BOSSY BOSS

Chapter 136 - He Died & That's The Answer



Chapter 136 - He Died & That's The Answer

0"Terima kasih, Rei. Kamu memang mengerti dan paling bisa memberiku kekuatan," kataku padanya.     
0

"Cuma itu yang bisa aku berikan sama kamu, Dai. Aku juga punya banyak salah padanya, jadi aku ingin menebus semua kesalahanku padanya melalui kamu. Dia pasti senang, kan?"     

Aku mengangguk dan terharu. Lalu aku mencomot satu potongan pir dan mengunyahnya. Kemudian Reina meraih ponselnya dan menyentuh-sentuh ponselnya entah apa yang ia lakukan.     

"Kita SPA, ya? Aku pesankan," katanya tanpa melihatku.     

"Kalau kamu nggak keberatan, aku nggak masalah," balasku dan Reina mengangguk-anggukkan kepalanya.     

Setelah itu Reina kembali menaruh ponselnya dan menatapku dengan senyuman. "Udah. Nanti agak menuju siang kita berangkat. Oh ya, omong-omong, bagaimana kamu dan Jeremy?" tanyanya.     

Pertanyaan Reina yang dadakan itu membuatku sedikit berhenti hingga raut wajahnya menunjukkan rasa minta maaf padaku.     

"Ah, maaf... aku seharusnya nggak bertanya itu," katanya kemudian.     

Aku segera menggelengkan kepalaku dan bersikap normal. "Nggak apa-apa, Rei. Mungkin cuma kamu yang akan kuberitahu tentang hubunganku dengan Jeremy."     

Kujelaskan semuanya padanya bagaimana perasaanku pada Jeremy. Apa yang kutakuti hingga apa yang membuatku tetap memilih Jeremy bagaimana pun keadaannya. Hanya saja, ketakutankulah yang membuatku enggan untuk maju ke tahap selanjutnya.     

Aku masih memikirkan bahwa Raja baru saja meninggal. Tanahnya bahkan masih basah dan aku tidak ingin menikah dalam waktu dekat. Perlu waktu dan mungkin sedikit agak lama. Tapi jika Jeremy pada akhirnya menyerah padaku, aku tidak mempermasalahkannya. Karena memang akulah si penghalang atas hubungan ini.     

"Pasti beban banget, ya?" tanya Reina sebagai respons.     

"Sepertinya. Tapi aku nggak memikirkan itu terlalu dalam, Rei. Jadi, buatku nggak begitu masalah."     

"Iya, sebaiknya juga jangan terlalu memikirkannya. Kamu sedang hamil. Bahkan saat melahirkan pun, kamu juga nggak boleh stres. Iya, kan?"     

Benar. Sedari hamil sampai memiliki anak nantinya, pasti banyak risiko yang akan terjadi jika terlalu stres memikirkan hal yang berat.     

"Untungnya Jeremy tidak bertanya apa pun tentang hubungan ini. Sepertinya dia mengerti," kataku.     

Reina mengangguk mantap. "Benar. Dia mengerti, Dai. Kami pernah bertanya tentang perasaannya padamu. Maksudku, aku dan Raka," katanya.     

"Oh? Kapan? Apa kalian pernah berbicara bersamanya tanpa aku?" tanyaku.     

"Iya. Sebenarnya Raka yang ingin memastikan kamu mendapat laki-laki yang bertanggung jawab padamu. Jadi, ia memastikan langsung pada Jeremy."     

"Katakan semuanya padaku," kataku dengan semangat seraya menyentuh tangan Reina.     

Reina tersenyum lebar dan menatapku dengan pandangan yang tak bisa kubaca. Aku tahu sekarang wajahku begitu bersemangat jika menyangkut Jeremy. Yah, walau sebenarnya aku sudah tahu perasaannya yang masih sama terhadapku. Tapi rasanya sangat berdebar sekali jika ada orang terdekat yang menyampaikannya padaku.     

Kenyataan bahwa benar Jeremy masih mencintaiku dan tidak ingin memaksaku untuk ke tahap yang lebih serius, membuatku tersentuh. Ia mengerti kondisiku dan sangat bersabar. Kadang aku tidak percaya ada laki-laki yang seperti itu di kehidupanku.     

"Sekarang dari kamu, Dai. Kalau kamu sudah siap, cobalah berikan semuanya padanya. Walau dia laki-laki, dia juga butuh kepastian, kan?" Reina benar-benar memberi pengertian padaku tanpa paksaan. Kalimatnya benar-benar seperti menyuruhku namun semua terserah padaku.     

