BOSSY BOSS

Chapter 133 - Crazy Zen



Chapter 133 - Crazy Zen

0Entah angin apa yang membuat Zen datang ke rumah Daisy, yang jelas Daisy terkejut. Raut wajahnya berubah begitu melihat Zen masuk ke dalam rumahnya dan mereka saling berpandangan.     
0

"Kamu mau aku temani atau ditinggal, Dai?" tanya Ama memecah keheningan.     

"Hmm, tinggal aja, Ama. Aku nggak apa-apa," jawab Daisy serak.     

Begitu Ama pergi, Zen melangkah menghampiri Daisy dan duduk di hadapannya.     

Sebuket bunga berada di tangan Zen. Ia lalu menaruhnya di meja yang membatasi mereka. Daisy menaikkan satu alisnya, bertanya, "apa ini?"     

"Untukmu, Daisy," jawabnya.     

"Zen, kamu tahu aku nggak suka bunga, kan? Atau kamu sedang mencoba agar aku suka bunga?"     

Lebih dari sekadar bodoh, Zen merutuki dirinya sendiri. Ia lupa bahwa Daisy tidak suka bunga. Mencoba untuk menahan rasa malunya, Zen mencoba bersikap biasa.     

"Ya, aku sedang mencoba agar kamu suka bunga," jawab Zen seelegan mungkin.     

Daisy tertawa kecil. Tawanya lebih kepada 'apa kamu bercanda?' Namun walau begitu, Zen tersenyum menanggapinya.     

"Lupakan tentang bunga, aku ingin kamu ikut aku berkeliling, Daisy," katanya.     

Raut wajah Daisy kembali datar saat Zen mengajaknya berkeliling. Bukan karena penasaran ingin ke mananya, tapi lebih tepatnya, apa yang Zen inginkan darinya.     

"A—"     

"Sebelum menolak, kamu tahu aku nggak bisa menolak, bukan?" potongnya padahal Daisy ingin berbicara.     

Daisy mencebik bibirnya dan ia pun berdiri dengan perlahan. Zen hampir membantunya untuk berdiri. "Aku bisa sendiri, Zen," tolak Daisy. "Tunggu di sini, aku bersiap-siap."     

Daisy menutup pintu kamarnya dan menguncinya. Ia meraih ponselnya dan menghubungi Jeremy. Untungnya panggilan itu segera Jeremy jawab.     

"Pagi, Daisy," sapa Jeremy dengan suara yang indah.     

"Pagi, Jer. Di sini ada Zen, Jer."     

"Apa yang dia perbuat?" tanya Jeremy.     

"Dia ngajak aku pergi."     

"Pergilah," ucap Jeremy.     

Daisy mengerutkan keningnya karena mendengar persetujuan Jeremy, sementara yang ia harapkan adalah Jeremy tidak mengizinkannya.     

"Kamu menyetujuinya? Maksudku, mengizinkan aku?" tanya Daisy.     

"Daisy, aku percaya kalau Zen nggak akan berbuat lebih padamu. Dan aku percaya kamu."     

"Tapi, Jer... Aku pernah menghancurkan kepercayaanmu. Ba-bagaimana bisa kamu percaya padaku lagi?"     

Jeremy menghela nafasnya. "Aku hanya percaya aja. Aku ingin hubungan ini berjalan baik," katanya dengan tegas.     

***     

Zen tersenyum senang begitu ia berhasil mengajak Daisy pergi. Daisy sekilas meliriknya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.     

"Simpan senyummu itu, Zen," ucap Daisy ketus.     

"Ibu hamil jangan galak-galak, ya. Nggak boleh, loh."     

Daisy sedikit bergidik ketika ia melihat perubahan Zen yang dari sosok misterius, lantas berubah sedikit humoris. Rasanya aneh melihat Zen bersikap seperti itu.     

"Kita mau ke mana, sih?" tanya Daisy.     

"Jalan-jalan. Supaya Ibu hamil nggak merasa bosan berada di rumah terus."     

"Dasar aneh!" cibir Daisy kemudian.     

Tetap saja, Zen hanya tersenyum membalas setiap ucapan Daisy.     

Tibalah mereka di kawasan vila dengan jalanan yang tadinya mereka lewati naik turun, yang orang-orang sebut puncak.     

Zen membuka pintu mobil Daisy yang tertidur sejak di jalanan. Ia membangunkan Daisy perlahan sampai ia terkejut sendirian.     

"Astaga, apa aku tidur?" tanya Daisy.     

"Iya. Ayo, turun. Kita udah sampai," ujar Zen. Ia membantu Daisy turun yang mencengkeramnya dengan erat.     

Zen bisa merasakan Daisy semakin berat walau ia tidak menggendongnya. Hanya saja ketika Daisy mencengkeramnya erat, seperti ketika Zen menopangnya, jelas sekali beratnya.     

