BOSSY BOSS

Chapter 130 - Making Love With Him



Chapter 130 - Making Love With Him

0"Aku baru pertama kali ini merasakan tendangan ini. Ini... sangat menyenangkan," katanya dengan suara senang.     
0

Dari caranya bicara aku bisa merasakan senang juga. Artinya bayiku sehat di dalam. Zen juga tak melepaskan tangannya dari perutku. Ia menatap di sana dan terus mengusapnya dengan lembut. Lalu tak lama tendangan itu berubah menjadi diam sesaat kemudian menendang lagi kegirangan. Aku tertawa kecil, begitu pun Zen.     

Sampai rumah Zen membuka pintu mobil untukku. Ia menuntunku ke dalam rumah secara perlahan lalu mengambil barang belanjaanku dan menaruhnya di dapur secara langsung. Setelah itu ia duduk di hadapanku.     

Zen menghubungi Tino dan merubah rencana agar Tino menjemputnya ke alamat rumahku. Kemudian Zen bersandar di sofa dan menatapku.     

"Kamu semakin cantik," katanya memuji.     

Bersama Zen, aku ingin sekali berada di atas ranjang bersamanya. Tapi aku tahu itu sangat berdosa. Seperti aku tidak tahu malu. Dan tentunya akan ada pihak-pihak yang tersakiti tentunya.     

Aku langsung menghapus bayangan itu dan aku tidak boleh memikirkan itu sekuat apa pun keinginanku untuk bercinta dengannya.     

"Apa kamu sedang menggombaliku?"     

"Nggak. Kamu benar-benar terlihat cantik. Semakin hari semakin cantik," katanya dengan suara seksinya.     

Suara ketukan pintu berbunyi dan kami melihat bersamaan siapa yang datang. Karena pintu memang terbuka, aku terkejut melihat Jeremy ada di sana. Ia memandang kami secara bersamaan, sama syoknya denganku. Padahal tidak ada yang kami lakukan, tapi terlihat jelas di wajahnya begitu terkejut.     

Tiba-tiba Zen berdiri dan menatapku. "Sepertinya Tino sudah menjemputku. Aku pulang ya, Daisy," katanya mendekat dan mengusap-usap. Lalu Zen merunduk dan mengusap perutku. "Om pulang dulu ya, jagoan," katanya pada anakku.     

Zen keluar perlahan dan berhadapan sebentar dengan Jeremy seraya menatapnya dengan tatapan yang tidak terdeteksi. Tapi setelah itu Jeremy masuk dengan dua kantung di tangan kanan dan kirinya. Tercium dari dekat aroma masakan yang menyeruak ke rongga hidungku.     

Jeremy melangkahkan kakinya perlahan dan menatapku dengan tatapan yang tidak terdeteksi juga. Di sini aku merasa benar-benar seperti aku yang bersalah.     

"Maaf," kataku padanya.     

"Lagi-lagi kamu meminta maaf, Daisy?" tanyanya. "Aku bawa makanan untukmu. Untuk kita. Sebaiknya kita makan di halaman belakang, bagaimana?" sarannya.     

Aku mengangguk dan Jeremy duluan ke halaman belakang. Ia sama sekali tidak bertanya tentang yang baru saja terjadi. Padahal aku menantinya bertanya hal itu dan aku sudah menyiapkan jawabannya. Tapi reaksi Jeremy hanya biasa.     

Jeremy membuka kantung plastiknya dan ia sudah menyiapkan peralatan makan. Aromanya benar-benar menusuk hidungku dengan nikmat. Rasa lapar menyergapku.     

Aku langsung ikut makan begitu Jeremy memulainya. Kami makan dalam keheningan tapi juga sesekali tersenyum. Satu tangan Jeremy yang bebas menyentuh tanganku dan menggenggamnya. Ia mengusapnya. Refleks tubuhku menegang.     

Entah kenapa dua laki-laki ini berhasil membuat aku mabuk kepayang. Padahal seharusnya aku tidak merasakan ini.     

"Bagaimana makanannya?" katanya setelah ia menghabiskan suapan terakhir.     

"Hmm, enak. Kamu lihat, aku bahkan habis. Rasanya anak ini terus menerus butuh asupan yang banyak. Makanya tadi aku juga ke mal untuk belanja makanan-makanan yang sudah habis," jelasku.     

Jeremy menautkan alisnya dan menatapku. Sepertinya ia belum sadar tentang itu. "Kamu ke mal sendiri? Kenapa nggak hubungi aku?"     

