BOSSY BOSS

Chapter 123 - It Has No Meaning, Yet It Feels Good



Chapter 123 - It Has No Meaning, Yet It Feels Good

0Rasanya hari semakin berlalu sangat cepat. Perlahan air mata itu juga enggan keluar dari mataku. Tapi kesedihan itu masih ada. Sepertinya diriku tidak ingin menangis lagi, tapi membiarkan kesedihan tetap pada tempatnya.     
0

Secara fisik aku berjuang sendiri. Berusaha kuat dan tegar. Tapi aku juga tahu bahwa banyak orang yang menyayangiku dan mendampingiku untuk tetap berada di sampingku.     

Pekerjaan-pekerjaanku pun seperti pertemuan untuk mengurus suatu proyek, aku mengerahkan semuanya kepada Raka. Aku tidak ingin terlibat dengan banyak orang. Sudah cukup. Aku hanya akan fokus pada apa yang ada di depanku.     

Bisa dikatakan aku memang pengganti Raja, tapi yah aku lebih sering mengurus dokumen-dokumennya saja. Yah, hal-hal yang berada di belakang meja dan komputer saja.     

Aku juga sudah cukup baikan sejak beberapa hari menginap di rumah sakit. Hanya saja aku harus berusaha sehat dan tidak stres. Untuk itu, aku izin di kantor setengah hari dan memilih pergi berbelanja pada Ama. Sejak meninggalnya Raja, aku tidak bertemu dengannya, padahal Ama-lah yang bersikeras ingin menemaniku, tapi memang saat-saat itu adalah saat di mana aku mengisolasi diri.     

Pelukan rindu Ama bisa kurasakan cukup erat walau perut ini menghalangi. Ia terlihat senang melihatku dalam keadaan sehat seperti yang ia matanya lihat. "Akhirnya ketemu juga!" katanya riang.     

"Maaf ya, untuk beberapa bulan nggak ketemu," kataku dengan penyesalan.     

"Yang penting sekarang ketemu! Tapi kamu nggak apa-apa keliling mal?"     

"Aku bakal bilang kalau capek, Ama. Ayo, ah!"     

Aku dan Ama pun beriringan jalan bersama. Banyak cerita yang ia ceritakan padaku. Yah, sesuatu yang kulewatkan. Ketika kumpulan wanita berkumpul, apa sih yang dibahas kalau bukan bergosip? Fakta atau tidak, nyatanya wanita akan selalu bergosip.     

Sayangnya Ama saat ini sudah tidak berpacaran. Dia putus dengan kekasihnya. Sangat di sayangkan sekali.     

"Kamu nggak sedih? Kan, dia cinta pertamamu," tanyaku.     

"Awalnya sedih. Tapi kalau dipikir ngapain juga kan, sedih-sedih berlarut. Bikin rugi aja!"     

Uh-oh. Benar sekali ucapannya itu. Aku seperti tertampar secara tidak langsung. Menusuk dan sangat benar.     

"Berapa lama kamu sedih, Ama?" tanyaku memastikan.     

"Tiga hari," jawabnya dengan santai.     

Tiga hari untuk seorang yang patah hati karena kekasih pertama sangat aneh untuk kudengar. Aku pikir Ama membutuhkan waktu sebulan atau lebih. Tapi mereka putus memang setelah kematian Raja.     

Aku sendiri seperti butuh berbulan-bulan untuk merasa sedih. Bahkan sampai sekarang aku masih merasakan kesedihan itu.     

"Bagaimana bisa, Ama?" tanyaku. Aku ingin sepertinya. Merasa terlihat baik-baik saja. Luar dan dalam, bukan hanya kelihatannya saja.     

Ama memperhatikanku. Sepertinya ia tahu maksudku. "Aku nggak tahu apakah caraku ini berhasil untuk kamu atau nggak. Tapi ketika kamu ingin melupakan seseorang, atau mungkin menghilangkan sedih itu, semua tergantung niatmu. Ketika niatmu ingin melupakan benar-benar kamu lakukan, maka segala cara akan mudah untuk kamu jalani."     

Niat, ya? Sepertinya aku belum niat melupakan Raja. Terlalu sulit. Maksudku, bagian dari hubungan yang paling sulit dari perpisahan adalah saat aku bersama Raja. Ditinggal pergi untuk selamanya. Tidak bisa disentuh, melihat langsung, atau bahkan berbicara langsung.     

Aku rasa mimpi-mimpi yang kudapatkan itu hanya sebuah hal yang kuciptakan sendiri. Tidak mungkin kan, jika kita bertemu dengan seseorang yang sudah meninggal di mimpi? Aku... masih belum mempercayai hal-hal seperti itu.     

