BOSSY BOSS

Chapter 135 - The Best of Him



Chapter 135 - The Best of Him

0"Hai, apa kabar? Apa sekarang kamu bahagia lihat aku bersamanya?" sapa Daisy pada nisan Raja yang mana tengah ia kunjungi seperti yang kemarin Jeremy tawarkan untuk menyekarnya.     
0

Daisy menatap Jeremy dari kejauhan yang menatapnya, sedang menunggu Daisy selesai menyekar. Mengenakan kacamata hitam tanpa Daisy tahu bagaimana ekspresi matanya di balik kacamata itu.     

"Dia baik. Seperti yang kamu bilang. Tapi, kamu tetap nomor satu, Raja." Suaranya mulai bergetar.     

"Aku... Aku belum pernah secinta ini dengan laki-laki lain. Kenyataan ditinggal mati itu menyakitkan. Dan... Itu adalah lukaku yang paling dalam di banding apa pun juga."     

Daisy menyeka air matanya yang tumpah tanpa di sadarinya sejak tadi.     

"Maaf, aku menangis. Kamu pasti nggak senang, kan, lihat aku menangis?"     

Tangannya mulai menyentuh perutnya. Ada tendangan yang Daisy rasakan saat ia menyentuhnya. Padahal Daisy jarang menerima respons itu kecuali dari orang-orang terdekatnya.     

"Apa kamu tahu, saat ini anak kita lagi menendang-nendang. Sepertinya dia tahu bahwa dia lagi di tempat Papanya," ujar Daisy.     

Daisy mengusap-usap nisan Raja dan mulai kembali menangis. Sepertinya datang ke makam Raja membuatnya jadi kembali menangis dan semakin teringat kenangan-kenangan itu.     

"Aku harus pulang," katanya dengan singkat dan langsung berjalan ke arah Jeremy.     

Daisy langsung memeluk Jeremy tanpa sepatah kata yang langsung di balas oleh Jeremy. Jeremy lalu mengusap-usap punggung Daisy dengan lembut dan mengecup keningnya. "Apa kamu udah selesai?" tanya Jeremy dalam pelukan itu.     

"Aku rasa aku nggak akan bisa kembali ke sini sampai aku benar-benar siap menerima kepergiannya, Jeremy."     

Jeremy mengendurkan pelukannya dan menatap Daisy. Matanya yang berkaca-kaca membuatnya paham dan lantas memeluknya kembali. Apa pun yang baik bagi Daisy, ia akan mempertahankannya.     

"Itu terserah kamu, Daisy," ucapnya kemudian.     

Mereka pun lalu meninggalkan makam dalam keheningan. Daisy masih dirundung perasaan sedih yang menyergap dan ia ingin Jeremy membawanya ke rumah orang tuanya saja. Daisy butuh sesuatu yang ramai dan menghiburnya.     

***     

Daisy's POV -     

Ada alasan kenapa aku sampai sekarang belum menjelaskan hubunganku dengan Jeremy. Di satu sisi aku tidak ingin ada luka yang baru, di sisi lain aku masih mencintai Raja. Tentu saja rasa cinta yang kumiliki untuknya lebih besar dari pada dengan Jeremy. Aku yakin Jeremy cukup mengerti tentang ini walau aku juga merasa dia ingin aku mengatakan kejujuran tentang apa yang kuinginkan dari hubungan ini.     

Saat menatap dirinya yang tengah mengemudi mobilnya, aku memang merasa aman dan tenang berada di sisinya. Sejak dulu sebenarnya aku merasa seperti itu, hanya saja aku yang terlalu jahat di belakangnya. Bermain nakal dengan keegoisanku sendiri.     

Sampai rumah, Jeremy dan aku turun. Jeremy ini tipikal yang sangat sopan sekali jika di rumah orang tuaku. Ia bahkan menghindari genggaman tangan jika dirasa tidak perlu. Dan dia selalu membuatku jalan lebih dulu dan ia akan berada di belakangku untuk menjagaku.     

Aku masuk ke dalam rumah yang mana pintu rumah selalu Ibu buka setiap pagi karena beliau percaya siapa pun yang membuka pintu di pagi hari sebelum matahari terbit, rezeki akan masuk ke dalam rumah itu. Dan aku pun mempercayainya.     

"Loh, kok ke rumah nggak bilang-bilang, Nak?" sapa Ibu ketika aku menyalaminya.     

"Iya Bu, maaf. Kami habis dari makam," kataku lembut.     