"Tadinya. Lalu aku ketemu Zen dan dia membantuku hingga sampai rumah. Seperti yang kamu lihat," kataku dan menghela nafas. "Lagi pula kamu yang nggak ada kabar selama seminggu ini sejak terakhir itu. Ke mana kamu, Jer?"     

Mungkin Jeremy tidak berpikir bahwa aku mencarinya dan menunggu kabarnya. Jadi, ketika aku bertanya itu, ia terkejut.     

"Aku ada urusan di luar kota, Daisy. Maaf nggak memberitahumu dari awal. Ada pasien yang harus aku temui di luar," katanya dengan lugas.     

Sebisa mungkin aku mempercayainya walau sulit mempercayai laki-laki lagi sejak Zen berulang kali membohongiku. Terserah jika Jeremy berbohong atau tidak, yang jelas, setidaknya alasan cukup membuatku tenang.     

"Sudahlah, yang penting aku tahu alasanmu," kataku akhirnya.     

"Hmm, omong-omong, aku jarang melihat Ama, Daisy. Apa dia masih menetap di sini?" tanyanya mengalihkan topik.     

"Dia sedang pulang ke rumah orang tuanya. Jadi aku di sini sendiri."     

Jeremy merapikan meja halaman belakang dan mengangguk mengerti ketika aku menjawab pertanyaannya. Ia lalu memindahkan piring kotor ke dapur dan aku duduk tenang di tempat yang sama. Jeremy sudah memaklumi ketidakbisaanku berada di dalam dapur atau melakukan pekerjaan wanita, jadi aku menunggunya sampai kembali.     

Ponsel Jeremy bergetar. Ia sepertinya tidak sengaja meninggalkannya di meja. Biasanya ia membiarkannya berdering dan ketika bergetar, entah kenapa aku merasa aneh. Kulihat sejenak siapa yang menghubunginya, karena barangkali sangat penting.     

Nama Kayna di sana terlihat jelas.     

Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah lain dan diam di tempat. Rasanya seperti ada gumpalan di tenggorokanku. Seperti ingin menangis tapi aku tidak bisa.     

Ponsel itu tetap bergetar sampai Jeremy kembali dan ia baru sadar akan ponselnya yang ada di meja. Kemudian Jeremy mematikannya dan memandang sejenak ke arah ponsel itu lalu mengantunginya.     

"Maaf, apa tadi mengganggumu?" tanyanya dengan suara seperti ketangkap basah.     

"Kenapa nggak diangkat, Jer?" tanyaku.     

"Nggak penting, Dai."     

"Kenapa kamu membohongiku?" tanyaku dengan nada bergetar.     

Jeremy berpindah ke hadapanku dan bersimpuh menatapku. "Aku nggak membohongimu sama sekali. Oke, mungkin kamu melihat namanya muncul. Tapi percayalah, dia memang terus menghubungiku dan aku nggak pernah meresponsnya. Untuk itu aku menghidupkan mode getar."     

Penjelasannya cukup menjawab semua pertanyaanku. Tapi rasanya aku masih cemburu dan merasa terluka sekali.     

"Apa jangan-jangan, seminggu kemarin kamu bertemu dengannya?" tanyaku curiga.     

Jeremy menundukkan kepalanya di atas tanganku dan aku bisa merasakan hembusan nafasnya. Lalu di sela-sela itu ia menggelengkan kepalanya. "Nggak. Jawabanku tetap sama seperti tadi, Dai."     

Kupejamkan seluruh mataku dan mencoba menarik juga menghembuskan nafasku. Rasanya aku jadi lebih sensitif sekali semakin ke sini. Sehingga siapa pun yang bagiku seperti masa lalu, aku terus merasakan emosiku semakin naik."     

"Maafkan aku, Jeremy," kataku pada Jeremy.     

Tanpa rencana, aku menggerakan tanganku dan mengusap-usap rambut kepala Jeremy. Sudah lama sekali aku tidak melakukan ini kecuali pada Raja.     

Jeremy akhirnya duduk di dekatku dan dengan perlahan ia memajukan dirinya untuk menciumku. Bibirnya menyapu bibirku perlahan. Awalnya terasa kaku, lalu lama-lama aku membalasnya dan semakin merasakan tubuhku terasa liar dalam sentuhannya.     

Kedua tangan Jeremy menggapai rahangku. Ciumannya begitu dalam dan suasana sekitar terasa panas. Nafas kami semakin memburu dan aku ingin itu. Tidak bisa bersama Zen, setidaknya Jeremy mungkin adalah orang yang tepat.     

"Jer," panggilku dengan nafas tak keruan.     

