BOSSY BOSS

Chapter 137 - A Plan



Chapter 137 - A Plan

0Aku hanya tersenyum kecut begitu Reina menyampaikan semuanya pada Galang dan ia menatapku dengan pandangan tak percayanya.     
0

Beberapa kali Galang mengerjapkan matanya dan saling melempar pandang padaku dan Reina.     

Ada rasa bersalah yang amat dalam saat aku melihat wajah Galang yang memang sejak tadi mengatakan hal yang aneh-aneh tentang Raja dan Reina di hadapanku.     

"Tunggu..." ujarnya memberi jeda pada dirinya sendiri untuk mencerna semuanya.     

"Siapa? Maaf... Daisy? Istri Raja? Hah?" Kalimat tanyanya terdengar tidak jelas di telingaku tapi aku menangkap maksud dari ucapannya. Sepertinya ia kelihatan sangat syok.     

Tangannya ia tepukkan ke dahinya dan ia mulai paham semuanya.     

"Maafkan aku, aku nggak tahu kabarnya sudah sekian lama ini. Dan lupakan ucapanku yang tadi, ya?" katanya padaku.     

"Galang, Daisy udah tahu tentang aku, Raja dan Raka," timpal Reina.     

Aku mulai tersenyum. Kali ini senyumanku bukan senyuman kecut yang tadi kulemparkan padanya.     

"Santai aja, Galang. Memang nggak banyak yang tahu tentang meninggalnya Raja. Karena memangnya hanya keluarga dan orang kantor saja yang tahu," jelasku.     

Galang langsung mengangguk dan wajahnya berubah menjadi malu. Bahkan ia terkesan diam saja setelah itu. Padahal aku tidak apa-apa.     

"Jangan merasa bersalah, ya. Aku udah biasa, kok. Udah terima kenyataan juga," kataku lagi.     

"Maafin aku sekali lagi, ya. Sebenarnya memang tadi itu cara aku bercanda. Iya kan, Rei?"     

Reina mengangguk. Dan aku memang sudah paham sedari tadi. Walau awalnya aku pikir ia berniat menjelekkan Raja. Tapi lambat laun, aku mengerti semuanya.     

***     

Aku memilih pulang duluan karena Reina dan Galang mau keliling bersama. Sebenarnya tadi aku diajak, tapi aku memilih pulang dari pada bersama mereka. Lagi pula aku sudah cukup lelah juga.     

Saat sampai rumah, Raka ternyata sudah pulang. Aku pikir ia akan pulang sore atau mungkin malam. Tapi malah lebih cepat.     

Ia melihatku dan sepertinya menunggu Reina muncul. Jadi kuberitahu saja padanya.     

"Galang?" tanyanya seperti mengingat-ingat nama Galang.     

Aku bergumam dan meluruskan kakiku di sofa panjang.     

"Kamu kok, udah pulang?" tanyaku kemudian.     

"Iya. Akhir-akhir ini aku lebih sering pulang cepat. Ke mana mereka pergi?" tanya Raka lagi.     

Aku mengedikkan bahuku. "Mana kutahu, Raka. Kamu hubungi aja si Reina. Paling juga masih di sekitar mal, kok."     

Raka langsung mengeluarkan ponselnya dan menyentuh-sentuh layarnya. Kuperhatikan dari tempatku berada seraya meliriknya sekilas. Bayanganku selalu saja mengira dia adalah Raja.     

Sial! Aku tidak boleh seperti ini. Ini sama saja seperti saat Reina bersama Raka dulu lalu terjatuh dalam pelukan Raja.     

Aku langsung mengalihkan pandanganku pada ponselku. Mencari kesibukan yang tentunya bukan tentang Raka.     

"Duh, nggak bisa dihubungi lagi si Reina!" gerutunya kesal.     

"Kamu nggak ada nomornya Galang?" tanyaku santai.     

Raka langsung menoleh ke arahku seakan ia baru saja mendapat ide baru. Sepertinya ide tentang nomor Galang tidak terpikirkan olehnya.     

"Rileks, Raka. Jangan terburu-buru. Kamu nggak akan menemukan jalan kalau kamu terburu-buru. Padahal jalan itu selalu ada," nasihatku tenang.     

Raka mengangguk lalu duduk di hadapanku. Kakinya ia naikkan satu ke atas pahanya dan mulai menyentuh kembali ponselnya.     

Beberapa kali aku melihatnya menghirup dan menghembuskan nafasnya dengan rileks. Dia mengikuti arahanku, baguslah kalau begitu.     