"Aku tahu, Rei. Terima kasih lagi, ya. Aku cuma harus melepaskan yang lalu dan menata masa depan demi buah hatiku."     

"Benar. Dia pasti akan bertanya siapa Papanya kelak. Aku rasa juga pertumbuhannya akan lebih baik dengan seorang Papa yang baru, kan?"     

Aku meredam rasa maluku. Bukan malu karena kesal dan marah, tapi lebih kepada malu karena betapa senangnya jika Jeremy menjadi Ayah dari anakku. Menyenangkan pasti rasanya. Tapi sampai kapan aku akan merasa baik-baik saja kalau begitu?     

***     

Aku sudah berada di salon kecantikan untuk melakukan perawatan Ibu hamil sesuai yang dipesankan Reina. Terakhir aku ke sini sepertinya saat Raja masih hidup. Rasanya seperti mundur selangkah ke masa lalu yang menyesakkan dadaku.     

Aku dan Reina berpisah kamar untuk memulai perawatan. Tidak memakan waktu lama perawatan kami selesai. Yah, tidak ada yang istimewa selain merasakan cukup ringan tubuh ini setelah perawatan. Reina ternyata selesai lebih dulu dari pada aku.     

"Makan apa, ya?" tanyanya saat kami keluar dari salon.     

Ia menatap sekelilingnya yang ada beberapa store makanan karena kami memang ada di mal. Lalu Reina tertuju pada store makanan Nasi Goreng Lapangan Tembak yang sudah seperti rutinitas kami jika ke mal. Padahal tadinya aku ingin menyarankan untuk ke food courtnya saja, tapi sepertinya juga memakan waktu dan menguras tenaga juga jika ke sana.     

"Ini kayaknya idaman banget, ya?" kataku dengan tawa kecil.     

"Kayaknya aku nggak bis melewati resto ini, Dai. Ha ha ha."     

"Banyak kenangan di sini," kataku.     

"Maaf ya, aku nggak bermaksud lagi untuk membuatmu ingat tentang dia," katanya.     

"Jangan minta maaf terus, Rei. Aku hanya teringat, bukan berarti lantas membuatku sedih, kan?"     

"Iya sih... jadi, nggak apa-apa, kan? Atau kita mau pindah?" tawarnya.     

Aku menggeleng dan mengatakan bukan masalah yang perlu dipikirkan. Jadi, kami pun langsung memilih menu dan menunggu menu kami tersaji.     

Setelah menu tersaji, tiba-tiba seorang laki-laki bertemu dan menyapa Reina. Aku dan Reina terkejut. Sebenarnya lebih kepada Reina ketimbang aku.     

"Hei, kamu ingat aku?" tanyanya setelah sapaan yang membuat Reina cukup terkejut.     

Aku memperhatikan keduanya karena aku memang tidak tahu menahu tentang siapa laki-laki itu. Tapi sepertinya ia pernah berhubungan dengan Reina, dilihat dari cara Reina memberi respons padanya.     

"Galang. Tentu saja aku ingat," jawab Reina kemudian. Ia melirik ke arahku sebentar dan aku melanjutkan makananku.     

"Dia adik iparku," ujar Reina menunjuk kepadaku saat tatapan laki-laki itu sepertinya bertanya tentang siapa aku.     

"Oh, kamu sudah menikah? Bahkan sudah hamil juga?" tanyanya.     

Rasanya entah kenapa aku risi melihat laki-laki ini di meja kami dan ia tidak duduk. Padahal bisa saja ia meraih kursi dan duduk di bagian meja sini. Tapi sepertinya Reina seakan tidak mengizinkannya.     

"Iya. Semua benar," jawab Reina singkat. Ia bahkan meneruskan makannya tanpa menoleh ke arah laki-laki yang bernama Galang itu.     

"Apa aku boleh gabung?" tanyanya.     

Reina menoleh ke arahku dan aku mengangguk. Dari pada mengusirnya dan dilihat banyak orang, tidak ada pilihan lain bukan, selain membiarkannya bergabung.     

Galang bergabung dan duduk di salah satu kursi yang kosong. Ia berada di tengah-tengah kami. Meja ini bundar jadi kalian bisa membayangkannya ia ada di mana. Intinya aku berhadapan dengan Reina dan dia ada di tengah-tengah kami.     

"Galang," katanya padaku seraya mengulurkan tangan.     

"Daisy," jawabku tanpa membalas uluran tangan itu. Aku sama sekali tidak berminat berkenalan atau bersentuhan dengannya. Jadi aku mengucapkan namaku saja.     

