BOSSY BOSS

Chapter 126 - I Want To Be Happy



Chapter 126 - I Want To Be Happy

0"Daisy!"     
0

Suara teriakan seseorang menyentakku dari aktivitas yogaku.     

Tidak! Tadi itu bukan yoga, tapi caranya berkomunikasi denganku.     

Nafasku terengah-engah dan aku melihat Ama dengan wajah paniknya menatapku.     

"A-ada apa?" tanyaku padanya.     

Ama memperhatikanku dan menghela nafasnya lega.     

"Ada apa, Ama? Bukannya aku bilang jangan ganggu aku saat yoga?" tanyaku.     

"Yoga apa yang sampai membuatmu keringat basah dan kejang-kejang, hah?"     

Mendadak aku jadi merasakan ada keringat yang mengalir di tubuhku. Dan kejang-kejang? Aku bahkan tidak merasakan itu.     

Apakah itu efek berkomunikasi dengannya?     

"Kamu buat aku khawatir, Daisy! Aku pikir ada apa dengan bayimu!" kata Ama panik.     

"Maaf... Aku... Aku ketemu lagi dengan Raja," kataku akhirnya.     

Ama sudah tahu tentang mimpi-mimpiku yang didatangi Raja. Jadi tidak ada salahnya aku memberitahunya.     

"Lupakan, oke? Kalau kamu bertemu dengannya lagi, aku curiga kalau itu bukan dia yang sebenarnya!" kata Ama dengan kesal.     

Ia pun berdiri dan masuk ke dalam meninggalkanku yang masih dalam posisi seperti awal.     

Anehnya, aku bahkan tidak merasa begitu sedih. Bahkan, memikirkannya saja tidak membuatku sedih. Mungkinkah aku sudah mengikhlaskannya?     

Setelah yoga aku memutuskan mandi. Tentu saja menunggu terlebih dahulu keringatku hilang. Ama masih terlihat kesal padaku. Aku sih, tidak menyalahkannya. Memang aku ini menyebalkan setiap orang yang berusaha membantuku.     

Hari Minggu ini, aku ingin berkunjung ke rumah. Tapi sepertinya Ama memiliki jadwal lain, jadi aku tidak mengajaknya.     

Sampai rumah, aku di sambut Raka yang tengah mencuci mobilnya di halaman rumah. Aku keluar dan berjalan pelan-pelan.     

"Kamu sendiri? Kenapa nggak minta jemput? Kan nggak perlu nyetir, Dai," katanya memberondongku dengan beberapa pertanyaan.     

"Udahlah, aku nggak apa-apa, kok." Aku tetap berjalan masuk tanpa menoleh ke arahnya.     

"Apa lancar pertemuannya dengan Zen kemarin?" tanya Raka tiba-tiba hingga menghentikan langkahku.     

"Ya, lancar," kataku menjawab dan melanjutkan langkahku     

Saat aku masuk ke dalam, aku mencium aroma parfum yang kukenal. Aroma yang sudah berapa hari tidak bertemu denganku. Sejak kapan dia di sini? Aku tidak melihat mobilnya terparkir di halaman rumah.     

Jeremy di sini. Sedang memasak sesuatu di dapur bersama Ibuku dan Reina.     

Kupandangi mereka sejenak. Tercengang dan terkejut. Jeremy sepertinya menyadari kedatanganku, ia pun menatapku dan tersenyum sekaligus mengerlingkan matanya padaku.     

Aku merasa malu seketika dan sekaligus merasa dejavu. Rasanya Raja pernah melakukan itu padaku.     

Karena Jeremy sudah melihatku, jadi sekalian saja aku menuju dapur.     

Ibu memelukku, begitu pun Reina. Lalu mereka melanjutkan aktivitas mereka. Karena aku bingung dan aku jadi tidak suka berada di dapur, aku pun meninggalkan mereka.     

"Daisy?" Ibu memanggilku.     

"Ya, Bu?"     

"Kamu nggak mau membantu?" tanya Ibu. Beliau biasanya memang tahu kalau aku suka membantu di dapur. Tapi beliau dan lainnya belum tahu sesuatu.     

"Hmm, aku... Sejak hamil, aku nggak suka di dapur," kataku lebih pada mereka.     

Ibu, Reina dan Jeremy saling melempar pandangan lalu menatapku. Mereka tersenyum, bahkan terkesan memaksanya.     

"Apa? Kenapa?" tanyaku pada mereka.     

"Bisa jadi anakmu cowok, Nak," timpal Ibu membalas.     

Aku ternganga lalu menatap Jeremy yang tersenyum padaku. Seorang anak laki-laki, ya? Apakah nama Jason itu ada benarnya?     

"Sudahlah, Bu. Aku duduk aja ya, di sofa," kataku padanya.     

Aku mencoba sebisa mungkin bersikap biasa dan duduk dengan tenang di sofa. Aku tidak bisa begitu saja masuk ke kamar sementara semua sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing.     