"Dai, aku yakin kamu bisa. Kamu cuma harus mencobanya," kata Ama menguatkanku.     

"Iya, Ama. Sepertinya begitu. Aku juga sadar aku nggak bisa begini terus, kan? Apalagi aku sekarang jadi single parent, aku harus kuat demi anakku. Anak Raja juga," kataku.     

Ama tersenyum mendengar ucapanku. Kami pun akhirnya menikmati suasana mal sampai aku akhirnya memilih untuk mencari tempat santai untuk sekadar beristirahat. Memilih makanan dan minuman dan seperti biasa melanjutkan obrolan yang tiada habisnya untuk dibahas.     

Sebenarnya aku bertemu dengan Ama juga karena aku ingin membahas perkembangan bisnis online shop-ku. Di samping Ibu yang mengelolanya, Ama juga lebih memiliki andil atas bisnisku. Lebih tepatnya, dia adalah tangan kananku. Segala yang berhubungan dengan barang habis maupun masuk, Ama-lah yang mengaturnya. Aku... hanya terima beres sekaligus memecahkan masalah jika ada kendala.     

Jadi, aku tidak salah memilih Starbucks, untuk menjadi tempat pilihan yang tepat. Aku rasa Starbucks memang menjadi pilihan yang tepat untuk setiap kalangan yang ingin santai atau bekerja. Apalagi saat ini Starbucks tidak terlalu ramai, jadi aku bisa fokus pada apa yang akan aku dan Ama kerjakan.     

"Oh ya, Dai. Kapan lalu ada customer yang mau ketemu sama kamu selaku owner dari online shop-mu, aku lupa kasih tahu kamu," kata Ama memberitahu.     

"Eh, siapa?" tanyaku.     

"Cewek, namanya Rita. Katanya dia tertarik sama pakaian-pakaian yang kita jual. Dan dia mau melakukan semacam kerja sama gitu. Buka toko, sepertinya."     

Rita? Namanya sih, terdengar asing di telingaku. Aku pikir aku mengenalnya, tapi kalau dipikir, aku tidak memiliki kenalan dengan nama itu. Tapi lumayan juga dengan ketertarikannya.     

"Lalu, kamu bilang apa, Ama?"     

"Aku mastiin dulu apa bisa kasih nomor kamu atau nggak. Yah, sampai sekarang aku masih menggantung pesannya, sih."     

"Oh, kasih aja. Pastiin kalau mau buat janji kalau nggak Minggu ya selepas jam empat sore," kataku padanya.     

Ama mengangguk dan langsung bergerak cepat. Aku kembali lagi beralih pada tablet yang kubawa. Sejenak kami sibuk pada kesibukan kami masing-masing.     

Mendadak aku ingin melihat sebuah berita mengingat aku lama tidak melihat-lihat berita. Hingga satu berita yang sedang panas-panasnya juga viral muncul langsung di barisan teratas. Aku terkejut dan mataku terbelalak. Rasanya tidak mungkin sekali.     

Berita itu mengabarkan bahwa Rosi mengalami keguguran di usia kandungannya yang kelima bulan. Maksudku, bagaimana bisa? Setelah ia menggugurkan anak pertama, lalu hamil lagi dan kemudian sekarang keguguran. Apa yang terjadi padanya?     

Di sini aku memikirkan mental keduanya. Rosi pasti merasa kehilangan, tapi Zen juga terlebih merasakan kehilangan mengingat ia ingin sekali seorang anak yang bisa ia urus.     

Rasa penasaranku membuncah sampai aku sadar bahwa aku tak seharusnya memikirkan tentangnya. Toh, dia sudah bukan dari kehidupanku lagi. Jadi, untuk apa?     

"Oh ya, Dai. Bagaimana dengan Jeremy?" tiba-tiba Ama bertanya membuatku tersentak dari lamunanku.     

"Eh? Apa?" tanyaku kaget.     

"Hubunganmu dengan Jeremy. Kamu mengenakan cincinnya yang dulu. Bukannya kamu udah kembaliin ke orangnya?" tanya Ama seraya menunjuk jariku yang tersemat cincin dari Jeremy.     

Aku langsung menggenggam tanganku dan merasakan salah satu jariku meraba cincin itu. "Oh, kami hanya berteman," kataku menjawab.     

"Berteman? Yakin?"     

"Ya. Memangnya kelihatan seperti nggak berteman?"     

Ama menggelengkan kepalanya dan berdecak. "Sepertinya bagimu iya, bagi Jeremy nggak. Ayolah, Dai... kalau bisa jangan menggantungkan perasaan orang. Kamu mau sendiri, maka jalani. Kamu butuh seseorang, maka seriusi."     