Galang mengangguk senyum dan kemudian matanya teralihkan pada Reina. "Kamu jauh lebih cantik pas hamil, Rei. Siapa yang menikahimu akhirnya?"     

Nada tanyanya terdengar seperti mengejek, tapi aku tidak menemukan caranya mengejek Reina. Sepertinya memang begitulah caranya berbicara sebagai karakternya. Tapi tetap saja, seperti tidak sopan jika aku yang mendengarnya.     

"Raka," jawab Reina singkat.     

Galang terkejut lalu tertawa kecil. Ia bahkan menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya dia mengenal Raka. Dan sudah pasti ia juga mengenal Raja.     

"Apanya yang lucu, Galang?" tanya Reina mulai kesal.     

"Nggak. Aku hanya heran saja, sepertinya percintaanmu hanya pada si kembar itu, ya? Aku nggak menyangka kamu kembali lagi pada Raka."     

Oh. Benar dugaanku. Galang ini memang mengenal semua permasalahan Reina. Mungkinkah ia sahabatnya atau teman dengan keuntungan yang pernah mereka lakukan bersama? Menarik tapi juga mengesalkan sekali melihat laki-laki ini.     

Reina melirikku sekilas karena Galang mengatakan tentang si kembar yang tak lain dan tak bukan adalah Raka dan Raja. Tentu saja berhubungan denganku. Tapi selama ia tidak menyinggung Raja atau menjelekkannya, aku tidak mau ambil pusing.     

"Itu sudah takdir. Kamu sendiri, ke mana kekasihmu? Kenapa sendiri?" tanya Reina mengejeknya kembali.     

"Takdir? Yakin? Aku pikir kamulah dalang semuanya. Kalau kamu nggak mengejar si kembar itu, mana mungkin kan, kamu bersama salah satu dari mereka? Dan kekasihku... dia ada di rumahnya. Aku di sini karena mau membeli sesuatu untuknya."     

Percakapan ini sangat jelas sekali di telingaku. Aku tidak mungkin menghindarinya. Karena secara naluriah, aku juga ingin mendengar banyak tentang Reina, apa pun yang Galang katakan secara terbuka di depanku tanpa sengaja. Ia belum tahu bahwa aku adalah istri Raja.     

"Galang, kalau kamu ke sini mau mengejekku, pergilah," usir Reina.     

"Hei, aku nggak mengejekmu. Kayak kamu nggak tahu aku saja sih, Rei! Oke, lupakan tentang itu. Sekarang, bagaimana kabar Raja dan apakah dia sudah menikah?" tanyanya.     

Kuhela nafasku dan mencoba diam-diam mengatur nafasku senormal mungkin. Yang ditanya adalah Reina, jadi sebaiknya biar Reina saja sekalian yang menjawabnya.     

"Kenapa diam? Apa dia baik? Aku ingin bertemu dengannya. Bagaimana pun juga, dia yang menjodohkanku dengan Fika," katanya dengan serius.     

Ternyata Galang dekat dengan Raja, ya? Aku hampir memiliki prasangka buruk padanya mengingat karakternya yang seperti itu. Dan apa tadi? Raja pernah membantunya menjodohkannya dengan Fika, yang kurasa adalah kekasihnya, yang dimaksudnya.     

"Dia... jauh lebih baik, Lang. Dan kamu harus tahu sesuatu," kata Reina dengan ucapannya yang kaku.     

"Apa? Kamu nggak biasanya berbelit seperti ini loh, Rei. Bilang saja."     

Pemakaman Raja memang hanya dihadiri oleh orang-orang yang penting dan kantor saja. Selebihnya beberapa banyak yang tidak tahu. Dan itu pun semua atas kemauanku bahwa aku tidak ingin ada keramaian di pemakaman Raja. Aku tidak ingin ada keributan di saat suamiku tertidur untuk selamanya.     

Galang menunggu jawaban Reina. Begitu pun aku. Aku ingin tahu apa yang akan Reina katakan padanya. Sementara suasana mendadak jadi panas untukku.     

"Hanya sedikit berat untuk mengatakannya," ucap Reina.     

"Atau kamu kasih nomornya ke aku saja, deh. Aku lama loh, nggak ketemu dia."     

"Galang..." dengan nafas berat Reina mulai bicara. Ia melirikku sebentar dan aku mengangguk bahwa aku tidak apa-apa jika ia ingin mengatakannya. "Raja sudah menikah. Dan Daisy adalah istrinya sekaligus ia sedang hamil. Sementara Raja sudah... meninggal."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.