Sementara itu ketika mereka selesai memasak, Jeremy mendekatiku. Ia duduk di sisiku tapi sedikit memberi jarak. Padahal biasanya ia tidak seperti itu.     

"Senang melihatmu, Daisy," katanya seolah kami tidak bertemu dalam waktu yang cukup lama.     

"Apa yang kamu masak?" tanyaku ingin tahu.     

"Oh, aku masak Chinesse food. Mau makan sekarang? Atau bersama lainnya?" tanyanya.     

"Sejak kapan kamu suka masak?" tanyaku lagi.     

Jeremy tertawa dan mengacak-acak rambutku. "Kamu lupa aku punya resto? Kalau bukan karena aku suka masak, aku nggak akan buka resto, Daisy."     

Oh. Aku merasa tolol sekali karena melupakan bagian itu. Tentu saja ia suka masak. Apalagi seorang yang seperti Jeremy itu pantang menyerah untuk sebuah usaha.     

"Oh, maaf. Aku... Lupa," ujarku merasa kikuk.     

Jeremy tersenyum. Seperti yang kukatakan dulu. Senyumnya selalu teduh dan membawa energi positif untukku.     

"Coba luruskan kakimu di sini," katanya memerintah sekaligus memberikan aba-aba ke atas pahanya.     

"Hah?" aku masih belum mengerti.     

"Lakukan saja, Daisy."     

Akhirnya aku meluruskan kakiku di atas pangkuan pahanya. Kemudian tangannya yang jenjang dan putih itu terangkat dan menyentuh kaki telanjangku.     

Ternyata Jeremy memijatku secara perlahan. Tangannya sangat terampil di atas kulitku. Rasanya sedikit merinding karena sentuhannya. Belum ada laki-laki yang mencoba memijatku sepertinya.     

Perlahan rasa lelahku maupun saraf-sarafku mengendur. Bahkan aku sempat memejamkan mataku.     

Sepertinya apa yang dikatakan Raja mungkin benar. Jeremy lebih baik dari pada Zen.     

Entah sejak kapan aku tertidur, yang jelas ketika aku membuka mata, aku sudah berada di kamarku. Aku mencoba mengingat kembali apa yang terakhir kali kulakukan hingga aku tertidur.     

Ketika aku mengingat, aku tak habis pikir jika Jeremy yang memindahkanku, betapa kuatnya ia membawa dua beban.     

Yah... Akhir-akhir ini aku memang lebih sering tertidur, malas-malasan dan tidak tahu ingin berbuat apa. Yang ada dipikiranku hanya tidur, makan, tidur, makan.     

Sekarang saja aku merasa malas beranjak dari kasurku. Tapi aku harus beranjak karena aku tidak ingin menjadi wanita yang malas di depan mereka.     

Saat aku turun perlahan, aku melihat semuanya berkumpul di ruang keluarga. Termasuk Jeremy.     

Aku ikut duduk di sebelah Jeremy. Kami saling tersenyum sementara pembicaraan tetap berlanjut.     

"Bagaimana kalau minggu depan? Kayaknya seru kalau kita piknik di hari itu," tanya Reina bersemangat.     

Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan sampai Reina mengajukan ide itu. Tapi apa pun itu, aku rasa lumayan juga kalau kami sesekali piknik.     

"Boleh juga idemu, Reina. Mungkin Papa akan persiapkan vilanya nantinya," sahut Papa menimpali.     

Aku terkejut begitu Papa berbicara. Masalahnya beliau jarang berbicara. Apalagi sejak Raja tidak ada, beliau terkesan diam kecuali jika diajak bicara.     

"Bagaimana, Daisy? Apakah kamu minat?" tanya Papa padaku.     

Semua mata mengarah padaku. Sementara aku kaget karena merasa gugup. Kenapa harus bertanya padaku? Padahal aku terserah pada mereka.     

"A-aku... Ngikut aja, Pa," jawabku gugup.     

"Oke. Sepertinya semua oke. Kalau Jeremy bagaimana?" tanya Raka kali ini.     

"Gue ikut, Ka."     

Mereka semua terlihat senang sementara aku terkesan biasa. Aku sendiri belum tahu hal apa yang membuatku senang selain mengikuti keinginan orang-orang yang kusayang.     

Jadi aku hanya tersenyum dan kemudian kami semua makan malam bersama.     

"Bu, Pa... Kandunganku kata dokter sehat-sehat semua. Sepertinya jenis kelaminnya perempuan," kata Reina berceletuk.     

Aku menelan ludahku karena merasakan sesuatu di atmosfer ini. Reina membicarakan mengenai kehamilannya dan mereka semua bereaksi dengan sangat senang.     

"Iya, kelihatan kok sekarang kalau kamu sepertinya akan melahirkan anak perempuan," timpal Ibu dengan senyuman.     