Suasana sejuk menyergap tubuh Daisy yang untungnya mengenakan jaket rajutan tebal. Ia melihat pemandangan di sekitarnya dan sejenak menghirup udaranya.     

"Ayo, aku tunjukkan vilaku," ujar Zen mengajaknya.     

"Vila? Kita ke vila?" tanya Daisy heran.     

"Iya, vila. Hanya melihat-lihat. Kita nggak akan menginap, Daisy."     

Seperti tahu apa yang dipikirkan Daisy, Zen pun menatapnya dengan senyuman. Sementara itu Daisy bisa bernafas lega. Ia tidak ingin ada hal-hal yang terjadi di antara mereka berdua lantaran Daisy tidak ingin mereka berdua kembali.     

Zen menuntunnya ke dalam sementara Daisy mengikutinya secara perlahan. Entah apa motif Zen mengajak Daisy, itu yang dipikirkan Daisy. Padahal bisa saja mereka berkunjung ke tempat lain.     

"Sebaiknya kita ke tempat lain aja, Zen," usul Daisy karena merasa bosan.     

"Kenapa?"     

"Aku bosan." Daisy langsung berbalik dan menuju pintu depan dengan langkah sedikit lebih cepat. Ia tidak ingin nantinya Zen menghentikan langkahnya.     

Tapi untungnya Daisy tiba di pintu utama dengan cepat sampai Zen mengikutinya.     

"Di sini sejuk. Bisa jadi di tempat lain lebih sejuk. Aku tahu di sini jualan jagung bakar. Bagaimana kalau kita sesekali mengunjungi warung jagung bakar dan minum minuman hangat?" tanya Daisy memberikan ide.     

Zen terdiam sesaat dan menelan ludahnya. Daisy bisa melihat tenggorokannya bergerak naik turun dan ia mengabaikan tanda itu.     

Langkah Zen mendekat. Semakin mendekat membuat Daisy mundur selangkah demi selangkah. Entah kenapa Daisy merasa Zen hari ini berbeda.     

Tiba-tiba tangannya mencengkeram lengan Daisy dengan hebat. Kemudian tanpa suara, Zen membawa Daisy masuk ke dalam vilanya.     

Zen mengunci tubuh Daisy di dinding sebelah pintu vila. Nafasnya begitu memburu, bahkan Daisy juga. Sayangnya Daisy merasa takut, bukan nafsu seperti pada umumnya. Ia berharap Jeremy datang sesegera mungkin. Entah kenapa tadi saat ia menelepon Jeremy, Daisy tanpa sadar membagikan lokasi terkininya secara daring. Ia berharap Jeremy mengikutinya.     

"Aku. Nggak. Bisa. Menahannya. Daisy," kata Zen dengan suara seraknya.     

"Kita harus pergi dari sini, Zen," ujar Daisy senormal mungkin.     

"Apa kamu nggak merindukan aku? Sentuhanku? Apa kamu nggak memikirkan bahwa aku bisa menjadi Ayah dari anakmu?" tanya Zen mencercanya.     

Daisy menahan nafasnya walau perasaannya benar-benar khawatir. Ia menatap sekelilingnya yang barangkali bisa ia gunakan untuk menghadang Zen jika sesuatu yang buruk terjadi.     

"Aku nggak ingin apa pun darimu, Zen."     

Matanya terlihat tajam. Zen menahan emosinya. Tangannya tiba-tiba terulur dan menyentuh bagian perut Daisy yang membuncit. Mengusapnya perlahan dengan lembut. Lalu Zen merasakan tendangan beberapa kali dalam perut Daisy.     

Daisy yang merasakan itu ikut serta membelalak. Ia berpikir bahwa anaknya tidak akan memberikan respons apa pun untuk Zen lantaran kekhawatirannya sekarang.     

"Dia menendang. Apa itu pertanda baik?" tanya Zen dengan tatapan lembut.     

Entah kenapa Daisy merasa ikut lega saat menatap wajahnya yang melunak. Daisy mengangguk pelan.     

Wajah Zen terlihat senang. Ia bahkan menunduk dan mendekatkan telinganya pada perut Daisy.     

"Hai, jagoan," sapa Zen.     

Hati Daisy langsung mencelos begitu mendengar sapaan Zen pada anaknya. Semua berpikir bahwa anak yang dikandung Daisy adalah laki-laki, tapi Daisy belum percaya jika ia belum melihatnya sendiri.     

Tendangan itu beberapa kali Zen rasakan dan ia terlihat gembira bukan main.     

Zen kembali berdiri menatap Daisy. Tatapan itu kembali tajam menuju wajahnya. "Kembali padaku, Daisy," pinta Zen agresif.     