"Ah, mereka memang lagi di mal. Barusan aku kirim pesan ke Galang. Dan untungnya dia balas cepat," ujarnya terdengar lega.     

Aku mengangguk-anggukkan kepalaku tanpa melihat ke arahnya.     

Saat ini suasana bagiku terasa canggung. Walau ada Ibu di rumah ini, tetap saja beliau sedang tidak kelihatan. Dan, kecanggungan itu ada di ruang tamu, tempat di mana aku dan Raka sedang duduk bersama dan sibuk dengan ponsel masing-masing.     

Aku tidak tahu apakah Raka merasakan hal yang sama atau tidak, tapi begitulah aku.     

"Apa Galang bicara sesuatu yang bikin kamu sakit hati?" tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan.     

Aku menggelengkan kepalaku. "Nggak. Aku udah biasa."     

"Dia tipikal yang blak-blakkan, jadi maklumi dan maafkan kalau ada kata yang membuatmu tersinggung."     

Aku mengangguk sebagai responsku. Tapi aku mendengar Raka menghela nafas beberapa kali setiap berbicara denganku dan tanggapanku yang rasanya seperti mengganggunya.     

"Ada apa denganmu, Daisy? Kenapa jawabanmu singkat banget?" tanyanya.     

Benar, kan? Helaan nafas itu karena responsku yang seolah aku tidak tertarik sama sekali dengan pembicaraan ini.     

"Aku nggak apa-apa, Raka. Memangnya apa kenapa?" tanyaku.     

"Kamu menghindari aku. Apa ada masalah denganku?"     

Ya. Masalah itu adalah kamu terlalu mirip sekali dengan Raja. Kadang aku lupa kalau Raja itu kembar, karena saking inginnya aku ia tetap hidup. Bahkan perasaanku pada Raja bisa-bisanya kurasakan untukmu juga. Tapi aku tahu ini semua tidak nyata. Aku hanya berharap aku sedang tidur dan mimpi buruk. Sayangnya kenyataannya seperti ini.     

"Nggak. Nggak ada masalah apa pun denganmu. Aku cuma sedang mikirin Jeremy," kataku alasan.     

Raka menaikkan satu alisnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Laki-laki tidak akan pernah mencari tahu sedetail apa pun jika wanita yang di hadapannya berbeda tingkah laku dengannya.     

"Apa dia udah hubungi kamu?" tanyanya.     

"Belum."     

"Lalu kapan kalian menikah?"     

Bibirku menganga ketika tanpa dosa Raka bertanya hal itu. Seakan itu hal yang bukan perlu dipikirkan. Padahal ia tahu kondisiku sekarang.     

"Maaf, nggak bermaksud membuatmu marah. Tapi kamu harus bisa tetap melanjutkan hidupmu, dengan atau tanpa Raja. Lagian Jeremy memenuhi kriteria dalam segala hal," jelasnya menambahi.     

Cih. Aku kini jadi kesal padanya. Memangnya dia tidak bisa membicarakannya kapan-kapan saja? Memangnya menikah itu mudah seperti dulu saat aku masih dengan perut rata atau mungkin sebelum aku merasakan meninggalnya orang yang kucintai?     

Ke mana pikiran Raka sekarang?     

Aku langsung berdiri dan melemparkan bantalan sofa untuknya. Raka menanggapnya dengan tangkas.     

"Urusi aja urusanmu, Raka," kataku membalasnya dan meninggalkannya.     

Ia memanggilku berulang kali tapi aku memilih mengabaikannya dan tidak menengok sama sekali.     

Dasar! Memangnya mudah menjadi seorang wanita sepertiku? Kalau alasannya karena ingin aku bahagia, aku bahkan sudah bahagia dengan caraku seperti ini.     

***     

Ketukan pintu membuatku terbangun. Rupanya aku ketiduran saat di mana aku sedang kesal tadi. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, sepertinya aku tertidur lebih lama.     

Ketika aku membuka pintu, Ibu masuk dan menatapku.     

"Ayo, mandi terus makan malam di luar," katanya.     

"Hah? Memangnya ada acara apa, Bu, kok di luar?"     

"Hanya makan malam aja, Sayang. Kami tunggu, ya."     

Ibu keluar kamarku begitu saja. Senyumnya tidak memudar sama sekali ketika aku bertanya kenapa harus makan malam di luar. Aku tahu aku tidak akan menemukan jawaban jika tidak segera bersiap dan datang ke bersama mereka.     