Ibu langsung menatap Jeremy. Entah tatapan apa yang Jeremy berikan padanya, yang jelas Ibu tidak bertanya lebih lanjut. Mungkin karena tidak ingin membuatku sedih juga karena beliau sudah pasti tahu makam siapa yang aku maksud.     

"Ayo, makan. Ibu panggilkan Raka dan Reina ya, biar sekalian bareng saja."     

Aku lupa memberitahu kalian, aku tidak jadi ke kantor. Jadi, saat pagi aku langsung meminta Jeremy untuk langsung ke makam. Rasanya aku mungkin tidak akan ke kantor dulu untuk sementara waktu. Jadi, semua urusan biar Raka saja yang urus.     

Aku menunggu di meja makan bersama Jeremy yang ada di sebelahku. Lalu aku mendengar suara Raka dan Reina yang muncul bersamaan.     

Untuk sesaat, jika aku boleh jujur, aku hampir tidak mengenali bahwa dia adalah Raka. Aku pikir dia adalah Raja, suamiku yang belum meninggal. Penampilannya hari ini mirip sekali dengan Raja dan aku tidak bisa menepiskan pandangan itu sampai Jeremy sepertinya sadar akan sesuatu.     

"Daisy, sadarlah. Dia Raka," katanya berbisik.     

Aku mengerjapkan mataku dan menatap Jeremy. Kuhela nafasku dan tersenyum padanya. "Terima kasih udah ingatin aku, Jer," ucapku.     

Raka yang merasa sebelumnya aku perhatikan, kini memperhatikanku dengan pandangan 'ada apa?' Aku merasa sangat malu sekali rasanya jika membayangkan kakak iparku adalah suamiku. Bagaimana tidak, mereka sama dalam segala hal walau aku tahu sifat dan cara penampilan mereka berbeda. Well, tapi hari ini Raka memang terlihat hampir sama seperti Raja.     

"Jadi, kamu yakin nggak ke kantor?" tanya Raka di saat kami sibuk menuangkan lauk pauk ke atas piring.     

"Hmm, ya. Aku minta maaf ya, kalau aku merepotkanmu."     

"Lagian Daisy bisa di sini sama aku, ya kan, Dai?" timpal Reina.     

Aku tersenyum dan mengangguk. "Yah, kita juga sudah lama nggak melakukan SPA Ibu hamil, kan?" kataku sangat tertarik untuk melakukan SPA."     

"Aduh, ide bagus! Aku kok, nggak kepikiran sama sekali tentang itu, ya?"     

Raka dan Jeremy saling menggelengkan kepala mereka dan aku sejenak lupa akan hal yang baru saja terjadi padaku.     

Selesai sarapan, Raka segera berangkat ke kantor dan Reina mendampinginya sampai pintu. Kemudian aku menyusul bersama Jeremy karena Jeremy juga punya kewajiban untuk bekerja. Jadi, aku ikut mengantarnya sampai depan juga.     

"Baik-baik, ya. Hubungi aku kalau sesuatu terjadi, OK?" katanya dengan lembut.     

"Iya, Jeremy. Terima kasih untuk pagi ini, ya."     

Jeremy menyentuh perutku dan mengusapnya. Ada satu tendangan yang meresponnya membuatku terkejut sebentar lalu merasa biasa. Gemas sekali rasanya, tidak sabar melihatnya hadir di kehidupanku.     

"Om pergi kerja dulu, ya. Dah, jagoan!" ucapnya yang membuatku merasa sangat tersentuh sekali.     

Melepas kepergian Jeremy saat memasuki mobilnya, aku memandang Raka yang mengangguk padaku untuk berpamitan bahwa ia akan berangkat kerja juga. Jadi aku hanya membalas anggukannya.     

Reina dan aku masuk ke dalam rumah dan aku masuk ke dalam kamarnya atas ajakannya. Omong-omong aku belum pernah masuk ke dalam kamar mereka, jadi saat aku masuk ke dalam, rasanya sangat aneh. Semua dinding di kamarnya ini di tutupi oleh rak buku yang beberapanya sudah diisi oleh buku.     

"Ini... buku-bukumu atau Raka, Rei?" tanyaku padanya dan mencoba menjelajahi setiap rak-rak yang menutupi dinding kamarnya.     

Reina tertawa kecil dan ia menatapku. "Dua-duanya. Tapi ini ide Raka, lebih tepatnya. Hanya saja aku jadi suka membaca gara-gara dia."     

