BOSSY BOSS

Chapter 128 - He Met Her



Chapter 128 - He Met Her

0Aku tersenyum dan mengangguk padanya. Benar, dia yang di maksud Jeremy adalah anakku. Sepertinya ia mulai merespons setiap sentuhan dari seseorang yang ia sukai.     
0

"Sepertinya dia senang dengan usapanmu," kataku pada Jeremy.     

"Kalau begitu, aku akan sesering mungkin mengusapnya."     

Rasanya aku sangat senang sekali bisa merasakan tendangan ini. Kupikir ini terlalu dini atau akunya saja yang tidak tahu?     

Sampai restoran kami pun mulai memesan makanan dan menikmati kebahagiaan yang baru saja terjadi. Aku sangat senang dengan perkembangan ini.     

Kemarin setelah akhirnya memutuskan cek kandungan ke dokter, dokter Margaret sedikit mengerutkan keningnya ketika melihat aku datang bersama Jeremy. Karena biasanya dokter Margaret tahu aku datang sendiri atau dulu selalu bersama Raja.     

"Kamu semakin sehat, Daisy. Setelah ini aku pengen memberikan hadiah buat si kecil. Jadi, jangan menolak, oke?" katanya dengan semangat.     

"Eh? Sesemangat itu?" tanyaku padanya.     

Jeremy mengangguk dan meringis tersenyum. "Karena dia senang dengan sentuhanku, jadi aku merasa sangat bertanggung jawab untuknya. Untuk Jason," katanya.     

Mendengar nama Jason aku jadi kembali memikirkan mimpi-mimpi itu. Anak laki-laki dan aku harus menamainya Jason. Huruf yang sama seperti huruf nama Jeremy.     

"Jadi benar laki-laki, ya?" tanyaku memastikan padanya.     

"Aku yakin dia laki-laki. Kamu pun kelihatannya juga menunjukkan bahwa kehamilanmu berkelamin anakmu laki-laki."     

"Apa pun itu, namanya tetap akan di awali J ya, Jer," kataku dengan cengiran.     

Kali ini aku benar-benar terlihat bahagia dan senang. Seperti beban itu hilang dan aku merasa enteng.     

Setelah makan Jeremy benar-benar mengajakku ke supermarket. Ia membeli segala makanan dan minuman yang sehat untuk bisa dikonsumsi Ibu hamil. Ini sih, namanya ia membelikan untuk Ibunya. Yah, walau pun maksudnya juga untuk si kecil.     

Selesai berbelanja, kami pun ke parkiran untuk kembali ke rumah. Aku tidak kembali ke kantor karena sudah tidak ada pekerjaan yang bisa kukerjakan.     

Saat di parkiran, Jeremy tiba-tiba berhenti dan membeku di tempat. Aku melihatnya dan bertanya-tanya ada apa dengannya. Hingga aku menyadari tatapan lurusnya ke arah mobilnya, seorang wanita tengah berdiri di depan mobilnya.     

Wanita berambut gelombang, mengenakan celana denim dan atasan yang polos namun bermoderen. Ada kacamata hitam yang ia naikan ke atas kepalanya.     

"Jer? Ada apa? Siapa dia?" tanyaku.     

Sepertinya ada hubungannya dengan Jeremy. Karena wanita itu juga menatap Jeremy dalam diamnya. Dia manis dan sedikit pendek dariku. Kulitnya sawo matang dan manis.     

"Jer?" panggilku sekali lagi. Kusentuh tangannya dan ia mulai tersadar.     

"Dai, apa kamu bisa masuk ke dalam mobil duluan? Aku harus menyelesaikan sesuatu," katanya terdengar mencoba biasa, namun aku mendengar nada yang sedikit emosional.     

"Hmm, oke."     

"Dia masa laluku, wanita yang pernah kuceritakan," ujarnya memberitahu.     

Aku mengangguk dan mendahuluinya ke mobil. Wanita itu melihatku sampai masuk ke dalam mobil dengan tatapan penasaran siapa aku sebenarnya.     

Sepertinya suasana akan menegang. Ketika aku melihat perlahan Jeremy mendekat ke arah wanita itu. Tubuhnya benar-benar menegang berada di dekat wanita itu. Aku penasaran juga kenapa dia datang di saat sekarang? Tapi setahuku mereka cukup baik dalam hal komunikasi, tapi sepertinya tidak benar-benar bagi Jeremy.     

Mereka terlibat dalam percakapan yang cukup serius. Aku tidak bisa mendengar pembicaraan mereka tapi kelihatannya Jeremy sangat emosional menanggapinya.     