Jeremy tidak membiarkanku berbicara. Ia malah segera mengambil bibirku kembali. Kemudian dengan tangannya yang kokoh beserta tenaganya, Jeremy membopongku ke dalam. Aku tidak tahu ke mana ia akan membawaku, tapi ciuman kami tidak lepas.     

Aku merasakan rasa empuk kasur di mana Jeremy menaruhku dengan lembut. Aku langsung melucuti pakaiannya dengan tanganku secara perlahan. Melepaskan kancing kemejanya satu persatu hingga aku merasakan dadanya yang bidang dan perutnya yang membentuk.     

Tangan Jeremy lihai melepas baju hamilku hingga hanya menyisakan dalaman. Kemudian Jeremy melepas semua yang ada padaku dan padanya. Kami terlibat dalam pemanasan cinta yang menggelora. Aku tidak tahan untuk merasakan sensasi nikmat itu lagi.     

"Kamu yakin?" tanyanya padaku dengan nafas yang menderu. Aku mengangguk dan kembali menciumnya.     

Perlahan Jeremy memasuki ereksinya yang keras dan menegang itu dalam area sensitifku. Perasaan ini menjalar ke dalam aliran tubuhku. Beterbangan dan menggelora-gelora. Rasanya nikmat dan semakin nikmat ketika Jeremy bergerak di atasku.     

Perlahan-lahan Jeremy bergerak. Karena ia tidak mau melukaiku, akhirnya ia menyuruhku berbalik menungging, sehingga ia mulai bergerak di belakangku.     

Kepalaku tersentak ke belakang dan Jeremy kembali menciumku sambil menggerakan pinggulnya secara perlahan. Sensasi nikmat ini akan segera datang bersamaan dengan yang Jeremy rasakan. Karena aku bisa merasakan remasan tangannya pada pinggulku semakin mengencang membuat tubuhku bergelincang.     

Aku langsung merebahkan diriku setelah selesai bercinta dengan Jeremy. Ini kedua kalinya kami bercinta dan rasanya ia lebih sangat berbeda. Penyampaian hasratnya benar-benar menghantarkan getaran yang hebat dalam tubuhku.     

Jeremy merentangkan satu tangannya dan meraihku agar aku bisa berada dalam pelukannya. Aku menaruh kepalaku di dadanya yang membidang itu dan menghembuskan nafasku. Lalu Jeremy menyelimuti kami berdua sampai aku tertidur cukup pulas.     

***     

Jeremy's -     

Aku masih tidak menyangka bahwa kami bercinta lagi. Jelas sekali kami memang menginginkannya dan membutuhkannya. Apalagi hanya dengan Daisy aku melakukannya sejak pertama kali. Aku hanya harus berhati-hati ketika tadi bercinta dengannya mengingat ia sedang hamil.     

Sekarang Daisy tertidur pulas dalam pelukanku dan aku tidak bisa tidur karena ini masih siang hari. Apalagi aku tidak terbiasa tidur di siang hari seperti ini. Tapi aku senang bisa membuatnya puas dan tertidur dalam pelukanku.     

Saat ini aku juga bisa merasakan tubuhnya masih menyentuh tubuhku. Perutnya yang membesar dan pelukan tangannya pada pinggangku.     

Dengkurannya terasa nikmat di dengar. Kulitnya juga halus saat aku menyentuh. Dan aku bersumpah bahwa aku tidak akan membuatnya terluka apalagi meninggalkannya.     

Suara mobil berhenti di depan membuatku perlahan melepaskan pelukan Daisy dan kembali menyelimutinya ketika aku sudah turun dari ranjang.     

Aku langsung meraih kemeja dan celanaku lalu bergegas menuju pintu sebelum tamu itu menyalakan bel pintu. Aku tidak mau Daisy bangun dari tidur lelapnya.     

Saat aku membuka pintu, aku melihat Raka dan Reina datang dengan membawa sesuatu yang kuduga untuk Daisy. "Hai," sapaku membuka pintu lebar-lebar dan membiarkan mereka masuk.     

Raka menatapku dari atas hingga ke bawah. Sepertinya ia menyadari sesuatu bahwa ada sesuatu yang berantakan pada diriku tapi ia tidak mengungkitnya.     

"Di mana Daisy, Jer?" tanya Reina.     

"Oh, dia baru saja tidur. Duduklah dulu, biar aku buatkan sesuatu untuk kalian."     

Aku menuju dapur dan membuat minuman untuk mereka. Lalu Raka muncul dan menatapku dengan serius. "Jangan lihat gue kayak gitu, Ka!" kataku padanya.     

"Jadi, akhirnya berhasil mendapatkan cintanya?" tanyanya memancingku dengan wajah yang mengejekku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.