Aku takjub. Rak bukuku saja tidak sepenuh dan sebanyak ini, tapi ini bisa dijadikan inspirasi nantinya. Aku pun langsung duduk di tepi kasurnya dan menatap Reina yang sibuk membenahi sesuatu.     

"Apa yang kamu lakukan, Rei?"     

"Merapikan buku-buku, Dai. Di bagian ini adalah buku-buku yang belum kita selesaikan. Di tengah itu yang sudah, makanya kan masih sedikit yang sudah selesai ketimbang yang belum." Ia tertawa begitu bahagia.     

Ya, aku yakin ia sangat bahagia dengan pernikahannya dan tidak kekurangan suatu apa pun. Bahkan kehamilannya terlihat seperti sempurna dan tidak ada masalah. Tidak seperti aku yang lelah sedikit saja aku langsung tidak berdaya.     

Reina membelah buah pir untukku dan dia. Lalu meletakkannya di atas kasur dan kami duduk bersama di kasur sambil menikmati suasana kamarnya yang teduh bahkan tanpa AC menyala.     

"Kamu banyak berubah ya, Rei? Sepertinya rumah tanggamu berhasil," kataku memuji sesuai apa yang kulihat.     

"Syukurnya aku banyak berubah, Dai. Tapi ya, namanya rumah tangga, berhasil atau nggak, pertikaian itu selalu ada. Kelihatannya saja loh, aku sama Raka baik-baik saja. Padahal kadang ada sesuatu yang membuat kami jadi bertengkar," jelasnya.     

"Oh, maaf. Aku memang menilai berdasarkan apa yang kulihat," kataku dengan senyuman bersalah.     

"Nggak masalah," katanya seraya menggigit satu potongan buah pir. "Itu wajar. Pada akhirnya kami selalu berhasil saling memaafkan satu sama lain."     

Aku mengangguk. Aku memang tidak tahu rumah tangga yang berhasil itu seperti apa setelah Raja meninggal. Yang aku tahu hanyalah rumah tangga Raka dan Reina yang kelihatannya baik-baik saja.     

"Dan, bagaimana dengan Raka sendiri? Dia juga berubah, kah?" tanyaku.     

Reina mengangguk. "Sangat drastis bahkan. Dia jadi lebih humoris ketimbang saat sebelum menikah. Kaku dan sangat aneh."     

Ternyata bukan hanya aku yang merasakannya. Reina sendiri merasakannya. Tentu saja, dia kan istrinya dan yang lebih tahu tentang Raka.     

"Bagus dong, kalau begitu," ujarku.     

"Hmm, iya. Tapi aku teringat seseorang..." katanya lalu menggantungkan kalimatnya dan menatapku. Aku tahu siapa yang ia maksud. Sebelum ia mengatakannya lebih lanjut, aku menghela nafasku. "Dan orang itu Raja... maaf Daisy, bukan maksudku ingin-"     

"Aku nggak masalah, Rei," selaku dan membelakangi beberapa helai rambutku ke belakang telinga. "Kamu tahu, aku tadi ke makam Raja," kataku.     

Aku bisa melihat bahu Reina merosot. Sepertinya nada ucapanku terdengar begitu menyedihkan. Tapi aku senang karena akhirnya aku bisa sedikit banyak cerita pada Reina.     

"Aku menangis di sana, Rei. Dan aku rasa... aku nggak akan bisa ke sana lagi sampai aku benar-benar bisa merelakannya," kataku akhirnya.     

Reina menyentuh bahuku dan mengusap-usapnya. Sekarang ia benar-benar terasa seperti saudara perempuanku. Padahal dulu aku sangat membencinya atas apa yang ia lakukan pada Raka dan Raja.     

"Melihat nisannya, membuatku ingat akan memori terakhir aku bersamanya. Aku benar-benar nggak sanggup, Rei," ujarku.     

"Dai, aku nggak pernah tahu bagaimana rasanya ditinggal seperti itu. Tapi aku mencoba mengerti dan aku yakin kamu kuat. Demi anak kalian. Senggaknya bagian dari diri Raja ada pada anakmu, bukan?"     

Aku mengangguk. Reina benar, sebagian milik Raja ada pada anakku. Dan aku harus melahirkan anak ini sesehat mungkin. Agar ia tahu bahwa aku sangat menginginkannya, seperti Raja menginginkan anak ini tumbuh dengan sempurna.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.