BOSSY BOSS

Chapter 124 - Still Loving You



Chapter 124 - Still Loving You

0"Iya aku tahu. Aku juga nggak bisa memaksamu harus begini dan begitu, Daisy. Cuma aku harap kamu melakukan hal yang benar, ya. Banyak pelajaran yang bisa kamu ambil dari setiap pengalaman yang kamu alami," katanya menasihatiku.     
0

Setelah membicarakan banyak hal, kami pun langsung memutuskan untuk pulang. Hari ini aku ingin Ama tinggal di rumahku. Jika bisa, ia bisa menetap lebih lama di rumahku. Tapi sepertinya nanti saja aku bahas bagian itu.     

Sampai rumah Ama, ia turun dari mobil untuk mengemasi beberapa pakaiannya. Aku memilih untuk tetap berada di dalam mobil karena aku cukup lelah, jadi aku butuh menyandarkan pinggangku.     

Tak lama Ama keluar dengan membawa koper besarnya. Ternyata cepat juga ia mengemasi barangnya. Aku curiga kalau Ama hanya asal memasukkannya ke koper. Membayangkannya saja aku merasa geli. Sampai Ama kembali ke kursi kemudi, nafasnya tersengal-sengal.     

"Karena ini udah malam, apa kita nggak sebaiknya beli makanan sekalian? Atau bahan makanan?" tanyanya memberi ide.     

"Aku rasa kalau beli bahan makanan, pasti muter-muter, kan? Aku nggak kuat. Mungkin beli makanan yang jadi aja, Ma."     

"Gampang. Aku ada warung langganan yang jual bahan makanan. Kamu cukup di mobil aja. Oke?"     

Aku ingin menolaknya karena takut membuatnya repot, tapi Ama memang seorang yang senang berada di dapur, jadi kubiarkan saja ia melakukan hal yang ingin dilakukannya.     

Sejak Raja meninggal, tidak ada lagi yang memasak sesuatu di dapur rumahku. Jadi, sebentar lagi, bekasnya akan terhapus dengan jejak Ama. Tapi bukan masalah, karena aku juga butuh sesuatu menghilangkan jejak Raja di rumah. Sehingga aku akan benar-benar melupakannya dan tidak lagi sedih karenanya.     

Sampai rumah, aku langsung membuka kunci pintu dan membiarkan Ama masuk. Aku hanya membantu sedikit barang yang ia bawa sampai ke ruang tamu dan kembali mengunci pintu rumah.     

"Kamu bisa tidur di kamar depan kamarku, Ama," kataku padanya.     

Ama menjelajahi seisi rumahku dengan ketakjubannya. Ia pun kemudian memasukkan barang-barangnya ke kamar. Dan aku mencoba duduk sebentar di ruang tamu sambil menghela nafas panjang.     

Saking sibuknya bersama Ama, aku tidak membuka ponselku sedari tadi. Hingga aku melihat banyak notifikasi dari beberapa keluarga, Jeremy dan... Zen.     

Dahiku berkerut begitu melihat pesan Zen berada di urutan teratas. Ia hanya mengirimi pesan namaku saja dan kemudian tidak ada pesan lagi karena memang aku baru saja memeriksa ponsel. Tapi aku mengabaikan pesannya dan memilih membalas pesan dari beberapa keluargaku dan Jeremy. Mereka hanya ingin tahu apakah aku baik-baik saja atau tidak.     

Tak lama Jeremy langsung menghubungiku. Mungkin setelah ia melihat balasanku.     

"Aku pikir kamu kenapa kok sampai nggak balas pesanku, aku tadi ke rumahmu dan kosong," katanya setelah aku menerima panggilannya.     

Aku tersenyum karena senang Jeremy begitu mengkhawatirkanku. Tapi lagi-lagi senyumku pudar karena aku tidak seharusnya menggantungkan perasaan seseorang. Aku tahu jauh di lubuk hatinya, Jeremy masih mengharapkanku.     

"Apa kamu udah makan?" tanyanya ketika aku tidak membalas ucapannya.     

"Ah, oh... ya, ini aku mau makan. Ama, errr, menginap di rumah. Jadi dia akan memasak sesuatu malam ini," kataku tergagap.     

"Apa yang kamu pikirkan, Daisy? Apa kamu kepikiran sesuatu?" tanyanya. Ia tahu aku memang sedang gugup dan memikirkan sesuatu, apalagi ketika aku menjawabnya dengan kegagapan seperti itu. Apalagi pekerjaannya sebagai dokter psikolog, kalian tidak boleh lupa.     

