jeremy." Tiba-tiba suara yang sudah lama tidak kudengar muncul.     

Aku menatapnya dengan pandanganku yang berkaca-kaca. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan ini walau sejak terakhir aku melihatnya di mimpi, ia tidak muncul lagi sampai saat ini ia muncul kembali.     

"Aku... belum memberikannya kesempatan," kataku dengan pasti.     

"Tapi kamu memakai cincin itu," katanya dengan senyuman.     

Kulihat cincin yang tersemat di jari manisku, rasanya seperti nyata sekali berada di sini dengan Raja. Berbicara dengannya seolah ia belum meninggal.     

"Aku hanya ingin memakainya," ucapku membenarkan.     

Raja hanya tersenyum dan menatapku dengan wajah yang penuh cinta. Oh, aku merindukan wajah itu. Tidak bisakah aku menciumnya walau sebentar?     

"Aku merindukanmu, Raja," ucapku.     

"Jangan terlalu stres dan lelah, Daisy. Kasihan anak kita, kasihan kamu," katanya. Raja tidak membalas ucapan rinduku. Apa artinya itu?     

Mendadak tingkah laku Raja di mimpi seperti cerminannya Raka. Begitu sopan dan hilang sudah karakter yang humorisnya itu. Tapi aku bisa merasakan getaran cintanya tertuju padaku.     

"Maafkan aku. Aku... hanya... merindukanmu dengan sangat," kataku sekali lagi.     

"Aku juga merindukanmu," akhirnya ia balas. "Tapi nggak boleh seperti ini terus, Daisy. Kamu harus maju. Lupakan aku dan pergilah dengannya. Aku belum benar-benar tenang jika kamu seperti ini," katanya menjelaskan.     

Aku membuka mataku langsung tanpa mengerjapkan mataku seperti saat bangun tidur. Keadaan di mimpi tadi benar-benar membuatku terkejut. Bahkan lagi-lagi aku berkeringat dan sadar bahwa semua keluargaku ada di ruangan ini.     

Kutatap semuanya satu per satu sampai aku tidak menemukan Jeremy di sisiku. Sudah berapa lama aku tidur sampai tidak merasakan kepergian Jeremy?     

"Kamu mimpi buruk, Nak?" tanya Ibu terdengar khawatir.     

"Jeremy mana, Bu?" tanyaku tanpa menjawabnya.     

"Dia pulang dan harus membersihkan diri. Jadi, kita harap kamu nggak keberatan dengan kedatangan kita," jawab Raka.     

Jawaban Raka seperti sengaja menyindir aku. Mengingat aku terlalu sering menghindari mereka terutama dirinya. Aku pun hanya diam dan mencoba duduk setengah rebahan.     

Aku melihat mata Raka menatap cincin yang kupakai. Ia pasti bertanya-tanya kenapa cincin dari Jeremya ada di jariku. Karena Raka adalah orang yang kusuruh untuk mengembalikan cincin ini saat itu. Tapi sepertinya Raka tidak bertanya apapun padaku, mungkin karena tahu kondisiku saat ini.     

Ibu, Papa dan Reina keluar. Menyisakan Raka yang duduk di kursi pinggirku. Mendadak suasana menjadi canggung dan aku tidak tahu harus memulai pembicaraan atau tidak.     

Aku mendengar Raka menghela nafasnya beberapa kali hingga aku menjadi salah tingkah. Melihatnya membuatku teringat Raja, itu sebabnya aku tidak ingin melihatnya sesering mungkin. Dan sekarang, ia seperti sengaja menginginkan waktu berdua denganku mengingat aku dan dirinya sudah tidak pernah mengobrol seperti ini.     

"Mau sampai kapan kamu menghindar tatapanku, Daisy?" tanyanya.     

Aku hanya diam. Berusaha untuk tidak membalas ucapannya. Aku harap Jeremy segera datang dan Raka pergi dari sini.     

"Kalau kamu nggak mau melihatku hanya karena aku kembarannya, kamu menyiksa Raja, Daisy," katanya.     

Kalimatnya barusan terdengar menyayat hatiku. Aku tidak tahu apa yang Raja rasakan di saat aku memang menghindari kembarannya hanya karena kemiripan mereka. Bahkan saat dimimpi tadi, Raja hanya mengatakan bahwa ia tidak tenang jika aku belum melupakannya.     

Air mataku terjatuh begitu saja. Entah sampai kapan aku akan menangis seperti ini. Seperti tidak ada berhentinya mataku mengeluarkan air mata kepedihan ini.     