"Jadi kita akan punya bayi kecil perempuan dan laki-laki!" seru Ibu merasa senang.     

"Laki-laki?" Raka bertanya bingung.     

Ibu mengangguk dan menatap aku yang tengah menatap mereka semua. "Sepertinya anak Daisy laki-laki. Dia sama sekali nggak suka berada di dapur atau berhubungan dengan pekerjaan wanita."     

Raka menatapku seakan mengintimidasiku. Walau pun benar yang dikatakan Ibu, bisa saja semua itu salah, kan?     

"Apa benar begitu, Daisy?" tanya Raka.     

"Aku belum tahu jenis kelaminnya. Tapi benar yang dikatakan Ibu. Aku nggak suka sesuatu yang berbau pekerjaan wanita," jawabku.     

"Apa kamu belum periksa lagi?" tanyanya.     

Aku menatap semuanya untuk menunggu jawabanku. Rasanya seperti dihakimi mereka jika semuanya melihatku. Kenapa juga jadi membahas tentang kandungan? Mendadak aku merasa kesal pada Reina karena dialah yang memulai semuanya.     

"Besok Daisy sama gue mau periksa, Raka. Sebaiknya kita lanjutkan makanan kita," tiba-tiba Jeremy angkat bicara dan bagiku dia menyelamatkanku dari kegugupan ini.     

Setelah selesai makan, aku duduk di kolam renang. Terakhir kali aku di sini, aku bersama Raja. Dan sekarang kenangan-kenangan itu muncul lagi.     

"Kita besok benar-benar akan ke dokter kandungan, Daisy."     

Suara Jeremy muncul begitu saja dan mengatakan hal itu seolah aku tidak boleh menolaknya.     

"Eh, tentang tadi... Aku terima kasih sekali karena kamu membantuku dari kegugupan itu dan kamu nggak perlu benar-benar melakukan itu untuk besok, Jer," kataku dengan jelas.     

"Kita tetap akan periksa, Daisy. Aku ingin tahu perkembangan janinmu," katanya.     

"Jer... Aku nggak mau merepotkanmu," kataku.     

Dia menggelengkan tubuhnya. "Kamu nggak merepotkan aku. Oke."     

Kuhela nafasku karena tahu aku tidak akan bisa menolaknya sekeras aku mencobanya.     

"Aku dengar kamu bertemu dengan Zen," kata Jeremy membahas masalah itu.     

Raka sialan. Pasti dia yang memberitahu Jeremy.     

"Oh, ya... Omong-omong, apa kamu memang ada keperluan hari ini sampai harus ke rumah?" tanyaku mengalihkan.     

"Aku tahu kamu akan ke rumah dari Ama, Dai. Jadi, aku memastikan diri di rumah ini sebelum kamu tiba," jawabnya dengan lugas.     

Kedua, Ama sialan.     

Kenapa dengan orang-orang ini? Mereka sepertinya suka sekali membongkar privasi orang. Walau pun sebenarnya aku tidak apa-apa jika mereka memberitahunya kepada Jeremy.     

"Oh," balasku singkat.     

"Sebelum aku benar-benar pulang, apa kamu mau ikut aku keluar sebentar?" tanya Jeremy mengajakku.     

"Ke mana?"     

"Tempat indah. Tapi dalam perjalanan mata kamu harus aku tutup, Daisy."     

"Oke. Mungkin sekalian antar aku pulang. Bagaimana?" tanyaku.     

"Mobilmu?"     

"Gampang."     

"Deal. Yuk!"     

Aku dan Jeremy keluar rumah. Aku memasuki mobilnya lalu kedua mataku di tutup olehnya.     

"Apa kita udah akan sampai?" tanyaku penasaran.     

"Belum, tapi sebentar lagi."     

Aku menunggu kurang lebih lima belas menit sampai mobilnya benar-benar berhenti. Tanpa bicara, Jeremy keluar dan membantuku keluar dari kursi sebelah kemudinya.     

Ia menuntunku entah ke mana, tapi aku bisa merasakan sentuhan lembutnya yang benar-benar lembut menghipnotis kulitku.     

Lalu aku berhenti dengan suasana yang kudengar sepi.     

"Siap?" tanyanya.     

Aku mengangguk lalu perlahan Jeremy membuka penutup mataku.     

Samar-samar, aku melihat sesuatu yang indah. Yang membuatku tersenyum tanpa paksaan, tapi merasa karena senang yang timbul dari diriku sendiri.     

Kerlipan bintang dan bulan yang menyala-nyala membuatku tersenyum. Sesederhana itu bisa membuatku bersemangat. Apalagi bintang-bintang itu sesekali kerlap-kerlip. Ditambah aku melihat bintang jatuh.     

Tanpa terasa, aku membuat harapan pada diriku sendiri.     

"Aku ingin bahagia dengan caraku sendiri."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.