Kupijat pangkal hidungku dan menghela nafas. Aku tidak boleh stres. Tidak sekarang, tidak saat ini. Sebaiknya aku menjalani apa yang ada saja dulu.     

"Yah, ada sesuatu yang buat aku kepikiran. Tapi aku rasa aku nggak boleh stres, kan?" jawabku akhirnya.     

"Kalau ada yang mau kamu sampaikan, sampaikan saja, Daisy. Sekalipun itu tentang aku atau kita," katanya.     

"Aku mandi dulu, Jer. Aku tutup ya, teleponnya."     

Kumatikan panggilannya dan menaruhnya di sisiku duduk. Lalu aku mencium bau masakan yang tidak kusadari bahwa Ama sudah mulai memasak. Aku pun langsung mandi karena merasa tubuhku lengket-lengket.     

Setelah mandi, aku langsung keluar dan melihat beberapa menu makanan sederhana sudah saji di meja makan. Kuraih kursi dan duduk di atasnya. "Wah, kamu masak sebanyak ini?" tanyaku padanya.     

"Bisa buat besok juga, Dai, misal ini nanti nggak habis," katanya.     

"Benar juga. Ugh, aku mulai lapar."     

"Makanlah. Ibu hamil harus makan banyak karena kamu berbadan dua sekarang," katanya dengan senyuman.     

***     

Alarm jam waker membangunkanku. Kuraih jam itu dan kumatikan. Lalu aku memiringkan tubuhku dan melihat di sisiku tidak ada siapapun. Bahkan sisiku terlihat rapi. Biasanya aku melihat sampingku sudah sudah cukup berantakan spreinya, tapi sekarang benar-benar tidak ada siapapun. Aku seakan lupa bahwa Raja sudah tiada.     

Aku beranjak dan berdiri perlahan menuju kamar mandi. Setelah mandi aku bersiap untuk menuju kantor.     

"Oh Ama, aku mau bicara ini sebenarnya. Apa bisa kamu menetap di rumah ini dalam jangka lama? Yah, seperti tinggal di rumah ini bersamaku?" tanyaku padanya saat aku bergabung dengannya di meja makan.     

"Hmm, aku sepertinya harus izin dulu sama kedua orang tuaku," katanya menjawab.     

"Oke. Nggak masalah. Kamu cukup bilang aku aja misal kamu butuh sesuatu, oke?"     

Ama mengangguk dan mulai sarapan bersamanya.     

Kutinggalkan Ama di rumah setelah mengajarinya apa saja yang harus ia lakukan di rumah maupun saat keluar rumah. Yah, seperti mengunci pintu dan jendela dan lain sebagainya.     

Saat sampai kantor, aku langsung masuk ke dalam ruanganku. Aku cukup kaget karena di dalam ruanganku ada seorang wanita yang kemudian berbalik menghadapku ketika aku masuk. Rosi?     

Wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya kurus sekarang. Aku sudah tidak bisa melihat perutnya yang membuncit seperti aku. Aku pun duduk di depan meja yang membatasi jarakku dengan Rosi. Kami masih saling diam sampai aku benar-benar siap dan rapi mengatur segala kelilingku.     

"Rosi, apa yang terjadi?" tanyaku.     

Sepertinya ia benar-benar berantakan sekali. Dilihat dari penampilannya dan ekspresi sedihnya. Aku merasa kasihan sekali padanya. Entah apa juga yang Zen lakukan padanya setelah Rosi mengalami keguguran.     

"Kamu pasti udah lihat berita itu, kan?" tanyanya memulai.     

"Ya. Aku lihat. Maaf, bukan maksud menyinggung, tapi untuk apa kamu datang ke sini?" tanyaku dengan sopan.     

Matanya terlihat mulai berkaca-kaca seperti akan menangis. Dan benar, Rosi menitikkan air mata dan aku memberikan tisu padanya.     

"Aku butuh bantuan, Daisy. Aku... aku begitu mencintai Zen. Dan dia sangat terpukul kehilangan anak kami. Aku mau kamu mencoba dekat dengannya lagi, lalu membiarkan dia mengurus kamu dan kehamilanmu," jelasnya meminta tolong.     

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Mencerna setiap ucapannya dengan rasa tidak percaya. Apakah ia baru saja menyuruhku untuk mendekati Zen? Apa dia gila?     

"Aku tahu permintaanku ini gila. Tapi aku nggak mau dia stres, Daisy. Aku-"     

"Apa Zen tahu kamu ke sini?" tanyaku memotong pembicaraannya.     