Lagi-lagi Ama menceramahiku. Ia memang pakarnya ketika dia merasa aku salah langkah. Sebenarnya aku memang butuh ceramah ataupun masukkannya. Karena aku sendiri tidak tahu apa yang aku lakukan saat ini. Aku memang terkesan egois dan selalu terburu-buru mengambil langkah.     

Belum lagi aku ini mudah jatuh cinta.     

Mengesalkan.     

Kupikir menjadi janda dengan satu anak akan mengubah pola pikir hatiku, nyatanya aku masih merasakan hal yang sama.     

Laki-laki seperti apa yang kuingini? Zen dan Raja? Sepertinya begitu. Sayangnya Raja, suamiku sudah meninggal. Tinggal Zen yang aku sendiri tidak bisa berharap apa-apa darinya.     

"Aku tahu aku masih labil dalam hal perasaan, Ama. Bahkan aku bingung harus menyikapinya bagaimana," kataku.     

"Alasan apa sampai kamu mengenakan cincin dari Jeremy?" tanya Ama serius.     

"Aku... hanya ingin mengenakannya lagi. Aku pikir bisa menutupi bekas cincin pernikahanku."     

Lagi, Ama berdecak. "Itu alasan yang konyol. Tapi bagian kalimat terakhir nggak kamu ucapkan padanya, kan?"     

Aku menggeleng. Aku jelas tahu mana yang buruk dan tidak bagi perasaan seseorang. Apalagi Jeremy begitu serius ketika ia menyematkan cincin ini.     

Aku tahu Raja menginginkan aku bersamanya. Tapi aku tidak bisa mempermaikan perasaan seseorang. Ketika kurasa Jeremy cocok untukku, bukan berarti aku merasa aku pantas untuknya. Aku ini hanya seorang janda yang penuh dengan dosa. Bahkan banyak melakukan kesalahan dan dosa di belakangnya.     

Kutatap Ama dengan wajah ragu. Aku ingin menceritakan bagian mimpi-mimpi itu. Tapi aku merasa aku belum cukup siap. Atau lebih tepatnya takut jika Ama memandangku dengan aneh.     

"Apa? Kamu mau cerita sesuatu?" tanya Ama merasa diintimidasi.     

Yah, apa boleh buat aku. Aku pun akhirnya menceritakan semuannya. "Ini tentang mimpi. Aku nggak tahu kamu mau anggap aku apa setelah ini. Aku tahu ini konyol, tapi aku mau kamu dengar dulu."     

"Oke. Ceritakan."     

Bibirku langsung bergerak bercerita padanya seperti mendongengnya. Ada nada berbelit dalam cara bicaraku. Seperti aku mendadak tidak begitu ingat tentang mimpi itu, tapi aku cukup paham dengan garis besarnya.     

Berbagai ekspresi Ama tunjukkan membuatku jadi mengikuti ekspresinya. Tapi syukurlah karena Ama mendengarkannya tanpa menginterupsi. Bahkan ia tidak terlihat seperti aku ini seorang yang bodoh. Malah ia terlihat sangat begitu perhatian pada masalahku.     

"Wow, terdengar seperti nyata, ya?" timpalnya merespons.     

"Ya. Apalagi saat sebelum Raja benar-benar dinyatakan meninggal. Rasanya seperti nyata. Tapi aku kadang menganggap bahwa semua itu adalah bagian dari diriku yang masih menginginkan Raja ada di sini," jelasku.     

Kenangan akan meninggalnya Raja kembali bangkit. Sebelum ia benar-benar dikatakan meninggal, ia datang ke mimpiku. Berharap aku mengikhlaskannya. Tidak mudah, Raja, maafkan aku. Bahkan kadang aku masih berharap kamu ada di sini.     

"Tapi, aku heran sih, bagian di mana Jeremy juga dapat mimpi itu. Bayimu dan Raja anak cowok dan namanya Jason. Lalu, Jeremy akan menggantikan posisi Raja? Aneh, tapi kamu sendiri bilang kan, Jeremy juga bermimpi hal yang sama."     

Aku mengangguk. Ada kemungkinan semua mimpi itu benar karena berdasarkan fakta yang aku dapat.     

"Aku masih mau menikmati kesendirianku, Ama. Aku... cuma takut mengatakan yang sebenarnya pada Jeremy. Karena aku sadar, bahwa kehadirannya benar-benar berarti buatku tapi aku juga tahu bahwa itu lebih berarti baginya," kataku pada Ama dengan prihatin.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.