"Aku belum bisa melupakannya," kataku lirih.     

Akhirnya mau tidak mau aku bicara dengannya. Tapi aku belum juga ingin menatapnya. Terlalu menyakitkan hatiku.     

"Aku tahu. Kita semua begitu, Dai. Tapi hidup harus terus berjalan, kan? Kamu harus mikirin anakmu. Semuanya, masa depanmu. Aku bahkan sudah berjanji pada Raja untuk menjadi sosok yang anakmu butuhkan nantinya," jelasnya.     

Ah, begitu, ya? Mengingat mereka kembar, pastilah nanti anakku akan bertanya seperti apa rupa Papanya. Lalu pasti aku akan memberikan jawaban bahwa Papanya mirip sekali dengan Om-nya. Atau aku memberikan foto Raja padanya dan anakku akan menyimpulkan sendiri.     

Pandangan itu sudah terlintas jelas dipikiranku. Tapi aku belum yakin apakah aku bisa mengatasinya sendiri atau tidak. Bahkan aku tidak bisa berbicara hal-hal terakhir pada Raja saat ia di rumah sakit. Hanya percakapan di rumahlah yang menjadi momen terakhir kami.     

Dadaku rasanya sesak. Tenggorokanku tercekat mengingat itu semua.     

"Kamu harus membiarkan aku membantumu, Daisy. Aku dan Reina, oke? Kita semua sama-sama melangkah ke depan tanpanya," tutur Raka.     

"A-aku... nggak bisa. Aku nggak bisa menerima apapun dari kamu, Raka," balasku.     

"Kamu cuma butuh waktu. Aku yakin itu. Buktinya, sekarang kamu mengenakan cincin dari Jeremy lagi."     

Akhirnya Raka membahas tentang cincin itu. Pikirnya, aku bisa langsung menerima Jeremy seperti yang Raja pikirkan. Padahal aku masih memikirkan segala halnya dengan susah payah. Aku tidak ingin merasakan kehilangan lagi setelah Raja. Rasanya aku tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun karena aku takut rasa kehilangan itu muncul. Tapi Raja, ia menginginkan aku memiliki sosok pengganti untuknya.     

"Aku hanya memintanya lagi, bukan maksud sesuatu," kataku membela diri.     

"Oh, ya? Aku nggak yakin. Aku rasa kamu mau membuka dirimu demi Raja, bukan?"     

Aku hanya diam. Entah itu aku benar-benar memberikan kesempatan padanya lagi, atau Jeremy-lah yang memberikanku kesempatan, yang jelas beginilah saat ini.     

"Daisy... kalau kamu merasa malu karena aku membahas tentangmu dan Jeremy lantas kamu pikir aku marah, kamu salah. Malahan aku senang jika kamu akhirnya membuka dirimu untuk sesuatu yang baik," ucap Raka.     

Aku langsung menatap Raka. Memberanikan mataku menatapnya dengan pandangan kerinduan. Kerinduan pada Raja untuk memelukku. Tangisanku langsung pecah begitu aku menyadari betapa miripnya Raja dengan Raka.     

"Lihat? Aku bahkan nggak bisa membendung sedihku setelah melihat kamu, Raka," kataku bergetar.     

Raka menghela nafasnya dan aku membuang pandanganku lagi. Tapi aku samar melihat Raka mengangguk pada seseorang yang tidak kuketahui.     

Tiba-tiba Raka meraih tubuhku dan memelukku. Membawa dalam dekapannya dan aku hanya diam untuk beberapa detik sampai kedua tanganku bergerak untuk membalas pelukannya.     

Aroma parfumnya berbeda dengan Raja. Sudah pasti dia bukan Raja, tapi berada di dalam pelukannya, aku cukup merasa tenang. Seperti jiwa Raja ada padanya.     

"Kamu bisa memelukku kapanpun, Daisy. Reina nggak akan mempermasalahkannya. Aku tahu kamu butuh pelukan ini," ujar Raka.     

Aku membungkam wajahku di dadanya dan menangis sejadi mungkin. Mungkin bagi Raka aku terdengar seperti berteriak, tapi itulah yang kubutuhkan sekarang. Ternyata aku butuh pelukan kembarannya. Walau aku tidak merasa puas, tapi setidaknya aku merasa lega.     

"Dia pergi, Raka. Dia benar-benar... pergi dariku. Sakit... sakit banget!" isakku terluka seraya memegang dadaku dengan guncangan hebat. Raka diam dan menenangkanku juga tetap mengusap rambutku dengan lembut dalam pelukannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.