Rosi langsung menggelengkan kepalanya. Lalu aku memejamkan mataku dan menghela nafas. Kutahan rasa sabarku dan mencoba tenang. Aku harus sabar menghadapi Rosi. Sepertinya ia sedang tidak terkendali karena kegugurannya itu.     

"Maaf, aku nggak bisa. Rosi, kamu bisa tinggalkan aku sekarang," kataku dengan sopan dan sungguh-sungguh.     

"Pikirkan ini, Daisy. Karena Zen masih mencintaimu. Bukan aku."     

"Aku nggak mencintainya. Kenyataannya seperti itu," balasku tidak peduli.     

"Setelah ini aku benar-benar akan menghilang. Toh, aku nggak ada hubungan khusus dengannya. Dia mau denganku hanya karena anak yang tadinya kukandung. Peranku udah nggak penting dalam hidupnya. Tapi aku nggak ingin ia stres dan terpukul lebih lama karena keguguranku," jelas Rosi.     

Aku langsung berdiri dan menuju pintu. Kubuka pintu itu lebar-lebar agar Rosi segera pergi dari sini. "Silakan pergi, Rosi."     

Rosi melangkah ragu hingga ia berhenti di depanku dan menatapku. "Demi masa depan anakmu. Zen bisa menjamin semuanya, Daisy," katanya lalu keluar dan benar-benar pergi dari hadapanku.     

Kututup pintu dan kembali duduk di kursi. Apa ini? Perasaan apa lagi? Kenapa rasanya aku tidak tenang sekali ketika Rosi mengatakan itu? Memangnya dia siapa yang bisa mengatakan sesuatu yang belum terjadi?     

Pikiranku tiba-tiba tertuju ingin menghubungi Zen. Mungkin sekalian mencari tahu bagaimana kabarnya sekarang.     

Ketika panggilanku tersambung dan terjawab, Zen tidak langsung berbicara. Ia hanya diam dan aku mendengar nafasnya dihembuskan beberapa kali.     

"Ada apa, Daisy?" suaranya terdengar masih suaranya namun terdengar seperti sedang lemas.     

"Apa kamu baik-baik aja?" tanyaku.     

"Hmm... ya. Selalu baik-baik aja. Apakah kamu juga?"     

Aku tahu Zen sedang tidak baik-baik saja. Tidak mungkin aku tidak mengenalnya. Siapa lagi yang paham caranya bicara selain aku, keluarganya, dan mungkin Rosi?     

"Ya, aku baik-baik aja. Cuma... aku pengen bilang sesuatu ke kamu," kataku sengaja menggantungkan kalimatku.     

"Katakanlah." Caranya bicara masih membuat degup jantungku berdetak cepat. Nadanya benar-benar masih seperti dia yang dulu. Hanya saja sepertinya rasa sabarnya sedikit lebih bertambah.     

"Aku nggak bisa membicarakannya di telepon, Zen," kataku akhirnya.     

Sepertinya aku sedikit gila sekarang. Kalau aku bicara seperti itu, artinya aku mengharapkan bertemu dengannya. Lalu, jika sesuatu hal yang tidak diharapkan terjadi, sudah pasti bahaya, bukan? Maksudku, sesuatu yang nikmat.     

"Apa hari ini kamu mau aku jemput?" tanyanya.     

"Hmm, ya... kalau nggak keberatan," kataku.     

"Oke. Aku akan di depan kantormu tepat jam kantormu selesai," katanya mengingatkan.     

"Eh? Kamu tahu aku bekerja di kantor dan di mana sekarang?" tanyaku bingung.     

Zen tertawa kecil mendengar pertanyaanku. Aku bisa mendengar berapa kali ia menghembuskan nafasnya dan berdeham. "Daisy, mataku selalu ada di mana-mana. Apa kamu lupa?"     

Aku menepuk dahiku. Dia benar. Bagaimana bisa aku lupa kalau Zen selalu punya cara mengetahui di mana aku berada. Apalagi sejak penculikan yang dilakukan Alfon. Ia seperti menambah pengetatan dalam anak buahnya. Hanya saja masalahnya, kenapa bahkan aku masih ia mata-matai? Padahal kami bukan apa-apa lagi.     

"Ah, ya. Kamu selalu memiliki mata-mata di setiap sudut. Tapi, kenapa aku?" tanyaku akhirnya.     

"Tentu saja karena aku masih mencintaimu, mantan istriku."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.