Aku pun bersiap walau nyawaku belum terkumpul banyak. Saat aku keluar dari kamar mandi, di kasur ada sebuah gaun Ibu hamil untukku. Hanya ada tulisan di sana yang memberiku catatan untuk mengenakannya malam ini.     

Saat aku melihat pantulan diriku di cermin, aku terlihat berbeda. Entah kenapa rasanya seperti terlihat cantik saja. Padahal ini aku sendiri.     

Jadi aku merias tipis wajahku dengan memberikan sentuhan merah pada pipiku dan sedikit warna pada bibirku.     

Aku keluar kamar dan melihat semuanya sudah siap di ruang tamu. Mereka memandangku dengan wajah berseri-seri.     

"Kenapa?" tanyaku seraya melihat penampilanku dari bawah.     

Semuanya menggeleng. Papa yang termasuk jarang berekspresi pun tersenyum dengan senang. Beliau mendekatiku dan menyentuh dua bahuku.     

"Anak sekaligus menanti Papa ini memang selalu cantik," pujinya.     

Entah kenapa aku terharu dan memeluk beliau. Hal yang jarang aku lakukan.     

"Terima kasih, Pa. Tapi ini memang ada acara apa, sih? Kok aku dan lainnya jadi kayak formal gini penampilannya?"     

Papa tidak langsung menjawab. Beliau malah melihat ke belakang, ke semuanya dan mengangguk.     

"Nanti juga kamu tahu, Daisy. Yang jelas kita makan-makan dulu."     

Aku menurut sajalah. Sepertinya rasa penasaranku tidak akan terjawab langsung begitu saja. Seperti usaha yang memerlukan proses untuk mencapai hasil.     

Aku ikut bersama mobil Raka dan Reina. Entah kenapa aku kurang nyaman jika berada di satu mobil dengan Ibu dan Papa. Bukan karena tidak suka beliau, tapi mungkin lebih kepada enak jika ikut bersama yang sama-sama muda.     

"Bagaimana gaunnya, Daisy? Apa kamu senang?" tanya Reina menatapku ke belakang.     

"Kamu yang taruh gaun ini di kasurku? Aku suka warnanya. Modelnya juga. Jadi, aku suka sih."     

Reina mengangguk dengan senyuman ceria. "Udah kuduga kamu menyukainya."     

"Dari mana kamu tahu warna kesukaanku?" tanyaku lagi.     

"Cuma nebak aja, kok. Apalagi warna pakaian yang kamu pakai, kan, itu-itu aja," jawabnya.     

Aku meng-oh-kan jawabannya dan memandang ke luar jendela mobil.     

Melihat Raka dan Reina yang serasa dengan pakaian mereka yang berseragam membuatku iri. Aku pernah berada di posisi itu saat bersama Rajam. Tapi sekarang semua berubah.     

Hah... Banyak sekali hal-hal yang membuatku iri dan teringat masa lalu. Kalau begini terus, kapan juga aku akan ke tahap selanjutnya?     

Refleks aku mengusap perutku. Anakku pasti membutuhkan sosok Ayah. Apalagi mengingat jenis kelaminnya laki-laki. Apa memang aku harus memutuskan lebih serius kepada Jeremy?     

Jeremy... Omong-omong dia belum menghubungiku sama sekali. Belum memberi kabar atau apa pun padaku. Aku juga tidak berniat mengirimi pesan atau meneleponnya karena bisa jadi ia sedang sibuk-sibuknya. Jeremy itu pekerja keras, kadang semingguan ia bahkan tidak memberiku kabar. Untungnya aku sudah terbiasa walau dalam pikiran dan hatiku merasa kesal juga.     

"Dai... Kamu tahu nggak kenapa kita berpakaian formal seperti ini?" tanya Raka memecah lamunanku.     

"Hmm? Kenapa?"     

"Karena memang restorannya sangat berkelas. Jadi, nggak mungkin pakai pakaian biasa, bukan?"     

"Oh. Aku pikir ada acara khusus yang membuat kita semua pakai pakaian seperti ini," kataku.     

Raka tersenyum kecil. Aku bisa melihatnya dari kaca depan yang berada di tengah. Senyuman itu penuh arti. Tapi aku tidak bisa mengartikannya melalui kata-kata.     

Lalu mendadak aku curiga. Apakah semua keluargaku sedang merencanakan sesuatu di belakangku? Sesuatu yang mereka khususkan untukku sebenarnya. Karena sejak pergi tadi semua terasa berbeda.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.