Sampai akhirnya tatapan Jeremy ke arahku dan mengatur nafasnya senormal mungkin. Lalu tak lama wanita itu memegang tangan Jeremy. Lebih tepatnya meraihnya dan menunjukkan rasa mohonnya pada Jeremy. Mendadak nafasku tercekat. Aku merasa seperti berada di tempat yang salah.     

Jeremy melepas genggaman wanita itu dengan pelan. Aku bisa menangkap bahwa ia tidak ingin menyakiti wanita walau pun wanita itu menyakitinya.     

Kemudian wanita itu memeluknya dan melepaskannya dengan sebuah tangisan. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa juga Jeremy terlihat sangat berguncang?     

Jeremy akhirnya kembali ke dalam mobil dengan wajah tegangnya. Ia menyalakan mesin mobilnya dan kami mulai berjalan dalam keheningan.     

Aku ingin bertanya, tapi aku mengurungkannya mengingat ia sepertinya masih begitu emosional dengan pertemuan barusan. Dan sepertinya wanita itu seperti mendadak menemui Jeremy. Tapi dari mana ia tahu Jeremy ada di sini?     

"Maaf tentang tadi, ya. Aku nggak menduga dia datang dengan tiba-tiba," ujar Jeremy membuka percakapan.     

"Nggak apa-apa, Jer. Aku yang seharusnya minta maaf karena mengganggumu."     

Jeremy menatapku dengan pandangan sulit kutebak. "Serius ya, Dai. Kamu sering kali menyalahkan diri sendiri atas hal yang nggak kamu lakuin. Jadi, berhenti minta maaf, oke? Kamu nggak salah."     

"Oh, o-oke. Aku cuma terbiasa aja, Jer. "     

"It's OK." Jeremy mengacak-acak rambutku dengan senyuman sempurnanya. Lalu tangannya mulai lihai di atas perutku. Kemudian aku merasakan lagi tendangan dari dalam perutku. Tendangan itu menjalar ke aliran darahku dan menghantarkan kesenangan juga kehangatan.     

Jeremy menatapku dengan senyumannya lagi karena tahu respons dari dalam perutku.     

"Kamu masih ingat kan, mantan kekasihku dulu? Yang hanya satu dan kuceritakan ke kamu?" tiba-tiba Jeremy bertanya ingin membahasnya.     

"Ya. Apakah itu dia?" tanyaku.     

Jeremy mengangguk. Fokusnya sudah bukan lagi ke rasa emosionalnya, melainkan pada kemudinya. Sepertinya ia berhasil mengontrol emosinya.     

"Namanya Kayna. Tadi itu dia. Aku awalnya nggak tahu kenapa dia muncul seperti itu. Biasanya dia hanya tiba-tiba kirim pesan atau telepon aku, tapi tadi... Dia benar-benar menemuiku," jelasnya.     

"Apa dia mengikutimu atau kebetulan aja?" tanyaku penasaran.     

"Hmm, kebetulan. Kebetulan juga dia masih ingat dengan mobilku."     

Aku mendengarkan dengan perasaan ingin tahu, jadi Jeremy melanjutkannya.     

"Dia bilang dia ingin kembali padaku," katanya pada intinya.     

Oh. Kembali. Rasanya memang seperti menyenangkan memang jika kembali kepada masa lalu. Apalagi mengetahui Jeremy masih lajang.     

"Dan aku menegaskan bahwa semua jodoh udah ada yang atur. Apalagi dia udah punya pacar. Sekarang untuk apa dia minta balikan di saat dia udah punya pacar?" jelasnya.     

"Kamu menggantungnya kan, berarti?" tanyaku.     

"Nggak. Aku bilang sama dia bahwa nggak ada yang perlu di bahas soal masa lalu. Aku nggak mau ada masa lalu yang terulang lagi," jelasnya lagi.     

Entah kenapa aku merasa lega mendengarnya. Padahal jika dipikir, ia seperti memiliki harapan untuk kembali denganku.     

"Apa dia berpikir sesuatu tentang aku?" tanyaku tiba-tiba.     

Jeremy diam sejenak dan melirikku sedikit. "Ya, dia menanyakanmu. Tapi bukan hal yang perlu kamu khawatirkan."     

Ya, memangnya aku harus mengkhawatirkan apa? Wanita tadi, Kayna, maksudku... Tidak terlihat seperti wanita yang membuat ancaman bagi siapa pun.     

"Maaf kalau tadi kamu harus melihat adegan pelukan itu. Itu terjadi secara begitu saja," katanya meminta maaf.     