"Zen... Aku nggak... Bisa."     

"Apa? Kenapa? Apa aku nggak seperti Jeremy?"     

Mata Daisy langsung membelalak. Ia pun menjauh paksa dari himpitan tubuh Zen yang membelenggunya. Mundur selangkah demi selangkah menuju pintu vila. Ia harus segera keluar dari vila sebelum Daisy semakin memberontak dan Zen lepas kendali.     

"Jangan bawa-bawa Jeremy!" kata Daisy berseru.     

"Kenapa? Jadi, benar? Kamu mau kembali bersama mantan kekasihmu itu?"     

Zen mengikuti langkah Daisy yang mundur secara perlahan itu. Sampai Daisy berhasil meraih gagang pintu.     

"Dia lebih baik dari pada kamu, Zen!"     

"Memangnya kamu lebih baik untuk dia? Nggak, Daisy. Kamu dan aku sama-sama nggak baik untuk siapa pun. Kita saling melengkapi," tutur Zen ketika ia sudah berada di hadapan Daisy.     

"Plakkk!" tamparan keras di wajah Zen mendarat dari tangan kanan Daisy.     

Zen tidak meringis kesakitan. Ekspresinya langsung dingin ketika tamparan itu ia rasakan. Kepalanya langsung menoleh ke arah Daisy dan Daisy langsung keluar dari pintu dengan cepat.     

"Brukkk!" Daisy menabrak tubuh seseorang yang diam di depan pintu luar.     

Tangan itu langsung menahan Daisy dan mereka saling bertatapan dalam sekejap. Daisy langsung memeluknya dan air mata terjatuh.     

Jeremy datang. Benar-benar datang sesuai harapan Daisy.     

"Menjauhlah, Daisy," ujar Jeremy lembut.     

Zen tersenyum kecut. Ia menatap Daisy yang mundur sedikit jauh dari Jeremy dan kemudian tatapannya beralih ke mata Jeremy.     

"Penguntit," ucap Zen.     

"Aku mengiriminya lokasiku, Zen. Dia nggak menguntit sama sekali," ucap Daisy membela Jeremy.     

"Berhenti berbuat kasar padanya. Perjanjian itu kita batalkan," ucap Jeremy dengan lirih tanpa Daisy ketahui.     

Tidak ada balasan dari Zen sehingga Jeremy mundur selangkah dan langsung mengajak Daisy pergi dari sana.     

Saat di mobil, Jeremy menghela nafasnya. Ia meneguk air mineral dan memberikan yang baru pada Daisy.     

Keadaan Daisy benar-benar masih syok. Ia hanya diam dengan pandangan lurus ke depan. Tidak berbicara tapi mengerti apa yang Jeremy lakukan untuknya.     

"Maaf aku datang terlambat. Perlu waktu untuk mencerna lokasimu dan semakin waktu berjalan perasaanku mengatakan yang nggak enak," jelas Jeremy.     

Daisy diam dan tidak membalas. Lalu Jeremy meraih tangan Daisy dan mengecupnya. "Seharusnya aku nggak mengizinkanmu pergi darinya," ujar Jeremy lagi.     

Kepala Daisy langsung menoleh ke arah Jeremy dan tersenyum. Satu tangannya ia usapkan di atas punggung tangan Jeremy yang mengusapnya.     

"Untung kamu datang di saat yang tepat. Aku nggak tahu apa yang akan Zen lakukan ke aku kalau kamu nggak datang. Karena aku tahu bagaimana emosinya nggak terkendali kalau sesuatu nggak berjalan sesuai harapannya," jelas Daisy membalas.     

"Sekali lagi maafkan aku ya, Daisy. Aku nggak akan membiarkanmu begini lagi," timpal Jeremy.     

Jeremy mengecup kening Daisy sesaat dan mereka pun lekas pergi dari sana.     

***     

Zen merutuki Jeremy yang sudah berlalu. Ia melemparkan semua barang-barang yang ada di vila dengan perasaan kesal.     

Ditatapnya foto pengantin dirinya dengan Daisy yang ia pajang di vila ini. Entah Daisy tadi menyadarinya atau tidak, yang jelas Zen menatapnya dengan matanya yang tajam.     

"Tino... satu wanita. Di vila. Sekarang!" perintah Zen pada Tino untuk membawa wanita bayaran yang bisa memuaskannya.     

Anak buahnya tentu tidak bisa membantah. Apalagi ini adalah pertama kalinya Zen meminta wanita bayaran setelah sekian lama ia tidak memakai jasa mereka untuk memuaskannya.     

"Aku akan berusaha mendapatkanmu kembali, Daisy," ucapnya pada bingkai foto pernikahan mereka yang tertuju pada foto wajah Daisy.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.