Apa dia bercanda? Dia meminta maaf atas adegan pelukan itu? Bukankah itu atas dasar kemauan Kayna? Kecuali jika itu memang kemauan... keduanya.     

"Ya, nggak apa-apa. Tapi apa kamu nggak apa-apa, Jeremy?" tanyaku ingin memastikan lagi.     

"Aku baik-baik aja, Dai."     

Aku rasa tidak ada yang baik-baik saja setelah ketemu mantan kekasih pertama. Tidak akan. Kalau pun ada, aku rasa itu karena dia bisa mengontrol perasaannya.     

Perjalanan kami cukup hening. Karena pertemuan itu, kami cukup menjadi canggung.     

Mendadak aku jadi tidak bernafsu untuk apa-apa selain diam dan berharap segera sampai di rumah. Melepaskan kecanggungan ini dan menenggelamkan diriku di dalam rumah kenangan itu.     

Kutatap luar jendela mobil dan mencoba mengingat-ingat segala hal di luar hari ini. Membosankan, monoton dan sangat tidak menggairahkan.     

Kapan terakhir kali aku senang? Beberapa jam yang lalu? Yah, perkembangan janinku membuatku senang. Tapi juga secepat itu pudar saat aku melihat Jeremy bertemu masa lalunya.     

Rasanya, kalau dipikir-pikir lagi, aku belum merasakan kebahagiaan yang cukup lama. Yang aku lihat hanya luka dan kesedihan. Baik itu dari orang terdekatku atau dari aku sendiri.     

Kupejamkan mataku dan mencoba merasakan kehadiran Raja. Aku merindukannya. Merindukan setiap perkataannya dan pelukannya. Jika ada reinkarnasi di dunia ini secepat itu, aku ingin segera bertemu dengannya.     

Raja... Seandainya kamu tidak meninggal, aku yakin kamu bisa membuatku lebih bahagia, kan? Rasa cinta yang kamu berikan membuatku begitu merasa spesial.     

Aku tidak tahu bagaimana rasanya nanti hidup bersama Jeremy, tapi belum ada yang bisa memberikan rasa yang sama sepertimu.     

Aku merindukanmu, Raja. Kapan lagi kamu hadir di mimpiku?     

"Daisy?" sebuah sentuhan di bahuku membuat aku membuka mataku.     

Jeremy menatapku dengan wajah seriusnya. Mungkin ia pikir aku tidur atau pingsan? Entahlah.     

Aku menatap sekeliling dan sadar bahwa mobil sudah berhenti. "Eh, kita udah sampai? Maaf, aku tidur sebentar lagi," kataku mencoba memasang alibi.     

"Ayo, turun. Aku sekalian turunin belanjaan, ya."     

Jeremy turun dan aku pun juga. Kulangkahkan kakiku mendahuluinya ke teras rumah. Jeremy menyusulku dengan dua kantung belanjaan di kanan kirinya dan kami masuk ke dalam rumah.     

Aku langsung menuangkan jus jeruk dari kulkas dan memberikannya padanya.     

"Minum, Jer. Terima kasih untuk hari ini," kataku.     

Jeremy duduk dan meneguk jus jeruknya. Aku pun ikut duduk dan menghembuskan nafas. Aku juga melepaskan sandalku dan semua terasa lega seketika.     

"Apa kamu lelah?" tanyanya.     

"Hmm, ya... Lumayan."     

"Sini kupijat," katanya menawarkan diri.     

Aku meluruskan kaki seperti dulu, di atas pangkuannya dan ia mulai memijit perlahan. Tidak terlalu kuat tapi cukup membuatku terasa rileks.     

"Kamu tahu nggak kenapa aku menolak untuk kembali padanya? Padahal kalau aku mau, aku tinggal mengiyakannya," tanyanya padaku.     

Oh, sepertinya dia kembali ke topik tadi. "Kenapa?"     

"Aku sedang berharap seseorang melihat ke arahku. Segala usaha yang aku lakukan untuknya," katanya dengan penuh makna menatapku dengan serius. Aku tahu jawabannya ia tujukan padaku.     

"Aku ingin dia tahu, kalau aku masih mencintainya," katanya sekali lagi. "Tapi sayangnya, aku nggak bisa memaksa dia. Jadi aku membiarkan waktu yang menunjukkan sembari aku tetap terus berusaha."     

Aku menghela nafasku. Lalu aku bertanya padanya, tanpa membahas jawabannya, "aku ingin tahu, apakah kamu masih menyimpan rasa untuknya? Karena tadi kamu bilang kamu bisa saja kembali kalau kamu mau."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.